Friday, September 15, 2006

Wilujeng Sumping

Kategori: Cerpen

A Mushab Syuhada's

Aku sering melihat pemuda yang sebaya denganku itu datang ke masjid kecil dekat rumah nenekku di pinggiran kota Bandung. Dua hari yang lalu aku sempat berkenalan dengannya seusai shalat maghrib. Namanya Dadang, keturunan etnis tionghoa.

Jika aku berlibur ke rumah nenek, masjid yang hanya terpisah oleh tiga buah rumah menjadi salah satu tempat favoritku, karena selain teduh, masjid itu juga dikelilingi panorama alam pedesaan yang eksotis. Tapi sangat disayangkan, hanya ketika shalat Jumat jemaahnya membludak, bahkan bisa-bisa sampai meruah ke jalanan. Kontras dengan shalat fardhu yang hanya dua shaf. Isinya sebagian besar dari kalangan kakek-nenek dan bapak-ibu. Anak mudanya hanya dua, yaitu aku dan si Dadang itu.

Dadang bertubuh kurus. Tingginya kira-kira sama dengan denganku. Kulitnya kuning, matanya sipit seperti kebanyakan warga keturunan tionghoa lainnya. Baru di tahun ini aku melihatnya di masjid. Tahun kemarin, saat aku juga berlibur ke rumah nenek, tidak aku jumpai dia di sana. Biasanya ia suka terburu-buru ketika selesai shalat Dzuhur dan Ashar atau terkadang tidak datang ke masjid di waktu tersebut. Karena bekerja, katanya. Ketika kutanya di mana ia bekerja, ia malah tidak menjawabnya. Ia hanya tersenyum dan segera memohon pamit.

„ Dadang!“ teriakku di balik tirai kedai bubur ayam di pasar tikungan jalan tak jauh dari rumah nenek. Pagi itu aku ingin sekali makan bubur ayam. Kata nenek, bubur ayam yang paling enak di sini ada di pasar. Tentu aku igin sekali mencicipinya sebelum aku kembali pulang ke Surabaya malam nanti setelah dua minggu berlibur. Tak kuduga, niatku makan bubur ayam, malah bertemu dengan si Dadang. Pemuda itu menganggukkan kepalanya memandang ke arahku, lalu datang menghampiriku.
„Wah, nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini! Sudah sarapan? Yuk sarapan bareng,“ ujarku. Ia sempat menolak, tapi langsung saja kupesan semangkok bubur ayam ke penjaga kedai.
„Aa teh tiap pagi ka die?“ tanyanya dengan logat sundanya yang kental.
„Jangan panggil saya Aa atuh. Kayaknya kita seumuran, deh. Saya 20 tahun, kamu?“
„21,“
„Tuh kan, mestinya saya yang panggil kamu Aa“ kataku. Pemuda itu tersenyum dengan kekeh ringan.
„Waktu itu kamu kan pernah nanya, saya teh kerjana di mana,“ katanya menyambung percakapan.
„Iya,“ jawabku singkat. „Memangnya di mana?“
„Di die,“ jawabnya menunjuk pasar ini. Katanya, ia bekerja sebagai buruh angkut di pasar ini dari subuh hingga petang. Sudah hampir setahun ia bekerja mengangkut barang-barang dari dalam truk ke dalam pasar, atau membantu pembeli mengangkut barang kebutuhannya dari dalam pasar ke kendaraan. Meski kurus, namun Dadang adalah seorang yang kuat. Terbukti dengan seringnya ia memakul beras 20 kilo di salah satu pundaknya.

