Friday, December 14, 2007

Bidadari Surga

Kategori: Cerpen

Sepatah kata dari penulis:
Karena banyaknya pertanyaan dari pembaca, maka saya tegaskan bahwa cerpen-cerpen saya tidak semua berdasarkan pada kisah nyata. Persamaan tempat dan tokoh hanyalah kebetulan belaka.

Bidadari Surga
a Mushab Syuhada’s

Bidadari surga, begitu aku menyebutnya. Aku tak tahu dari mana ia datang, namun ia memancarkan aura wajah yang berbeda. Penampilannya sederhana, layaknya seorang mahasiswi. Jilbabnya menutupi kepalanya., kulitnya putih, matanya biru abu-abu, pernah aku melihat bibir tipisnya melengkungkan senyum dengan sederet gigi putih yang rapih.

Bidadari surga itu bukan mahasiswi satu jurusan denganku, tapi sering kali kita bertatap temu. Ada ribuan orang di kampus kami yang sudah seperti sebuah kota kecil ini, tapi dialah orang yang menurutku paling sering aku temui. Kali ini kami bertemu di depan mushala, beberapa saat kemudian di gedung Matematika, tak lama kutemuinya lagi di Mensa, dan sorenya di U-Bahn.

Aku memang tidak tahu namanya, karena aku tidak pernah bertegur sapa. Namun naluriku untuk menguak misterinya memberikan aku beberapa fakta: muslimah itu kuliah jurusan Informatik, sepertinya ia adalah seorang gadis campuran Jerman-Turki.

Dan betapapun seringnya kita bertemu, aku tak sanggup berlama-lama mencuri pandang ke arahnya. Begitu juga dirinya. Pernah suatu saat mata kami saling beradu, tak lama kami segera mengalihkan pandang. Dan rasa itupun berdesir, seperti rasa gugup, atau sebuah rasa asing yang lain. Ya Rabb, apakah rasa ini? Apakah maksud di balik semua ini? Aku seorang lelaki biasa yang selalu berupaya menjaga hati, namun bayangan sang bidadari itu berkali-kali datang, sementara aku tercengkram dalam rasa ini.

Rasa ini, rasa yang bodoh, rasa yang mudah datang dan pergi. Tapi rasa ini pada sang bidadari berbeda dari rasa-rasa sebelumnya. Ya Rabb, apakah rasa ini?

Ah, rasa ini datang lagi
Rasa yang tak bosan-bosannya mengunjungiku
Rasa yang sering aku tertawakan karena kebodohannya
Ah, rasa ini sulit diusir
Hinggap lekat mendalam
Lalu tiba-tiba hilang seketika
Rasa ini membuat aku gugup
Namun ketika rasa ini pergi, membuat ku justru sangat cuek
Ah, rasa ini, mengapa selalu dimulai dengan tatapan
Yang membuat beribu tafsir
Yang makin membuatku tak berhenti berpikir
Hingga terukir, dan selalu mengalir
Rasa ini,
Mungkin hanya memberi sedikit sensasi
Khayalan
Harapan dan kecemasan
Atau mungkin rindu yang tak mendasar?
Tapi sekali lagi rasa ini hanya mampir sebentar
Sebelum kemudian kembali buyar
(Jakarta, 2006)


Sekalipun banyangan sang bidadari terus menerus hadir, aku belum memiliki keberanian untuk menanyakan siapa namanya. Cukup kehadirannya yang sekelebat membuat aku mengulaskan sebentuk senyum di wajah. Sang bidadari sepertinya sangat menjaga dirinya. Tak pernah aku lihat ia bersama-sama dengan seorang pria. Karena itulah, aku selalu mengurungkan niatku untuk menyapanya. Namun aku teringat sabda Rasulullah, bahwa janganlah kamu mencintai seseorang dengan cinta yang sangat, karena boleh jadi kamu akan membencinya.

***

Siang itu, di musim gugur, aku menuju lantai dua tempat mushala kecil kampusku berada. Kulihat beberapa Schwester (saudara perempuan) sudah berdiri menunggu giliran ruangan shalat di depan sana, dan bidadari itu salah satu di antaranya. Mushala kami memiliki luas ruang yang terbatas, yang membuat Bruder (saudara laki-laki) dan Schwester harus bergantian menggunakan ruangan itu. Karena keterbatasan waktu, kami pun harus sabar mengunggu pemakaian ruangan.

