Alhamdulillah, semua dilancarkan.
Dari mulai berangkat ke bandara, di mana papa mengantar anaknya dengan kecepatan mobil yang super duper cepat. Dari Duren Sawit ke Cengkareng cuma ditempuh dalam waktu 33 menit. Alhamdulillah nggak kena macet.
Di bandara, bagasi gue overweight sampai 30 kilo, padahal jatahnya hanya 20 kilo. Alhamdulillah lolos dengan mudah ketika check in. Sekali lagi dilancarkan.
Di Bandar Seri Begawan mendapat penginapan yang nyaman, serta dapat keliling melihat-lihat kota itu. Padahal sudah berpikir bakal mendapat masa transit yang melelahkan sekaligus membosankan. Alhamdulillah dilancarkan lagi.
Di dalam pesawat sampai di dalam kereta semua serba lancar dan mendapat kemudahan. Alhamdulillah.
Pada hari senin, gue berhasil menyelesaikan beberapa urusan seperti membuat keterangan asuransi, bertanya ke TU, buat janji dengan Ausländerbehörde, dsb. Semua selesai hanya dalam satu hari! dan hari selasa gue telah melakukan imatrikulasi di kampus. Alhamdulillah.
-- maka nikmat Tuhanmu manakah yang kau dustakan --
Terimakasih kepada semua pendoa. Oh ya, doakan yah, saluran internet gue lagi ngambek nih. Suka error. Suka mati sendiri nggak jelas, semoga cepat kembali normal sehingga bisa terus meng-update blog.
Setiap detik adalah makna, setiap masa adalah rasa, sulit membayangkan bahwa manusia tidaklah istimewa, perjalanan kita, dalam arus debu aksara - Dimas Abdirama
Wednesday, September 28, 2005
Thursday, September 22, 2005
There Will Be A Time For Everything
Tidak terasa waktu terus berjalan dan melangkah. Jadi teringat, waktu itu bulan Juni. Gue sedang sibuk-sibuknya menghadapi ujian. Tiap hari kerjaan gue kalo nggak di perpustakaan wohnheim (tempat tinggal gue), ya di perpustakaan nasional. Tinggal cari gue di kedua tempat itu kalau mau ketemu gue. Setelah selesai ujian, gue bersiap-siap pulang ke Indonesia. Waktu itu sempet jalan-jalan ke Paris dan satu minggu kemudian terbang ke Jakarta.
Di Jakarta gue seneng banget! Gimana nggak seneng, gue bisa bertemu kembali dengan keluarga gue setelah satu setengah tahun nggak jumpa, cuma dengar kabar lewat telepon atau SMS saja. Sekarang, gue bisa bertemu mereka! Rutinitas sehari-hari di Berlin pun gue tinggalkan. Kalau biasanya bangun pagi lalu cuci piring atau pergi belanja, kini bangun pagi, nonton berita, terus tidur lagi deh. Cuci piring juga cuma sesekali aja kalau lagi niat. Pokoknya santai all time every time.
Teman-teman gue satu persatu berdatangan ke rumah, gue sempat berkunjung kembali ke sekolah gue. Ketika malam minggu, gue diajak mengikuti pengajian. Pokoknya tiada hari tanpa bepergian. Minggu berikutnya gue dan keluarga gue melaksanakan ibadah umroh selama satu minggu. Masih teringat saat-saat berlama-lama di Masjid Nabawi, saat melihat Ka’bah di Masjidil Haram, saat bertawaf dan bersa’i. Everything was very very beautiful.
Selesai itu gue sempat jalan-jalan bersama para penghuni Jerman yang sedang di Indonesia. Terciptalah cerita ini. Minggu berikutnya gue pergi ke Bandung untuk bertamasya dengan memakai kedok praktikum. Setelah selesai berkebun, selesai pulalah waktu tamasya gue. Beberapa hari kemudian gue dioperasi di rumah sakit ini. Dan karena habis operasi, gue nggak bisa pergi kemana-mana. Padahal sudah banyak ajakan, ada yang ngajak reunian teman-teman kursus Bahasa Jerman, ada undangan pernikahan, ada yang ngajak ke Bogor buat LDKS, ada yang ngajak nonton Pentas Seni Islam, dan lainnya. Jadwal kepulanganpun gue undur.
Gue juga sempat jalan-jalan dengan teman SMP. Ada yang bela-belain bolos kuliah di UGM dan pergi ke Jakarta demi ketemu gue! Hiks, jadi terharu lagi. Kami menghabiskan sore dengan makan di Roti Bakar Edi di belakang Al-Azhar.
Kata seorang sahabat, gue harus menentukan nasib gantungan kunci. Nggak ada yang ngerti maksudnya, kan?
Setelah keadaan sudah agak baikan, gue bersama teman-teman Jerman yang sedang berada di Indonesia mengunjungi Pak Nur Azzam, Abi Aska, dan Pak Aceng di Bogor. Setelah itu, gue memutuskan untuk diam di rumah menanti tanggal kepulangan dan menikmati detik-detik terakhir di sini.
Memang benar. Kata seseorang, jangan berada di Indonesia lebih dari satu bulan. Karena kalau sudah lebih dari satu bulan, bakalan berat meninggalkan Indonesia. Itu betul! It’s too hard to leave my Jakarta. Tapi itulah hidup. Kata seorang sahabat, there will be a time for everything. Jadi yah, ini saatnya gue harus kembali ke Jerman. Insya Allah dengan semangat baru.
Jadi ingat lagunya Ismail Marzuki yang berjudul Juwita Malam. Ada satu bait yang menggambarkan keadaan gue saat ini. Bait itu pun gue rubah dengan mengacu pada perkembangan jaman. Hehehe.
Bait yang benar:
Kereta kita
Segera tiba
Di Jatinegara kita kan berpisah
Berilah nama
Alamat serta
Esok lusa boleh kita jumpa pula
Bait yang telah dirubah (nyanyikan dengan nada lagu Juwita Malam):
Pesawat kita
Segera terbang
Di Soekarno-Hatta kita kan berpisah
Berilah nama
Alamat e-mail
Tahun depan boleh kita jumpa pula
Au Revoir Jakarta! Ini bagian yang paling gue nggak suka. Saat senja. Waktu itu juga senja ketika gue pergi ke Jerman untuk yang pertama kali. Sekarang juga begitu. Dengan tenggelamnya matahari, tenggelam pula saat gue di negara ini. Pasti hujan air mata mewarnai bandara kala itu. Aihh... terlalu mendramatisir deh!
Di Jakarta gue seneng banget! Gimana nggak seneng, gue bisa bertemu kembali dengan keluarga gue setelah satu setengah tahun nggak jumpa, cuma dengar kabar lewat telepon atau SMS saja. Sekarang, gue bisa bertemu mereka! Rutinitas sehari-hari di Berlin pun gue tinggalkan. Kalau biasanya bangun pagi lalu cuci piring atau pergi belanja, kini bangun pagi, nonton berita, terus tidur lagi deh. Cuci piring juga cuma sesekali aja kalau lagi niat. Pokoknya santai all time every time.
Teman-teman gue satu persatu berdatangan ke rumah, gue sempat berkunjung kembali ke sekolah gue. Ketika malam minggu, gue diajak mengikuti pengajian. Pokoknya tiada hari tanpa bepergian. Minggu berikutnya gue dan keluarga gue melaksanakan ibadah umroh selama satu minggu. Masih teringat saat-saat berlama-lama di Masjid Nabawi, saat melihat Ka’bah di Masjidil Haram, saat bertawaf dan bersa’i. Everything was very very beautiful.
Selesai itu gue sempat jalan-jalan bersama para penghuni Jerman yang sedang di Indonesia. Terciptalah cerita ini. Minggu berikutnya gue pergi ke Bandung untuk bertamasya dengan memakai kedok praktikum. Setelah selesai berkebun, selesai pulalah waktu tamasya gue. Beberapa hari kemudian gue dioperasi di rumah sakit ini. Dan karena habis operasi, gue nggak bisa pergi kemana-mana. Padahal sudah banyak ajakan, ada yang ngajak reunian teman-teman kursus Bahasa Jerman, ada undangan pernikahan, ada yang ngajak ke Bogor buat LDKS, ada yang ngajak nonton Pentas Seni Islam, dan lainnya. Jadwal kepulanganpun gue undur.
Gue juga sempat jalan-jalan dengan teman SMP. Ada yang bela-belain bolos kuliah di UGM dan pergi ke Jakarta demi ketemu gue! Hiks, jadi terharu lagi. Kami menghabiskan sore dengan makan di Roti Bakar Edi di belakang Al-Azhar.
Kata seorang sahabat, gue harus menentukan nasib gantungan kunci. Nggak ada yang ngerti maksudnya, kan?
Setelah keadaan sudah agak baikan, gue bersama teman-teman Jerman yang sedang berada di Indonesia mengunjungi Pak Nur Azzam, Abi Aska, dan Pak Aceng di Bogor. Setelah itu, gue memutuskan untuk diam di rumah menanti tanggal kepulangan dan menikmati detik-detik terakhir di sini.
Memang benar. Kata seseorang, jangan berada di Indonesia lebih dari satu bulan. Karena kalau sudah lebih dari satu bulan, bakalan berat meninggalkan Indonesia. Itu betul! It’s too hard to leave my Jakarta. Tapi itulah hidup. Kata seorang sahabat, there will be a time for everything. Jadi yah, ini saatnya gue harus kembali ke Jerman. Insya Allah dengan semangat baru.
Jadi ingat lagunya Ismail Marzuki yang berjudul Juwita Malam. Ada satu bait yang menggambarkan keadaan gue saat ini. Bait itu pun gue rubah dengan mengacu pada perkembangan jaman. Hehehe.
