Saturday, May 16, 2009

Cinta vs Benci dari Gang Haji Nawi

Cinta vs Benci dari Gang Haji Nawi
Oleh: Dimas Abdirama

Gang Haji Nawi emang panas! Emang sempit! Emang banyak mas-mas tengil (masteng) yang nongkrong terus seharian kagak ada kerjaan sambil main gitar gonjrang-ganjreng. Paling malas deh kalau harus melewati gang Haji Nawi. Tapi mau bagaimana lagi, satu-satunya jalan dari rumah ke masjid cuma bisa lewat gang itu. Terpaksa deh suka nggak suka harus disuka-sukain. Kan aku ketua keputrian masjid (baru kepilih lho minggu kemarin) yang punya program seabrek-abrek untuk masjid, jadi aku sering beraktivitas di sana sepulang kuliah.

Yang bikin aku tambah sebel, sejak dua bulan ini di masjid ada seorang pengurus baru. Ya, bisa dibilang penjaga masjid deh yang tiap malam mengisi kajian untuk bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak muda, dan anak-anak kecil. Orangnya sih biasa, tampangnya standar banget lah (masih gantengan si Ucok), bisa dibilang murah senyum dan ramah, tapi aku melihatnya kayak ada udang di balik bakwan, eh salah deh! Di balik batu! Soalnya, aku pernah mendapatinya sedang ngelirik-lirik aku. Pas ketahuan mata ketemu mata, dia pura-pura menundukan pandangannya. Huh nggak gentle amat sih!



„Sebel deh, sok ganteng amat sih Mas Arif itu!“ aku ngomel ke Riska yang baru aku angkat jadi sekretaris keputrian.
„Emang ganteng kok, mi“ jawab Riska santai. Dari dulu aku dipangil ‚mami’ sama cewek berjilbab itu.
„Ganteng dari mana? Ganteng dari Hong Kong!“ ujarku sewot.
„Maksud aku, ganteng akhlaknya, mamiiii. Lihat deh, setiap ketemu sama orang pasti dia senyum, mengucapkan salam, dia juga sering bantu-bantuin orang. Banyak yang suka kok sama dia,“ jawab Riska.
„Tapi orangnya nggak bisa diajak ngomong!“ balasku cepat.
„Maksud mami?“
„Iya, aku kan nanya di mana tempat kertas-kertas dan alat tulis, eh dia cuma bilang di lemari doang!“
„Emangnya dia harus jawab apa lagi, mi?“
„Ya dia bilang apa kabar dulu kek, dari mana kek, mau diambilin atau nggak kek! Pelit ngomong amat sih!“
„Lho, kan mami cuma nanya di mana tempatnya, nggak minta diambilin kan mi? Mamiii... mamiii... hati-hati lho mi, batas antara cinta dan benci tuh tipis,“ sambarnya sambil nyengir.

Saudara-saudara, kalau belum tahu bagaimana rupa si Mas Arif itu, nih aku gambarin: tingginya sekitar 175-an, nggak kurus tapi nggak gemuk (sedeng lah), kulitnya cokelat, rambutnya lurus, kemana-mana pakai baju koko yang wangi sabun pencuci pakaian, bawahannya celana bahan hitam, sandal kulit, suka TP (tebar pesona, habis semua orang disenyumin), pandangannya teduh, gaya hidupnya sederhana, masih bujang, dengar-dengar orang tua dan kakak-adiknya tinggal di Garut, di sini dia ngontrak di gang Haji Ipul (seberangnya gang Haji Nawi), alim sih, wawasan Islamnya luas, ngajinya bagus, suka nolong orang, tapi ya itu, suka jual mahal ke aku!

Malam itu sehabis salat isya di masjid aku ketemu Mas Arif lagi. Sempat bimbang mau menyapa atau nggak. Setelah terjadi pergulatan hebat di dalam kepala (antara pendukung menyapa dan pendukung cuekin aja), aku memutuskan menyapa dia.

„Assalaamu’alaikum!“ sapaku setengah berteriak. Mas Arif sepertinya kaget sambil menoleh ke arahku.
„Wa’alaikumussalaam,“ jawabnya singkat. Lalu tersenyum. Lalu pergi. Arrrgghh! Gregetan deh! Makin sebel aja aku sama dia!

***

Seperti biasa, setiap hari Sabtu sore, kami pengurus keputrian mengadakan rapat program kerja. Setelah rapat usai, Mbak Dewi, ustadzah gaul pembina keputrian kita, menghampiriku.