Setelah bercerita singkat tentang pekerjaannya sebagai buruh angkut, ia terdiam sejenak dan memandang sekeliling. Dari gelagatnya, pemuda itu terlihat kurang nyaman duduk di kedai ini di antara belasan pengunjung yang – mungkin menurutnya – terlihat lebih rapih dari pada dirinya. Ia mengenakan kaus bola berwarna biru-kuning bernomor punggung delapan, dengan celana panjang hitam. Akupun mencoba mencairkan suasana agar ia tidak lagi merasa kurang nyaman. Di sela-sela menikmati bubur ayam hangat, kami saling bercakap. Kuceritakan kalau aku datang dari Jakarta untuk berlibur selama dua minggu di Bandung. Walaupun aku orang Sunda, tapi lahir dan besar di Jakarta membuatku tidak menguasai Bahasa Sunda. Terlebih saat ini aku sedang berkuliah di salah satu universitas negeri di Surabaya yang justru membuat aku lebih fasih berbahasa Jawa. Ia mengerti, ia pun menggunakan Bahasa Indonesia untuk bercakap denganku, walau masih dengan beberapa patah Bahasa Sunda. Ia banyak sekali bercerita, dari tentang pasar ini, tentang kedai bubur ayam ini, tentang sejarah masjid dekat rumah itu, sampai tiba-tiba tentang adik perempuannya.

„Dulu teh di masjid itu ada TPA tiap sore. Adik perempuanku dulu juga belajar ngaji di ditu,“ katanya.
„Oh... Kamu punya adik perempuan?“ tanyaku.
„Iya. Satu orang,“ jawabnya.
„Siapa namanya?“
„Diah Pitaloka,“
„Lalu, dia juga di Bandung?“
Dadang menggeleng.
„Dulu iya. Sekarang dia tinggal di panti asuhan, di Tasikmalaya,“
„Panti asuhan? Memangnya kalian tidak tinggal bersama orang tua kalian?“
„...tidak, orang tua kami...“
Hening sejenak. Dadang tidak melanjutkan pertanyaannku dengan jawaban.
„Oh... maaf... saya kurang sopan menanyakan tentang keluarga. Lupakan sajalah...“ lanjutku. Pemuda itu menunduk, lalu tak lama mengadahkan kepalanya menatapku.
„Tidak apa-apa. semua orang di sini sudah tahu kok tentang keluarga saya. Kalau kamu bertanya ke nenekmu, pasti beliau juga tahu,“

Nenek tidak pernah cerita apa-apa kepadaku tentang masyarakat di sini. Pasti menurutnya tidak penting untuk diceritakan kepadaku. Saat aku menatap wajah Dadang, terlihat ada guratan kesedihan yang mendalam. Seperti ia telah mengalami suatu peristiwa yang memilukan dalam kehidupannya. Dan benar saja, Dadang, yang baru kukenal namanya dua hari itu menceritakan kisah kehidupannya yang kupikir hanya dapat ditemukan di layar kaca. Tapi tidak, ini kenyataan!

***

Sudah setahun terakhir ini Dadang tinggal dengan keluarga pamannya yang tak jauh dari rumah nenek. Dulu, Dadang dan adiknya tinggal bersahaja dengan kedua orang tuanya sebagai satu keluarga yang utuh. Garis keturunan tionghoa yang dimilikinya didapatkan dari ayahnya. Ayah dan pamannya memeluk agama Islam sebelum keduanya menikah dengan gadis sunda. Dadang sempat menjadi anak tunggal yang amat disayang dan dimanjakan ketika ia masih kanak-kanak. Dan ketika usianya menginjak sepuluh tahun, ia mendapatkan seorang adik perempuan bernama Diah Pitaloka. Namun kelahirannya harus dibayar dengan nyawa ibunya, yang meninggal saat melahirkan.

Tak lama, ayahnya menikah kembali dengan seorang wanita asal Lembang. Awalnya Dadang enggan menerima kehadiran ibu tiri dalam keluarganya, karena imej ibu tiri yang melekat di kepalanya adalah seorang yang sadis dan kejam terhadap anak-anak tirinya. Namun dugaannya salah. Ketika wanita bernama Trisnowati Kosasih itu resmi menjadi ibunya, ia justru mampu membesarkan Diah yang kala itu masih bayi. Mereka hidup sejahtera, berkecukupan, hingga datangnya saat itu.