Di depan mushala itu sudah tertempel sebuah kertas bertuliskan „Mushala ini akan dipakai untuk Schwester“. Aku berdiri dan paham bahwa tak lama para Schwester itu akan memakai ruangan tersebut. Namun tak lama keluar salah seorang Bruder dari dalam, seraya mempersilahkanku untuk masuk karena di dalam ada beberapa Bruder lain yang masih shalat. Aku tersenyum mengucapkan terima kasih atas tawarannya, namun sebelum aku memutuskan masuk, aku bertanya pada para Schwester yang sudah menunggu.
„Apakah kalian sudah menungggu lama? Apakah kalian keberatan jika saya masuk sebentar?“ tanyaku.
„Kami sudah menunggu lama,“ jawab salah seorang Schwester. "Sekarang giliran kami," tambah Schwester yang lain. Lalu tak lama ada satu suara yang mengagetkanku, suara yang kulihat datang dari bidadari itu, menuju ke arahku.
Suara yang sangat keras dan menusuk ulu hatiku.
„Tolong – tunggu – di luar!“ katanya dengan nada tinggi menunjukkan nada kemarahan, disertai dengan raut wajah yang sangat dingin menatapku, lalu ia memalingkan wajahnya dariku.

Dan aku hanya menatapnya sesaat dengan pandangan kosong dan mulut membisu. Aku masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar barusan. Kata-kata itu, suara itu, seolah telah menyihirku untuk membatu beberapa saat. Aku juga seorang manusia, aku juga punya perasaan dan hati, dan hati ini seketika luka atas perkataannya. Mungkin itu hanyalah perkataan biasa, dan mungkin aku akan biasa pula mendengarnya jika itu terlontar dari orang lain. Tetapi perkataan ini kudengar dari seorang bidadari pujaanku, yang selama ini kupendam cintanya sangat. Rasa cinta itu, berubah menjadi sangat perih. Aku segera pergi menjauh, menenangkan diri dahulu untuk sesaat. Yaa Rabb, begitu mudahnya Engkau merubah sebuah benda bernama perasaan.

Bidadari itu masuk ke dalam mushala bersama Schwester yang lain. Pikiranku tak berubah dari gaungan suara yang masih terekam kuat di kepalaku. „Warte-bitte-draußen!“

Tak lama bidadari itu keluar. Aku menduga bahwa ia akan segera menuruni tangga di sebelah kiri karena tak ingin melihat diriku. Akupun segera membuang pandanganku agar tidak lagi menatapnya, karena hal itu hanya akan membuatku merasa semakin sakit. Dugaanku ternyata salah, aku merasakan ada sesosok bayangan yang semakin lama semakin mendekatiku, dan bayangan itu, tepat di depanku, berkata,
„Maafkan saya, saya tadi sudah berbicara sangat kasar kepada kamu, saya terlalu jahat untuk berkata...“ ia lanjut berbicara, namun hanya itu kata-kata yang bisa aku tangkap darinya. Kulihat wajahnya, kali ini ia menatapku dengan pandangan bersalah, memohon maaf dariku.
„Oh... yang tadi ya?“ tanyaku pura-pura tak tahu, padahal semua orang tahu bahwa aku pasti tak bisa menyembunyikan raut kecewa yang tergurat dalam di rona mukaku. „tidak apa-apa kok,“ lanjutku sambil tersenyum, lalu ia pergi.

***

Yaa Rabb, sekalipun ia telah meminta maaf, tapi rasa kecewa yang perih ini tak bisa hilang. Aku ambil mushaf kecil di dalam ranselku, kutenangkan diriku. Tiba-tiba, ini pasti sebuah jawaban dari Allah, tanganku membuka halaman tepat di surat Ali Imran ayat 133-134.
„Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.“

Ya Allah, ajarilah aku untuk menjadi seorang yang pemaaf. Karena ku tahu, keberaniannya meminta maaf kepadaku adalah karena ia menyadari kesalahannya. Ia bukan seorang bidadari, ia juga seorang manusia sama seperti aku, yang sangat mungkin berbuat khilaf.

Ya Allah, kuyakin benar ini merupakan teguran dariMu. Ya Allah, karuniakanlah kepada kami danau kesabaran yang luasnya seluas samudra kesabaranMu, berikanlah kami embun-embun pemaaf dari mata air pemaafMu, sinarilah hati-hati kami dengan sinar cinta dan kasihMu, jagalah hati-hati kami dari bermaksiat kepadaMu. Ya Allah, Tuhan yang Maha penyayang, lindungilah kami dalam naungan rahmahMu.

Berlin, Herbst 2006.
Lebih dari setahun yang lalu.
Ah, die Zeit verläuft wirklich so schnell.

Tuesday, November 20, 2007

Pergeseran Cara Pandang dari Sistem Islam

Kategori: Artikel

Hukum adalah sebuah perangkat penting dalam kehidupan. Tidak hanya untuk kehidupan pribadi, tetapi juga untuk kehidupan sosial. Hukum dapat berbentuk tertulis seperti sebuah undang-undang, atau dapat juga berbentuk cara pandang tehadap sesuatu. Terkadang, cara pandang muncul dari sebuah kontemplasi pribadi yang banyak dipengaruhi oleh keadaan yang dianggap „normal“ di lingkungan sekitar.