„Say, kamu umurnya berapa sih?“ tanya Mbak Dewi. Kalau Riska manggil aku mami, Mbak Dewi memanggilku ‚say’ (dari kata ‚sayang’).
„22, mbak,“ jawabku.
„Kuliah sudah mau lulus?“
„Tinggal skripsi, mbak. Memangnya kenapa mbak?
Mbak Dewi tersenyum. „Begini, ada yang nitip surat buat kamu lewat mbak. Nih!“ sahutnya sambil menyodoriku amplop putih yang pinggirannya ada garis-garis merah-biru selang-seling (masih ingat kan? Itu lho amplop khas yang biasa dibeli di warung-warung) .
„Dari siapa, mbak?“ tanyaku standar (ya iyalah, pasti kalau dikasih surat yang nggak ada namanya, kita akan bertanya dari siapa).
„Baca saja sendiri, biar surprise. Nanti kalau sudah dibaca, beri tahu jawabannya ke mbak yah say.“

Aku makin penasaran, surat apa sih yang dikasih Mbak Dewi barusan? Daripada makin penasaran, aku buka saja surat itu ketika perjalanan pulang lewat gang Haji Nawi. Ditemani suara falls dan gonjrengan gitar dari para masteng yang lagi mangkal di sana, aku terkejut nggak karu-karuan: surat dari Mas Arif!! Isinya panjaaaaang banget! Intinya sih dia minta kenalan sama aku supaya nanti nggak seperti memilih kucing dalam karung untuk menentukan pasangan hidupnya! HAHHH??!!

Aku nggak habis pikir! Mungkin Mas Arif sudah gila kali ya?! Ternyata benar dugaanku, dulu dia pernah ngelirik-lirik aku, ternyata dia suka sama aku! Sampai ngajak kenalan dan langsung bilang mau dijadikan pasangan hidup segala, PD banget yaa, tapi tetap dia nggak gentle, beraninya cuma lewat surat doang, kalau ketemu langsung cuma bisa nunduk-nunduk aja!

Memangnya dia pikir aku bakalan mau menerima ajakan kenalannya? Nggak lah yaaawww!!

***

„Bagaimana say, mau nggak mbak bantu kenalkan ke Mas Arif?“ tanya Mbak Dewi yang ceritanya lagi jadi mak comblang.
„Kita sudah saling kenal kok mbak,“ ujarku sambil merengut.
„Bukan itu, maksud mbak, kenalan yang lebih dalam lagi gitu lho say.“
„Nggak ah mbak, aku nggak mau,“ jawabku sekenanya.
„Benar nih? Nggak menyesal? Mas Arif itu orangnya kan baik dan soleh. Gitu-gitu dia lulusan Jerman lho! Pernah dapat beasiswa. Gelarnya aja Dipl.Ing, kayak Habibie,“
„Ah yang benar mbak?“ tanyaku kaget. „Kalau lulusan Jerman kok tinggalnya di kontrakan? kayaknya dia nggak pernah pakai jas atau pakai dasi deh. Penampilannya sama sekali nggak memperlihatkan kalau dia bergelar... apa tuh mbak? Dipel ing ing yah mbak?“
„Say, ada dua hal yang mau mbak katakan. Pertama, rejeki kan di tangan Allah. Biar lulusan Jerman, Jepang, Amrik, biar usaha bagaimana pun kalau belum dapat rejeki yah apa mau dikata? Kedua, Mas Arif itu sekarang sedang bekerja di sebuah perusahaan sebagai konsultan IT. Memang tidak ada yang menduganya karena penampilannya yang sederhana. Apalagi kamu say, kenalan saja juga belum.“
„Hmm... iya sih mbak... tapi sepertinya aku tetap tidak mau mbak... maaf yah mbak...“ jawabku.

***

Semenjak kejadian surat itu, sikap Mas Arif kepadaku sama saja. Biasa-biasa saja. Sama sekali tidak canggung atau gugup seolah-olah tidak ada yang telah terjadi. Ia tetap terlihat bersahaja, sering mengisi pengajian bapak-bapak, taklim ibu-ibu, kajian kepemudaan, bahkan sampai taman pendidikan Al-Qur’an buat anak-anak. Keramahan dan kemurahan hatinya telah menjadi buah bibir di masyarakat. Di mana-mana pasti Mas Arif dicari. Ada undangan khitanan, Mas Arif disuruh baca doa. Ada bakti sosial, Mas Arif yang sibuk mengakomodir massa. Ada yang pindah rumah, Mas Arif ikutan bantu-bantu mengangkat barang. Ada banjir di gang Haji Nawi (sebenarnya cuma becek sedikit sih gara-gara hujan semalaman), Mas Arif yang terdepan mengeruk selokan. Pokoknya, ada hal apapun, panggil Mas Arif saja!