Saat itu tahun 1999. Semua orang pasti tahu, tahun itu adalah tahun yang amat labil dalam perekonomian Indonesia setelah terjadi pergolakan politik dan ekonomi di tahun 1998. Saat itu Diah masih berumur lima tahun dan Dadang akan segera menamatkan pendidikan SMP. Keluarganya tak luput dari serangan krisis moneter, usaha katering ibu tirinya – yang mulai dirintis sejak menikah dengan ayahnya – terpaksa harus berhenti. Ayahnya pun dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja. Hidupnya yang dulu berkecukupan mendadak berubah total.

Karena harta itu milik Allah. Dia bebas mengambilnya kapanpun Dia mau.

„Ayah, Dadang tidak usah melanjutkan SMA saja. Biarkan Dadang bekerja untuk menambah uang kita,“ pinta Iwan kepada ayahnya. Permintaannya ditolak keras oleh ayahnya.
„Kamu mau kerja jadi apa? Kamu pikir saat ini mudah mendapat pekerjaan? Tidak, ayah tidak setuju. Betapapun sulitnya keadaan ekonomi keluarga kita, ayah akan tetap membiayai sekolahmu. Sekolah sampai tinggi,“ ujar ayahnya. Dadang terharu, dan saat itu bertekad akan meneruskan sekolahnya.

Pertengahan tahun 2000, Dadang diterima di SMAN 3 Bandung. Namun tak lama setelah itu ayahnya meninggal dunia akibat serangan jantung. Sejak saat itu, sekolah Dadang terancam. Di saat krisis keuangan yang merajalela, ia malah kehilangan orang yang menjadi tumpuan untuk membiayai segala keperluaannya. Sejak saat itu pula, ibu tirinya yang dulu penyayang, sekarang berubah menyeramkan. Tresnawati Kosasih menjadi dikenal sebagai sosok pemarah, sering uring-uringan, dan ringan tangan, terlebih kepada Diah yang kala itu masih berumur enam tahun.

Dengan sangat terpaksa Dadang harus putus sekolah. Ia merantau ke Sukabumi untuk mencari pekerjaan sebagai... entahlah... mungkin sebagai buruh, kuli bangunan, atau apa saja, yang penting ia, adiknya, dan ibu tirinya dapat menyambung nyawa.

Namun sungguh miris nasib Dadang, sekembalinya ke Bandung enam bulan kemudian, ia mendapatkan Diah tinggal di rumah pamannya – yang tidak jauh dari rumah nenek – dengan kondisi sangat memprihatinkan. Matanya lebam, wajahnya dipenuhi memar-memar, tubuh kurusnya banyak ditemukan bekas luka yang telah mengering, maupun yang malah berubah menjadi koreng bernanah. Bahkan ia sempat dilarikan ke rumah sakit akibat patah tulang tangan sebelah kirinya yang syukurnya tidak terlalu parah. Diah kini menjadi bocah yang apatis, yang takut bertemu dengan semua orang yang tidak dikenalnya. Mentalnya labil dan kadang suka menjerit tiba-tiba.

„Aa...“ katanya sepatah sambil berusaha melihat sang Aa dari balik mata kecilnya yang membengkak biru disertai dengan senyuman yang penuh perih. Diah berusaha menyambut kedatangan Aa yang dicintainya dan dirindukannya walau dengan rasa pedih di sekujur tubuh dan perasaannya yang belum juga hilang.
Dadang menangis, tak kuasa ia melihat seorang bocah perempuan di hadapannya menjadi seperti itu. Tangannya memeluk bocah itu kuat, sambil membelai rambut sebahunya yang tipis kemerahan.
„Siapa... siapa yang melakukan ini...“ tanyanya terbata-bata dalam larut buraian air mata. Paman dan bibinya saling berpandangan, sebelum akhirnya mengucapkan satu nama, „ibumu...“

***

Tresnawati Kosasih yang tega menyiksa dan membuang anak yang sejak bayi ia asuh. Ia pergi, pergi dengan menjual rumah beserta isinya peninggalan suaminya – ayah dari Dadang dan Diah. Pamannya sepakat untuk mengasuh Diah di rumahnya, walaupun kondisi keuangan keluarga pamannya pun sebenarnya bukan tergolong cukup untuk mengasuh tiga anak kandungnya, terlebih dengan kehadiran Diah. Namun, siapa lagi saudara dekat dari mereka berdua?