Bait yang benar:
Kereta kita
Segera tiba
Di Jatinegara kita kan berpisah
Berilah nama
Alamat serta
Esok lusa boleh kita jumpa pula
Bait yang telah dirubah (nyanyikan dengan nada lagu Juwita Malam):
Pesawat kita
Segera terbang
Di Soekarno-Hatta kita kan berpisah
Berilah nama
Alamat e-mail
Tahun depan boleh kita jumpa pula
Au Revoir Jakarta! Ini bagian yang paling gue nggak suka. Saat senja. Waktu itu juga senja ketika gue pergi ke Jerman untuk yang pertama kali. Sekarang juga begitu. Dengan tenggelamnya matahari, tenggelam pula saat gue di negara ini. Pasti hujan air mata mewarnai bandara kala itu. Aihh... terlalu mendramatisir deh!
Sunday, September 18, 2005
Cerita Tentang Dia
Pagi itu seseorang datang ke rumahku.
„Assalamu’alaykum. Dimas, ayo ikut gue ke Gramedia“
„Hah! Lo nggak bilang-bilang gue dulu! Gue kan belum mandi!“
„Udah nggak usah mandi deh“
„Enak aja. Nanti siang kan shalat Jumat!“
„Cuci muka aja“
„Kan kemarin gue bilang, kalau hari ini jadi pergi, satu jam sebelumnya lo harus telepon gue biar gue bisa siap-siap!“
„Apaan, lo nggak bilang begitu!“
„Doch! Jelas-jelas kemarin gue bilang! Lo nya aja yang...“
Adu mulut, rutinitas kami setiap saat bertemu. Dia baru satu minggu di Jakarta, tapi kami sudah yang kesekian kali beradu mulut. Ini tatap muka yang kedua, yang terakhir di stasiun Zoologischer Garten saat dia mengantar kepulanganku satu setengah bulan yang lalu. Dia masih sama. Suka berkomentar dan suka nyeloteh yang lucu-lucu.
Contoh komentar-komentarnya:
Bertempat di Gramedia Matraman, sebuah rak buku bacaan novel remaja dipenuhi oleh anak-anak berseragam SMA. Rata-rata anak cewek. Pakai rok panjang abu-abu, baju lengan panjang putih yang digulung sampai siku, dan kerudung yang sudah menjuntai di bahu. Hari itu hari Jumat, seluruh sekolah di Jakarta mewajibkan siswa-siswinya mengenakan busana sekolah muslim-muslimah. Jumlah mereka banyak. Berjejer memblokir jalanan di depan rak buku sambil asik sendiri membolak-balik tiap lembar novel yang ada di tangannya. Mereka nggak memperdulikan orang lain yang ingin mencari atau mengambil buku yang ada di rak di depan mereka. Kalau kita bilang permisi, pasti mereka menggeser posisi dengan wajah yang manyun atau decakan kesal. Serasa Gramedia milik mereka deh. Jadi serba salah.
Aku sudah tahu, dia sebal banget melihat kelakuan anak-anak SMA itu.
„Tahu nggak, Mas. Dari tadi bau apa yang gue cium?“
„Apa?“
„Bau cologne-nya anak-anak SMA“
Tahukan bau cologne anak-anak SMA? Ya gitu deh, wangi-wangi segar tapi telah terkontaminasi dengan aroma keringat tubuh.
***
„Aduh, Mas. Kacamata lo itu loh, frame-nya extrem banget!“ kata dia di dalam mobil. Sekarang giliran kacamataku yang terkena komentar.
Padahal, kacamataku biasa aja kok. Ini kacamata kompakan sekeluarga. Kacamata ayah dan ibuku juga framenya seperti ini. Warnanya hitam, dan bingkai sampingnya setebal satu centi. Kata kakakku malah kacamata seperti ini sudah nggak jaman.
„Semenjak lo di Jakarta, Mas, gaya lo berubah banget deh. Gue rasa orang-orang Berlin bakalan syok ngeliat gaya lo yang baru!“ komentarnya lagi.
Padahal nggak banyak perubahan kok. Cuma rambut yang sudah tidak lagi cepak botak, melainkan agak panjang dan dibelah pinggir, dan kadang-kadang suka memakai gelang karet warna-warni di lengan yang sekarang lagi in di kota ini.
„Elo tahu pria metroseksual, Mas? Yang kayak di postingannya Mbak Amel?“ tanyanya. „Ya kayak lo gitu tuh“ lanjutnya.
„Enak aja!“ balasku.
***
Ketika masih di Gramedia, kami mencari sebuah buku karangan penulis favorit kami, Helvy Tiana Rosa. Sebut saja buku itu berjudul ‚Ketika Mbak Ayu Pulang’. Kami mencari di komputer pencari buku, dan di situ tertulis bahwa buku itu tinggal satu-satunya. Lantas kami bertanya pada seorang petugas mengenai letak dan keberadaan buku itu. Tapi rupanya si petugas tidak tahu di mana buku itu berada dan bertanya pada seorang rekannya yang berjarak hanya dua meter dari dirinya dengan suara yang lantang dan keras.
„Eh, buku ‚Ketika Mbak Ayu Pulang’ di mana, ya??“
Kontan beberapa kelompok pengunjung yang ada di situ – yang kami yakini tahu atau pernah membaca buku itu – segera menoleh ke arah kami sambil tersenyum-senyum. Kami pura-pura nggak tahu dan pergi menjauhi si petugas.
„Aduh! Teriak dia, Jo! Nggak pake toa sekalian, Pak? Biar segedung ini dengar semua?“ komentarnya.
***
Yang terakhir ketika kami di warnet.
„Mas, baca deh testimonial gue dari Farah (20, Mahasiswi UI, bukan nama sebenarnya)“.
Aku membacanya lalu langsung cekikikan sendiri karena testimonialnya lucu. Ada kata mahligai-lah, suamiku-lah, meninggalkanku-lah, pangeranku-lah, pokoknya kata-kata seperti itu deh.
„Mana sebelumnya baru aja si Monik (20, bukan nama sebenarnya) ngasih testimonial yang isinya nggak jauh beda kayak gini. Bisa disangka apa gue? Disangka cowok buaya gue sama orang-orang“.
Tawaku langsung meledak-ledak.
***
Itulah dia. Sabtu kemarin adalah pertemuan terakhir kami. Semestinya sih Jumat kemarin pertemuan terakhirnya, soalnya hari sabtu pagi dia bilang akan pergi ke Anyer. Tapi ternyata dia membatalkan kepergiannya ke sana. Aku yakin, itu pasti karena Morning Sick. Itu lho, sakit yang hanya datang di pagi hari karena rasa kantuk yang menstimulasi saraf-saraf di tubuh dan mendorong kerja kelenjar untuk tidak melakukan aktivitas lain saat itu selain tidur.
Bagaimanapun, kami akan bertemu lagi lebaran nanti.
„Maaf lahir batin ya“ ucapku sambil mengulurkan tangan dari luar kaca jendela saat ia mengantarku pulang sampai di depan rumah.
„Sama-sama, Mas“ balasnya sambil tersenyum. „Sukses ya“ lanjutnya. Setelah dia berkata, ia tidak segera pergi. Ia masih termenung di dalam mobilnya.
„Kenapa?“tanyaku. Aku tahu, sisi melankolisnya sedang keluar membuncah saat itu.
„Gue takut, Mas. Nanti di Darmstadt gue kesepian nggak ya?“
„Nggak lah! Di sana kan banyak mahasiswa Indonesia juga, walau nggak sebanyak di Berlin. Baik-baik lagi! Nggak bakal kesepian deh“ jawabku. „Nanti lebaran main ke Berlin ya!“
„Insya Allah, ya. Kalau ada duit dan waktu, gue bakal main ke Berlin“ sahutnya. Namun ia masih tetap termenung di dalam mobil itu.
„Kenapa lagi? Mestinya kan lo seneng nggak ada yang ngerjain lo lagi di sana. Lo nggak nyesel kan dengan keputusan lo meninggalkan Berlin untuk kuliah di Darmstadt?“
„Nggak. Insya Allah, nggak nyesel“ kata dia mantap setelah sekian detik terbisu. Lalu ia mengucapkan salam dan pergi.
Ingat nggak, waktu sebelum kita berangkat ke Jerman dulu, kita sering berkirim e-mail dengan seorang kakak. Dalam salah satu e-mailnya ia berkata: EVERYTHING YOU CHOOSE, CONSEQUENCY IS A MUST. Jadi, selamat jalan dan selamat menjalankan keputusan, ya!
Jakarta, 18 September 2005
Mushab Syuhada
Daftar istilah:
Doch: Kata pertentangan atau penegasan dalam bahasa Jerman. Bila statement yang dikeluarkan negatif, padahal dalam realitas positif, barulah kata ini dikeluarkan (terjemahan bebas). Kata ini banyak diucapkan oleh masyarakat Indonesia di Jerman.
Zoologischer Garten: Artinya Kebun Binatang. Zoologischer Garten adalah stasiun kereta terbesar di Berlin, mencakup U-Bahn, S-Bahn, Fernzug, sampai ICE. Ketika penyelenggaraan piala dunia tahun 2006 nanti, stasiun ini akan ditutup untuk perjalanan ke luar kota dan akan dipindahkan ke stasiun yang lebih besar lagi – Berlin Hauptbahnhof Lehrter Bahnhof.
Manyun: Cemberut.
Cologne: Kolonyo. Biasa disebut eau de cologne, sejenis cairan mirip parfum dengan wangi yang menyegarkan dan juga terasa segar di kulit. Sesuai namanya, cologne dibuat pertama kali di Jerman, tepatnya di kota Köln (bahasa inggris: kota Cologne).
Frame: Bingkai.
Gelang karet warna-warni: Banyak dipakai di kalangan anak muda. Ada yang bilang sebagai gelang persahabatan. Ada yang bilang hasil penjualan gelang ini akan dipakai untuk kegiatan sosial seperti peduli jantung, peduli AIDS, peduli narkoba, dsb. Pada gelang tersebut tertulis kata-kata seperti ‚Truth’, ‚Best Friend’, ‚Love’, ‚I Feel Lucky’, dsb. (Mohon dikoreksi bila salah).
Pria Metroseksual: lihat ini.
Toa: Alat pengeras suara.