Mari kita berangkat dari Islam, agama dan sistem yang kita yakini bulat sebagai sistem terbaik yang tidak ada tandingannya, karena semua sumber hukumnya berasal dari Yang Mahatahu. Logikanya, jika kita meyakini bahwa Allah adalah Pencipta yang tak terbatas kekuasaan-Nya dan hasil ciptaan-Nya, maka kita juga mutlak harus meyakini bahwa Allah mengetahui secara detail apa yang diperlukan untuk hasil ciptaan-Nya. Saya teringat sebuah khutbah Jum’at dari Dr. Yogi di KBRI hampir setahun yang lalu: Jika kita membeli sebuah lemari produksi IKEA, dan ingin memulai menyusun bagian-bagian lemari itu agar menjadi sebuah lemari yang utuh, maka kita harus melihat buku petunjuk yang dikeluarkan oleh IKEA. Sama halnya jika ternyata lemari yang kita beli terdapat cacat atau kekurangan, maka kita harus melapor ke IKEA, bukan yang lain. Mengapa? Karena IKEA-lah yang seharusnya mengenal dan mengerti produknya.

Masyarakat di negara-negara Islam - yang rata-rata berada pada jajaran Negara Dunia Ketiga - sayangnya belum mengenal benar hukum-hukum Islam yang lengkap dan menyeluruh. Padahal dalam Islam, aturan-aturan seperti disiplin, bersih, jujur, beradab, toleransi, menuntut ilmu dll tertuang jelas dan dibahas lengkap di dalam Al-Qur’an dan/atau Al-Hadits. Di sisi lain, negara-negara berkembang justru yang mengejawantahkan hal-hal tersebut. Di Jerman misalnya, masyarakatnya lebih disiplin dalam berlalu lintas jika dibandingkan dengan Indonesia. Akibatnya, banyak masyarakat kita yang mengiblatkan pandangannya ke negara-negara ini.

Hal ini sah-sah saja, selama memang itu merupakan hal yang positif. Toh dalam Islam hal-hal tersebutpun juga ada dan diperintahkan. Namun yang perlu hati-hati adalah proses penyamarataan semua pandangan sehingga keluar dari batas-batas hukum Islam. Tidak selamanya budaya-budaya asing (misal: Jerman) harus didewakan seolah yang paling benar sedangkan yang lain (baca: Indonesia) dianggap buruk setelah dibanding-bandingka n. Tidak selamanya sistem pendidikan anak di Jerman dianggap lebih baik dari pada sistem pendidikan anak di Indonesia. Tidak selamanya kebebasan di barat dianggap paling baik dari pada kebebasan dalam Islam.

Di Jerman, seseorang boleh dengan bebasnya mengeluarkan cairan hidung didepan orang banyak. Mengapa? Karena hal tersebut sudah membudaya dan dianggap wajar. Namun di Indonesia, seseorang hendaknya tidak mengeluarkan cairan hidungnya di depan orang banyak atau ditengah-tengah jamuan santap malam. Mengapa? Karena norma dan budaya Indonesia yang mengatakan hal tersebut kurang sopan/pantas. Lantas, apakah kita langsung menilai bahwa budaya Jermanlah yang paling benar? Atau sebaliknya, budaya Indonesialah yang benar?

Kerelativan sebuah hukumlah yang akhirnya mendatangkan hukum Islam – atau hukum yang bersumber dari Allah – sebagai satu-satunya hukum yang mutlak dan tidak relatif. Islam memberikan jawab atas semua pertanyaan. Islam memberikan contoh untuk setiap panutan. Islam memberikan solusi untuk setiap permasalahan. Sehingga tidak ada yang tidak tersentuh oleh Islam, dan Islam tidak akan pernah „leave something in vogue“.

Akhirnya, saya ingin mengajak diri saya sendiri dan juga saudara-saudara saya se-iman, untuk bersama-sama mengenal Islam secara utuh, tidak setengah-setengah, agar kita mengetahui lebih dalam keunggulan sistem-sistem yang ada dalam Islam, yang kita yakini adalah yang paling baik dan yang paling benar untuk seluruh umat manusia. Sehingga cara pandang kita terhadap sesuatu lebih berlandaskan kepada Islam, dengan tidak mengunci kita untuk mengenal dan mempelajari segala sesuatu yang „bukan islam“.

Wallahu’alam.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Islam bermula dalam keadaan asing (gharib), dan akan kembali di anggap asing sebagaimana bermula. Maka beruntunglah orang-orang asing itu (ghuraba).” (HR. Imam Muslim dari Abu Hurairah).

Friday, June 08, 2007

Mein Tagesbuch

Kategori: My Side

Hampir dua bulan tidak lagi mengisi blog ini, kali ini saya akan memulai lagi dengan sepenggal kejadian di hari ini.

