Friday, December 31, 2010

The Winter Backpackers

Perjalanan di musim dingin dimulai. Tahun kemarin saya sempat menjelajah wilayah barat Jerman, bermain ski di Sauerland (Winterberg), dan berlanjut sampai Luxembourg. Tahun ini saya berencana backpacking ke wilayah selatan Jerman. Selama ini saya belum pernah mengunjungi salah satu kota besar di Jerman, Munich, oleh karena itu saya niatkan untuk pergi ke sana. Sekalian berlatih ski lagi di sebuah kota yang terkenal dengan resort musim dingin dan puncak tertinggi di negara ini, Garmisch-Partenkirchen, serta melintasi perbatasan Jerman-Austria untuk mengunjungi kota kelahiran Mozart, Salzburg.

Singkat cerita, saya, Karimi dan Asroi memulai ekspedisi musim dingin kami. Karimi punya permintaan untuk mengunjungi kota Penzberg. Pasalnya, di sana terdapat sebuah masjd yang berdiri megah di kaki pegunungan Alpen. Dulu dia pernah dikirimi sebuah koran yang di dalamnya terdapat artikel tentang masjid tersebut. Judulnya "Masjid Penzberg dan Eksistensi Islam di Jerman" (Republika, 31 Oktober 2008). Koran tersebut pernah ia pajang, dan ia bertekad suatu hari dapat mengunjungi masjid itu.

Saya pun mencari tempat bermain ski yang paling asik di negara bagian Bavaria. Akhirnya setelah searching di internet, saya menemukan kota Garmisch-Partenkirchen yang terkenal karena pernah menyelenggarakan olimpiade musim dingin tahun 1934 dan memiliki puncak tertinggi negara Jerman yakni Zugspitze, yang berada di deretan pegunungan Alpen yang membentang dari Perancis-Swiss-Jerman-Austria sampai Italia. Kota tersebut juga akan menyelenggarakan kejuaraan ski dunia pada bulan Januari 2011 nanti. Mungkin belum banyak yang mengenal kota kecil in the middle of nowhere ini, tapi sesungguhnya kota di atas pegunungan Alpen ini sudah sangat mahsyur di mancanegara, terbukti dengan banyaknya turis asing yang kami temui di kota ini.

Karena sudah terlanjur ke daerah selatan, saya bermaksud untuk mengunjungi kota Salzburg, Austria. Di sana terdapat kota tua yang menjadi salah satu dari world heritage versi UNESCO. Sayangnya, kereta yang kami tumpangi dari Berlin menuju München terlambat sekian jam, sehingga tidak memungkinkan dari segi waktu untuk pergi ke sana. Ya, tidak apalah, karena Karimi lebih memprioritaskan kota Penzberg dan Garmisch-Partenkirchen, sehingga saya mengalah saja tidak jadi visit Austria 2010.

Sesampainya di München, kami makan pizza dan mengambil kereta ke Penzberg dengan transit di Tutzing. Penzberg, ternyata lebih pas disebut sebagai desa. Stasiunnya hanya memiliki satu peron. Dengan berbekal alamat masjid tersebut yang kami dapatkan di internet dan mencarinya di GPS Google Map Blackberry, sekitar 15 menit setelah kedatangan sampai jualah kami di masjid milik Islamische Gemeinde Penzberg. Bangunan masjidnya elegan, minimalis, namun sakral. Bentuknya segi empat. Di sisi depannya terpasang kaca fiber berwarna biru-ungu, yang konon jika malam hari akan memancarkan cahaya yang luar biasa indah. Sisi depannya terdapat puintu masuk yang diapit oleh dua dinding besar diagonal -- seperti buku yang terbuka di halaman tengah -- dan di dinding tersebut terukir salah satu ayat Al-Qur'an dalam Bahasa Arab dan Bahasa Jerman. Minaretnya tidak tinggi. Mungkin hanya 7-8 meter, namun minaretnya terbuat dari rangkaian kaligrafi dari ayat Al-Qur'an.

