Saturday, August 28, 2010

Gugusan di Langit Jakarta

Kelabu, itulah apa yang ku rasakan saat menanjaki langit Berlin sore itu, seperti meninggalkan bekas yang terlampau pahit, sepahit kumpulan serak-serak yang tertulis sejak awal tahun ini. Seperti tahuku, bahwa satu titik pada roda tak selamanya berada pada tempatan teratas, walau keberadaan membawa kestabilan psikologis pribadi yang tertinggi. Semuanya bagai terhempas, hampa, sebagian memiliki sebab-musabab, sebagian yang lain tanpa alasan apa-apa.

Mungkin garisanku dan mungkin ujianku. Sejauh burung besi ini melesat, menjauhi keperihan dan mendekati kepedihan, sedalam itu pula siluet-siluet tak menentu mengikuti. Hey you're feeling useless, seolah menjadi sebuah beban yang menghalangi keinginan orang lain. Dalam jejakkan pada noktah nol, kulihat ombak-berombak di sana, membayangi pemikiran, memerahkan mata, menyesakkan dada, -- dan aku mesti tegar mendongakkan kerapuhan, tetap agar basah tak menderas dari mata.

Dan mungkin semua akan seperti ini sampai dengan ubahnya nanti. Namun pasti juga ini sebuah ingatan dari Allah agar aku total kembali.

Jakarta, 2010.



---

Sebuah kiriman status dari Mario Teguh yang didapat melalui Facebook pada 28 Agustus 2010:

Aku tahu hatimu sedang pedih,
karena jiwa yang kau cintai
dan kau baktikan hidupmu untuknya,
menaruhmu di urutan akhir
dalam perhatiannya.
...
Jika ia belum mampu memuliakanmu,
engkau berharap setidaknya ia mengasihimu.

Engkau hidup untuknya,
tetapi mengapakah engkau seolah harus mengemis
bagi sedikit perhatiannya?

Adikku, bersabarlah.

Indahkanlah dirimu, bagi Tuhanmu,
yang akan menyelamatkanmu dari pengabaian.

MT