Pagi ini matahari bersinar panas menyengat. Udara di luar mencapai 33 derajat. Namun ada satu yang saya sukai dari hari ini: mengingat bahwa hari ini adalah hari Jumat, di mana Wochenende akhirnya datang, dan dapat bertemu dengan orang-orang yang saya sayangi.

Hari Jumat, aktivitas rutin adalah kerja, shalat Jum'at, dan kuliah. Seperti biasa, semenjak diterima kerja di kampus, setiap Jumat pagi temanya adalah berlari-lari agar tidak telat kerja. Selesai mandi (yang seperti biasa memakan waktu selama 30 menit padahal sudah ekstra diletakan jam di kamar mandi agar tidak terlalu lama di dalam) langsung obrak-abrik lemari mencari pakaian. Akhirnya keputusan busana hari ini jatuh pada sebuah kemeja yang belum diseterika. Secepat kilat langsung siap-siap dan tergopoh-gopoh berlari dari rumah ke Leopoldplatz (stasiun kereta terdekat dari rumah). Karena belum sarapan, di Leopoldplatz saya beli roti Schoko-Croissant dulu. Di kereta jantung berdebar-debar, sebab kalau sampai telat satu menit, dapat dibayangkan bagaimana wajah SB dan SM - para bos saya. Sampai di Ernst-Reuter-Platz (stasiun kereta di kampus) saya berlari lagi sampai ke gedung HFT-FT dan tepat pukul sembilan teng alhamdulillah sudah masuk ruangan kerja.

Namun begitu terkejutnya saya ketika melihat meja saya ditempati seorang kollega.
Saya: "Ayse?!" (dengan agak terkejut)
Ayse: "Dimas?!" (nggak kalah terkejut)
Saya: "Hari ini tukeran sama Paule, ya?" tanyaku
Ayse: "Lho, bukannya hari ini aku gantiin kamu?"
Saya: "Masa sih?"
Ayse: "Kan kesepakatannya gitu"
Segera aku membuka plannerku, dan tertulis: "tanggal 8 Juni: tukeran sama Ayse". Oalah, tahu gitu nggak usah tergopoh-gopoh sampai penuh peluh. Akhirnya saya keluar ruangan dan bimbang, mau tetap di kampus atau pulang ke rumah. Setelah terjadi perseteruan hebat di dalam kepala akhirnya saya memutuskan untuk pulang ke rumah dengan asumsi akan dapat lebih banyak yang diselesaikan dibanding berdiam diri di ruang komputer kampus.

Kata bijak hari ini: Sebelum memulai hari, ada baiknya melihat kembali planner dan termin-termin di hari itu.

Masalah kedua yang saya hadapi sekarang-sekarang ini adalah masalah konsekuensi dan ketakutan. Jika saya menargetkan selesai Vordiplom di semester ini, maka 8 mata kuliah harus bisa saya selesaikan. Terdengar muluk memang, tapi machbar dengan konsekuensi: kerja keras mati-matian, dan mencari praktikum. Konsekuensi berikutnya adalah berhenti kerja di kampus, karena dari kerja di kampus saya hanya diberi jatah cuti 21 hari dimana tidak mencukupi untuk membuat praktikum di industri yang minimal memakan waktu dua bulan. Selain itu jika mau kerja keras mati-matian, kerja di kampusnya juga harus ditinggalkan karena pasti akan sangat mengganggu.

Kalau mau leha-leha sedikit sambil menikmati kerjaan yang ada, konsekuensinya adalah lebih lama satu semester di Grundstudium. Ini terdengar lebih nyaman, karena dengan tinggal lebih lama satu semester maka belajarnya bisa lebih optimal dan praktikumnya juga bisa terorganisir dengan baik, selain juga bisa agak lama bekerja di kampus. Semua butuh konsekuensi: Whatever you choose, consequency is a must -- kata-kata favoritnya seseorang.

La vie est belle. I wish, insya Allah. Bismillah, Allahuakbar!

Saturday, March 17, 2007

Kisah Para Pendoa

Kategori: Artikel

Artikel ini saya persembahkan khusus untuk para pendoa, yang telah mendoakan saya pada hari kelahiranku yang ke-21 kemarin.

Rasulullah SAW sebagai satu-satunya teladan dan panutan kita, tidak pernah sekalipun "merayakan" hari ulang tahunnya. Dan memang ulang tahun bukan sesuatu yang untuk dirayakan. Lebih dari itu, ada berbagai hal yang sebenarnya bisa ditemukan di dalamnya.

Saya melihat hari ulang tahun merupakan sebuah substansi eksistensi dari seseorang. Bahwa seseorang memiliki satu hari - dari 365 hari yang ada dalam setahun. Sehingga hari ulang tahun merupakan sesuatu yang pribadi, sesuatu yang menggambarkan kepemilikan diri.

Maka tak heran, betapa senangnya seseorang jika ada orang lain yang mengingat hari ulang tahunnya. Karena hal itu dapat diterjemahkan menjadi sebuah penempatan spesial orang tersebut di mata orang yang mengingatnya.