Warnet: Warung Internet
Testimonial: Dalam bahasa Inggris berarti sebuah tulisan rekomendasi yang dapat menggambarkan kualitas sesuatu atau seseorang. Demam Friendster di Indonesia membuat berbagai kalangan mengenal istilah ini dan dijadikan ajang untuk menceritakan seseorang (siapa dia, bagaimana dia, pengalaman apa saja dengan dia, dsb).
Morning Sick: Sakit di pagi hari.
Buncah, membuncah: Meledak-ledak, bergelora, kacau, rusuh, hati, keruh, bingung.
Darmstadt: Sebuah kota pelajar di sebelah barat Jerman, tepatnya di negara bagian Hessen, tidak jauh dari Frankfurt.
„Assalamu’alaykum. Dimas, ayo ikut gue ke Gramedia“
„Hah! Lo nggak bilang-bilang gue dulu! Gue kan belum mandi!“
„Udah nggak usah mandi deh“
„Enak aja. Nanti siang kan shalat Jumat!“
„Cuci muka aja“
„Kan kemarin gue bilang, kalau hari ini jadi pergi, satu jam sebelumnya lo harus telepon gue biar gue bisa siap-siap!“
„Apaan, lo nggak bilang begitu!“
„Doch! Jelas-jelas kemarin gue bilang! Lo nya aja yang...“
Adu mulut, rutinitas kami setiap saat bertemu. Dia baru satu minggu di Jakarta, tapi kami sudah yang kesekian kali beradu mulut. Ini tatap muka yang kedua, yang terakhir di stasiun Zoologischer Garten saat dia mengantar kepulanganku satu setengah bulan yang lalu. Dia masih sama. Suka berkomentar dan suka nyeloteh yang lucu-lucu.
Contoh komentar-komentarnya:
Bertempat di Gramedia Matraman, sebuah rak buku bacaan novel remaja dipenuhi oleh anak-anak berseragam SMA. Rata-rata anak cewek. Pakai rok panjang abu-abu, baju lengan panjang putih yang digulung sampai siku, dan kerudung yang sudah menjuntai di bahu. Hari itu hari Jumat, seluruh sekolah di Jakarta mewajibkan siswa-siswinya mengenakan busana sekolah muslim-muslimah. Jumlah mereka banyak. Berjejer memblokir jalanan di depan rak buku sambil asik sendiri membolak-balik tiap lembar novel yang ada di tangannya. Mereka nggak memperdulikan orang lain yang ingin mencari atau mengambil buku yang ada di rak di depan mereka. Kalau kita bilang permisi, pasti mereka menggeser posisi dengan wajah yang manyun atau decakan kesal. Serasa Gramedia milik mereka deh. Jadi serba salah.
Aku sudah tahu, dia sebal banget melihat kelakuan anak-anak SMA itu.
„Tahu nggak, Mas. Dari tadi bau apa yang gue cium?“
„Apa?“
„Bau cologne-nya anak-anak SMA“
Tahukan bau cologne anak-anak SMA? Ya gitu deh, wangi-wangi segar tapi telah terkontaminasi dengan aroma keringat tubuh.
***
„Aduh, Mas. Kacamata lo itu loh, frame-nya extrem banget!“ kata dia di dalam mobil. Sekarang giliran kacamataku yang terkena komentar.
Padahal, kacamataku biasa aja kok. Ini kacamata kompakan sekeluarga. Kacamata ayah dan ibuku juga framenya seperti ini. Warnanya hitam, dan bingkai sampingnya setebal satu centi. Kata kakakku malah kacamata seperti ini sudah nggak jaman.
„Semenjak lo di Jakarta, Mas, gaya lo berubah banget deh. Gue rasa orang-orang Berlin bakalan syok ngeliat gaya lo yang baru!“ komentarnya lagi.
Padahal nggak banyak perubahan kok. Cuma rambut yang sudah tidak lagi cepak botak, melainkan agak panjang dan dibelah pinggir, dan kadang-kadang suka memakai gelang karet warna-warni di lengan yang sekarang lagi in di kota ini.
„Elo tahu pria metroseksual, Mas? Yang kayak di postingannya Mbak Amel?“ tanyanya. „Ya kayak lo gitu tuh“ lanjutnya.
„Enak aja!“ balasku.
***
Ketika masih di Gramedia, kami mencari sebuah buku karangan penulis favorit kami, Helvy Tiana Rosa. Sebut saja buku itu berjudul ‚Ketika Mbak Ayu Pulang’. Kami mencari di komputer pencari buku, dan di situ tertulis bahwa buku itu tinggal satu-satunya. Lantas kami bertanya pada seorang petugas mengenai letak dan keberadaan buku itu. Tapi rupanya si petugas tidak tahu di mana buku itu berada dan bertanya pada seorang rekannya yang berjarak hanya dua meter dari dirinya dengan suara yang lantang dan keras.
„Eh, buku ‚Ketika Mbak Ayu Pulang’ di mana, ya??“
Kontan beberapa kelompok pengunjung yang ada di situ – yang kami yakini tahu atau pernah membaca buku itu – segera menoleh ke arah kami sambil tersenyum-senyum. Kami pura-pura nggak tahu dan pergi menjauhi si petugas.
„Aduh! Teriak dia, Jo! Nggak pake toa sekalian, Pak? Biar segedung ini dengar semua?“ komentarnya.
***
Yang terakhir ketika kami di warnet.
„Mas, baca deh testimonial gue dari Farah (20, Mahasiswi UI, bukan nama sebenarnya)“.
Aku membacanya lalu langsung cekikikan sendiri karena testimonialnya lucu. Ada kata mahligai-lah, suamiku-lah, meninggalkanku-lah, pangeranku-lah, pokoknya kata-kata seperti itu deh.
„Mana sebelumnya baru aja si Monik (20, bukan nama sebenarnya) ngasih testimonial yang isinya nggak jauh beda kayak gini. Bisa disangka apa gue? Disangka cowok buaya gue sama orang-orang“.
Tawaku langsung meledak-ledak.
***
Itulah dia. Sabtu kemarin adalah pertemuan terakhir kami. Semestinya sih Jumat kemarin pertemuan terakhirnya, soalnya hari sabtu pagi dia bilang akan pergi ke Anyer. Tapi ternyata dia membatalkan kepergiannya ke sana. Aku yakin, itu pasti karena Morning Sick. Itu lho, sakit yang hanya datang di pagi hari karena rasa kantuk yang menstimulasi saraf-saraf di tubuh dan mendorong kerja kelenjar untuk tidak melakukan aktivitas lain saat itu selain tidur.
Bagaimanapun, kami akan bertemu lagi lebaran nanti.
„Maaf lahir batin ya“ ucapku sambil mengulurkan tangan dari luar kaca jendela saat ia mengantarku pulang sampai di depan rumah.
„Sama-sama, Mas“ balasnya sambil tersenyum. „Sukses ya“ lanjutnya. Setelah dia berkata, ia tidak segera pergi. Ia masih termenung di dalam mobilnya.
„Kenapa?“tanyaku. Aku tahu, sisi melankolisnya sedang keluar membuncah saat itu.
„Gue takut, Mas. Nanti di Darmstadt gue kesepian nggak ya?“
„Nggak lah! Di sana kan banyak mahasiswa Indonesia juga, walau nggak sebanyak di Berlin. Baik-baik lagi! Nggak bakal kesepian deh“ jawabku. „Nanti lebaran main ke Berlin ya!“
„Insya Allah, ya. Kalau ada duit dan waktu, gue bakal main ke Berlin“ sahutnya. Namun ia masih tetap termenung di dalam mobil itu.
„Kenapa lagi? Mestinya kan lo seneng nggak ada yang ngerjain lo lagi di sana. Lo nggak nyesel kan dengan keputusan lo meninggalkan Berlin untuk kuliah di Darmstadt?“
„Nggak. Insya Allah, nggak nyesel“ kata dia mantap setelah sekian detik terbisu. Lalu ia mengucapkan salam dan pergi.
Ingat nggak, waktu sebelum kita berangkat ke Jerman dulu, kita sering berkirim e-mail dengan seorang kakak. Dalam salah satu e-mailnya ia berkata: EVERYTHING YOU CHOOSE, CONSEQUENCY IS A MUST. Jadi, selamat jalan dan selamat menjalankan keputusan, ya!
Jakarta, 18 September 2005
Mushab Syuhada
Daftar istilah:
Doch: Kata pertentangan atau penegasan dalam bahasa Jerman. Bila statement yang dikeluarkan negatif, padahal dalam realitas positif, barulah kata ini dikeluarkan (terjemahan bebas). Kata ini banyak diucapkan oleh masyarakat Indonesia di Jerman.
Zoologischer Garten: Artinya Kebun Binatang. Zoologischer Garten adalah stasiun kereta terbesar di Berlin, mencakup U-Bahn, S-Bahn, Fernzug, sampai ICE. Ketika penyelenggaraan piala dunia tahun 2006 nanti, stasiun ini akan ditutup untuk perjalanan ke luar kota dan akan dipindahkan ke stasiun yang lebih besar lagi – Berlin Hauptbahnhof Lehrter Bahnhof.
Manyun: Cemberut.
Cologne: Kolonyo. Biasa disebut eau de cologne, sejenis cairan mirip parfum dengan wangi yang menyegarkan dan juga terasa segar di kulit. Sesuai namanya, cologne dibuat pertama kali di Jerman, tepatnya di kota Köln (bahasa inggris: kota Cologne).
Frame: Bingkai.
Gelang karet warna-warni: Banyak dipakai di kalangan anak muda. Ada yang bilang sebagai gelang persahabatan. Ada yang bilang hasil penjualan gelang ini akan dipakai untuk kegiatan sosial seperti peduli jantung, peduli AIDS, peduli narkoba, dsb. Pada gelang tersebut tertulis kata-kata seperti ‚Truth’, ‚Best Friend’, ‚Love’, ‚I Feel Lucky’, dsb. (Mohon dikoreksi bila salah).
Pria Metroseksual: lihat ini.
Toa: Alat pengeras suara.
Warnet: Warung Internet
Testimonial: Dalam bahasa Inggris berarti sebuah tulisan rekomendasi yang dapat menggambarkan kualitas sesuatu atau seseorang. Demam Friendster di Indonesia membuat berbagai kalangan mengenal istilah ini dan dijadikan ajang untuk menceritakan seseorang (siapa dia, bagaimana dia, pengalaman apa saja dengan dia, dsb).
Morning Sick: Sakit di pagi hari.
Buncah, membuncah: Meledak-ledak, bergelora, kacau, rusuh, hati, keruh, bingung.
Darmstadt: Sebuah kota pelajar di sebelah barat Jerman, tepatnya di negara bagian Hessen, tidak jauh dari Frankfurt.
Wednesday, September 14, 2005
Ketoprak
Ketoprak
Oleh: Mushab Syuhada
“Ketopraknya masih ada, pak?“ tanyaku di balik kaca mobil kepada seorang penjual ketoprak yang tiap malam mangkal di tepi jalan itu.
“Masih.. Masih banyak, mas!” sahutnya sambil tersenyum. Segera ia bangkit dari duduknya dan dengan gesit mengerjakan pekerjaannya. Kegembiraannya mendapati aku sebagai seorang pembeli terlihat dari raut wajahnya.
Aku termenung sebentar melihat semangat bapak paruh baya itu bekerja. Pandangan matanya tulus. Aku tahu, ia bekerja untuk mencari uang. Untuk menghidupinya. Dan mungkin juga untuk menghidupi anak istrinya. Sekali lagi aku berpikir, apakah cukup penghasilan seorang penjual ketoprak untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup?
“Ramai malam ini, pak?” tanyaku kepada si pemilik wajah berseri-seri itu.
“Nggak, mas. Sebulan terakhir ini sepi pembeli. Untuk malam ini ya… baru mas saja yang membeli” jawabnya. Leherku tersekat mendengar jawabannya. Pantas ia begitu gembira begitu aku menepikan mobil di depan gerobaknya. “Hanya pesan satu bungkus, mas?” tanyanya memecah lamunan singkatku
“Eh, saya pesan tiga bungkus, pak!” sahutku. Ia tersenyum sambil mengangguk.
“Berapa semua, pak?” tanyaku. Laki-laki itu menggenggam selembar uang seribu rupiah.
“Sepuluh ribu, mas” katanya. Aku tahu maksudnya. Ia memintaku memberikan sepuluh ribuan dan ia akan mengembalikan seribu rupiah yang ia genggam kepadaku. Harga tiga bungkus ketoprak itu sembilan ribu rupiah.
“Sudah, pak. Seribu rupiahnya bapak simpan saja” kataku.
“Bukan begitu, mas. Saya hanya ingin satu lembar sepuluh ribuan utuh saja. Biar tidak terlalu banyak receh” jawabnya. Lalu memasukkan selembar seribu rupiah itu pada pelastik hitam bersama tiga bungkus ketoprak. Jujur sekali bapak ini, batinku.
“Bapak punya pekerjaan lain selain berdagang ketoprak?” tanyaku lagi sambil mengambil pelastik itu.
“Tidak. Hanya jualan ketoprak saja. Pagi hari saya pergi membeli bahan-bahan dan mempersiapkan dagangan. Jam empat sore saya mulai berdagang. Walaupun hasilnya tidak seberapa, saya senang dapat berjualan dengan cara halal, mas.”
***
Dalam perjalanan pulang, aku banyak bersyukur karena saat ini aku masih bisa mengendarai sebuah merci. Orang tuaku serba berkecukupan. Rumah kami tergolong mewah di wilayah Pondok Indah. Pekerjaan orang tuaku tidak membutuhkan banyak tenaga dibandingkan dengan bapak penjual ketoprak tadi. Hanya duduk di ruangan ber-ac, membolak-balikkan kertas, angkat telepon, tanda tangan, dapat gajinya jauh berlipat-lipat dari pada bapak yang tiap malam duduk-duduk di tepi jalan itu menanti kunjungan pembeli.
“Hari gini beli ketoprak?” sahut sahabatku Arya, yang rumahnya hanya beberapa blok dari rumahku. Aku sempatkan mampir dulu menemuinya.
“Makanya gue datang kemari. Elo ambil deh ketopraknya satu bungkus. Nggak bakal habis gue makan sendirian” jawabku.
“Nah, elo udah tahu nggak bakal habis makan sendirian, ngapain lo beli sampai tiga bungkus segala?” tanyanya.
“Gue kasihan sama penjualnya. Belum ada yang beli dagangannya”
“Hmmm, gimana yah. Gue mau sih, tapi baru saja gue pergi sama bokap nyokap habis makan di Kelapa Gading. Masih kenyang nih, Man! Sori yak. Lo masukin aja di kulkas, besok kalo lapar tinggal dipanasin di microwave”
“Jadi lo nggak mau nih?” tanyaku sekali lagi. Arya menggeleng.
Memang tidak ada ceritanya orang kaya seperti Arya itu makan makanan pinggir jalan. Jelas saja ia tidak mau. Orang tuaku pun juga tidak mau ketika ditawari. Malah aku terkena ceramah soal kesehatan makanan. Aku melangkah masuk ke dalam kamar. Dari pada mubazir, aku habiskan dua bungkus ketoprak sendiri, dan sebungkusnya lagi aku berikan ke Mbok Atun.
***
Hari ini tidak ada kuliah. Arya juga. Kuajak ia jalan-jalan sampai sore. Mobil merci perakku melaju sampai dengan ruas jalan itu. Ruas jalan tempat bapak penjual ketoprak berdagang di balik gerobaknya.
“Mau buat apa uang seratus ribu itu?” tanya Arya di sebelahku.
“Ketoprak” jawabku singkat.
“Seratus ribu mau dihabisin buat beli ketoprak? Lo bisa beli sekalian sama gerobaknya, kali!” sahut Arya. Aku mendesis, memintanya untuk diam.
Tiba-tiba sebuah BMW hitam mengedipkan lampu sorotnya ke mobilku. Mobil itu milik Susan, anak konglomerat yang tinggal persis di belakang rumahku. Pamannya dulu bekas mentri. Ibunya yang punya hotel mewah di bilangan Senayan. Benar-benar sebuah keluarga high class.
“Hai hai… berduaan aja nih kayak patung selamat datang” sapanya genit di balik jendela yang membuka perlahan setelah kami parkirkan mobil kami di pelataran sebuah ruko. Aku tersenyum.
“Hai, San, baru dari mana?” balas Arya
“Habis dari kampus, terus mampir dulu ke salon Royke. Biasalah cewek. Banyak perawatan. Eh, kalian mau ke mana? Laper nih! Makan bareng yuk?” pintanya.
“Kebetulan!” sambarku. “Di depan ada penjual ketoprak tuh!” Susan melongo menatapku.
“Ke-to-prak? Oh no! bisa-bisa gue muntaber gara-gara sakit perut!”balas Susan.
“Yeee, sekali-kali makan makanan pinggir jalan kenapa sih? Lagian belum tentu kotor kok! Coba gue tanya, sudah pernah nyobain ketoprak, belum?” ujarku.
“Belum” sahut Susan. Arya juga bilang belum.
“Nah, dari pada dibilang kuper gara-gara umur sudah dua puluh tahun tapi nggak tahu rasanya ketoprak, mendingan kita cobain dulu. Gue yang traktir deh!”
***
Sore itu langit berwarna lembayung. Kami parkirkan mobil kami persis di depan gerobak bapak penjual ketoprak. Kami nikmati santapan itu bersama. Aku membeli tiga bungkus ketoprak dengan harga seratus ribu rupiah. Bapak itu kaget, ia sempat menolak. Namun aku berbohong dan mengatakan kepadanya kalau hari itu aku sedang berulang tahun, dan memintanya menerima uang itu sebagai ucapan syukur. Bapak itupun menerimanya sambil tak henti-hentinya berterimakasih.
“Gila lo yah, uang seratus ribu buat beli tiga bungkus ketoprak” ujar Susan. “Lo mau ngikutin acara reality show yang di tivi-tivi yah? Itu loh, yang ngasih duit mendadak ke orang yang kurang mampu”
“Hus!” sergahku. “Udah deh, mendingan kita langsung makan aja yah” lanjutku. Tak lama kami mulai menyantap hidangan itu. Ketoprak itu berisi lontong, sayur-mayur seperti toge, dedaunan, bihun, tahu, tempe, kerupuk, telur, sambal, kecap, gula merah, cabe rawit, mentimun, dan bumbu kacang yang gurih.
“Wuihh… enak banget, Man!” teriak Arya.
“Beneran! Enak buangeeett!” teriak Susan juga. Mereka menyerbunya dengan lahap. Aku tersenyum-senyum sendiri melihat aksi makan mereka.
“Gue gak tahu, apa guenya yang kelaperan atau emang ketoprak ini beneran enak, yang jelas gue mau nambah satu bungkus lagi, dong!” sahut Susan setelah menelan suapan terakhir ketoprak babak pertamanya.
Anak-anak borjuis inipun tersihir oleh kelezatan makanan pinggir jalan.
***
Malam ini adalah malam pembuka weekend. Kuajak Arya dan Susan mengunjungi ketoprak favorit kami. Ketoprak Pak Bagir, biasa orang-orang disekitar sana menyebutnya.
“Gue heran, ketoprak Pak Bagir kan enak banget. Tapi kok sepi pembeli yah?” ujar Susan membuka diskusi kecil kita di perjalanan menuju ke sana.
“Kurang promosi kali. Jadi nggak banyak orang yang tahu” Arya menimpali. Benar juga, pikirku. Seandainya ketoprak Pak Bagir diketahui orang banyak, pasti jualannya akan laris manis, dan ia akan meraup keuntungan yang besar. Tak lama sebuah ide muncul dari benakku.
“Gue ada ide nih!” teriakku. Arya dan Susan segera pasang telinga untuk mendengar ide apa yang akan aku keluarkan. “Kita buat usaha ketoprak, yuk! Kita buktikan kalau anak-anak seperti kita juga bisa punya usaha sendiri dan tidak dicap melulu sebagai pembuat habis uang orang tua. Dengan begitu kita juga bisa membantu orang lho!”
“Hah? Bisnis ketoprak? Membantu orang? Gimana cara?” todong Susan dengan serentetan pertanyaan.
“Iya, kita buka sebuah restoran ketoprak. Tempatnya di ruangan dekat loby utama hotel nyokap lo, San. Kita juga bisa menyediakan makanan lain selain ketoprak, tapi yang termasuk makanan pinggir jalan, seperti gado-gado, gorengan, bakso, mie ayam, atau lainnya.”
“Terus, target marketing kita siapa?” tanya Arya.
“Orang-orang kaya. Kan restoran kita letaknya di dalam sebuah hotel. Kita perkenalkan kepada mereka kalau jajanan pinggir jalan juga enak! Kalau kita buat restoran dengan hidangan pinggir jalan tapi dikemas dengan elit, bersih, dan mewah, gue rasa mereka mau datang” jelasku berapi-api.
“Tadi kata lo, kita juga bisa sekalian beramal. Dari mananya kita bisa beramal?” tanya Susan.
“Kita rekrut Pak Bagir dan para pedagang pinggir jalan lainnya menjadi koki di restoran kita. Kan lumayan untuk menambah penghasilan mereka sekaligus mengangkat kesejahteraan mereka”
“Modalnya?” tanya Arya dan Susan berbarengan.
“Untuk tempat nggak masalah, kan. Gue yakin tante Broto akan memberikan ruangan itu untuk putri kesayangannya” sahutku sambil melihat Susan. “Kalau untuk modal keseluruhan, paling mahal juga dua M. Gue tahu, di tabungan Arya ada lima M. Kalau di tabungan Susan, gue perkiraan paling sedikit ada tujuh M, disisihkan sedikit kan nggak apa-apa” kataku sambil tersenyum nakal.
“Enak aja! Gue kan sudah bercita-cita beli Jaguar dari uang di tabungan gue!”protes Arya.
“Aduh, Jaguar sih gampang. Bakal kebeli kok! Tenang aja”.
***
Setelah empat bulan kami disibukkan dengan persiapan pembukaan restoran, akhirnya datang juga malam ini. Launching restoran yang kami beri nama ‘Ketoprakami’ akan dimulai sesaat lagi. Banyak tamu hadir yang kebanyakan dari teman-teman kampus kami. Namun terlihat juga beberapa pejabat, artis, wartawan, dan orang-orang berdasi lainnya yang aku tahu sebagai teman-teman relasi orang tua kami. Acara kali ini akan diliput live oleh sebuah stasiun radio kondang, dan dimeriahkan oleh sebuah grup musik ternama.
“Gila, gue seneng banget! Akhirnya restoran kita bakal dibuka juga!” sahut Susan kepadaku dengan sedikit berteriak di ruangan yang bising oleh suara tamu yang hadir. Ia memerkan senyum dengan kawat gigi warna-warninya. Di pojok sana tampak Arya sedang sibuk mengatur acara pembukaan dengan sang MC.
“Tapi, Man, ada satu yang bikin gue bahagiaaaa banget di malam ini” lanjutnya.
“Apa?”
“Senyumnya Pak Bagir dan para pedagang lain yang kini akan menjadi koki andalan kita!”
Alhamdulillah, aku juga senang dapat membuka usaha dan juga dapat sekalian mengangkat kesejahteraan orang lain.
Senin, 12 September 2005
Pukul 20:29
Sepuluh hari lagi meninggalkan Jakarta!
Oleh: Mushab Syuhada
“Ketopraknya masih ada, pak?“ tanyaku di balik kaca mobil kepada seorang penjual ketoprak yang tiap malam mangkal di tepi jalan itu.
“Masih.. Masih banyak, mas!” sahutnya sambil tersenyum. Segera ia bangkit dari duduknya dan dengan gesit mengerjakan pekerjaannya. Kegembiraannya mendapati aku sebagai seorang pembeli terlihat dari raut wajahnya.
Aku termenung sebentar melihat semangat bapak paruh baya itu bekerja. Pandangan matanya tulus. Aku tahu, ia bekerja untuk mencari uang. Untuk menghidupinya. Dan mungkin juga untuk menghidupi anak istrinya. Sekali lagi aku berpikir, apakah cukup penghasilan seorang penjual ketoprak untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup?
“Ramai malam ini, pak?” tanyaku kepada si pemilik wajah berseri-seri itu.
“Nggak, mas. Sebulan terakhir ini sepi pembeli. Untuk malam ini ya… baru mas saja yang membeli” jawabnya. Leherku tersekat mendengar jawabannya. Pantas ia begitu gembira begitu aku menepikan mobil di depan gerobaknya. “Hanya pesan satu bungkus, mas?” tanyanya memecah lamunan singkatku
“Eh, saya pesan tiga bungkus, pak!” sahutku. Ia tersenyum sambil mengangguk.
“Berapa semua, pak?” tanyaku. Laki-laki itu menggenggam selembar uang seribu rupiah.
“Sepuluh ribu, mas” katanya. Aku tahu maksudnya. Ia memintaku memberikan sepuluh ribuan dan ia akan mengembalikan seribu rupiah yang ia genggam kepadaku. Harga tiga bungkus ketoprak itu sembilan ribu rupiah.
“Sudah, pak. Seribu rupiahnya bapak simpan saja” kataku.
“Bukan begitu, mas. Saya hanya ingin satu lembar sepuluh ribuan utuh saja. Biar tidak terlalu banyak receh” jawabnya. Lalu memasukkan selembar seribu rupiah itu pada pelastik hitam bersama tiga bungkus ketoprak. Jujur sekali bapak ini, batinku.
“Bapak punya pekerjaan lain selain berdagang ketoprak?” tanyaku lagi sambil mengambil pelastik itu.
“Tidak. Hanya jualan ketoprak saja. Pagi hari saya pergi membeli bahan-bahan dan mempersiapkan dagangan. Jam empat sore saya mulai berdagang. Walaupun hasilnya tidak seberapa, saya senang dapat berjualan dengan cara halal, mas.”
***
Dalam perjalanan pulang, aku banyak bersyukur karena saat ini aku masih bisa mengendarai sebuah merci. Orang tuaku serba berkecukupan. Rumah kami tergolong mewah di wilayah Pondok Indah. Pekerjaan orang tuaku tidak membutuhkan banyak tenaga dibandingkan dengan bapak penjual ketoprak tadi. Hanya duduk di ruangan ber-ac, membolak-balikkan kertas, angkat telepon, tanda tangan, dapat gajinya jauh berlipat-lipat dari pada bapak yang tiap malam duduk-duduk di tepi jalan itu menanti kunjungan pembeli.
“Hari gini beli ketoprak?” sahut sahabatku Arya, yang rumahnya hanya beberapa blok dari rumahku. Aku sempatkan mampir dulu menemuinya.
“Makanya gue datang kemari. Elo ambil deh ketopraknya satu bungkus. Nggak bakal habis gue makan sendirian” jawabku.
“Nah, elo udah tahu nggak bakal habis makan sendirian, ngapain lo beli sampai tiga bungkus segala?” tanyanya.
“Gue kasihan sama penjualnya. Belum ada yang beli dagangannya”
“Hmmm, gimana yah. Gue mau sih, tapi baru saja gue pergi sama bokap nyokap habis makan di Kelapa Gading. Masih kenyang nih, Man! Sori yak. Lo masukin aja di kulkas, besok kalo lapar tinggal dipanasin di microwave”
“Jadi lo nggak mau nih?” tanyaku sekali lagi. Arya menggeleng.
Memang tidak ada ceritanya orang kaya seperti Arya itu makan makanan pinggir jalan. Jelas saja ia tidak mau. Orang tuaku pun juga tidak mau ketika ditawari. Malah aku terkena ceramah soal kesehatan makanan. Aku melangkah masuk ke dalam kamar. Dari pada mubazir, aku habiskan dua bungkus ketoprak sendiri, dan sebungkusnya lagi aku berikan ke Mbok Atun.
***
Hari ini tidak ada kuliah. Arya juga. Kuajak ia jalan-jalan sampai sore. Mobil merci perakku melaju sampai dengan ruas jalan itu. Ruas jalan tempat bapak penjual ketoprak berdagang di balik gerobaknya.
“Mau buat apa uang seratus ribu itu?” tanya Arya di sebelahku.
“Ketoprak” jawabku singkat.
“Seratus ribu mau dihabisin buat beli ketoprak? Lo bisa beli sekalian sama gerobaknya, kali!” sahut Arya. Aku mendesis, memintanya untuk diam.
Tiba-tiba sebuah BMW hitam mengedipkan lampu sorotnya ke mobilku. Mobil itu milik Susan, anak konglomerat yang tinggal persis di belakang rumahku. Pamannya dulu bekas mentri. Ibunya yang punya hotel mewah di bilangan Senayan. Benar-benar sebuah keluarga high class.
“Hai hai… berduaan aja nih kayak patung selamat datang” sapanya genit di balik jendela yang membuka perlahan setelah kami parkirkan mobil kami di pelataran sebuah ruko. Aku tersenyum.
“Hai, San, baru dari mana?” balas Arya
“Habis dari kampus, terus mampir dulu ke salon Royke. Biasalah cewek. Banyak perawatan. Eh, kalian mau ke mana? Laper nih! Makan bareng yuk?” pintanya.
“Kebetulan!” sambarku. “Di depan ada penjual ketoprak tuh!” Susan melongo menatapku.
“Ke-to-prak? Oh no! bisa-bisa gue muntaber gara-gara sakit perut!”balas Susan.
“Yeee, sekali-kali makan makanan pinggir jalan kenapa sih? Lagian belum tentu kotor kok! Coba gue tanya, sudah pernah nyobain ketoprak, belum?” ujarku.
“Belum” sahut Susan. Arya juga bilang belum.
“Nah, dari pada dibilang kuper gara-gara umur sudah dua puluh tahun tapi nggak tahu rasanya ketoprak, mendingan kita cobain dulu. Gue yang traktir deh!”
***
Sore itu langit berwarna lembayung. Kami parkirkan mobil kami persis di depan gerobak bapak penjual ketoprak. Kami nikmati santapan itu bersama. Aku membeli tiga bungkus ketoprak dengan harga seratus ribu rupiah. Bapak itu kaget, ia sempat menolak. Namun aku berbohong dan mengatakan kepadanya kalau hari itu aku sedang berulang tahun, dan memintanya menerima uang itu sebagai ucapan syukur. Bapak itupun menerimanya sambil tak henti-hentinya berterimakasih.
“Gila lo yah, uang seratus ribu buat beli tiga bungkus ketoprak” ujar Susan. “Lo mau ngikutin acara reality show yang di tivi-tivi yah? Itu loh, yang ngasih duit mendadak ke orang yang kurang mampu”
“Hus!” sergahku. “Udah deh, mendingan kita langsung makan aja yah” lanjutku. Tak lama kami mulai menyantap hidangan itu. Ketoprak itu berisi lontong, sayur-mayur seperti toge, dedaunan, bihun, tahu, tempe, kerupuk, telur, sambal, kecap, gula merah, cabe rawit, mentimun, dan bumbu kacang yang gurih.
“Wuihh… enak banget, Man!” teriak Arya.
“Beneran! Enak buangeeett!” teriak Susan juga. Mereka menyerbunya dengan lahap. Aku tersenyum-senyum sendiri melihat aksi makan mereka.
“Gue gak tahu, apa guenya yang kelaperan atau emang ketoprak ini beneran enak, yang jelas gue mau nambah satu bungkus lagi, dong!” sahut Susan setelah menelan suapan terakhir ketoprak babak pertamanya.
Anak-anak borjuis inipun tersihir oleh kelezatan makanan pinggir jalan.
***
Malam ini adalah malam pembuka weekend. Kuajak Arya dan Susan mengunjungi ketoprak favorit kami. Ketoprak Pak Bagir, biasa orang-orang disekitar sana menyebutnya.
“Gue heran, ketoprak Pak Bagir kan enak banget. Tapi kok sepi pembeli yah?” ujar Susan membuka diskusi kecil kita di perjalanan menuju ke sana.
“Kurang promosi kali. Jadi nggak banyak orang yang tahu” Arya menimpali. Benar juga, pikirku. Seandainya ketoprak Pak Bagir diketahui orang banyak, pasti jualannya akan laris manis, dan ia akan meraup keuntungan yang besar. Tak lama sebuah ide muncul dari benakku.
“Gue ada ide nih!” teriakku. Arya dan Susan segera pasang telinga untuk mendengar ide apa yang akan aku keluarkan. “Kita buat usaha ketoprak, yuk! Kita buktikan kalau anak-anak seperti kita juga bisa punya usaha sendiri dan tidak dicap melulu sebagai pembuat habis uang orang tua. Dengan begitu kita juga bisa membantu orang lho!”
“Hah? Bisnis ketoprak? Membantu orang? Gimana cara?” todong Susan dengan serentetan pertanyaan.
“Iya, kita buka sebuah restoran ketoprak. Tempatnya di ruangan dekat loby utama hotel nyokap lo, San. Kita juga bisa menyediakan makanan lain selain ketoprak, tapi yang termasuk makanan pinggir jalan, seperti gado-gado, gorengan, bakso, mie ayam, atau lainnya.”
“Terus, target marketing kita siapa?” tanya Arya.
“Orang-orang kaya. Kan restoran kita letaknya di dalam sebuah hotel. Kita perkenalkan kepada mereka kalau jajanan pinggir jalan juga enak! Kalau kita buat restoran dengan hidangan pinggir jalan tapi dikemas dengan elit, bersih, dan mewah, gue rasa mereka mau datang” jelasku berapi-api.
“Tadi kata lo, kita juga bisa sekalian beramal. Dari mananya kita bisa beramal?” tanya Susan.
“Kita rekrut Pak Bagir dan para pedagang pinggir jalan lainnya menjadi koki di restoran kita. Kan lumayan untuk menambah penghasilan mereka sekaligus mengangkat kesejahteraan mereka”
“Modalnya?” tanya Arya dan Susan berbarengan.
“Untuk tempat nggak masalah, kan. Gue yakin tante Broto akan memberikan ruangan itu untuk putri kesayangannya” sahutku sambil melihat Susan. “Kalau untuk modal keseluruhan, paling mahal juga dua M. Gue tahu, di tabungan Arya ada lima M. Kalau di tabungan Susan, gue perkiraan paling sedikit ada tujuh M, disisihkan sedikit kan nggak apa-apa” kataku sambil tersenyum nakal.
“Enak aja! Gue kan sudah bercita-cita beli Jaguar dari uang di tabungan gue!”protes Arya.
“Aduh, Jaguar sih gampang. Bakal kebeli kok! Tenang aja”.
***
Setelah empat bulan kami disibukkan dengan persiapan pembukaan restoran, akhirnya datang juga malam ini. Launching restoran yang kami beri nama ‘Ketoprakami’ akan dimulai sesaat lagi. Banyak tamu hadir yang kebanyakan dari teman-teman kampus kami. Namun terlihat juga beberapa pejabat, artis, wartawan, dan orang-orang berdasi lainnya yang aku tahu sebagai teman-teman relasi orang tua kami. Acara kali ini akan diliput live oleh sebuah stasiun radio kondang, dan dimeriahkan oleh sebuah grup musik ternama.
“Gila, gue seneng banget! Akhirnya restoran kita bakal dibuka juga!” sahut Susan kepadaku dengan sedikit berteriak di ruangan yang bising oleh suara tamu yang hadir. Ia memerkan senyum dengan kawat gigi warna-warninya. Di pojok sana tampak Arya sedang sibuk mengatur acara pembukaan dengan sang MC.
“Tapi, Man, ada satu yang bikin gue bahagiaaaa banget di malam ini” lanjutnya.
“Apa?”
“Senyumnya Pak Bagir dan para pedagang lain yang kini akan menjadi koki andalan kita!”
Alhamdulillah, aku juga senang dapat membuka usaha dan juga dapat sekalian mengangkat kesejahteraan orang lain.
Senin, 12 September 2005
Pukul 20:29
Sepuluh hari lagi meninggalkan Jakarta!
Monday, September 12, 2005
Denke an Dich
I am so blind
Yang tidak bisa menangkap citra ketulusan
Lantas malah bertanya
Tentang sebuah alasan
Padahal, apakah setiap hal memerlukan sebuah alasan?
I am so dumb
Yang tidak mampu berucap terimakasih
Atas sebuah perhatian
Yang hanya kudapatkan darimu
Sehingga
Saat aku baca syair pilumu
Aku sadar, akulah yang semestinya telah merepotkanmu
Tapi terserah apa itu
Merepotkan atau direpotkan adalah hal wajib
Menyusahkan atau disusahkan adalah hal penting
Yang keberadaannya melekat satu sama lain
Karena jika tidak
Tak ubahnya seperti dua orang yang tidak saling mengenal
Atau hanya mengenal sebatas nama
Afwan atas kebutaan dan kebisuanku
Kita tidak pernah tahu isi hati
Yang kerap dibolak-balikkan oleh Sang Penguasa Hati
Tapi sesuai katamu
Semoga Allah mendengar doa kita
Bogor 2005
Yang tidak bisa menangkap citra ketulusan
Lantas malah bertanya
Tentang sebuah alasan
Padahal, apakah setiap hal memerlukan sebuah alasan?
I am so dumb
Yang tidak mampu berucap terimakasih
Atas sebuah perhatian
Yang hanya kudapatkan darimu
Sehingga
Saat aku baca syair pilumu
Aku sadar, akulah yang semestinya telah merepotkanmu
Tapi terserah apa itu
Merepotkan atau direpotkan adalah hal wajib
Menyusahkan atau disusahkan adalah hal penting
Yang keberadaannya melekat satu sama lain
Karena jika tidak
Tak ubahnya seperti dua orang yang tidak saling mengenal
Atau hanya mengenal sebatas nama
Afwan atas kebutaan dan kebisuanku
Kita tidak pernah tahu isi hati
Yang kerap dibolak-balikkan oleh Sang Penguasa Hati
Tapi sesuai katamu
Semoga Allah mendengar doa kita
Bogor 2005
Koreksi
Koreksi terhadap kata ‚jet lake’ yang sering gue tulis dalam blog ini. Yang benar adalah kata ‚jet lag’
jet lag
noun
fatigue and disorientation from long flight: an internal physical disturbance experienced by air travelers on flights across different time zones. It affects the body’s internal clock, disrupting sleeping patterns, eating schedules, and body temperature.
-jet-lagged, adjective
Microsoft® Encarta® Reference Library 2005. © 1993-2004 Microsoft Corporation. All rights reserved.
jet lag
noun
fatigue and disorientation from long flight: an internal physical disturbance experienced by air travelers on flights across different time zones. It affects the body’s internal clock, disrupting sleeping patterns, eating schedules, and body temperature.
-jet-lagged, adjective
Microsoft® Encarta® Reference Library 2005. © 1993-2004 Microsoft Corporation. All rights reserved.
Thursday, September 08, 2005
Pengumuman!
Dengan ini gue mengumumkan, bahwa gue memundurkan waktu kepulangan gue ke Jerman. Rencananya gue berangkat hari ini, 8 September 2005. Namun gue geser sampai dengan hari Kamis, 22 September 2005. Pergeseran ini dikarenakan suatu hal. Insya Allah, gue akan kembali di tanggal yang baru, dengan semangat baru, dan penampilan baru dong tentunya... :)
Producing Tee
…
Teh poci hangat wangi segar
Menjadi pewarna diriku setiap sore
Sendiri, menghirupnya sambil memandangi bukit-bukit
Atau memandangi rumput dan padi yang menari karena angin
…
Rindu Rindu Rindu, Bayangan Senja, Jakarta 2003
Hehehe, postingan kali ini gue awali dengan cuplikan puisi gue yang ada kata ‘teh’-nya. Kenapa? Kenapa lagi kalau bukan tema teh yang akan gue angkat kali ini. Di postingan gue sebelumnya, gue pernah menjanjikan liputan pembuatan teh dari pengalaman yang gue dapatkan selama praktikum. Pertengahan bulan Agustus kemarin, gue telah menyelesaikan praktikum di sebuah perkebunan dan pabrik teh di kawasan Lembang, Jawa Barat. Berikut laporan pembuatan teh, dari mulai dipetik, sampai siap untuk dikonsumsi.
Pemetikan
Di pagi hari yang sejuk gue sudah mendaki perkebunan teh untuk melihat para petani teh melakukan pemetikan. Ini merupakan bagian yang penting dalam keseluruhan proses pembuatan teh. Pasalnya, kualitas teh yang akan diperdagangkan jelas dipengaruhi oleh kualitas pucuk-pucuk teh yang diseleksi oleh para petani ini. Di perkebunan ini ada dua jenis teh. Pertama teh Sigling. Jenis ini merupakan hasil dari penyemaian bibit-bibit teh. Kedua, teh Stek, yang merupakan hasil perkembangbiakan melalui cara stek. Jadi ranting tanaman teh yang sudah dipotong, ditimbun dalam tanah, sehingga akan tumbuh teh-teh baru. Tanaman dengan jenis Sigling telah ditanam sejak tahun 1836 sedangkan jenis Stek ditanam pada sejak tahun 1869. Keduanya sejak masih dalam masa pemerintahan kolonial Belanda.
Untuk memetik teh tidak boleh sembarangan. Dibutuhkan keterampilan. Pertama, teh yang dipetik harus yang masih muda dan mulus. Kedua, memetiknya dengan cara dicongkel (ditaruk – bahasa sananya) pada bagian pangkal batang. Ketiga, sang pemetik harus tahu apakah teh yang dipetiknya merupakan jenis P+1, P+2, P+3, P+4, BM1, atau BM2 (penjelasan di bawah). Keempat, teh tidak boleh dipegang dengan sarung tangan dan juga tidak boleh terlalu lama digenggam oleh tangan karena bisa merusak keadaan daun teh tersebut. Kelima, teh yang telah dipetik tidak boleh terkena sinar matahari dan juga harus kedap air. Hal ini untuk menjaga agar kandungan asam amino yang ada dalam daun tidak mengendap keluar. Karena jika asam aminonya keluar, cita rasa tehnya akan berubah. Untuk perawatan tanahnya sendiri dibutuhkan pupuk-pupuk seperti pupuk kimia, pupuk TSP, atau pupuk Urea.
Selanjutnya adalah proses penimbangan. Teh yang telah dipetik segera ditimbang dan diangkut dengan menggunakan truk untuk dibawa ke pabrik. Semakin berat timbangan teh yang berhasil dipetik oleh seorang petani, semakin banyak pula upahnya.
Analisis
Pintu gerbang yang menghubungkan antara kebun teh dengan pabrik adalah proses analisis. Ada dua istilah penting untuk analisis ini, yaitu Antik dan Ancuk. Antik adalah analisis petik dan Ancuk adalah analisis Pucuk. Proses analisis ini membutuhkan keterampilan di bidang statistika, karena dengan analisis ini akan diketahui seberapa bagus kualitas daun teh, berapa biaya produksi yang dibutuhkan, seberapa banyak bahan bakar yang dibutuhkan, berapa upah yang akan didapatkan oleh para petani, berapa harga jual produksi, dan lain sebagainya.
Pada Antik teh dikumpulkan berdasarkan jenis pucuknya. Ada P+1 yang berarti sebuah pucuk dengan satu daun teh. Begitu pula dengan P+2, P+3, P+4. cara mengklasifikasikannya lumayan susah lho. Waktu itu semua teh yang telah gue klasifikasi gagal total, sehingga menambah kerjaan pegawai Antik di sana. Uhuhuhu. Kalau BM1 adalah pucuk dengan satu daun teh yang masih muda atau baru menyembul. Begitu pula dengan BM2. Ada istilah lagi yaitu BT alias batang tua. Berarti pucuk yang diambil sudah tua dan tidak layak untuk diproses. Namun, teh-teh ini diambil secara acak di ruang pelayuan. Jadi walaupun ada teh yang rusak atau tua, tetap saja akan diproduksi terus.
Selanjutnya adalah Ancuk. Analisis ini berguna untuk menghitung kadar air dalam daun teh dan juga untuk mengukur rasio pucuk basah dan pucuk kering. Ini berguna untuk menghitung pemakaian bahan bakar ketika proses pengeringan nanti. Standar rasio pucuk basah dan kering adalah 0,30. Lebih dari itu berarti boros bahan bakar, dan kurang dari itu berarti irit bahan bakar.
Mari kita mengukur kadar air. Caranya, pucuk yang sudah dianalisis petik, diambil secara acak lagi sebanyak 100 gram, lalu kembali dipisahkan menurut kualitas. Apakah kualitasnya baik, sedang, atau buruk. Selanjutnya ditimbang, dan hasil timbangannya dibagi dengan kelipatan persekutuan terkecil (KPK – temennya FPB, matematika ketika SD). Barulah kita mengambil sampel kelipatan itu.
Setelah itu, pucuk diiris tipis-tipis dan dimasukkan dengan ke dalam alat Halogen Moisture Constant. Dengan alat itu dapat diketahui berapa besar kadar air dalam pucuk tersebut.
Proses
Setelah analisis teh selesai, semua teh masuk dalam alat pelayauan. Dengan menggunakan alat Mixing Chamber yang berukuran panjang 35 meter dan lebar 1,8 meter, serta mampu menampung sampai dengan kapasitas 2100 kg, semua teh dibiarkan layu dengan udara yang dihembuskan dari bawah mesin selama 18 sampai 20 jam.
Pucuk yang telah layu dengan kadar kelayuan antara 68 – 70 %, segera digiling dan dimasukkan kedalam alat confayer. Setelah itu dilakukan pembersihan terhadap debu atau kotoran yang menempel pada daun teh, dengan alat GLS (Green Leaf Sifter). Selanjutnya, daun the akan digiling lagi hingga lebih halus, dan dipotong-potong hingga tipis oleh mesin CTC 1 pada suhu 28 derajat celcius.
Perlu diketahui, pabrik teh ini dikenal dengan nama CTC karena menggunakan mesin CTC. Ada lagi pabrik yang lain yang dikenal dengan nama Orthodox karena menggunakan mesin Orthodox. Perbedaan antara kedua mesin, sayangnya nggak gue ketahui.
Setelah melalui mesin CTC 1, penggilingan dilanjutkan dengan mesin CTC 2, CTC 3, dan CTC 4, pada suhu masing-masing 30, 32, dan 34 derajat celcius. Pada keadaan ini teh sudah berbentuk sangat halus. Selanjutnya bubuk-bubuk teh itu dimasukkan dalam alat FU alias Fermenting Unit. Dari namanya kita akan mengira bahwa teh akan difermentasi. Tapi kalau bicara tentang fermentasi, maka pikiran kita akan tertuju dengan penggunaan bakteri atau mikroba khusus. Padahal, dalam proses ini tidak memakai mikroba apapun. Jadi, menurut gue proses ini lebih tepat dinamakan oksidasi enzymatis, karena menggunakan media udara untuk difermentasikan. Dalam sebuah acara makan siang, gue sempat mendengar seorang senior atau pakar dalam dunia teh sedang menjelaskan proses tersebut kepada para insinyur yang bekerja di sana. Ia menjelaskan juga tentang kesalahan penggunaan istilah dalam proses tersebut. Kata dia, proses tersebut adalah proses apa gitu (gue lupa, soalnya pakai bahasa ilmiah dan gue nggak mencatatnya. Malu dong, lagi acara makan siang malah sibuk mencatat).
Lama dari fermentasi tersebut sekitar 63 menit. Lalu dilanjutkan pada fermentasi terakhir sampai teh berwarna cokelat tanah dan bersuhu 27 derajat celcius. Proses tadi bertujuan untuk mematangkan dan mensterilkan teh sehingga layak untuk dikonsumsi.
Proses terakhir adalah pengeringan dan pengepakan. Di sini diperlukan bahan bakar untuk mengerjakan alat pengeringan itu. Setelah kering, teh siap dikonsumsi dan diperdagangkan. Namun sebelum itu, teh tersebut harus melalui tahap analisis cita rasa yang diuji oleh para insinyur. Demikianlah cara membuat teh. Tertarik?
Oh ya, dalam proses praktikum gue menginap dirumah seorang pegawai bernama Pak Aam. Kalau pak Aam membaca blog ini, terimakasih saya ucapkan untuk bapak dan ibu yang telah bersedia direpotkan dengan kedatangan saya. Terimakasih untuk keluarga Pak Haji Ridwan yang telah membantu saya habis-habisan. Mbak Wida! Ada titipan selai pisang dan beberapa film korea nih! Terimakasih juga untuk semua pegawai yang telah membantu saya, saling bertukar informasi, bersedia ditanyakan macam-macam, dan bersedia mengantar ke mana-mana. Terimakasih banyak! Dan juga untuk teman-teman gue di Bandung, terimakasih juga sudah mau direpotkan. Buat Nico yang nyediain rumah untuk nginep dan menaruh barang-barang serta udah mau mengantar-jemput di tengah-tengah kesibukannya di himpunan, buat Ridwan yang udah mau diculik malem-malem buat nemenin gue ke Lembang, buat Adit – hei dit, akhirnya kita bertatap muka juga. Dan buat beberapa anak 61 angkatan 2005 yang masuk ITB dan secara nggak sengaja bertemu gue di depan McD Simpang. Gini yah, perlu gue jelaskan, gue bukan anak ITB, tapi gue di Bandung untuk berpraktikum. Jadi kalau kalian nyangka gue anak ITB, sampe kapan juga kalian nggak bakal nemu gue di sana. Hehehe.
