Friday, September 17, 2010

Doha 16 Jam

Story telling tentang perjalanan pulang saya dari Jakarta menuju Berlin.

Pesawat saya berangkat pukul 18:05 dari Soekarno-Hatta, kami berangkat dari rumah pukul 15:00, dan dengan kecepatan menyupir papa yang bagaikan kilat, jarak Duren Sawit ke Cengkareng hanya ditempuh dalam waktu 30 menit. Sampailah saya di bandara pukul 15:30 dan segera check in. Hari itu saya mengenakan sebuah kaos lengan pendek dan jeans. Bawaan saya hanya sebuah tas dorong kecil yang isinya juga tidak penuh karena alhamdulillah bagasi saya memuat banyak.

Mama bertanya, "mas, kamu nggak pakai jaket?"
Saya pun menjawab, "cuma bawa cardigan ma, kan di Doha panas. Di Berlin juga masih musim panas."
"Terus cardigannya mana?" tanya mama kembali.
"Ini di tas ma. Nanti aja dipakainya kalau kedinginan."

Tak lama kami segera berpisah karena mereka akan langsung melanjutkan perjalanan ke Bandung. Sebelumnya saya bertemu dengan Hasbi, juga seorang mahasiswa Indonesia di Jerman yang ternyata juga akan kembali ke Jerman sebentar lagi. Namun Hasbi tidak satu pesawat dengan saya. Dia baru akan berangkat pukul 01:00 lewat tengah malam. Batin saya, wah, menunggu keberangkatannya masih akan lama sekali. Tapi sepertinya dia akan sampai lebih dulu di Jerman daripada saya karena saya mesti transit di Doha selama 16 jam.



Berhubung pesawat akan terbang tepat ketika waktu berbuka puasa, saya nekat membawa sebotol air mineral untuk dibawa ke kabin. Sampai pada final security check, saya memohon-mohon untuk diperbolehkan membawa botol itu ke dalam, namun tetap tidak diperbolehkan. Ya sudah, saya berikan saja air mineral itu ke petugasnya. Pesawat pun ternyata belum terbang pada pukul 18:05. Kira-kira telat hampir satu jam ketika langit sudah benar-benar gelap. Setelahnya saya baru tahu ketika membaca surat kabar online, bahwa di waktu tersebut sedang ada gangguan radar pengontrol di Soekarno-Hatta. Pantas pesawat telat take off, namun alhamdulillah tidak ada kejadian apa-apa, kami terbang dengan selamat.

Sampailah saya di Doha. Dengan langkah cepat saya buru-buru masuk ke dalam bandara dan segera melewati security check karena saya ingin segera masuk ke quiet room agar bisa segera tidur di sana. Karena kapasitas tempat istirahat di quiet room itu terbatas sementara hari sudah malam, maka prinsip siapa cepat dia dapat berlaku. Ternyata kekhawatiran saya menjadi kenyataan, quiet room penuh, artinya saya harus bergadang tidak tidur semalaman.

Setelah tiga jam berinternet, saya KO juga. Mata sudah perih mengantuk, badan sudah pegal-pegal karena duduk terlalu lama, dan bandara Doha full ac sementara saya hanya berkaos lengan pendek. Jadilah saya kedinginan, tapi alhamdulillah saya sudah membawa selimut pesawat karena saya yakin pasti akan berguna. Iseng-iseng saya menuju ke quiet room lagi, dan ternyata di sana ada satu tempat kosong! Segera saya tempati untuk tidur.

Namun anehnya, saya tidak bisa tertidur. Saya sudah kenakan cardigan dan selimut, tapi tetap saja merasa kedinginan. Dan tempat tidur di sana kurang nyaman. Jadi bentuk tempat tidur itu bukan untuk terlentang, tetapi seperti kursi malas yang biasa ada di pinggir pantai. Kursi tersebut berbahan kulit, jadi jika ditiduri, kita akan merosot terus. Alhasil bukannya tidur, saya malah sibuk mencari posisi enak sambil terus menahan badan agar tidak merosot. Punggung pun mulai sakit dan sekujur tubuh semakin pegal-pegal. Saya hanya tertidur satu jam saja, sebelum kembali terbangun dan tertidur sedikit-sedikit. Suara panggilan keberangkatan terus berbunyi yang membuat saya tidak bisa tertidur. Ruangan itu semakin penuh dengan manusia, dari berbagai ras, bahkan ada yang sampai tidur di lantai. Semakin lama semakin pengap, seluruh nafas berbaur jadi satu di sana.

Pukul 5 pagi, saya keluar dari ruangan itu, bergegas ke musholla untuk salat subuh. Saya niatkan hari itu untuk berpuasa, walaupun saya belum makan apapun dan sebenarnya saya tidak harus berpuasa karena sedang berada di perjalanan. Setelah salat, badan semakin terasa tidak enak, tubuh semakin menggigil, kepala semakin pusing, perut terasa mual, seluruh persendian sakit semua. Saya sepertinya masuk angin, segera saya ambil minyak angin dan memijat diri sendiri. Lalu saya istirahat di lobi sambil berinternet. Keadaan saya semakin memburuk, saya benar-benar kedinginan dan kepala saya benar-benar pusing. Akhirnya saya menuju health center yang juga terdapat di sana. Setelah diperiksa, suhu badan saya 40°C! Saya pun diberi paracetamol dan obat penurun panas. Tubuh saya sudah seperti melayang-layang di udara dan keberangkatan saya masih 6 jam lagi.

Setelah itu, saya menuju musholla dengan harapan bisa tidur terlentang di sana sampai pesawat akan berangkat. Setelah satu orang terakhir selesai salat dan meninggalkan ruangan, saya beranikan merebahkan badan. Ternyata, empat orang lain yang sudah tertidur dalam posisi duduk mengikuti saya merebahkan badan. Tak lama dua orang dari mereka meninggalkan ruangan, dan saya dengan nekad mematikan lampu musholla agar bisa tidur pulas. Namun tak lama datang petugas kebersihan yang membangunkan saya karena musholla akan dibersihkan.

Jadilah saya terkatung-katung lagi. Saya kembali ke quiet room, keadaan mulai sepi karena sudah ada banyak keberangkatan pagi tadi. Karena pengaruh obat, saya tertidur, tapi tidak pulas, karena di sebelah saya ada dua anak kecil bermain-main sambil tertawa cekikikan. Dan orang tuanya membiarkan mereka begitu saja, padahal di ruangan itu ada sekitar 40 orang sedang tidur. Dengan menderita, saya paksakan tubuh saya relaks. Perut saya lapar tak terkira. Sebenarnya ada kue yang dibawakan mama sebelum saya berangkat, tapi saya tak berani memakannya karena ketika mendarat di Doha sudah diperingatkan untuk tidak makan di tempat umum karena sedang bulan Ramadan.

Pukul 11:00, saya tak tahan lagi berada di sana. Saya sudah seperti gembel dengan selimut digantungkan di punggung, mengitari bandara tak tentu arah. Saya pun mengambil tempat yang agak hangat untuk menunggu keberangkatan saya yang masih tiga jam lagi. Tiga jam itu rasanya sangat menyiksa. Duduk sakit, berdiri sakit, berjalan apa lagi. Badan semakin menggigil. Akhirnya terdengarlah panggilan memasuki pesawat menuju Berlin. Segera saya mendatangi gate tersebut dan berkata kepada petugas di sana bahwa saya sedang sakit dan mengingikan tempat duduk paling belakang dimana sebelahnya kosong. Permintaan saya pun dipenuhi. Saya terbang dengan dua bangku kosong di sebelah saya sehingga saya bisa tidur berselonjor. Tapi apa daya, kesehatan saya tidak mendukung, Bahkan untuk menggerakkan kaki saja terasa sangat sakit. Kali itu untuk pertama kalinya saya tidak bisa menikmati penerbangan saya. Saya ingin cepat-cepat sampai di Berlin, masuk ke rumah dan tidur di balik selimut dengan nyaman.

Di pesawat, saya sempat berhalusinasi dan kehilangan kesadaran. Setelah terbangun dari tidur beberapa saat, saya bingung, dimanakah saya, apa yang sedang saya lakukan, mau kemana saya, lalu apa yang saya perbuat nanti. Setelah sekian menit, saya baru sadar kalau saya sedang di atas awan menuju ke Berlin. Astaghfirullah, kondisi badan saya semakin menurun, sepertinya hari itu hari terakhir saya dan saya akan merenggang nyawa di sana. Kepala saya semakin berat, lalu saya tertidur lagi.