***

Ada sesuatu yang menarik dari ulang tahun saya yang ke-21 kemarin, yaitu sampainya tilawah Qur'an saya tepat pada surat Ar-Rahman. Saya tidak melihat ini sebagai sebuah kebetulan, namun lebih sebagai sebuah peringatan.

Maka nikmat Tuhanmu manakan yang kamu dustakan.

Nikmat - sadar atau tidak, setiap detik kita saat ini merupakan nikmat. Setiap hembusan nafas adalah nikmat, setiap aliran darah adalah nikmat, setiap degup jantung juga adalah nikmat. Allah maha pemberi nikmat, yang tidak akan sedikitpun mengurangi kekayaan-Nya jika sebanyak-banyak nikmat-Nya diberikan kepada seluruh jin dan manusia.

Nikmat itu sejalan dengan amanah. Maka seiring bertambahnya nikmat, maka bertambah pula beban amanah kita. Logikanya mudah, seseorang yang diberi nikmat rejeki kekayaan misalnya, maka dia memiliki amanah untuk peduli dengan kesejahteraan orang lain di kanan dan kirinya. Berbeda dengan orang yang kurang memiliki kekayaan, maka tidak ada amanah baginya untuk menjamin kesejahteraan orang disekelilingnya.

Contoh lain, seorang mahasiswa yang diberikan kesempatan berkuliah di luar negeri, di mana fasilitas dan hal-hal kelengkapan lainnya sangat mendukung, tentu memiliki amanah yang lebih besar kepada bangsa dibanding dengan orang lain yang mungkin tidak berkuliah. Maka nikmat memang sejalan dengan amanah, dan nikmat harus dibalas dengan syukur, sehingga bersungguh-sungguh dalam menjalankan amanah yang terlahir dari nikmat tersebut pada hakikatnya adalah bersyukur dengan amal dan perbuatan.

Ketika usia bertambah, coba renungkan, betapa banyak nikmat-nikmat yang telah dirasakan? Maka, bertambahnya umur harus juga dilihat sebagai bertambahnya amanah.

***

Kepada para pendoa, saya mengucapkan terima kasih atas segala lantunan doa yang telah diberikan. Semoga keberkahan menyertai kita semua, menyertai usia yang telah lewat, dan usia yang akan dilewati. Dan semoga kita selalu diberi perlindungan dan kemudahan dalam memikul pundi-pundi amanah yang semakin banyak.

Wednesday, February 07, 2007

Antara Aku, Kau, dan Dia

Kategori: Cerpen

"Dara! Cepetan dong di kamar mandinya! Lama banget sih!" teriakku sambil menggedar-gedor pintu kamar mandi dengan kepalan tangan yang kuat.
"Hallo! Denger gak sih lo! Gue udah gak tahan nih!" teriakku lagi. Tapi tak ada jawaban di dalam kamar mandi sana. Yang ada hanyalah keheningan.

Aku nggak habis pikir. Apa sih maunya Dara? Dia pikir kamar mandi cuma punya dia doang apa? Aku sudah nggak tahan lagi untuk buang hajat, ibarat peribahasa, bagaikan telur di ujung tanduk. Akhirnya untuk meredam gelora yang makin membara di dalam perutku, aku berjalan mondar-mandir di Flur depan kamar mandi. Aku sampai mengeluarkan air mata karena kesal dengan Dara yang cuek banget, dan karena rasa sakit ingin buang hajat sudah nggak bisa kutahan.

Semenit, dua menit, lima menit, sampai sepuluh menit, si Dara tetap di dalam. Akhirnya aku segera mengambil jaket, memakai sepatu, lalu lari ke Wohnung Tino yang berjarak 30 meter dari Wohnung kami. Sampai di sana – yang notabene adalah Wohnung anak-anak cowok – aku malah ditertawakan ketika mereka tahu kalau seorang gadis yang cantik ini datang ke sana karena kebelet ke toilet. Duh, makin kesal aku dengan Dara!

Seperti itulah keadaan Wohnung kami sekarang ini. Bagaikan neraka! Padahal dulu, setahun yang lalu saat kami bersama-sama masuk ke Wohnung ini, keadaannya damai, adil, dan sejahtera!

***

Wohnung kecil kami dihuni oleh tiga orang, yaitu aku, Dara, dan Anin. Kami sama-sama baru sampai di Berlin setahun yang lalu. Pertemuan pertama kami adalah ketika acara pengajian bulanan di KBRI. Ketika itu kami masih belum punya Wohnung dan masih menumpang dengan orang lain. Tapi alhamdulillah, ada tawaran sebuah Wohung berperabot dari salah seorang mahasiswa yang telah selesai studinya. Jadilah kami bertiga memiliki sebuah tempat tinggal yang kami harap akan menjadi saksi berseminya ikatan cinta dan ukhuwwah di antara kami.

Dan kami memang kompak! Orang-orang se-Berlin saja menyebut kami AB-Three karena kemana-mana selalu bersama. Ke supermarket bareng, ke bank sama-sama, sampai berangkat Studkol pun selalu bertiga. Ibarat vektor, kami itu linearabhängig. Kami pun mulai mengenal satu sama lain lebih dalam.

Dara itu kalau tertawa suka ngakak, suka melucu, Bahasa Jermannya jago, hobinya bermain game perang-perangan. Tapi biar begitu, masalah pelajaran dia top banget. Kalau aku ada PR dari Studkol, dia pasti mau membantu aku menyelesaikannya. Pokoknya kalau masalah pelajaran, dia nomor satu lah.

Beda dengan Anin, si gadis lugu. Suaranya halus dan pelan, seperti orangnya yang sangat perasa, tapi dia mudah sekali tertawa. Kalau tertawa suaranya nyaris tak terdengar seperti iklan mobil, ketika tertawa dia selalu menutup mulutnya, katanya sih refleks. Keahliannya adalah memasak. Dapur kami selalu mengepul dengan menu masakan yang enak-enak. Intinya kalau masalah dapur, dia numero uno.

Kalau aku? Kata mereka, aku ini perfeksionis. Nggak bisa melihat ada kotor sedikit atau ada barang yang tidak pada tempatnya. Yang jelas, Wohnung kami selalu terlihat rapih, bersih, wangi dan menawan karena aku. Kesimpulannya kalau masalah beres-beres, crème de la crème deh!

Tapi itu dulu, sekarang di mataku, dua anak itu sudah kelihatan belangnya.
Pertama Anin, aku bingung, sebenernya dia itu lugu atau blo’on sih? Sangat pelupa, sembarangan, dan berantakan. Dia pernah lupa mematikan kompor waktu selesai masak sampai api berkibar-kibar di udara. Lupa nyuci piring, lupa buang sampah, pokoknya nggak ketahuan antara beneran lupa atau sengaja dilupa-lupain. Kalau bercanda pun – saking lugunya – terkadang suka menyinggung hati orang lain. Aku teringat waktu itu, Dara sedang memasak nasi goreng, lalu Anin datang untuk mencicipi. Tebak apa komentarnya?

„Waahh, nasi gorengnya tumpah garam ya? asin banget,“ atau juga,
„Ihh kok bentuk makanannya kayak gini? Kayak makanan ikan, gak nafsu ah makannya“

Kalau sudah seperti itu, pasti Dara langsung tersinggung dan mengunci diri di dalam kamar. Memang, masalah memasak Anin yang paling jago, tapi bukan berarti dia bisa seenaknya berkomentar dong?!

Beda Anin beda pula Dara. Belakangan ini cueknya nggak ketulungan. Seolah-olah dunia ini milik dia sendiri dan yang lain hanya ngontrak. Ya seperti kejadian tadi, Dara memakai kamar mandi seenaknya sementara yang lain sudah menunggu lama di luar. Bukan hanya itu, kadar cueknya telah melampaui batas. Sekarang dia sudah tidak mau lagi ngajarin kita-kita pelajaran. Kerjaannya tiap hari main games di depan komputer atau belajar atau membaca buku sendirian. Peraturan rumah yang sudah disepakati bersama pun sudah dia tinggalkan. Kalau seperti ini, aku berasa seperti pembantu rumah tangga di Wohnung ini! Semua pekerjaan bersih-bersih aku yang mengerjakan. Ya habis bagaimana? Si Anin pelupa, si Dara cuek, sedangkan aku paling gak tahan melihat sesuatu yang kotor dan berantakan!

***

„Dara! Gue mau ngomong sama elo!“ bentakku ketika sudah sampai kembali di Wohnung. Seperti biasa Dara hanya memandangku sebentar lalu mengeloyor pergi ke kamarnya.
„Heh! Dengar gue gak sih? Gue mau ngomong sama elo!“ kataku nyolot.
„Ya kalau mau ngomong, tinggal ngomong aja! Gitu aja kok repot,“ balasnya nggak kalah nyolot.
„Heh! Dengerin ya, yang punya kamar mandi di Wohnung ini bukan cuma lo doang tau!“
„Na, und?“ jawabnya gampang, membuat emosiku semakin membara.
„Ya kalau gue mau masuk kamar mandi, lo harus cepet-cepet juga dong! Minimal bilang tunggu sebentar kek, apa kek,“
„Di dalam kamar mandi nggak boleh bersuara. Itu yang gue tahu,“ jawabnya yang membuat aku kehilangan kata-kata lagi.
Duuuh! Egois banget sih dia!

Saat suasana makin memanas, datang si lugu Anin ke kamar Dara.
„Ada apa sih? Kok ribut-ribut?“ sahutnya dengan wajah lugunya yang ‚menawan’.
„Ah udah deh! Lo gak usah ikut campur! Kalian berdua tuh sama aja! Muak gue di Wohnung ini!“ teriakku lalu pergi meninggalkan mereka dan masuk ke kamar dengan membanting pintu keras-keras.

