Thursday, September 08, 2005

Producing Tee


Teh poci hangat wangi segar
Menjadi pewarna diriku setiap sore
Sendiri, menghirupnya sambil memandangi bukit-bukit
Atau memandangi rumput dan padi yang menari karena angin

Rindu Rindu Rindu, Bayangan Senja, Jakarta 2003

Hehehe, postingan kali ini gue awali dengan cuplikan puisi gue yang ada kata ‘teh’-nya. Kenapa? Kenapa lagi kalau bukan tema teh yang akan gue angkat kali ini. Di postingan gue sebelumnya, gue pernah menjanjikan liputan pembuatan teh dari pengalaman yang gue dapatkan selama praktikum. Pertengahan bulan Agustus kemarin, gue telah menyelesaikan praktikum di sebuah perkebunan dan pabrik teh di kawasan Lembang, Jawa Barat. Berikut laporan pembuatan teh, dari mulai dipetik, sampai siap untuk dikonsumsi.

Pemetikan

Di pagi hari yang sejuk gue sudah mendaki perkebunan teh untuk melihat para petani teh melakukan pemetikan. Ini merupakan bagian yang penting dalam keseluruhan proses pembuatan teh. Pasalnya, kualitas teh yang akan diperdagangkan jelas dipengaruhi oleh kualitas pucuk-pucuk teh yang diseleksi oleh para petani ini. Di perkebunan ini ada dua jenis teh. Pertama teh Sigling. Jenis ini merupakan hasil dari penyemaian bibit-bibit teh. Kedua, teh Stek, yang merupakan hasil perkembangbiakan melalui cara stek. Jadi ranting tanaman teh yang sudah dipotong, ditimbun dalam tanah, sehingga akan tumbuh teh-teh baru. Tanaman dengan jenis Sigling telah ditanam sejak tahun 1836 sedangkan jenis Stek ditanam pada sejak tahun 1869. Keduanya sejak masih dalam masa pemerintahan kolonial Belanda.

Untuk memetik teh tidak boleh sembarangan. Dibutuhkan keterampilan. Pertama, teh yang dipetik harus yang masih muda dan mulus. Kedua, memetiknya dengan cara dicongkel (ditaruk – bahasa sananya) pada bagian pangkal batang. Ketiga, sang pemetik harus tahu apakah teh yang dipetiknya merupakan jenis P+1, P+2, P+3, P+4, BM1, atau BM2 (penjelasan di bawah). Keempat, teh tidak boleh dipegang dengan sarung tangan dan juga tidak boleh terlalu lama digenggam oleh tangan karena bisa merusak keadaan daun teh tersebut. Kelima, teh yang telah dipetik tidak boleh terkena sinar matahari dan juga harus kedap air. Hal ini untuk menjaga agar kandungan asam amino yang ada dalam daun tidak mengendap keluar. Karena jika asam aminonya keluar, cita rasa tehnya akan berubah. Untuk perawatan tanahnya sendiri dibutuhkan pupuk-pupuk seperti pupuk kimia, pupuk TSP, atau pupuk Urea.

Selanjutnya adalah proses penimbangan. Teh yang telah dipetik segera ditimbang dan diangkut dengan menggunakan truk untuk dibawa ke pabrik. Semakin berat timbangan teh yang berhasil dipetik oleh seorang petani, semakin banyak pula upahnya.

Analisis

Pintu gerbang yang menghubungkan antara kebun teh dengan pabrik adalah proses analisis. Ada dua istilah penting untuk analisis ini, yaitu Antik dan Ancuk. Antik adalah analisis petik dan Ancuk adalah analisis Pucuk. Proses analisis ini membutuhkan keterampilan di bidang statistika, karena dengan analisis ini akan diketahui seberapa bagus kualitas daun teh, berapa biaya produksi yang dibutuhkan, seberapa banyak bahan bakar yang dibutuhkan, berapa upah yang akan didapatkan oleh para petani, berapa harga jual produksi, dan lain sebagainya.

Pada Antik teh dikumpulkan berdasarkan jenis pucuknya. Ada P+1 yang berarti sebuah pucuk dengan satu daun teh. Begitu pula dengan P+2, P+3, P+4. cara mengklasifikasikannya lumayan susah lho. Waktu itu semua teh yang telah gue klasifikasi gagal total, sehingga menambah kerjaan pegawai Antik di sana. Uhuhuhu. Kalau BM1 adalah pucuk dengan satu daun teh yang masih muda atau baru menyembul. Begitu pula dengan BM2. Ada istilah lagi yaitu BT alias batang tua. Berarti pucuk yang diambil sudah tua dan tidak layak untuk diproses. Namun, teh-teh ini diambil secara acak di ruang pelayuan. Jadi walaupun ada teh yang rusak atau tua, tetap saja akan diproduksi terus.

Selanjutnya adalah Ancuk. Analisis ini berguna untuk menghitung kadar air dalam daun teh dan juga untuk mengukur rasio pucuk basah dan pucuk kering. Ini berguna untuk menghitung pemakaian bahan bakar ketika proses pengeringan nanti. Standar rasio pucuk basah dan kering adalah 0,30. Lebih dari itu berarti boros bahan bakar, dan kurang dari itu berarti irit bahan bakar.

