Thursday, September 22, 2005

There Will Be A Time For Everything

Tidak terasa waktu terus berjalan dan melangkah. Jadi teringat, waktu itu bulan Juni. Gue sedang sibuk-sibuknya menghadapi ujian. Tiap hari kerjaan gue kalo nggak di perpustakaan wohnheim (tempat tinggal gue), ya di perpustakaan nasional. Tinggal cari gue di kedua tempat itu kalau mau ketemu gue. Setelah selesai ujian, gue bersiap-siap pulang ke Indonesia. Waktu itu sempet jalan-jalan ke Paris dan satu minggu kemudian terbang ke Jakarta.

Di Jakarta gue seneng banget! Gimana nggak seneng, gue bisa bertemu kembali dengan keluarga gue setelah satu setengah tahun nggak jumpa, cuma dengar kabar lewat telepon atau SMS saja. Sekarang, gue bisa bertemu mereka! Rutinitas sehari-hari di Berlin pun gue tinggalkan. Kalau biasanya bangun pagi lalu cuci piring atau pergi belanja, kini bangun pagi, nonton berita, terus tidur lagi deh. Cuci piring juga cuma sesekali aja kalau lagi niat. Pokoknya santai all time every time.

Teman-teman gue satu persatu berdatangan ke rumah, gue sempat berkunjung kembali ke sekolah gue. Ketika malam minggu, gue diajak mengikuti pengajian. Pokoknya tiada hari tanpa bepergian. Minggu berikutnya gue dan keluarga gue melaksanakan ibadah umroh selama satu minggu. Masih teringat saat-saat berlama-lama di Masjid Nabawi, saat melihat Ka’bah di Masjidil Haram, saat bertawaf dan bersa’i. Everything was very very beautiful.

Selesai itu gue sempat jalan-jalan bersama para penghuni Jerman yang sedang di Indonesia. Terciptalah cerita ini. Minggu berikutnya gue pergi ke Bandung untuk bertamasya dengan memakai kedok praktikum. Setelah selesai berkebun, selesai pulalah waktu tamasya gue. Beberapa hari kemudian gue dioperasi di rumah sakit ini. Dan karena habis operasi, gue nggak bisa pergi kemana-mana. Padahal sudah banyak ajakan, ada yang ngajak reunian teman-teman kursus Bahasa Jerman, ada undangan pernikahan, ada yang ngajak ke Bogor buat LDKS, ada yang ngajak nonton Pentas Seni Islam, dan lainnya. Jadwal kepulanganpun gue undur.

Gue juga sempat jalan-jalan dengan teman SMP. Ada yang bela-belain bolos kuliah di UGM dan pergi ke Jakarta demi ketemu gue! Hiks, jadi terharu lagi. Kami menghabiskan sore dengan makan di Roti Bakar Edi di belakang Al-Azhar.

Kata seorang sahabat, gue harus menentukan nasib gantungan kunci. Nggak ada yang ngerti maksudnya, kan?

Setelah keadaan sudah agak baikan, gue bersama teman-teman Jerman yang sedang berada di Indonesia mengunjungi Pak Nur Azzam, Abi Aska, dan Pak Aceng di Bogor. Setelah itu, gue memutuskan untuk diam di rumah menanti tanggal kepulangan dan menikmati detik-detik terakhir di sini.

Memang benar. Kata seseorang, jangan berada di Indonesia lebih dari satu bulan. Karena kalau sudah lebih dari satu bulan, bakalan berat meninggalkan Indonesia. Itu betul! It’s too hard to leave my Jakarta. Tapi itulah hidup. Kata seorang sahabat, there will be a time for everything. Jadi yah, ini saatnya gue harus kembali ke Jerman. Insya Allah dengan semangat baru.

Jadi ingat lagunya Ismail Marzuki yang berjudul Juwita Malam. Ada satu bait yang menggambarkan keadaan gue saat ini. Bait itu pun gue rubah dengan mengacu pada perkembangan jaman. Hehehe.

Bait yang benar:
Kereta kita
Segera tiba
Di Jatinegara kita kan berpisah
Berilah nama
Alamat serta
Esok lusa boleh kita jumpa pula


Bait yang telah dirubah (nyanyikan dengan nada lagu Juwita Malam):
Pesawat kita
Segera terbang
Di Soekarno-Hatta kita kan berpisah
Berilah nama
Alamat e-mail
Tahun depan boleh kita jumpa pula


Au Revoir Jakarta! Ini bagian yang paling gue nggak suka. Saat senja. Waktu itu juga senja ketika gue pergi ke Jerman untuk yang pertama kali. Sekarang juga begitu. Dengan tenggelamnya matahari, tenggelam pula saat gue di negara ini. Pasti hujan air mata mewarnai bandara kala itu. Aihh... terlalu mendramatisir deh!

No comments: