Tuesday, February 09, 2010

Anjangsana

Anjangsana
Oleh: Dimas Abdirama

[Geming]

Aku memang seorang muslimah, namun bukan itu baju yang ku kenakan. Sejak aku tinggal bersama kekasihku di kota mahaindah ini, aku telah membuka mata bahwa agama hanyalah sebuah alat pengotak-kotak, apapun bentuknya, bisa hati, bisa pemikiran, bisa pergaulan, bisa juga pertemanan. Jika saja Tuhan bisa membuka mata samudra yang luasnya membentang dari timur ke barat lalu dari utara ke selatan, mengapa tidak bisa kubuka lebar-lebar mataku? Matamu? Mata orang-orang itu?

Siapa yang sangka, seorang anak sampah yang dulu tidak punya nilai apa-apa kini bisa menjadi dosen kenamaan di École des hautes études en sciences sociales, Paris. Aku juga beranjak menjadi seorang aktivis dari sebuah organisasi besar La Femme yang kerap diundang mengisi berbagai talk show di layar kaca. Sebulan sekali tulisanku terbit dalam kolom budaya The New York Times mengulas masalah-masalah kemanusiaan di dunia.

Tak ada yang tak mengenalku, Neng Geulis, setidaknya di kota ini. Café et Boutique yang aku kembangkan sendiri di Rue de Berri telah berkembang mahsyur sebagai bagian dari pusat mode dan pusat pertukaran pemikiran. Harta dan nama yang aku dapatkan sampai saat ini bersumber atas pengorbanan, cinta dan perhatian dari kekasihku, paruh nafasku, bongkah rapuh tulangku, Constantin Metzner-Rodriguez.



Semuanya berjalan sempurna, sebelum aku bertemu dengan pemuda tanggung itu, di dalam Metro Ligne 7, di Corentin Cariou, sebelah utara kota Paris. Sang pemuda yang sepertinya baru saja menyelesaikan Baccalauréat tampak begitu bercahaya. Tidak biasa, wajah peralihan dari imutnya anak-anak menuju tampannya seorang pria begitu sejuk terpancar dari kebersihan auranya. Sampai tak terasa tas jinjing yang aku genggam terlepas sementara sepasang mata ini masih takjub memandang dirinya.

„Pardon, madam...“ itulah suara merdu pertama yang kudengar. Ia meraih tas jinjingku dan memberikannya kepadaku, membuyarkan detik-detik lamunan penuh takjubku. Ia tersenyum, aku memerah. Terdiam.

“Merci…” kata itupun akhirnya terucap juga setelah sekian lama aku membatu. Pemuda itu tersenyum ramah dan menanyakan apakah aku baik-baik saja. Itulah kali pertama pertemuanku dengannya. Ia bernama Ali, dalam tubuhnya mengalir darah Perancis dan Afghanistan. Ia mengenakan kufiyet kotak-kotak, berjaket kulit dan bercelana kain. Benar dugaanku, ia masih duduk di bangku sekolah dan sedang mempersiapkan Baccalauréat beberapa bulan ke depan.

Jangan beranggapan bahwa aku yang sudah memasuki usia 30 tahun akan jatuh hati pada seorang pemuda tanggung berumur 18 tahun. Tidak, tidak mungkin, lagi pula cintaku pada Constantin sudah begitu melekat kuat sampai pada sekat antardaging di tubuh ini. Perasaan dan desiran tadi hanyalah karena… entahlah… karena sesuatu yang… jika boleh aku katakan – mungkin geming. Cahaya dan aura anak itu tidak aku dapatkan dari lelaki manapun yang aku kenal. Sesuatu itu begitu memikat, namun hanya bergeming, seolah terjaga oleh sesuatu yang teramat suci dan tidak sembarang orang dapat merengkuhnya.

Ali bilang ia akan turun di setasiun Place Monge. Sesaat setelah metro ini melintasi Gare d’Est, aku memutuskan untuk mengajaknya ke tempatku di Rue de Berri, di wilayah l’avenue des Champs-Élysées yang berdekatan dengan l'Arc de Triomphe. Aku menjanjikannya secangkir latte macchiato dan sepotong croissant keju terlezat seantero Paris dengan pemandangan menakjubkan ke arah menara Eiffel yang jika senja mengeluarkan nyala-nyala yang luar biasa. Ia tak tertarik, menggubrisku dengan tawaran-tawaran itu. Aku masih ingin bersama dengannya, menyerap auranya yang tak habis-habis aku nikmati. Boleh aku ikut denganmu kemana kamu akan pergi?

