Thursday, April 06, 2006

Firasat

Kategori: Cerpen

Senja dingin itu, di bandara Soekarno-Hatta. Teman-teman yang akan berangkat bersamaku di kelilingi oleh sanak saudara dan keluarganya masing-masing. Mereka berfoto, berpelukan, dan bertangisan.

„Yu, kamu siap-siap check in, gih,“ kata mama. Tak aku jawab. Aku balas hanya dengan tatapan sebal.
„Yu, paspor kamu di mana? Hati-hati ya, jangan sampai hilang,“ lanjutnya lagi. Tak aku jawab juga.
„Yu, teman-teman kamu sudah pada masuk tuh mau check in,“ suara itu berbunyi lagi. Aku tak tahan. Aku berdiri, dan menatap ke wajah yang mulai renta itu.
„Mama! Bayu tahu! Bayu kan bukan anak kecil lagi! Mama gak usah ngingetin Bayu terus!“ suara kerasku terdengar menggema. Orang-orang yang di sekelilingku menatap ke arah kami. Hening sejenak. Hening paras Mama waktu mendengar bentakanku. Ia terdiam sebelum akhrnya mengulum kembali senyum yang dipaksakan.

Dan tiba saat pesawat akan berangkat, ku tepis tubuh Mama dan Papa saat hendak memelukku. Saat teman-temanku banjir air mata, tak ku tatap lagi wajah orang tuaku. Kesal aku dengan mereka, yang selalu memperlakukan aku bagai anak kecil. Yang selalu terobsesi dengan diriku, dan yang selalu menuntutku agar menjadi seperti apa yang mereka mau.

***

Ladies and gentlemen, welcome in Garuda Indonesia Airlines, my name is Retno Wulandari. I am head flight attendant from Jakarta to Frankfurt...

Aku duduk, menatap kosong ke arah televisi di depanku. Firman, yang duduk di sebelahku baru berhenti dari menangis ketika pesawat sudah mulai tinggal landas. Pramugari-pramugari itu mulai sibuk menyajikan santap malam untuk para penumpang.

„What do you want to eat?, we have rice with scramble eggs, noodle with sausage, or...“
„Terserah mbak!“ jawabku memotong. Ku tahu, pramugari itu terhenyuk mendengar jawaban kasarku. Okay, katanya sambil tersenyum, lalu menanyakan hal yang sama kepada Firman.
„Yu, plis jangan marah ya. lo kenapa sih? Dari tadi kelihatannya keseeel terus,“ tanya Firman sambil membuka menu yang telah dipilihnya.
„Kesel aja. Boleh, kan?“ jawabku ketus.
„Kesel boleh, tapi di waktu yang pas dong. Bukannya gue sok tua yah, kayaknya nggak pantes deh lo ngebentak pramugari tadi. Dan nggak pantes juga tadi lo ngedorong tubuh nyokap lo saat dia mau meluk lo,“ lanjutnya lagi. „Gue malah pengen bisa meluk tubuh nyokap gue selama mungkin,“
Aku diam, mulai menyantap hidangan.
„Jangan buat orang tua marah. Nanti kalau kiriman uang lo di-stop gimana hayo? Susah kan lo nanti jadinya,“
„Gue yakin, mereka nggak bakal nyetop kiriman uang,“ jawabku. „Mereka yang mau gue nerusin sekolah di Jerman. Ini semua cita-cita mereka. Mereka teralu terobsesi sama diri gue“
Firman hanya menatap.
„Tujuan lo ke Jerman buat apa?“ tanyaku.
„Buat sekolah lah. Hari gini, masa buat hura-hura,“
„Berarti kita berkebalikan. Tujuan gue justru buat hura-hura. Dengan gue ke Jerman, gue bisa lepas dari orang tua gue, pergi dari kehidupan di rumah yang membosankan,“
„Lo gak kasihan dengan orang tua lo? Lo kan anak semata wayang,“
„Tau apa lo soal anak semata wayang? Gue benci dengan sebutan itu. Apakah anak semata wayang harus terus bersama orang tua?“

Bruk bruk bruk. Pembicaraan kami terhenti saat pesawat kami tiba-tiba seperti berputar tak tentu arah. Makanan kami berhamburan.

Ting. Flight attendant, please come!

Dan para pramugari itu cepat-cepat kembali ke kursi mereka.

To all passengers, please return to your seats and fasten your seatbelts for we are expecting turbulances due to the bad weather. Thank you.

Suasana mendadak menjadi sepi. Yang ada hanyalah ketakutan. Lampu pesawat dipadamkan.
Tiba-tiba yang terlintas di pikiranku adalah kedua orang tuaku. Entah, padahal aku membenci mereka, namun saat ini wajah mereka seakan tepat di pelupuk mataku.

This is your captain speaking. Ladies and gentlemen, please take emergency landing position immediately.

Pesawat kami tiba-tiba manukik, turun dengan kecepatan yang luar biasa cepat. Semua orang panik. Panik sambil berusaha mengenakan baju pengaman dan meraih selang oksigen yang muncul dari atas kepala.

Mama, papa, mengapa saat ini kalian yang berada dalam pikiranku.

Jeritan di mana-mana, tubuh kami bertambah berat akibat pengaruh gravitasi berlebih, pesawat semakin cepat melaju ke bawah. Aku sadar. Aku akan mati. Ya, aku akan merasakan pedihnya sakratul maut sesaat lagi. Asyhadu alaa illaaha ilallah, wa asyhadu anna muhammadarrasulullah.

Ledakan besar, api, dan aku tak ingat lagi apa-apa.

***

Mataku terbelalak, tubuhku basah. Hanya sebuah mimpi buruk. Kulihat jam dinding yang menunjukkan pukul tiga pagi. Aku menangis, menangis sejadi-jadinya. Beberapa jam dari sekarang aku akan pergi meninggalkan rumah ini, dan, pikiranku kembali kepada mama dan papa.

Ku beranjak keluar kamar, ku lihat seseorang bermukena putih bersimpuh di dalam mushalla mengerjakan tahajud rutinnya. Itu mama. Ya, itu mama. Mama.
„Mama!“
Wanita separuh baya itu menatapku dengan air mata yang masih menggenang di pelupuk mata.
„Bayu, kok belum tidur? Kamu harus istirahat cukup. Perjalanan ke Jerman nanti akan menguras tenaga,“ katanya.
Ku rangkul tubuhnya. Ku peluk hangat.
„Ma, Bayu nggak mau ke Jerman, ma. Bayu mau sama mama,“ kataku dengan tangis yang mulai mengalir.
„Kamu bicara apa sih, sayang. Jam lima sore nanti kan kamu sudah harus terbang ke Jerman,“ katanya lembut, walau kutahu, perih yang dirasakannya saat ini.

Mama, yang sudah berbuat banyak untukku. Menjamin aku mendapat susu tiap hari saat ku kecil, menemaniku melukis saat aku di taman kanak-kanak, hingga sampai saat ini, kata-kata yang keluar setiap aku pulang ke rumah adalah „Bayu, sudah makan atau belum,“

„Mama sadar, apapun bisa terjadi nanti. Bayu, kamu anak mama semata wayang. Pun kamu hanyalah titipan Allah yang harus mama jaga. Jika kamu, atau mama, dipanggil oleh Yang Menciptakan kita, maka tidak ada yang dapat kita perbuat lagi selain mengikhlaskannya“.

Mama, tahukah kau, kalau aku baru bermimpi buruk tadi.

Mushab Syuhada
Berlin 2006

1 comment:

catatan pianissimo said...

Hmmppff...
deg-deg-an aq bacanya..