Wednesday, September 14, 2005

Ketoprak

Ketoprak
Oleh: Mushab Syuhada

“Ketopraknya masih ada, pak?“ tanyaku di balik kaca mobil kepada seorang penjual ketoprak yang tiap malam mangkal di tepi jalan itu.
“Masih.. Masih banyak, mas!” sahutnya sambil tersenyum. Segera ia bangkit dari duduknya dan dengan gesit mengerjakan pekerjaannya. Kegembiraannya mendapati aku sebagai seorang pembeli terlihat dari raut wajahnya.

Aku termenung sebentar melihat semangat bapak paruh baya itu bekerja. Pandangan matanya tulus. Aku tahu, ia bekerja untuk mencari uang. Untuk menghidupinya. Dan mungkin juga untuk menghidupi anak istrinya. Sekali lagi aku berpikir, apakah cukup penghasilan seorang penjual ketoprak untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup?

“Ramai malam ini, pak?” tanyaku kepada si pemilik wajah berseri-seri itu.
“Nggak, mas. Sebulan terakhir ini sepi pembeli. Untuk malam ini ya… baru mas saja yang membeli” jawabnya. Leherku tersekat mendengar jawabannya. Pantas ia begitu gembira begitu aku menepikan mobil di depan gerobaknya. “Hanya pesan satu bungkus, mas?” tanyanya memecah lamunan singkatku
“Eh, saya pesan tiga bungkus, pak!” sahutku. Ia tersenyum sambil mengangguk.

“Berapa semua, pak?” tanyaku. Laki-laki itu menggenggam selembar uang seribu rupiah.
“Sepuluh ribu, mas” katanya. Aku tahu maksudnya. Ia memintaku memberikan sepuluh ribuan dan ia akan mengembalikan seribu rupiah yang ia genggam kepadaku. Harga tiga bungkus ketoprak itu sembilan ribu rupiah.
“Sudah, pak. Seribu rupiahnya bapak simpan saja” kataku.
“Bukan begitu, mas. Saya hanya ingin satu lembar sepuluh ribuan utuh saja. Biar tidak terlalu banyak receh” jawabnya. Lalu memasukkan selembar seribu rupiah itu pada pelastik hitam bersama tiga bungkus ketoprak. Jujur sekali bapak ini, batinku.
“Bapak punya pekerjaan lain selain berdagang ketoprak?” tanyaku lagi sambil mengambil pelastik itu.
“Tidak. Hanya jualan ketoprak saja. Pagi hari saya pergi membeli bahan-bahan dan mempersiapkan dagangan. Jam empat sore saya mulai berdagang. Walaupun hasilnya tidak seberapa, saya senang dapat berjualan dengan cara halal, mas.”

***

Dalam perjalanan pulang, aku banyak bersyukur karena saat ini aku masih bisa mengendarai sebuah merci. Orang tuaku serba berkecukupan. Rumah kami tergolong mewah di wilayah Pondok Indah. Pekerjaan orang tuaku tidak membutuhkan banyak tenaga dibandingkan dengan bapak penjual ketoprak tadi. Hanya duduk di ruangan ber-ac, membolak-balikkan kertas, angkat telepon, tanda tangan, dapat gajinya jauh berlipat-lipat dari pada bapak yang tiap malam duduk-duduk di tepi jalan itu menanti kunjungan pembeli.

“Hari gini beli ketoprak?” sahut sahabatku Arya, yang rumahnya hanya beberapa blok dari rumahku. Aku sempatkan mampir dulu menemuinya.
“Makanya gue datang kemari. Elo ambil deh ketopraknya satu bungkus. Nggak bakal habis gue makan sendirian” jawabku.
“Nah, elo udah tahu nggak bakal habis makan sendirian, ngapain lo beli sampai tiga bungkus segala?” tanyanya.
“Gue kasihan sama penjualnya. Belum ada yang beli dagangannya”
“Hmmm, gimana yah. Gue mau sih, tapi baru saja gue pergi sama bokap nyokap habis makan di Kelapa Gading. Masih kenyang nih, Man! Sori yak. Lo masukin aja di kulkas, besok kalo lapar tinggal dipanasin di microwave”
“Jadi lo nggak mau nih?” tanyaku sekali lagi. Arya menggeleng.

Memang tidak ada ceritanya orang kaya seperti Arya itu makan makanan pinggir jalan. Jelas saja ia tidak mau. Orang tuaku pun juga tidak mau ketika ditawari. Malah aku terkena ceramah soal kesehatan makanan. Aku melangkah masuk ke dalam kamar. Dari pada mubazir, aku habiskan dua bungkus ketoprak sendiri, dan sebungkusnya lagi aku berikan ke Mbok Atun.