Ia beranjak keluar, aku membuntutinya pelan-pelan. Wahai geming itu, kemana kakimu akan menjejak? Mungkinkah ke sebuah tempat semacam pabrik yang dapat mengubah citra seseorang menjadi sebegitu bercahaya seperti dirimu? Dari balik tubuh orang-orang yang berjejalan itu aku berdiri, mengawasimu rekat terhadap setiap gerak badanmu. Dan sampailah aku pada tempat itu… Sebuah tempat di Rue Georges-Desplas, sebuah tempat yang membuatku terperanjat. Tidak! Aku harus menahan langkahku! Kali ini aku harus menahan diriku untuk mengikutinya ke tempat itu… karena itu artinya sama dengan aku memasuki jurang kemelut yang didalamnya berenang-renang buaya-buaya pemangsa yang ganas. Aku tertahan, menahan diri, bergeming di tepian belokan jalan, mengintip sesosok itu yang makin menghilang dari pelupuk mata, masuk ke dalam pabriknya di sana, di la Grande Mosquée de Paris.

[Renjana]

“Con calmo!!” hentakku ke supir taksi di sebelahku tatkala mobil kami hampir saja menghantam sebuah truk besar dari arah yang berlawanan. Sungguh semrawut kota ini. Roma memang keras, sekeras guratan sejarah yang masih berdiri gagah di atas tanahnya. Aku pun tak yakin apakah kendaraan yang aku tumpangi ini benar-benar sebuah taksi karena dari tampilan mobilnya lebih terlihat seperti kendaraan pribadi. Sejak menginjakkan kaki di bandara, di mana-mana memang sudah tertampang berbagai peringatan yang meminta para turis berhati-hati terhadap taksi gadungan yang bertebaran di halaman parkir.

„Cazzo!“ lelaki itu berserapah, sebuah bus lewat begitu saja di hadapan kami. Jantungku sudah tak karuan berdegup dan berdetak, bersiap kalau-kalau aku harus merenggang nyawa di jalanan kota ini. „Hey! Vafanculo!“ teriaknya lagi sambil membuka jendela dan mengeluarkan kepalan tangannya sambil diacungkan tinggi-tinggi, lalu disambut dengan gaungan klakson yang membahana.

„Sorry…“ ujarnya ke arahku dengan nafas yang menderu. Ia paksakan tersenyum, wajah khas mediterania dengan rambut-rambut tipis dari pipi sampai ke dagunya dipenuhi peluh. „jangan takut, saya antar kamu ke tempat tujuan dengan selamat,“ sahutnya menenanganku.

Ia melanjutkan kemudi kendaraan ini dengan mata kosong yang melayang, namun tetap memiliki reflek yang luar biasa dalam menghadapi maut yang siap menerjang tak terduga. Seperti terlatih. Aku merasa tenang, entah mengapa aku bisa mempercayai janjinya untuk mengantarkanku selamat sampai tujuan walaupun aku sadar aku telah tertipu dengan taksi gadungan ini.

„Carlos,“ ia menyebut namanya sambil menyodorkan tangan. Kujabat erat, „Hamka,“ balasku. „You are from…“ ia berupaya menebak. Indonesia, langsung kujawab tanpa harus menunggu tebakannya. Ia termanggut-manggut pelan seperti mencerna atau menghubungkan sesuatu di kepalanya.

„Kamu muslim?“ tanyanya. Aku mengangguk.
„Dari mana kamu tahu?“
„Dari sinarmu. Aku tahu, Indonesia adalah negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia…“ lanjutnya. „Kamu terlalu lucu dengan rambut-rambut di dagumu itu! Jenggotmu hanya beberapa helai saja, tak cocok menjadi janggut! Lihat punyaku!“ serunya sambil mengusap-usap dagunya, „yang seperti ini baru berpeluang menjadi janggut lebat!“ selorohnya, lalu disambut dengan tawa lepas kami.