Akhirnya pesawat mendarat di Berlin. Tidak seperti biasanya dimana saya menunggu seluruh penumpang keluar terlebih dahulu agar lebih leluasa, kali ini saya cepat-cepat meninggalkan pesawat. Saya ingin segera sampai di rumah. Keluar pesawat, udara dingin 13°C menusuk. Langit kali itu kelabu yang membuat saya semakin tidak betah. Antrian imigrasi cukup panjang sementara saya tidak sanggup berdiri. Bahkan ketika menunggu bagasi saja saya sampai jongkok karena badan yang perih semua. Alhamdulillah bagasi saya segera muncul dan alhamdulillah bandara Tegel memang simpel, dimana jarak dari pesawat-imigrasi-bagage claim-custom sampai dengan keluar bandara hanya sekitar 10 meter saja. Saya tidak tertangkap petugas custom dan segera saya melangkah keluar bandara, mencari taksi, dan menuju rumah.

Sesampainya, saya benar-benar hancur. Segera saya salat maghrib, tidur, salat isya dan tarawih, tidur, dan tertidur-terbangun sampai pagi. Esoknya saya berpuasa karena saya sama sekali tidak punya nafsu makan. Saya pun terkena diare yang mengharuskan saya ke toilet sampai 10 kali. Kepala saya juga terserang migrain hebat. Tiap sekian detik setiap bagian di kepala saya bergantian memberikan rasa nyeri dan sakit yang sangat. Setelah dicek di dokter dan diambil darah, saya terserang satu virus yang tidak diketahui apa. Mungkin juga, karena saya mulai sakit ketika berada di quiet room, di mana puluhan manusia berjejal dari berbagai negara. Saya khawatir saya terkena flu babi. Segera saya mencari informasi tentang flu babi, dan saya dapatkan bahwa WHO telah mengumumkan bahwa wabah flu babi telah dinyatakan selesai pada bulan Agustus 2010. Tapi waktu itu masih di bulan Agustus, bisa jadi tenyata saya korban terakhir yang membuat WHO harus mencabut kembali pernyataannya.

Namun alhamdulillah saya tidak sampai bersin-bersin dan radang tenggorokan. Hanya batuk-batuk kecil untuk menghilangkan rasa mau muntah. Hasil periksa darah saya mengharuskan saya melakukan pemeriksaan liver, tapi kata dokter tidak berbahaya.

Saya pergunakan satu pekan untuk beristirahat, alhamdulillah menjelang lebaran saya sembuh. Sedih juga, karena 10 hari terakhir di bulan Ramadan tidak bisa saya optimalkan. Tidak bisa i'tikaf di masjid dan lain-lain. Tapi semua pasti ada hikmahnya.

Sakit ini pun menurunkan berat badan saya secara drastis, senang juga sih, tapi berat itu kembali lagi karena lebaran :(

7 comments:

adik davi berkerudung,... said...

assalamu'alaikum,..

semoga mas dimas pulih kembali dan sehat dgn segala aktifitasnya di jerman.


salam kenal mas dimas, saya seorang muslim tinggal di surabaya, senang membaca tulisan tulisan bolamata.blogspot.com . minta ijin mencantolkan blog sampeyan di tova36.blogspot.com

semoga tulisan mas dimas menambah wawasan dan silaturrahim komunitas muslim di internet.

Taqabalallahu Minna Wa Minkum

Iskandar Dzulkarnain said...

wah senangnya bisa keliling ke negara lain ... sampe saat ini saya belum kesampean cita2 pergi ke Jepang :(

Anonymous said...

hi... here i'm..
support you !

Wahyu Wijanarko said...

Mantap, ditunggu kepulangannya ke tanah air untuk membangun bangsa Indonesia :)

kepompong kupukupu said...

wah,Bang Dimas. Ternyata sebegitu menderitanya,ya? Ga mudheng share2 opinionnya di Fesbuk kala itu. Alhamdulillah, sudah sembuh tanpa ada kelanjutan yang lebih panjang. Next time, jaga kesehatan :)

Dudung Badruzzaman said...

assalaamuálaikum,
walaupun saya tidak kenal mas dimas, namun sebagai sesama mulsim tentunya kita bersaudara.
Mas dimas, saya sangat puas dengan cerita mas dimas, ya, walaupun dalam keadaan apapun, bersujud pada ALLAH tidak boleh dilupakan, apalgi ditinggalkan. Semoga mas dimas asenantiasa dalam lindungan dan pertolonganNYA. Amin...

Dimas Abdirama said...

Terima kasih atas semua tanggapan, support, dan doa :)

Ana uhibbukum fillah.