***

Hari ini tidak ada kuliah. Arya juga. Kuajak ia jalan-jalan sampai sore. Mobil merci perakku melaju sampai dengan ruas jalan itu. Ruas jalan tempat bapak penjual ketoprak berdagang di balik gerobaknya.
“Mau buat apa uang seratus ribu itu?” tanya Arya di sebelahku.
“Ketoprak” jawabku singkat.
“Seratus ribu mau dihabisin buat beli ketoprak? Lo bisa beli sekalian sama gerobaknya, kali!” sahut Arya. Aku mendesis, memintanya untuk diam.

Tiba-tiba sebuah BMW hitam mengedipkan lampu sorotnya ke mobilku. Mobil itu milik Susan, anak konglomerat yang tinggal persis di belakang rumahku. Pamannya dulu bekas mentri. Ibunya yang punya hotel mewah di bilangan Senayan. Benar-benar sebuah keluarga high class.

“Hai hai… berduaan aja nih kayak patung selamat datang” sapanya genit di balik jendela yang membuka perlahan setelah kami parkirkan mobil kami di pelataran sebuah ruko. Aku tersenyum.
“Hai, San, baru dari mana?” balas Arya
“Habis dari kampus, terus mampir dulu ke salon Royke. Biasalah cewek. Banyak perawatan. Eh, kalian mau ke mana? Laper nih! Makan bareng yuk?” pintanya.
“Kebetulan!” sambarku. “Di depan ada penjual ketoprak tuh!” Susan melongo menatapku.
“Ke-to-prak? Oh no! bisa-bisa gue muntaber gara-gara sakit perut!”balas Susan.
“Yeee, sekali-kali makan makanan pinggir jalan kenapa sih? Lagian belum tentu kotor kok! Coba gue tanya, sudah pernah nyobain ketoprak, belum?” ujarku.
“Belum” sahut Susan. Arya juga bilang belum.
“Nah, dari pada dibilang kuper gara-gara umur sudah dua puluh tahun tapi nggak tahu rasanya ketoprak, mendingan kita cobain dulu. Gue yang traktir deh!”

***

Sore itu langit berwarna lembayung. Kami parkirkan mobil kami persis di depan gerobak bapak penjual ketoprak. Kami nikmati santapan itu bersama. Aku membeli tiga bungkus ketoprak dengan harga seratus ribu rupiah. Bapak itu kaget, ia sempat menolak. Namun aku berbohong dan mengatakan kepadanya kalau hari itu aku sedang berulang tahun, dan memintanya menerima uang itu sebagai ucapan syukur. Bapak itupun menerimanya sambil tak henti-hentinya berterimakasih.

“Gila lo yah, uang seratus ribu buat beli tiga bungkus ketoprak” ujar Susan. “Lo mau ngikutin acara reality show yang di tivi-tivi yah? Itu loh, yang ngasih duit mendadak ke orang yang kurang mampu”
“Hus!” sergahku. “Udah deh, mendingan kita langsung makan aja yah” lanjutku. Tak lama kami mulai menyantap hidangan itu. Ketoprak itu berisi lontong, sayur-mayur seperti toge, dedaunan, bihun, tahu, tempe, kerupuk, telur, sambal, kecap, gula merah, cabe rawit, mentimun, dan bumbu kacang yang gurih.
“Wuihh… enak banget, Man!” teriak Arya.
“Beneran! Enak buangeeett!” teriak Susan juga. Mereka menyerbunya dengan lahap. Aku tersenyum-senyum sendiri melihat aksi makan mereka.
“Gue gak tahu, apa guenya yang kelaperan atau emang ketoprak ini beneran enak, yang jelas gue mau nambah satu bungkus lagi, dong!” sahut Susan setelah menelan suapan terakhir ketoprak babak pertamanya.
Anak-anak borjuis inipun tersihir oleh kelezatan makanan pinggir jalan.