Perjalanan dari bandara Leonardo da Vinci menuju tujuanku di wilayah Parioli cukup jauh, membelah dari selatan ke utara kota Roma, melalui jalan-jalan besar serupa kota Jakarta dengan hangat matahari khas laut tengah yang lembut, melintasi jejeran pohon zaitun dan pohon tusam yang menjulang ke langit, melewati gedung dan bangunan tua peninggalan sejarah kekaisaran romawi yang menganggumkan, menjamah gang-gang kecil kota ini yang teramat manis. Setiap sudut kota ini seolah bercerita tentang pengalaman-pengalaman yang telah mereka lihat, serupa dengan cerita Carlos sepanjang perjalanan yang mendebarkan itu.

Ia bercerita bahwa ia baru dipecat dari tempat kerjanya tiga bulan yang lalu. Istrinya masih terbaring koma di rumah sakit karena kanker payudara sementara ia mati-matian memenuhi biaya pengobatan isterinya yang tak lagi bisa ditalangi asuransi negara. Orang tuanya sudah meninggal dunia. Ia belum memiliki anak. Keluarga besarnya menjauhi dirinya karena alasan-alasan yang tidak ingin ia sampaikan. Satu-satunya sanak saudara yang ia miliki adalah adik tirinya yang sedang berada di Paris dan berprofesi sebagai seorang diplomat.

„Di mana kamu tinggal?“ tanya Carlos di sela-sela ceritanya.
„Berlin,“ jawabku.
„Berlin?!“ tanyanya lagi penuh keterkejutan. Mata cokelatnya merenggang. „Adik tiriku itu juga orang Berlin! Dia akan kembali lagi dari Paris ke sana bulan depan! Eh, tunggu... kamu bilang kamu dari Indonesia...?“

Aku mengannguk. „Que bella!! Pacar adik tiriku itu juga orang Indonesia! Betapa sempitnya dunia ini! Sebentar, aku masih punya fotonya...“ ia merogoh-rogoh laci di depanku kemudian ia menepuk bahuku keras-keras seperti orang yang telah berteriak BINGO! „Ini... kamu bawa saja foto ini, siapa tahu bulan depan kamu bertemu dengan mereka di Berlin. Nanti aku tuliskan nomor teleponnya.“

Kutatap foto itu, dua lelaki yang serupa namun tak sama. Satu berkulit gelap, satu berkulit putih, serta seorang perempuan cantik berambut sebahu. „Adikku itu bernama Constantin, kata orang Jerman, der erste römische christliche Kaiser. Dan pacarnya itu bernama Neng Geulis,“ ujarnya.

Perjalanan ini berhenti saat aku sudah sampai di tujuan. Di hadapan kami berdiri bangunan megah dengan warna pastel kekuningan. Sebuah minaret menjulang di sebelahnya. Carlos menatap bangunan itu dengan raut wajah yang turun, seperti menggenggam sebuah kesedihan yang tak terperi. Lelaki itu memang membutuhkan seorang teman sebagai tempat untuk menyandarkan beban hidupnya yang teramat berat. Namun siapa teman itu?

„La Moschea di Roma... Hey, boleh aku ikut ke dalam?“ tanya Carlos usai menerima uangku. „Nampaknya aku menemukan tempat di mana aku harus mencari jiwaku...“

Aku tertegun sesaat setelah mendengar cetusan Carlos barusan. Kata-kata tadi terdengar penuh dengan renjana yang tertahan, yang jika aku izinkan maka renjana itu akan mampu meledak-ledak luap.

„Ah! Lupakan! Maaf, aku tak ingin mengganggu acaramu...“ sahut Carlos melemah.
„No! Silahkan! Aku memang ada program di masjid ini, tapi tentu kamu boleh ikut masuk kesana! Ayo!“ ajakku.

Ia memangdangiku tak percaya. Kupertegas dengan anggukan kepalaku. Rautnya pun berganti, bagai induk yang menemukan anaknya, renjana di wajahnya bersemai, seiring dengan jiwanya yang – mungkin – telah tertemukan. Di sini, di masjid ini.