***

Seminggu sudah semejak kejadian itu. Suasana di antara kami semakin menegang. Di Studkol kami pun berjalan sendiri-sendiri, tidak lagi seperti AB-Three yang dulu orang-orang bilang. Aku pun menjadi malas pulang ke Wohnung. Aku lebih senang menghabiskan waktu di perpustakaan atau di mana saja asal bukan di Wohnung. Perlahan kesehatanku menurun, bukan karena Anin yang sekarang tidak pernah lagi memasak untuk kami, tapi karena aku memang suka telat makan di musim dingin yang menusuk-nusuk ini.

„Assalamu’alaikum..“ sahutku pelan saat masuk ke Wohnung pada pukul sebelas malam. Kulihat lampu kamar Dara dan Anin masih menyala, tampaknya mereka belum tidur. Kutengok keadaan dapur, ternyata masih sama. Piring yang menumpuk, sampah yang menggunung, dan yang membuatku sedih, kompor yang kosong. Aku sedang lapar sekali malam itu dan berharap Anin memasak sesuatu. Ternyata tidak.

Langkahku memberat untuk sampai ke kamarku. Tiba-tiba dunia seakan berputar. Kepala seperti mau meledak, lalu aku lemas dan tersungkur, tepat di depan kamar Dara sebelum aku masuk ke kamarku.

„Nurry! Nurry! Elo kenapa, Nur? Nurry!“ hanya itu yang bisa kudengar, dan mataku hanya mampu menangkap wajah panik Dara dan Anin.

***

Saat tersadar yang aku lihat pertama kali adalah sebuah tivi kecil yang menggantung di atas dinding. Dari aroma ruangan, aku langsung tahu kalau sekarang aku berada di sebuah rumah sakit. Selang-selang infus membelit-belit di lenganku. Kutoleh wajahku ke sisi ruangan, nampak Anin dan Dara sedang duduk menungguku.

„Nurry! Gimana? Agak mendingan sakitnya?“ kata Dara yang baru kali ini aku dengar lagi setelah sekian lama. Penuh perhatian. Aku tersenyum dan mengangguk.
„Lo sekarang lagi di Charité. Hampir seharian lo nggak sadarkan diri. Udah, lo tenang aja. Kata dokter lo kecapekan. Ini gue bawain catatan Studkol hari ini,“ lanjutnya. Aku menatapnya kuat-kuat.

„Nurry.. maafin Anin ya, kata dokter kemarin Nurry pingsan karena kelaparan. Maaf kemarin Anin lagi nggak mood buat masak. Ini Anin masakin ayam pop dan salad kesukaan Nurry. Soalnya menu makanan di rumah sakit ini ada babi nya. Terus dagingnya juga gak jelas. Rasanya juga pasti hambar. Makanya Anin bawain makanan. Dokter bilang boleh kok,“ katanya dengan suara anak kecilnya yang khas. Alhamdulillah, Allah memberikan aku cobaan ini sehingga hubunganku dengan Dara dan Anin menemukan titik perbaikan lagi.

„Nin, Ra, gue boleh ngomong?“ kataku dengan suara yang masih serak.
„Boleh.. boleh“ sahut mereka bersamaan.
„Gue mau minta maaf karena belakangan ini bawaannya suudzon terus ke kalian. Kalian juga sih, yang satu cuek, yang satu pelupa,“ kataku.
„Sama-sama Nur,“ jawab Dara. „Kita juga sebel sama lo, soalnya lo itu pemarah. Emosian. Kerjanya cuma ngomel-ngomel melulu. Jadinya kita juga sebel. Walau terkadang gue juga suka sebel ke Anin karena suka berkomentar tak berdosa,“ lanjutnya.

Kami bertiga tertawa. Ada pengakuan dosa. Saling berintropeksi, saling mengerti dan memahami, bahwa masing-masing orang punya karakter yang berbeda. Memahami karakter orang, terbuka, saling percaya, dan saling paham adalah modal dasar untuk membentuk sebuah hubungan terlebih untuk tinggal bersama. Perbedaan karakter bukan menjadi alasan untuk saling bertabrakan, tapi menjadi pewarna yang indah bagai pelangi. Semakin berbeda warnanya semakin indah dipandang.

Saatku kembali ke Wohnung setelah tiga hari menginap di rumah sakit, kulihat ada sesuatu yang berbeda. Wohnung kami makin rapih, bersih, dan wangi. Di dapur pun sudah menanti masakan-masakan si Anin. Kami memulai lagi Wohnung kami. Peraturan baru: Masak harus bergantian, membereskan rumah harus bergantian, selalu shalat berjamaah, selalu belajar bersama, dan bersama-bersama yang lainnya. Kami pun menjadi AB-Three lagi, seperti sebuah tembangnya yang jadul banget itu: „We are one!“

Berlin, Februari 2007.