Dadang pun melanjutkan pencarian nafkahnya dengan merantau, kali ini ke Jakarta, bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Pernah Dadang ditawari untuk tinggal bersama nenek dari ayahnya, tapi ia tolak.
„Kenapa kamu tidak mau? Hidup bersama nenekmu kan enak, dia orang cukup, kamu bisa menyambung sekolah lagi, tidak perlu mencari uang,“ kata bibinya.
„Tidak bi, saya tetap tidak mau,“
„Masalahnya apa, kok kamu masih saja tidak mau? Apa karena nenekmu itu tidak seagama denganmu lalu kamu...“
„Bukan, bi, bukan. Saya tidak mempermasalahkan perbedaan agama kami. Saya percaya, baik muslim maupun nonmuslim dapat hidup berdampingan dengan damai di negara ini. Tapi saya tidak ingin malah merepotkan mereka, bi. Saya tidak ingin mendapatkan kebahagiaan semu. Biar saya dan Diah begini. Biar saya dan Diah tidak dikasih makan, tidak dikasih ongkos, pakaian baru atau apapun, asalkan kami tetap diijinkan tinggal di sini, bi,“

Diah yang belum bersekolah, dimasukkan ke TPA masjid itu karena di sana tidak dipungut bayaran. Alhamdulillah, Diah kini sudah bisa membaca Al-Qur’an, membaca huruf latin, dan berhitung. Namun tak lama kemudian, masjid itu tidak lagi mengadakan TPA, alasannya karena kekurangan tenaga pengajar. Dadang masih ingat, ketika di sebuah sore ia menelepon ke rumah pamannya dari Jakarta.
„Punten, memangna saha yang mau membawa Diah?“ tanyanya.
„Kemarin ada seorang peremuan berkerudung datang. Katanya dia pernah mendengar cerita tentang Diah. Ia pun ingin membawa Diah ka Tasik, di sana ada panti asuhan dengan sekolahannya, gratis. Biaya hidupna sudah beres ditanggung. Di sini kan Diah sudah tidak ke TPA lagi. Kumaha? Dadang setuju, teu?“ jawab pamannya dari balik telepon.
Dadang menyadari, ia juga tidak ingin memberatkan pamannya. Mungkin panti asuhan adalah tempat yang tepat untuk Diah, yang memang sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Dadang pun akhirnya menyetujui kepergian adiknya, terlebih di sana adiknya dapat kembali bersekolah dan mengenyam pendidikan.

Keesokan paginya, Dadang sudah berada di Bandung untuk mengantar kepergian adiknya. Setahun tidak bertemu, kini Dadang hanya diberi kesempatan sesaat untuk melihat Diah sebelum kembali datang perpisahan di antara mereka berdua. Diah kini sudah terlihat ceria, tidak seperti yang dulu. Kini ia mulai berani bertemu dengan orang yang tidak dikenalnya sambil memberikan senyum manisnya. Diah mencium tangan Aa-nya saat bertemu, yang membuat sang Aa tak kuasa menahan air mata harunya. Diah terlihat gembira mengenakan baju dan roknya, menggendong tas ranselnya, memakai sandal jepitnya, dan mengenakan kerudung bekas TPA-nya dulu.
„Aa, Diah mau ka Tasik, Diah mau belajar, supaya pintar seperti Aa...“ kata anak berumur tujuh tahun itu.
Dan wanita yang dikatakan pamannya datang, dia adalah pengurus salah satu lembaga sosial masyarakat yang peduli tentang masalah perlindungan anak. Tak lama ia pamit, membawa Diah masuk ke dalam mobil kijang peraknya. Dadang dan Diah saling berpandangan di balik kaca mobil, dan kepura-puraan Diah untuk terlihat tegar pun berhenti, tangis bocah perempuan itu pecah melihat wajah Aa Dadang yang memandanginya penuh harap dan cemas.
„Aa...!“ tangannya melambai dalam tangisnya.