Aku sering memperhatikan diam-diam cara Mas Arif mengisi taklim di masjid, ternyata dia punya pesona juga. Entah namanya pesona atau aura, pokoknya enak dipandang dan enak didengar deh. Senyumannya, tatapan mata teduhnya, gestur tubuhnya, memang dia tidak ganteng tapi dia memikat! Wah gawat nih! Aku kan sebel sama Mas Arif! Jangan sampai ucapannya si Riska menjadi kenyataan bahwa batas antara benci dan cinta itu tipis!

Hari berganti hari, kenapa aku menjadi makin sering mikirin Mas Arif yah? Wah bisa berabe nih.

Malam itu seperti biasa aku menyiapkan bahan mading masjid untuk minggu depan, saat aku sedang memakai sepatu untuk kembali ke rumah, tiba-tiba ada yang menegurku.

„Assalaamu’alaikum!“

Ternyata itu suara Mas Arif! Aku tersentak agak kaget, seperti biasa, dia hanya tersenyum lalu pergi. Tapi senyumannya kala itu, kenapa bisa bikin aku deg-degan ya? Kenapa seolah-olah kejadian itu berjalan seperti slow motion ya? Kayaknya aku tahu deh, aku mulai naksir sama Mas Arif! Ya Allah, bagaimana ini? Aku kan nggak mau sama Mas Arif, ajakan kenalannya saja sudah ku tolak, tapi kenapa Engkau menghadirkan rasa ini di hatiku?

***

„Mamiii, kok kurusan mi? Lagi diet atau banyak yang dipikirin nih mi?“ kata Riska nakal di telingaku.
„Hush, jangan buat gosip ya ris,“ ancamku.
„Beneran deh, mami kurusan. Mami juga lebih pendiam dari biasanya. Ada apa sih mi? Lagi naksir seseorang yaa?“ lagi-lagi si Riska nakal mau tahu saja.

Ya, Riska benar. Mungkin aku kurusan karena memikirkan Mas Arif. Mungkin aku lebih pendiam karena memikirkan Mas Arif. Aku menyesal, mengapa dulu aku tolak ajakan taaruf dari Mas Arif? Seandainya saja dulu aku menerimanya, mungkin beberapa bulan ke depan aku sudah menikah dengan Mas Arif. Tapi semuanya sudah terlambat bukan? Bisa jadi saat ini Mas Arif sudah menemukan calon pendampingnya.

„Sudah lah mi, kalau mami memang serius, mami minta tolong Mbak Dewi saja untuk mempertemukan mami sama Mas Arif,“ ujar Riska tiba-tiba.
„Lho Riska?! Kamu tahu dari mana?!“ tanyaku terkaget-kaget. Kok bisa Riska tahu perihal rencana perkenalan aku dan Mas Arif dan tahu siapa yang aku pikirkan saat ini?
„Siapa dulu dong, Riskaaaa,“ katanya sambil menyengir.

Aku memang sudah menulis sebuah surat yang sama seperti surat Mas Arif dulu, intinya mau mengajak Mas Arif berkenalan, dan surat ini akan ku titipkan ke Mbak Dewi. Tapi kuurungkan niatku, aku malu, dulu aku pernah menolak ajakannya, masa sekarang aku menjilat ludahku sendiri? Dulu aku pernah sebel sama dia, kok sekarang malah jadi suka?

Seminggu, dua minggu, tiga minggu, kubiarkan surat itu di dalam tasku.

***

Aku diberi tahu ibuku, katanya Mas Arif akan meninggalkan Jakarta dan kembali bergabung dengan orang tua dan kakak adiknya di Garut. Ketika aku tanyakan ke Mbak Dewi dan Riska, mereka membenarkan hal itu. Hari Minggu siang, sesaat sebelum Mas Arif akan pergi, di masjid kami diadakan acara pelepasan kecil-kecilan. Aku turut hadir di sana sambil membawa surat untuknya yang masih tersimpan di tas selempangku. Mungkin hari ini saatnya aku menyerahkan surat itu langsung kepadanya, tanpa perantara Mbak Dewi.

Heran, hampir semua orang yang hadir di sana menangis karena akan berpisah dengan Mas Arif. Malah sampai ada yang menangis tersedu-sedu seolah tidak akan bertemu Mas Arif lagi selama-lamanya. Mereka mendoakan Mas Arif kesehatan dan perlindungan dari Allah. Memang, kalau ada orang baik pergi, pasti yang sedih banyak. Rasa sukaku pada Mas Arif makin membuncah. Biarlah ia pergi ke Garut, tapi kalau ia sudah membaca suratku, aku yakin pasti jarak Garut-Jakarta akan ia lalui, batinku dalam hati sambil tersenyum-senyum sendiri.

