Dimas Abdirama
Bismillah.
Berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk bisa
menyulam kembali harapan-harapanmu yang telah sehelai demi sehelai terurai?
“Olarin?”
“Bukan...”
Tiga tahun sudah. Dua belas musim bergerak. Langit
telah berkali-kali berubah warna. Ini cerita tentang dia dan mereka, tentang
bisu dan haru, dan tentang doa di ujung penantian. Tak pernah kamu melihatnya
begitu tenang setenang malam itu. Dia lantas berbisik lemah, amarahmu itu harus berkobar segarang apa yang kamu mampu. Ia lalu
pergi bersama pagi yang abu-abu.
***
Dia
menari, dia menemukan dunianya, dia mampu menghilangkan banyak tanda tanya akibat
rentetan sebab yang sulit dijawab dengan kata, tapi mudah diekspresikan dengan
irama. Dia menari, memejamkan matanya, menghirup nafasnya, membiarkan lengannya
berayun, kakinya berderap. Dia terus menari, sampai ada sepasang mata yang menangkapnya
sempurna, juga dengan gelap mendung dan basah jalan akibat hujan barusan, juga
dengan bangunan antik abad pertengahan di pelataran, juga dengan lampu sore
yang menyala redup keemasan, juga dengan dirinya yang sedang menatap dia.
“Bis morgen!”
“Danke,”
“Cayenne?!”
Aku suka sore, apalagi setelah turun hujan. Aku
suka udara dingin musim gugur. Aku suka daun-daun bertebaran di atas jalan.
Bagiku apa yang aku lihat barusan adalah sebuah mahakarya, Cayenne, aku
mengenal perempuan itu. Ia berjalan menyebrangi lampu merah dengan latar hari
yang mulai melamur, dan sisa rintik hujan yang mulai berakhir. Ia terus
berjalan dan menjauh, sementara aku membeku tanpa niat ingin mengejarnya, walau
aku tahu bahwa aku tidak akan lagi bisa menemuinya.
“Cayenne?!”
Ia menoleh. Perempuan itu, masih seperti yang
dulu. Dunia terdiam beberapa saat ditandai dengan berhentinya air hujan,
membiarkan aku mendekat.
“Aku sudah menikah, Maraschino.”
Ia berkata sedemikian pelan seolah pernikahan
adalah pintu gerbang yang menutup. Aku bisa membaca jalan pikirannya. Perempuan
itu masih seperti yang dulu. Mengucap salam, hilang di keramaian.
“Tunggu dulu Cayenne, jangan pergi dulu!”
Dirinya
menginjak bunga jalanan yang ditempeli jentik-jentik air. Dirinya beranjak dari
tempat duduknya yang menghangat, meninggalkan kopi yang baru diminumnya setengah,
meninggalkan selembar kertas lima Euro di atas meja tanpa menunggu pramusaji
mengembalikan sisanya. Dirinya menemukan inspirasi itu. Mengejarnya.
Perempuan itu menahan langkahnya, lalu aku
memutuskan untuk berlari mendekatinya. Lari-berlari, ia menunggu. Cayenne
berkulit putih, berbibir merah pucat. Ingatkah ia pada kejadian tahun lalu?
Tahun lalu: Oktober datang! Kali ini tidak mengendap-endap. Hampir selusin
purnama ia lihat dari pertemuannya dengan Cayenne terakhir kalinya. Bayangannya
tetap sama, angin, dingin dan pahit. Ada juga berhelai-helai daun kering
berterbangan, berwarna cokelat kekuningan, atau kemerah-merahan. Warna cinta?
Maraschino diam, meneguk kembali kopi susunya yang masih mengepulkan uap
hangat, pertanda suhu udara berkontras dengan panasnya kopi dalam gelas. Tahun
lalu ia mencari tempat pelarian yang sempurna, letaknya di utara, di tepian
samudra atlantik, di pantai barat Norwegia. Ia menjadi penggemar berat
negara-negara Nordic, terutama di bulan Oktober, karena angin dingin berdesak-desakan,
dan ia suka menciumi baunya.
“Oktober depan aku mau ke Islandia.”
“Northern light berwarna hijau?”
Maraschino mengangguk, lalu tersenyum.
***
Dirinya
tiada tahu lagu apa yang hendak dibawakan, apalagi not-not balok yang mengilustrasikan
nada. Namun dirinya punya inspirasi itu, penuh padat sesak di dalam otak,
menunggu saat yang tepat untuk pecah, tumpah ruah. Ting, dirinya memulai
petikan pertama di senar nomor dua. Yang lain hening mendingin, menyiapkan
telinganya sempurna untuk menyerap bahasa yang akan dituangkan lewat nada. Nada
C mayor dalam Johann Sebastian Bach Cello Suite 1 Prelude. Dirinya masih belum
tahu hendak memulai deret irama mana, tapi yang dirinya ingat hanyalah kamu,
dalam studio kecilmu, menggores-gariskan warna, meramunya tanpa suara, walau
sesekali tertawa, atau dengan gemetar tanganmu melukiskan sastra, dengan kuas
di atas kanvas, yang terisak sendat.