Kami memasuki masjid tersebut dari sisi belakang. Sepi dan tidak ada orang. Lantas kami menjelajah masuk ke dalam. Dan ketika kami membuka pintu menuju ruangan salat, seorang laki-laki menyapa kami. Ia bernama Ali, dan ia menemani kami melihat-lihat masjid serta memperkenalkan kami kepada sang imam masjid yang kantor dan rumahnya ada di tingkat satu. Setelah asik menikmati kemegahan masjid, kami salat Dhuhur dan Ashar dengan sang imam. Seusai salat, sang imam mentraktir kami makan doner yang tokonya persis di sebelah belakang masjid.

Ketika menjelang magrib, kami melanjutkan perjalanan menuju resort musim dingin di Garmisch-Partenkirchen. Sungguh susah mencari tempat penginapan di sana. Semua hotel dan hostel full booked. Untungnya Om Google menawari saya satu hostel bernama Jazz Hostel. Hostelnya para backpackers. Dilihat di internet, hostel ini cukup lumayan. Kamarnya bagus, bersih, tersedia w-lan, ada kamar mandi, tempat makan, sarapan pagi dan lainnya. Walau satu kamar berbarengan dengan orang lain, tapi sungguh hostel ini sangat nyaman dan highly recommended! Pembayaranpun bisa dilakukan dengan paypal, ini sangat memudahkan, karena biasaya mesti memakai kartu kredit, sementara saya tidak punya kartu kredit.

Sampai di Garmisch-Partenkirchen, kami mengisi perut dulu di stasiun membeli pommes untuk dimakan di hostel. Berbekal tanya-tanya dan GPS di Blackberry, sampailah kami di hostel yang kalau malam benar-benar seperti in the middle of nowhere. Kesan pertama saya langsung suka dengan hostel ini. Di kamar kami sudah ada dua backpackers kebangsaan Amerika. Setelah mandi, kami makan malam lalu tidur.

Pagi harinya kami sangat segar karena istirahat yang sangat cukup. Pemandangan luar jendela pun sangat menakjubkan. Kota ini benar-benar di atas pegunungan Alpen! Sejauh mata memandang hanya pegununga bersalju. Jadi ingat, dulu waktu kecil saya ingin sekali mengunjungi pegunungan Alpen akibat iklan permen Alpenliebe. Alhamdulillah kesampaian. Dua backpackers Amerika itu juga sudah keluar kamar, jadilah kamar luas itu kami isi sendiri. Sarapan yang disediakan hostel sangat luar biasa. Roti, keju, butter, selai cokelat, madu, sereal, susu, jus jeruk, mantap sekali. Benar-benar asupan gizi yang pas sebelum bermain ski. Saking nyamannya duduk-duduk di sana, kami sampai terlewat waktu untuk berangkat. Rencananya kami ingin ikut sekolah ski agar kami benar-benar mahir bermain ski (pengalaman main ski tahun lalu: percuma kalau tidak belajar dulu! Karena bermain ski itu sulit dan juga berbahaya). Tetapi waktu pendaftaran sekolahnya hanya sampai pukul 9:15 dan sekolah dimulai pukul 9:30, sementara kami pukul 10:30 baru keluar hostel.

Singkat cerita, kami berangkat menuju area Garmisch-Klassik. Kami tidak berangkat menuju Zugspitze karena perjalanannya memakan waktu lama. Setelah membeli tiket kereta gantung ke atas gunung serta menyewa peralatan ski, kami berangkat ke atas. Subhanallah, pemandangan begitu indah kami lihat ketika kereta gantung kami menanjak ke atas. Sesampainya, kami segera memulai peluncuran. Sulit memang, sementara saya dan Asroi masih berlatih meluncur dan mengerem, Karimi dengan keberaniannya sudah lihai meluncur dan mengerem.

Saya agak takut, pasalnya sebelum berangkat saya melihat video di YouTube seorang pemain ski profesional menabrak pembatas garis dan langsung tewas seketika. Maka dari itu saya tidak berani meluncur cepat-cepat. Setiap kecepatannya sudah tinggi, saya langsung rem. Sekian lama kami bermain, hingga akhirnya pukul 15:30 dan kami belum salat Dhuhur-Ashar. Jadilah saya meminta Karimi dan Asroi untuk menepi ke arah depan supaya bisa salat. Kami berberes. Tas ransel yang berisikan barang-barang kami termasuk handphone dipikul Karimi. Saya pun meluncur ke area masuk di depan. Saya sempat melihat Karimi meluncur ke bawah dan Asroi -- yang masih gemetaran berseluncur -- mengikutinya di belakang. 10 menit menunggu, mereka belum juga datang. Pikir saya, mereka sedang naik lagi ke atas untuk berseluncur. Oke lah, tidak apa-apa, masih ada waktu. Saya juga akhirnya bermain-main lagi ke tengah. Tapi kok, semenit, dua menit, lima menit, setengah jam, sampai satu setengah jam lewat, mereka belum muncul juga! Saya mulai panik, pasti ada apa-apa dengan mereka! Mereka meluncur ke arah bawah yang notabene adalah jurang sementara mereka baru hari ini bermain ski untuk yang pertama kali. Perasaan saya langsung tidak karuan, ini pasti ada apa-apa, batin saya.

Saya berteriak-teriak seperti orang gila di pegunungan yang luas dan besar itu. "ASROIIII!!... KARIMIII!!!" Tidak hanya itu, saya berkeliling gunung mencari mereka serta menanyakannya ke petugas-petugas. Para petugas bilang, ke arah bawah itu sudah cukup sulit, dan bagi beginers medan tersebut tidak mungkin dilewati. Saya makin tidak karuan, bayangan saya mereka sudah jatuh ke jurang, patah tulang dan meninggal dunia. Pencarian oleh petugas baru bisa dilakukan ketika pukul 17:30, saat langit sudah gelap. Saya meminjam telepon genggam orang-orang yang sedang memegang telepon genggam. Ada orang Amerika dan Swedia. Untungnya walaupun mereka tidak memakai nomor Jerman, mereka berbaik hati meminjamkan saya telepon mereka. Saya hanya hafal nomor Karimi, saya telepon tidak diangkat, saya tinggalkan sms dengan harapan ia akan membacanya. Menit demi menit berlalu, mereka tidak juga ditemukan. Saya sudah hampir pasrah, namun saya ingin melakukan usaha terakhir: mencarinya dengan pengeras suara yang bisa terdengar ke seluruh pelosok gunung.

Dengan memohon-mohon, saya diperbolehkan menggunakan mikrofon dan speaker yang dipasang di sana. Saya berteriak, "Karimi!! Asroi!! Ditunggu di tempat masuk tadi!! Karimi!! Asroi!! Ditunggu di tempat masuk tadi!!". Orang-orang keheranan mendengarkan "pengumuman" aneh berbahasa aneh tadi yang menggema-gema di sana dengan nada panik. Tapi sudahlah, itu usaha terakhir saya sebelum saya menunggu ada pencarian dari petugas pukul 17:30 nanti. Usai salat, saya ikhlaskan mereka. Saya berpikir mereka sudah meninggal dunia. Lalu saya kembali ke tempat kereta gantung untuk menuju ke bawah.

Ternyata di sana mereka saya temukan. Mereka juga baru selesai salat, dengan perasaan lega dan kesal saya memarahi mereka habis-habisan. Panjang ceritanya, ringkasnya, Karimi ke bawah karena harus mengambil kereta ke atas karena kondisi curam dan es yang sangat licin, tetapi ia tidak bisa mengerem, lalu jatuh terguling-guling. Ketika ia sudah hampir sampai di atas, ia menemukan Asroi yang sudah tidak bertenaga dan bingung bagaimana kembali ke atas. Jadilah mereka bersusah payah menanjak ke atas hingga akhirnya mereka mendengarkan gaungan suara saya.

Setelah kami bertemu, lega perasaan saya, wuihhh, dinginnya hari itu benar-benar meluapkan kelegaan saya: saya menemukan mereka dalam keadaan masih hidup! Tanpa patah tulang! Alhamdulillah! Setelah itu, langsung saya marahi mereka. Kalau Karimi sudah sering saya marahi, kalau Asroi, ini baru pertama kali saya marahi dia. Gak tega sih, tapi tetap harus dimarahi. Jadilah Asroi orang pertama yang saya marahi di antara the boys (tunggu tanggal mainnya, Guntur, Bhirawa, Halim, Audio, Juan dan Juno :)). Tapi sebenarnya saya nggak marah dan kesal, melainkan lega, cuma sengaja aja saya pasang tampang marah biar mereka kapok. Tapi kasihan juga mereka, jadi feeling guilty. Nah dari pada suasana liburannya rusak, saya nggak lama-lama marahnya.

Sampai di kota, kami ke stasiun dan mengambil kereta ke München. Sepanjang perjalanan kami bercerita tentang pengalaman luar biasa di hari itu. Sampai di München, kami niatkan untuk makan malam yang banyak dan kenyang. Setelah menaruh barang di hostel, kami dengan sisa tenaga yang ada mengunjungi beberapa tempat di München seperti Sendlingertor (sebenarnya saya kaget, niat hati mau mengunjungi sebuah Tor megah yang sering dilihat di kartu pos dari München, eh ternyata hanya sebuah Tor purbakala, rupanya kami keliru, tak apalah, toh bisa melihat Tor yang dibangun tahun 1318 yang kalau di Indonesia sudah seperti prasasti-prasasti kerajaan), Münchener Rathaus (gedung ini keren sekali), lalu kembali ke stasiun untuk makan pizza di sebuah restoran di sana. Sudah terlanjur berada di München, tidak lengkap jika tidak mengunjungi Allianz Arena, stadion utama markasnya Bayern München yang sekaligus sebagai stadion pembuka piala dunia 2006. Perjalanan menuju ke sana cukup jauh, tapi tidak terasa karena kami menaiki kereta bawah tanah München yang sangat elegan, dengan interior minimalis dan modernis.

Di hostel, saya segera tidur karena besok pagi pukul lima saya dan Karimi harus segera kembali ke Berlin agar sempat menghadiri rapat TPA pada pukul empat sore. Bangun pagi, mandi, kami segera berangkat ke stasiun meninggalkan Asroi yang ingin pulang lebih siang karena ia ingin ke kota Augsburg terlebih dahulu. Perjalanan pulang yang melelahkan dan mengesalkan pun dimulai. Pesan: jangan naik kereta di musim dingin karena pasti ada keterlambatan dan masalah lainnya. Tapi apa daya, di tengah suhu dingin kami menderita akibat kereta yang datang terlambat sehingga kami tidak sempat mengambil kereta berikutnya dan kami sampai di Berlin pukul delapan malam. Asroi tiba di Berlin pukul sembilan malam. Alhamdulillah, Berlin! Akhirnya berakhir juga backpacking untuk musim dingin tahun ini. Rencana berikutnya? Visit Istanbul 2011 :)

2 comments:

dinicanidria said...

Subhanallah.. Salju, pasti dinginnya menggigit. =)

Syukurlah semuanya selamat, dan masih diberi kesempatan oleh-Nya untuk mengundur waktu berjumpa dengan sebuah perpisahan besar. Lain kali berarti harus lebih hati-hati kalau main ski. Ok, witer backpacker? Hm..

Anonymous said...

foto masjidnya...?
gak ada, ya ?

ato memang gak boleh foto2 di masjid?