Dan saat itu pun tiba. Mas Arif terlihat sedang bersalam-salaman, berpelukan dengan air mata yang menganak sungai. Mobil kijang hitam yang dibawa Pak Dede sudah siap mengantar Mas Arif dan bawaannya ke terminal bis Pulo Gadung. Aku menggenggam sepucuk surat itu erat-erat, kulangkahkan kakiku mendekat ke arahnya, sampai aku di depannya, ia menoleh dan menatapku lembut seraya tersenyum.

„Mas Arif, selamat jalan ya!“ sahutku. Surat itu masih ku genggam. Aku masih urung menyampaikan kepadanya! Bahkan di menit-menit terakhir seperti ini. Tanganku seperti terkunci rapat, tak bisa bergerak!
„Terima kasih, Raras. Maafkan kesalahan-kesalahan Mas Arif yah. Sampai bertemu lagi insya Allah...“ jawabnya sambil terus tersenyum.

Dan aku masih membisu. Hanya menatapnya penuh haru. Dan surat itu masih tergenggam di antara dekapan jemariku.

Mobil Kijang itu melaju. Ibu-ibu majelis taklim yang biasa diisi oleh kajiannya Mas Arif masih menangis tersedu-sedu.

„Sayang yah, masih muda, anaknya baik, soleh, tapi umurnya pendek,“ ujar salah seorang ibu kepada rekannya.
„HAHH?!“ tanyaku dalam hati. „Umurnya pendek?!“ tanya ibu yang lain.
„Dek Arif itu terkena kelainan Jantung. Baru diketahui akhir-akhir ini. Dokter memvonis usianya paling lama tinggal dua bulan lagi. Makanya dia memutuskan pulang ke Garut supaya bisa bersama-sama keluarganya dan dikebumikan di sana,“ ujar ibu itu menjelaskan ke ibu yang lain.

Aku tak percaya! Benar-benar tak percaya!

„Padahal Dek Arif itu masih bujang lho. Belum ada yang mau menikah dengannya,“ kata ibu itu lagi.

Benarkah itu?! Jika benar, berarti pertemuan tadi adalah pertemuan terakhirku dengan Mas Arif di dunia ini!

Aku tatap sepucuk surat yang urung kusampaikan di genggaman tanganku. Air mataku meleleh.

***

Hanya beberapa hari kemudian, kami mendapat kabar bahwa Mas Arif sudah meninggal dunia di Garut. Di masjid kami diadakan salat gaib untuk kepergiannya. Kepergian cintaku pada sosok sederhana itu.

Berlin, 15 April 2009.
FLP Jerman.

11 comments:

Anonymous said...

Ach so ini toh mas ceritanya....
Bagus banget mas =D
Alhamdulillah....

koq bisa 'pas' sama shout out saya hari ini di face book yah???

Dimas Abdirama said...

thanks, semua kejadian hanyalah fiktif belaka, kalau ada kesamaan, penulis nggak tanggung jawab ya.

Anonymous said...

hai hai wakatta =D

Ummu Hudzaifah said...

such a nice story you have, mas :)
btw copyrightnya mana??? itu Riska Barokah bukan ya? :)))))

Lg,
Riska

Putri said...

Kok, ya, ceritanya mirip 2 ama yang 'nulis', ya ?
he..he...

Dimas Abdirama said...

@ Riska: Hmmmm... saya namain Riska Barokah aja deh, hehehe

@ Putri: Wah, kayaknya nggak ada kemiripannya sama sekali deh sama yang nulis..

Anonymous said...

Buat mami: 'Sebaiknya dibeli di toserba bernama TEMPAT IBADAH,
walaupun agak jual mahal tapi mutunya terjamin.'

Lagi iseng-iseng cari resep, terus nemu resep kue cinta, hehehehe
penasaran saya baca deh. Kalimat yang diatas kutipan dari tips membuat kue cinta :D

Dimas Abdirama said...

Kok banyak yang anonym ya di komentar tulisan ini? Jangan takut atuh sama saya :-)

Nurry Maulida Raraswati said...

Kak Dims, saya kalau baca cerita ini jadi ketawa terus, lucu hehe

Kecuali Ending-nya, sedih aja...
Maminya gak jadi nikah deh sama mas Arif, hehehe

Dinar Khomsah said...

aduuuh gang haji nawi, jd inget sama yg tinggal dstu. jgn2 latar ceritanya kan ada masjid2 nya tuh yg dpn nya ada tukang bakso bukan biasa di panggil si jawir ;p

Dinar Khomsah said...
This comment has been removed by the author.