***

Malam ini adalah malam pembuka weekend. Kuajak Arya dan Susan mengunjungi ketoprak favorit kami. Ketoprak Pak Bagir, biasa orang-orang disekitar sana menyebutnya.
“Gue heran, ketoprak Pak Bagir kan enak banget. Tapi kok sepi pembeli yah?” ujar Susan membuka diskusi kecil kita di perjalanan menuju ke sana.
“Kurang promosi kali. Jadi nggak banyak orang yang tahu” Arya menimpali. Benar juga, pikirku. Seandainya ketoprak Pak Bagir diketahui orang banyak, pasti jualannya akan laris manis, dan ia akan meraup keuntungan yang besar. Tak lama sebuah ide muncul dari benakku.
“Gue ada ide nih!” teriakku. Arya dan Susan segera pasang telinga untuk mendengar ide apa yang akan aku keluarkan. “Kita buat usaha ketoprak, yuk! Kita buktikan kalau anak-anak seperti kita juga bisa punya usaha sendiri dan tidak dicap melulu sebagai pembuat habis uang orang tua. Dengan begitu kita juga bisa membantu orang lho!”
“Hah? Bisnis ketoprak? Membantu orang? Gimana cara?” todong Susan dengan serentetan pertanyaan.
“Iya, kita buka sebuah restoran ketoprak. Tempatnya di ruangan dekat loby utama hotel nyokap lo, San. Kita juga bisa menyediakan makanan lain selain ketoprak, tapi yang termasuk makanan pinggir jalan, seperti gado-gado, gorengan, bakso, mie ayam, atau lainnya.”
“Terus, target marketing kita siapa?” tanya Arya.
“Orang-orang kaya. Kan restoran kita letaknya di dalam sebuah hotel. Kita perkenalkan kepada mereka kalau jajanan pinggir jalan juga enak! Kalau kita buat restoran dengan hidangan pinggir jalan tapi dikemas dengan elit, bersih, dan mewah, gue rasa mereka mau datang” jelasku berapi-api.
“Tadi kata lo, kita juga bisa sekalian beramal. Dari mananya kita bisa beramal?” tanya Susan.
“Kita rekrut Pak Bagir dan para pedagang pinggir jalan lainnya menjadi koki di restoran kita. Kan lumayan untuk menambah penghasilan mereka sekaligus mengangkat kesejahteraan mereka”
“Modalnya?” tanya Arya dan Susan berbarengan.
“Untuk tempat nggak masalah, kan. Gue yakin tante Broto akan memberikan ruangan itu untuk putri kesayangannya” sahutku sambil melihat Susan. “Kalau untuk modal keseluruhan, paling mahal juga dua M. Gue tahu, di tabungan Arya ada lima M. Kalau di tabungan Susan, gue perkiraan paling sedikit ada tujuh M, disisihkan sedikit kan nggak apa-apa” kataku sambil tersenyum nakal.
“Enak aja! Gue kan sudah bercita-cita beli Jaguar dari uang di tabungan gue!”protes Arya.
“Aduh, Jaguar sih gampang. Bakal kebeli kok! Tenang aja”.

***

Setelah empat bulan kami disibukkan dengan persiapan pembukaan restoran, akhirnya datang juga malam ini. Launching restoran yang kami beri nama ‘Ketoprakami’ akan dimulai sesaat lagi. Banyak tamu hadir yang kebanyakan dari teman-teman kampus kami. Namun terlihat juga beberapa pejabat, artis, wartawan, dan orang-orang berdasi lainnya yang aku tahu sebagai teman-teman relasi orang tua kami. Acara kali ini akan diliput live oleh sebuah stasiun radio kondang, dan dimeriahkan oleh sebuah grup musik ternama.

“Gila, gue seneng banget! Akhirnya restoran kita bakal dibuka juga!” sahut Susan kepadaku dengan sedikit berteriak di ruangan yang bising oleh suara tamu yang hadir. Ia memerkan senyum dengan kawat gigi warna-warninya. Di pojok sana tampak Arya sedang sibuk mengatur acara pembukaan dengan sang MC.
“Tapi, Man, ada satu yang bikin gue bahagiaaaa banget di malam ini” lanjutnya.
“Apa?”
“Senyumnya Pak Bagir dan para pedagang lain yang kini akan menjadi koki andalan kita!”
Alhamdulillah, aku juga senang dapat membuka usaha dan juga dapat sekalian mengangkat kesejahteraan orang lain.

Senin, 12 September 2005
Pukul 20:29
Sepuluh hari lagi meninggalkan Jakarta!

4 comments:

amel said...
This comment has been removed by a blog administrator.
amel said...

Dimas, mana ada orang di Pondok Indah main ke Mal Kelapa Gading??? bwahahaha... adanya juga ke PIM, apalagi sekarang lagi heboh2nya di mana2 disebut2 PIM 2 yang walaupun masih kosong melompong tapi parkirnya udah gila2an penuhnya :(( atau ke PS, atau ke Citos...

btw, kenalin gue ke Arya dong, hihihi, gak bakal gue apa2in kok Dim, masih 20 thn kan dia? gue tunggu 10 tahun lagi deh, biar udah agak gedean dikit, hihihi, gue cuma mau minta dimodalin nih... mau bikin warung nasi kebuli nih... ;;)

Anonymous said...

irvan
koq bahan2 di ketopraknya banyak bgt yah ?
kalo di rumah gw cuma bihun, tahu, ketupat, toge, kerupuk, bumbu kacang.
Gw jd mupeng ma ketoprak deh, tp apa daya tak mampu...ongkos jalan ma harga 1 porsi mahalan ongkos jalannya.

dinicanidria said...

Like this..

Tatkala rejeki dibagi2, orang2 nyangkanya bakal habis, padahal sebaliknya. Harta kita akan dilipatgandakan dan jadi tabungan amal yang akan datang menolong pada saat kita butuhkan dari arah tak terduga. Harta yang dipakai untuk diri sendiri, justru itulah harta yang habis dan berakhir di tempat pembuangan. Kebanyakan orang juga lupa, ada bagian untuk 'yang hak' atas hartanya. Kisah itu, hanya setitik dari seribusatu kasus miris di tanah air. Bikin yayasan sosial mas, agaknya mas sanggup. :)