Kamu melumuri tangan kananmu dengan warna merah
dan tangan kirimu dengan biru, lalu membiaskan keduanya di atas putih. Secepat
kilat kamu mencampurinya dengan cat minyak warna-warni lain dan secepat kilat
pula kamu menggoreskannya di atas kanvas, abstrak, absurd, namun di sana kamu
menemukan keteraturan. Kamu tidak perlu kuas, kamu hanya perlu jemari kurusmu.
Kamu menyentuhnya dengan nafas menderu dan membekaskan harmoni. Begitulah kamu
bilang caramu berbicara, bercengkrama dengan karya, melukis dengan rasa.
Jari-jemarimu kamu jadikan penghubung antara dua hati. Ornamen-ornamen titik
dan garis kamu racik sesuai seleramu, seingin kepalamu menuruti isi perutmu.
Sama seperti ketika kamu membuat adonan roti.
Roti gandum berwarna cokelat, baru keluar dari
bakaran oven dan segera dibaluti kain katun, harumnya meranum. Kamu membuat
adonan dengan caramu sendiri, yang tidak ada orang lain yang bisa meniru. Kamu
takar gandum itu dengan kepalan tanganmu, kamu taburi garam, ragi dan minyak
zaitun, dan roti itu matang mengembang dengan rasa yang agak asam. Renyah dan nikmat
hanya dengan seoles mentega, selai cherry dan kopi hitam yang masih mengepul
asapnya, yang setiap sore selalu kamu bawa ke mejaku.
“Mengapa kamu mau menerimaku?”
“Karena kamu memenuhi keinginanku,”
“Tahu dari mana?”
“Dari caramu berbicara, bergerak, mengunyah...”
Perempuan itu ingin mendapatkan seorang imam. Dan
imam itu adalah Maraschino, ia si pemetik nada C mayor. C untuk Cayenne dan C
untuk Cherry. Bagi Cayenne, Maraschino adalah sosok yang soleh, berwibawa, guru
agama dan panutan masyarakat. Namun ia tidak tahu bahwa Maraschino membawa
cacat.
“Apa cacatmu?”
Maraschino menyisingkan lengan bajunya sampai ke
bahu. Ditunjukannya sebuah tato tribal membekas berwujud garis dan kurva akar
yang melingkar.
“Aku bertato. Aku tidak bisa menghilangkannya dari
tubuhku. Terlanjur sudah.”
Cayenne terseyum hampa. Ia menunda menyajikan roti
gandum hangat yang ingin saja ia berikan kepada Maraschino bersama dengan satu
toples selai cherry yang diasamkan sebagai penikmat rasa.
“Kamu tahu ini apa?”
“Cherry yang diasamkan.”
“Namanya?”
“Tak tahu.”
“Maraschino cherry, kadang kamu menyebutnya
mCherry.”
Padahal, mCherry adalah zat warna yang merah
menyala yang dimasukkan ke dalam sel sebagai alat bantu analisis molekular
biologi pada penelitian di labnya. mCherry bisa tersenyum seperti manusia. Maka
tetaplah tersenyum mCherry, walau senyumanmu mesti membuatmu kembali pada
asalmu.
***
Langit telah berkali-kali berubah warna. Kali ini
warnanya hijau yang menjilat-jilat malam Islandia. Aurora Borealis, Reykjavík. Inilah
pemberhentian terakhir kita sebelum kamu meninggalkan Seattle dan aku berangkat
dari Berlin. Kita tutup cerita pada waktu yang bersisa. Aku bukan Olarin, bukan
gugusan bintang Canopus dan bukan Vega pada skenario Raya en el Mar. Aku
mungkin Capella, si anak kedua. Tapi malaikat sudah datang, menjemputku pada
pagi yang abu-abu. Aku sampaikan kepadamu pesan terakhirku: “amarahmu, amarahmu
itu harus berkobar segarang apa yang kamu mampu.”
Ia pergi. Aku puas. Kerontang sudah •
Hannover, 2013.
In tribute to TKH.
2 comments:
Kalau dibuat novel, cerita ini bakal menarik sekali.
Online Casino no deposit bonus Codes 2020 - CasinoNow
No deposit bonuses are the most common type of bonus you can find. They can 코인카지노 마팀장 be used for everything from slots, blackjack, roulette, and so much
Post a Comment