Monday, January 29, 2007

Ketika Jalan Terhampar Kerikil

Kategori: Puisi

Seberkas pelangi jingga sore itu menghiasi ufuk-ufuk yang perlahan menggelap, serta alunan adzan berkumandang dan membahana masuk meresap syahdu ke dalam kalbu orang-orang yang mendengar.

Sore itu, adalah sore terakhir untuk menelan segala kepahitan, dan awal untuk kembali mendongakkan kepala serta menatap jauh ke depan. Seiring berjalan, seiring mereka paham mengapa Allah mempertemukan serta memisahkan mereka.

Manusia boleh berharap, manusia boleh berupaya, namun pucuk sebuah jawab tetap terletak pada Yang Mahatahu. Apakah mereka hendak menjadi bunga-bunga yang layu, tak bertenaga, lalu jatuh terinjak rusak menyatu dengan tanah?

Sampai kapan sebuah kekecewaan berhenti menggerogoti hati? Malah justru makin memperbayak butiran-butiran noktah hitam yang tak lain merupakan penyakit diri. Lihatlah sesuatu sewajarnya, lalu kembalikan kepada asal-muasal niat yang menjadi dasar.

Apapun bentuknya, perjalanan masih panjang, dan titian ini belum tentu akan terasa buahnya dalam satu langkah waktu, boleh jadi anak mereka, boleh jadi cucu mereka, atau bisa saja puluhan garis keturunan setelah mereka.

Hanya ada satu pilihan, bergerak atau tergantikan.
Dan jalan masih panjang. Setiap masa adalah babak, epidose, lembar, alunan cerita.
Berbanggalah, karena mereka telah diberikan kesempatan untuk mengecup sebuah masa.
Mengecup dan merasakan, sebuah masa.

Wedding-Mitte, Januar 07

Wednesday, January 24, 2007

Pencari Cinta

Kategori: Artikel

Pernahkah kalian berada pada sebuah keadaan yang sempit, di mana kita dituntut bergerak namun kita tidak bisa bergerak sama sekali. Keadaan itu mingkin bisa disebut sebagai sebuah „keterbatasan“. Manusia memang diciptakan dengan segala keterbatasannya, karena manusia pada dasarnya bersifat dhoif atau lemah.

Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. (QS. An-Nisaa’: 28)

Saya pernah mengalami sebuah keadaan yang sangat sulit, di mana saat itu saya sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Lalu terlintas di kepala saya sebuah potongan ayat dari Al-Qur’an yang berbunyi,

... ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat (QS: Al-Baqarah: 214)

Dan setelahnya, subhanallah, Mahasuci Allah, dalam detik itu juga pertolongan itu datang dan segala kesusahan hilang seketika.

Sangat lemahnya kita, mungkin sudah cukup menggambarkan bagaimana posisi diri ini di hadapan Allah SWT. Maka sebuah ketergantungan kepada-Nya sudah selayaknya muncul dari setiap insan. Allah sama sekali tidak membutuhkan kita, tapi kita lah yang jelas-jelas membutuhkan Allah.

Jika kita lihat seorang pecinta, dia bisa memberikan apa saja kepada orang yang dicinta. Begitu juga rasa cinta kita kepada Allah sebagai bentuk penghambaan yang hakiki dari seorang makhluk kepada sang Khalik. Cinta sejati adalah cinta kepada Allah, yang darinya akan timbul rasa cinta-cinta yang lain.

Tentu kita akan berusaha sekeras-kerasnya untuk mendapatkan cinta Allah. Karena jika Allah sudah mencintai kita, maka niscaya Allah akan selalu berada bersama kita. Allah akan menjaga seluruh panca indera kita. Allah akan senantiasa membantu kita. Allah akan selalu memilihkan apa-apa yang terbaik untuk kita.

Maka menjadi seorang muslim sepatutnya adalah menjadi seorang yang tidak pernah gentar dalam berjalan menghadapi hidupnya. Diri ini sebagai makhluk yang lemah, hanya bisa berbuat sebaik-baiknya dalam kerangka keterbatasan yang kita miliki. Hanya Dia-lah yang Maha atas segala sesuatu. Maka, bagaimanapun keadaan kita, berusahalah selalu untuk tidak pernah sedikitpun melupakan-Nya, berusaha untuk selalu berada di dekat-Nya, dan berusaha untuk selalu mendapat cintaNya.

Saturday, January 13, 2007

Pamungkasmu, dan Aku

Kategori: Puisi

Datang sudah senja haru
Pada setahun kita bertemu
Dan jika ikhlas mendasari dakwahmu
Egal apapun itu
Aku hanya ingin menjadi sebutir debu
Dalam bangunan Islam yang megah satu

Berlin 2007
For Someone