***

„Dan sejak itu, saya tetap bekerja di Jakarta. Namun tahun kemarin saya diberhentikan dari pekerjaan saya, jadilah saya pulang ke Bandung, menetap bersama keluarga paman. Alhamdulillah, di pasar ini ada kerjaan juga untuk saya,“ lanjut ceritanya.
Aku masih menatapnya, mendengarkan seluruh rentetan ceritanya. Betapa jauh lebih beruntung aku. Terlampau banyak nikmat yang kudapatkan dengan mudah tapi... betapa mudahnya kudustakan. Tapi aku yakin, Allah Mahaadil, seberat apapun perjuangan hidup Dadang, pasti ia mendapatkan balasan atas kesabarannya.
„Hmm... Putra? Putra?“ panggil Dadang sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku. „Kamu melamun, ya?“
„Eh, nggak kok, saya terlalu larut dalam ceritamu,“ jawabku. „Saya salut terhadapmu, kamu masih bersabar dan tidak menyerah menghadapi hidupmu,“ tukasku.
„Selama kita ikhlas, insya Allah kita bisa mendapatkan kesabaran,“ jawabnya.
Dan aku makin mengagguminya.
„Baiklah, saya harus kembali bekerja. Hatur nuhun atas sarapannya,“
„Tunggu, Dang,“
„Iya?“
„Malam ini saya kembali ke Surabaya. Bisa kita bertemu lagi?“
„Insya Allah, seperti biasa, di masjid dekat rumah nenekmu,“

***

Maghrib ini Dadang tak datang. Aku berharap bisa bertemu lagi dengannya. Beberapa menit yang lalu ibuku mengirim sms, katanya, Pak Tarso baru saja berangkat dari Jakarta untuk menjemputku dan mengantarku malam ini ke Surabaya.

Dan saat adzan Isya berkumandang, ia belum juga datang. Kuberjalan ke arah pasar di tikungan jalan itu, dengan harapan aku melihatnya. Ternyata tidak.
„Putra!“ teriak sebuah suara dari belakangku. „Maaf, maghrib tadi saya shalat di jalan, baru selesai mengantar barang. Saya pikir kamu di masjid, eh saya malah lihat kamu berjalan ke arah pasar,“ ujar Dadang dengan nafas tersengal-sengal. Aku tersenyum.
„Tidak apa-apa. Saya senang masih bisa berpamitan dulu ke kamu,“
„Saya juga senang bisa bertemu kamu dan berbagi cerita dengan kamu,“ katanya.
„Ya...“ sahutku pelan. „Kamu telah memberikan saya pelajaran melalui kisah hidupmu, yang membuat saya tahu lebih dalam tentang kesabaran, semangat, dan rasa syukur. Hatur nuhun,“
„Sami-sami. Begitulah kehidupan saya. Wilujeng sumping di kehidupan nyata,“
„Dang, saya tidak tahu, jika saya kembai lagi ke sini, apakah saya masih bisa bertemu denganmu,“ ucapku.
„Wallahualam,“ jawabnya singkat.
„Tapi kita tetap akan menjadi teman. Hanya satu pesan yang ingin saya sampaikan ke kamu. Tetaplah di jalan Allah. Itu saja. Tetaplah bersama Allah,“
Dadang mengangguk dan tersenyum ke arahku.

Sebelum aku pulang, kami menuju ke masjid itu yang mulai ditinggali oleh orang-orang yang baru selesai melaksanakan shalat Isya. Kami shalat berjamaah, Dadang menjadi imam. Lantunan suaranya membacakan ayat-ayat Allah sangat indah dan tenang, seolah tidak terjadi apa-apa dalam hidupnya. Seperti katanya, wilujeng sumping di kehidupan nyata, dengan berbekal ikhlas, maka kita akan menjadi sabar dan dapat menjalankan hidup tanpa putus asa walaupun dalam kondisi yang sulit.

Dadang, si pemakai kaus bola berwarna biru-kuning dengan nomor punggung delapan, melambaikan tangannya mengiringi akhir liburanku yang singkat di Bandung.

Jakarta, 14 September 2006
Mushab Syuhada