Mari kita mengukur kadar air. Caranya, pucuk yang sudah dianalisis petik, diambil secara acak lagi sebanyak 100 gram, lalu kembali dipisahkan menurut kualitas. Apakah kualitasnya baik, sedang, atau buruk. Selanjutnya ditimbang, dan hasil timbangannya dibagi dengan kelipatan persekutuan terkecil (KPK – temennya FPB, matematika ketika SD). Barulah kita mengambil sampel kelipatan itu.

Setelah itu, pucuk diiris tipis-tipis dan dimasukkan dengan ke dalam alat Halogen Moisture Constant. Dengan alat itu dapat diketahui berapa besar kadar air dalam pucuk tersebut.

Proses

Setelah analisis teh selesai, semua teh masuk dalam alat pelayauan. Dengan menggunakan alat Mixing Chamber yang berukuran panjang 35 meter dan lebar 1,8 meter, serta mampu menampung sampai dengan kapasitas 2100 kg, semua teh dibiarkan layu dengan udara yang dihembuskan dari bawah mesin selama 18 sampai 20 jam.

Pucuk yang telah layu dengan kadar kelayuan antara 68 – 70 %, segera digiling dan dimasukkan kedalam alat confayer. Setelah itu dilakukan pembersihan terhadap debu atau kotoran yang menempel pada daun teh, dengan alat GLS (Green Leaf Sifter). Selanjutnya, daun the akan digiling lagi hingga lebih halus, dan dipotong-potong hingga tipis oleh mesin CTC 1 pada suhu 28 derajat celcius.

Perlu diketahui, pabrik teh ini dikenal dengan nama CTC karena menggunakan mesin CTC. Ada lagi pabrik yang lain yang dikenal dengan nama Orthodox karena menggunakan mesin Orthodox. Perbedaan antara kedua mesin, sayangnya nggak gue ketahui.

Setelah melalui mesin CTC 1, penggilingan dilanjutkan dengan mesin CTC 2, CTC 3, dan CTC 4, pada suhu masing-masing 30, 32, dan 34 derajat celcius. Pada keadaan ini teh sudah berbentuk sangat halus. Selanjutnya bubuk-bubuk teh itu dimasukkan dalam alat FU alias Fermenting Unit. Dari namanya kita akan mengira bahwa teh akan difermentasi. Tapi kalau bicara tentang fermentasi, maka pikiran kita akan tertuju dengan penggunaan bakteri atau mikroba khusus. Padahal, dalam proses ini tidak memakai mikroba apapun. Jadi, menurut gue proses ini lebih tepat dinamakan oksidasi enzymatis, karena menggunakan media udara untuk difermentasikan. Dalam sebuah acara makan siang, gue sempat mendengar seorang senior atau pakar dalam dunia teh sedang menjelaskan proses tersebut kepada para insinyur yang bekerja di sana. Ia menjelaskan juga tentang kesalahan penggunaan istilah dalam proses tersebut. Kata dia, proses tersebut adalah proses apa gitu (gue lupa, soalnya pakai bahasa ilmiah dan gue nggak mencatatnya. Malu dong, lagi acara makan siang malah sibuk mencatat).

Lama dari fermentasi tersebut sekitar 63 menit. Lalu dilanjutkan pada fermentasi terakhir sampai teh berwarna cokelat tanah dan bersuhu 27 derajat celcius. Proses tadi bertujuan untuk mematangkan dan mensterilkan teh sehingga layak untuk dikonsumsi.

Proses terakhir adalah pengeringan dan pengepakan. Di sini diperlukan bahan bakar untuk mengerjakan alat pengeringan itu. Setelah kering, teh siap dikonsumsi dan diperdagangkan. Namun sebelum itu, teh tersebut harus melalui tahap analisis cita rasa yang diuji oleh para insinyur. Demikianlah cara membuat teh. Tertarik?

Oh ya, dalam proses praktikum gue menginap dirumah seorang pegawai bernama Pak Aam. Kalau pak Aam membaca blog ini, terimakasih saya ucapkan untuk bapak dan ibu yang telah bersedia direpotkan dengan kedatangan saya. Terimakasih untuk keluarga Pak Haji Ridwan yang telah membantu saya habis-habisan. Mbak Wida! Ada titipan selai pisang dan beberapa film korea nih! Terimakasih juga untuk semua pegawai yang telah membantu saya, saling bertukar informasi, bersedia ditanyakan macam-macam, dan bersedia mengantar ke mana-mana. Terimakasih banyak! Dan juga untuk teman-teman gue di Bandung, terimakasih juga sudah mau direpotkan. Buat Nico yang nyediain rumah untuk nginep dan menaruh barang-barang serta udah mau mengantar-jemput di tengah-tengah kesibukannya di himpunan, buat Ridwan yang udah mau diculik malem-malem buat nemenin gue ke Lembang, buat Adit – hei dit, akhirnya kita bertatap muka juga. Dan buat beberapa anak 61 angkatan 2005 yang masuk ITB dan secara nggak sengaja bertemu gue di depan McD Simpang. Gini yah, perlu gue jelaskan, gue bukan anak ITB, tapi gue di Bandung untuk berpraktikum. Jadi kalau kalian nyangka gue anak ITB, sampe kapan juga kalian nggak bakal nemu gue di sana. Hehehe.

No comments: