Monday, July 10, 2006

Reportase WM

Kategori: Artikel





Satu bulan sudah Jerman menjadi tuan rumah FIFA Piala Dunia 2006. Seperti halnya di berbagai penjuru dunia lainnya, di Jerman pun demam Piala Dunia (yang untuk selanjutnya disingkat WM, Weltmasterschaft) begitu terasa. Di kota tempat saya tinggal, Berlin, demam WM sudah muncul sejak jauh-jauh hari. Kota Berlin mempercantik diri dengan atribut-atribut WM. Tidak heran, kota ini akan menjadi pusat dunia pada tanggal 9 Juli ketika partai final ajang sepakbola terbesar empat tahunan itu digelar.

Tak terkecuali saya, saya sempat mencari-cari pekerjaan untuk WM ini. Waktu itu sempat mendaftar menjadi staff ticketing, dan sempat juga mendapat panggilan wawancara, tapi ternyata panggilan itu tidak kunjung-kunjung datang sampai sekarang. Masih belum rejeki mungkin. Tapi ada baiknya juga, karena ternyata WM itu tidak kompromi dengan waktu kuliah. Dengan kata lain, walaupun WM, kuliah tetap jalan, bahkan dalam musim ujian!

Dengan diadakannya WM pada waktu aktif kuliah, maka konsentrasi kuliah saya pun sedikit terganggu. Bisa jadi bukan hanya saya, tapi juga seisi kampus. Contohnya, waktu di kampus sedang asik-asik belajar, tiba-tiba ada suara teriak „Tooorrrrr!!!“ dari ruangan sebelah. Oh, ternyata para Tutor dan Wissenschaftliche Arbeiter sedang nonton bola bareng. Atau Tutor mata kuliah Physikalische Chemie saya, yang notabene juga anak kuliahan, memperpendek waktu tutorium kami karena mau nonton bola. Di antara mahasiwa pun demikian, kalau kita tidak tahu bagaimana hasil pertandingan tadi malam, maka akan bingung ketika diajak ngobrol oleh mahasiswa lain esok paginya. Satu mata kuliah yaitu Konstruktion und Werkstoffe mengharuskan kerja kelompok secara intensif. Kelompok kami yang hanya bertiga, semuanya demam WM. Jadi jadual mengerjakan tugas diatur sedemikian rupa supaya tidak bentrok dengan jadual WM.

Contoh percakapan kami:
Saya: „Wir müssen die Hausaufgabe am Donnerstag abgeben! So, wir sollen uns am Dienstag treffen. Wie findet ihr?“
Si M: „Am Dienstag?? Es ist doch Deutschland gegen Argentinien!“
Si A: „Das kann nicht sein, das kann nicht sein! Lieber am Wochenende treffen!“

Oalah.

Pusat kota Berlin dari Brandenburger Tor sampai Siegesäule pun disulap menjadi Fanmeile, atau tempat nonton bersama untuk penduduk di kota itu. Ada enam monitor raksasa berdiri di sana. Tercatat bisa sampai 500.000 orang datang bersama ke sana pada sebuah pertandingan. Karena tidak suka keramaian, saya jarang ke sana. Mungkin hanya tiga kali sepanjang WM. Saya lebih suka nonton di rumah, atau bertandang ke rumah teman untuk nonton bersama. Menonton di stadion? Sayangnya tidak. Untuk tempat duduk yang paling belakang dan paling atas, harga tiketnya mencapai 30 €, untuk final malah lebih mahal, mencapai 100 € untuk tempat duduk dimana kita tidak bisa melihat pemain-pemainnya saking jauhnya. Mending untuk hal yang lain, ya nggak?

Setiap orang punya gaya sendiri untuk meluapkan emosinya melalui bentuk-bentuk ekspresi ketika menonton bola. Kalau saya, adalah gerak refleks tangan atau kaki ketika geregetan melihat seorang pemain ketika tim yang saya jagokan tidak juga berhasil menyarangkan bola ke gawang lawan. Begitu pula ketika WM kali ini, saya sempat mengambil beberapa peristiwa dari gegap gempitanya penyelenggaraan WM, bisa dilihat di foto galeri.

WM kini sudah usai, saatnya kembali konsentrasi menghadapi ujian semester. Secara keseluruhan saya agak kecewa pada WM kali ini, karena tim-tim yang saya jagokan tumbang satu persatu. 

Respekt untuk Italia yang menjadi Weltmeister kali ini.