Teh poci hangat wangi segar
Menjadi pewarna diriku setiap sore
Sendiri, menghirupnya sambil memandangi bukit-bukit
Atau memandangi rumput dan padi yang menari karena angin
…
Rindu Rindu Rindu, Bayangan Senja, Jakarta 2003
Hehehe, postingan kali ini gue awali dengan cuplikan puisi gue yang ada kata ‘teh’-nya. Kenapa? Kenapa lagi kalau bukan tema teh yang akan gue angkat kali ini. Di postingan gue sebelumnya, gue pernah menjanjikan liputan pembuatan teh dari pengalaman yang gue dapatkan selama praktikum. Pertengahan bulan Agustus kemarin, gue telah menyelesaikan praktikum di sebuah perkebunan dan pabrik teh di kawasan Lembang, Jawa Barat. Berikut laporan pembuatan teh, dari mulai dipetik, sampai siap untuk dikonsumsi.
Pemetikan
Di pagi hari yang sejuk gue sudah mendaki perkebunan teh untuk melihat para petani teh melakukan pemetikan. Ini merupakan bagian yang penting dalam keseluruhan proses pembuatan teh. Pasalnya, kualitas teh yang akan diperdagangkan jelas dipengaruhi oleh kualitas pucuk-pucuk teh yang diseleksi oleh para petani ini. Di perkebunan ini ada dua jenis teh. Pertama teh Sigling. Jenis ini merupakan hasil dari penyemaian bibit-bibit teh. Kedua, teh Stek, yang merupakan hasil perkembangbiakan melalui cara stek. Jadi ranting tanaman teh yang sudah dipotong, ditimbun dalam tanah, sehingga akan tumbuh teh-teh baru. Tanaman dengan jenis Sigling telah ditanam sejak tahun 1836 sedangkan jenis Stek ditanam pada sejak tahun 1869. Keduanya sejak masih dalam masa pemerintahan kolonial Belanda.
Untuk memetik teh tidak boleh sembarangan. Dibutuhkan keterampilan. Pertama, teh yang dipetik harus yang masih muda dan mulus. Kedua, memetiknya dengan cara dicongkel (ditaruk – bahasa sananya) pada bagian pangkal batang. Ketiga, sang pemetik harus tahu apakah teh yang dipetiknya merupakan jenis P+1, P+2, P+3, P+4, BM1, atau BM2 (penjelasan di bawah). Keempat, teh tidak boleh dipegang dengan sarung tangan dan juga tidak boleh terlalu lama digenggam oleh tangan karena bisa merusak keadaan daun teh tersebut. Kelima, teh yang telah dipetik tidak boleh terkena sinar matahari dan juga harus kedap air. Hal ini untuk menjaga agar kandungan asam amino yang ada dalam daun tidak mengendap keluar. Karena jika asam aminonya keluar, cita rasa tehnya akan berubah. Untuk perawatan tanahnya sendiri dibutuhkan pupuk-pupuk seperti pupuk kimia, pupuk TSP, atau pupuk Urea.
Selanjutnya adalah proses penimbangan. Teh yang telah dipetik segera ditimbang dan diangkut dengan menggunakan truk untuk dibawa ke pabrik. Semakin berat timbangan teh yang berhasil dipetik oleh seorang petani, semakin banyak pula upahnya.
Analisis
Pintu gerbang yang menghubungkan antara kebun teh dengan pabrik adalah proses analisis. Ada dua istilah penting untuk analisis ini, yaitu Antik dan Ancuk. Antik adalah analisis petik dan Ancuk adalah analisis Pucuk. Proses analisis ini membutuhkan keterampilan di bidang statistika, karena dengan analisis ini akan diketahui seberapa bagus kualitas daun teh, berapa biaya produksi yang dibutuhkan, seberapa banyak bahan bakar yang dibutuhkan, berapa upah yang akan didapatkan oleh para petani, berapa harga jual produksi, dan lain sebagainya.
Pada Antik teh dikumpulkan berdasarkan jenis pucuknya. Ada P+1 yang berarti sebuah pucuk dengan satu daun teh. Begitu pula dengan P+2, P+3, P+4. cara mengklasifikasikannya lumayan susah lho. Waktu itu semua teh yang telah gue klasifikasi gagal total, sehingga menambah kerjaan pegawai Antik di sana. Uhuhuhu. Kalau BM1 adalah pucuk dengan satu daun teh yang masih muda atau baru menyembul. Begitu pula dengan BM2. Ada istilah lagi yaitu BT alias batang tua. Berarti pucuk yang diambil sudah tua dan tidak layak untuk diproses. Namun, teh-teh ini diambil secara acak di ruang pelayuan. Jadi walaupun ada teh yang rusak atau tua, tetap saja akan diproduksi terus.
Selanjutnya adalah Ancuk. Analisis ini berguna untuk menghitung kadar air dalam daun teh dan juga untuk mengukur rasio pucuk basah dan pucuk kering. Ini berguna untuk menghitung pemakaian bahan bakar ketika proses pengeringan nanti. Standar rasio pucuk basah dan kering adalah 0,30. Lebih dari itu berarti boros bahan bakar, dan kurang dari itu berarti irit bahan bakar.
Mari kita mengukur kadar air. Caranya, pucuk yang sudah dianalisis petik, diambil secara acak lagi sebanyak 100 gram, lalu kembali dipisahkan menurut kualitas. Apakah kualitasnya baik, sedang, atau buruk. Selanjutnya ditimbang, dan hasil timbangannya dibagi dengan kelipatan persekutuan terkecil (KPK – temennya FPB, matematika ketika SD). Barulah kita mengambil sampel kelipatan itu.
Setelah itu, pucuk diiris tipis-tipis dan dimasukkan dengan ke dalam alat Halogen Moisture Constant. Dengan alat itu dapat diketahui berapa besar kadar air dalam pucuk tersebut.
Proses
Setelah analisis teh selesai, semua teh masuk dalam alat pelayauan. Dengan menggunakan alat Mixing Chamber yang berukuran panjang 35 meter dan lebar 1,8 meter, serta mampu menampung sampai dengan kapasitas 2100 kg, semua teh dibiarkan layu dengan udara yang dihembuskan dari bawah mesin selama 18 sampai 20 jam.
Pucuk yang telah layu dengan kadar kelayuan antara 68 – 70 %, segera digiling dan dimasukkan kedalam alat confayer. Setelah itu dilakukan pembersihan terhadap debu atau kotoran yang menempel pada daun teh, dengan alat GLS (Green Leaf Sifter). Selanjutnya, daun the akan digiling lagi hingga lebih halus, dan dipotong-potong hingga tipis oleh mesin CTC 1 pada suhu 28 derajat celcius.
Perlu diketahui, pabrik teh ini dikenal dengan nama CTC karena menggunakan mesin CTC. Ada lagi pabrik yang lain yang dikenal dengan nama Orthodox karena menggunakan mesin Orthodox. Perbedaan antara kedua mesin, sayangnya nggak gue ketahui.
Setelah melalui mesin CTC 1, penggilingan dilanjutkan dengan mesin CTC 2, CTC 3, dan CTC 4, pada suhu masing-masing 30, 32, dan 34 derajat celcius. Pada keadaan ini teh sudah berbentuk sangat halus. Selanjutnya bubuk-bubuk teh itu dimasukkan dalam alat FU alias Fermenting Unit. Dari namanya kita akan mengira bahwa teh akan difermentasi. Tapi kalau bicara tentang fermentasi, maka pikiran kita akan tertuju dengan penggunaan bakteri atau mikroba khusus. Padahal, dalam proses ini tidak memakai mikroba apapun. Jadi, menurut gue proses ini lebih tepat dinamakan oksidasi enzymatis, karena menggunakan media udara untuk difermentasikan. Dalam sebuah acara makan siang, gue sempat mendengar seorang senior atau pakar dalam dunia teh sedang menjelaskan proses tersebut kepada para insinyur yang bekerja di sana. Ia menjelaskan juga tentang kesalahan penggunaan istilah dalam proses tersebut. Kata dia, proses tersebut adalah proses apa gitu (gue lupa, soalnya pakai bahasa ilmiah dan gue nggak mencatatnya. Malu dong, lagi acara makan siang malah sibuk mencatat).
Lama dari fermentasi tersebut sekitar 63 menit. Lalu dilanjutkan pada fermentasi terakhir sampai teh berwarna cokelat tanah dan bersuhu 27 derajat celcius. Proses tadi bertujuan untuk mematangkan dan mensterilkan teh sehingga layak untuk dikonsumsi.
Proses terakhir adalah pengeringan dan pengepakan. Di sini diperlukan bahan bakar untuk mengerjakan alat pengeringan itu. Setelah kering, teh siap dikonsumsi dan diperdagangkan. Namun sebelum itu, teh tersebut harus melalui tahap analisis cita rasa yang diuji oleh para insinyur. Demikianlah cara membuat teh. Tertarik?
Oh ya, dalam proses praktikum gue menginap dirumah seorang pegawai bernama Pak Aam. Kalau pak Aam membaca blog ini, terimakasih saya ucapkan untuk bapak dan ibu yang telah bersedia direpotkan dengan kedatangan saya. Terimakasih untuk keluarga Pak Haji Ridwan yang telah membantu saya habis-habisan. Mbak Wida! Ada titipan selai pisang dan beberapa film korea nih! Terimakasih juga untuk semua pegawai yang telah membantu saya, saling bertukar informasi, bersedia ditanyakan macam-macam, dan bersedia mengantar ke mana-mana. Terimakasih banyak! Dan juga untuk teman-teman gue di Bandung, terimakasih juga sudah mau direpotkan. Buat Nico yang nyediain rumah untuk nginep dan menaruh barang-barang serta udah mau mengantar-jemput di tengah-tengah kesibukannya di himpunan, buat Ridwan yang udah mau diculik malem-malem buat nemenin gue ke Lembang, buat Adit – hei dit, akhirnya kita bertatap muka juga. Dan buat beberapa anak 61 angkatan 2005 yang masuk ITB dan secara nggak sengaja bertemu gue di depan McD Simpang. Gini yah, perlu gue jelaskan, gue bukan anak ITB, tapi gue di Bandung untuk berpraktikum. Jadi kalau kalian nyangka gue anak ITB, sampe kapan juga kalian nggak bakal nemu gue di sana. Hehehe.
Subscribe to:
Posts (Atom)