[Lamur]

Apa daya, memang itulah resiko memiliki kekasih yang berprofesi sebagai seorang diplomat PBB. Bulan depan Constantin akan dipindahkan ke negaranya, Jerman. Berlin akan menjadi kota baruku nanti. Aku berharap bisa melanjutkan aktivitasku menggaungkan nilai-nilai liberalisme dan memperjuangkan feminisme di manapun tempat aku berpijak. Aku mengundurkan diri sebagai dosen di EHESS Paris, dan mempercayakan manajemen butik dan cafe kepada Audrey, pegawaiku yang cekatan.

Aku merenggangkan penatku di sore itu, duduk di atas sofa kulit berwarna merah sambil mengamati orang-orang yang saling berbincang di dalam cafeku dan mendengar lantunan Frank Sinatra yang ingin dibawa terbang ke bulan. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara itu, suara yang sempat aku kenal beberapa waktu lalu.

„Bonjour, Madam,“ sapa Ali. Aku terhenyak, „boleh saya meminta waktu Anda?“

Pemuda tanggung bercahaya itu datang seorang diri, menolak bersalaman denganku. Tangannya menjinjing sebuah majalah Paris-Tempo. Ia menatapku tajam, tanpa senyuman.

„Madam, saya ingin meminta jawaban Anda, apakah Anda yang menulis artikel ini di sini?“ tanya Ali sambil menunjuk sebuah artikel yang aku tulis dua bulan lalu di majalah itu. „Mana belas kasihan Anda teradap kami? Mengapa Anda tega menuduh masjid kami sebagai sarang teroris?“

Keringat dinginku mengalir. Biasanya, aku terampil dalam menjawab protes atau argumen dari kalangan-kalangan religius itu, namun kali ini, lidahku tercekat. Aku fasih berbahasa Perancis, namun sekarang hanya senggauan yang mampu aku keluarkan.

„Hmmh... ak.. aku.. aku, hanya...“
„Baik, Madam. Sudah cukup jawaban Anda. Saya pikir Anda orang baik... ternyata perempuan yang kutemui dulu di Corentin Cariou bukan perempuan biasa...“

Pemuda itu berjalan keluar. Sedari dulu aku menyimpan benci teramat sangat terhadap orang-orang yang sudah terkotak-kotak dengan agama itu. Aku pernah berjanji, tak akan jatuh ditangan manusia-manusia yang tidak membuka matanya lebar-lebar... namun nyatanya? Semuanya lamur sekarang, buram. Aku mengejarnya, ia sudah keburu menghilang entah kemana. Tidak pernah aku merasakan pahit yang kental seperti ini di dalam hati. Aku kejar dia. Aku tahu ke mana aku harus mengejarnya. Ke tempat yang ku tahu pemuda tadi pasti berada di sana.

[Kecut]

Dari kecil aku sangat takut dengan api. Gubuk tak permanen di pinggiran rel kereta api sepanjang Lenteng Agung pernah terbakar habis waktu aku kecil dulu, dan menyebabkan aku menjadi gelandangan. Teman mainku mati terbakar tepat di hadapanku. Aku masih bisa mengulang ngiangan jeritannya yang lirih.

Dan setiap orang-orang religius itu mengatakan neraka, aku semakin tak terkendali. Dari penggambarannya saja aku sudah dibuat sangat ngeri, yang katanya panas bara apinya saja bisa membuat otakmu mendidih. Aku berupaya tidak mempercayainya, namun sulit. Kini bayangan api itu menjadi-jadi, berbaur dengan kecutnya rasa hati usai pemuda tanggung itu menemuiku tadi. Sepanjang perjalanan aku menangis. Aku bertanya-tanya, jika saja aku menganggap bahwa pemikiranku sudah sangat luas, namun mengapa belum cukup luas untuk menjangkau wilayah pengakuan kebesaran islam?

Aku langkahkan kaki ini ke dalam, melawan segala geming yang dulu menjegalku, menyeburkan diriku ke dalam jurang kemelut yang siapa tahu justru berisi malaikat-malaikat nan anggun. Tangisan ini belum cukup waktu untuk berhenti, mengucur menganak sungai. Pandangan Ali dan api seolah-olah berbaur menjadi satu, merongrong batinku. Aku tiba-tiba ingin menjalankan gerakan-gerakan yang dilakukan orang-orang itu di dalam. Aku ingin salat. Kemudian aku basuh tubuh ini dengan sejuknya air wudhu, kututup badan ini dengan jubah dan kerudung, kuangkat tanganku mengikuti tindak-tanduk orang-orang di sekelilingku. Aku tidak tahu harus mengucap kata-kata apa, aku tidak hafal jenis doa apapun, tapi gerakan-gerakan yang aku ikuti itu sudah cukup meluluh lantakkan jiwaku.

Seusainya, kupandangi sekeliling, pemuda itu tidak ada di sana. Aku lepas kerudung ini dan kuberanjak, aku berharap, Ali belum sampai. Ia masih di perjalanan dan aku masih akan bertemu dengannya tak lama lagi.

„Madam... mengapa engkau melepas kerudung ini?“ tiba-tiba seorang perempuan Perancis berjilbab rapih menggenggam tanganku. Mata hijaunya benderang, seperti lentera dalam gelapnya pekat mataku. „Madam, engkau seorang muslimah bukan? Tolong... bantulah agama ini, ukhti...“ sahut perempuan itu lagi. Ia lalu memelukku. Dekapannya sangat kuat sekali, meyesakkan rongga dadaku, membuat aku menangis sebenar-benarnya menangis. Tangan halusnya membelai rambutku, aku nyaman berada di pundaknya. Aku takluk. Kini dosen feminisme EHESS terkulai sangat lemah dan tak berdaya di bahu perempuan yang – ah, ternyata benar, ada malaikat anggun di jurang ini.

„Sophie...“ sahut sebuah suara di sebelah kami. Aku menoleh. Ia Ali.
„Madam, kenalkan, ini Ali, suamiku.“

[Anjangsana]

Perempuan berambut sebahu, sepertinya pernah aku lihat ia sebelumnya, entah di mana. Dari tadi ia duduk saja di meja itu, padahal makanannya sudah ia habiskan. Mungkinkah ia menunggu seseorang? Aku mengamatinya dari meja yang cukup jauh, namun tidak terlalu jauh untuk bisa melihat gerak-geriknya.

„Orang Indonesia, ya? Baru datang di Berlin, mbak?“ datang seorang laki-laki yang kebetulan baru masuk di restoran ini. Ia bersama gerombolannya. Aku kenal laki-laki itu. Orang-orang biasa memaanggilnya dengan sebutan Gareng. Aku kenal benar dia dan teman-temannya. Ia seorang yang... bermuka dua.

„Mas, lihat tuh, si Gareng mengajak perempuan itu berbicara...“ ujar istriku yang juga ikut mengamati mereka bersamaku. Ssst, aku menyuruh istriku untuk tenang agar aku bisa berkonsentrasi penuh mendengar pembicaraan mereka.

„Selamat datang ya mbak di Berlin. Berlin ini kota yang indah, banyak tempat-tempat asik, ada tempat belanja, tempat disko, tempat pertunjukan... Tapi hati-hati mbak, jangan berkunjung ke masjid, karena, ya tahu sendiri lah mbak, nanti kita dituduh yang macam-macam... apa lagi di sini juga ada masjid punya orang Indonesia yang kata orang...“

Aku merogoh tasku, mencari sesuatu. Barang itu, sehelai foto berisi tiga orang, dua laki-laki dan seorang perempuan. Dan perempuan di foto ini sangat mirip dengan perempuan itu. Carlos sudah menuliskan nomor teleponnya di balik foto ini, akan aku coba meneleponnya. Mudah-mudahan perempuan ini masih menggunakan nomor Perancisnya. Jika dia merogoh ponselnya, maka aku yakin, dialah orangnya.

Aku tekan angka-angka itu di ponselku... +33.. 626.. 704..

Tendengar deringan ponsel dari tasnya. Ia mengambilnya.
„Hallo?“
„Hallo, dengan Ibu Neng Geulis?“
„Iya benar, siapa ini?“
„Saya Hamka. Saya sedang berada di belakang ibu sekarang..“

Aku datang bersama isteriku ke meja mereka. Si Gareng dan kelompoknya terkejut melihatku, tak ubah terkejutnya Neng Geulis yang terheran-heran siapakah diriku.

„Ibu Neng, kami ingin mengajak ibu berkunjung ke masjid kami. Tidak jauh kok dari sini...“

Berlin, 9 Februari 2010
FLP Jerman.

No comments: