Thursday, December 02, 2010

Di Kala Salju Turun

Di kala salju perlahan-lahan turun, lamat-lamat, suasana menjadi sangat syahdu. Jika Tuan melihat bagaimana salju itu menumpuk di pelataran, turun dari langit yang kelabu, memutihi ranting-ranting pohon, Tuan akan merasakan seakan-akan waktu berputar menjadi sangat pelan, dunia seakan menjadi sangat hening, nafas berhembus menjadi sangat panjang.

Tuan mempersiapkan ruangan tempat Tuan akan menghabiskan sore. Menggeser sofa kecil Tuan agar berhadapan dengan jendela dan menyelimutinya dengan selimut tebal yang lembut. Tuan juga tidak lupa meletakkan bantal-bantal kecil dan secangkir coklat panas di meja pada sisi samping sofa Tuan.

Udara dingin bisa merasuki ruangan Tuan, maka Tuan membakar seikat kayu di perapian yang hangatnya menjalar ke seluruh ruangan. Tak lupa Tuan mengenakan kaus kaki tebal dan baju yang bisa menahan panas untuk tidak keluar dari tubuh Tuan. Kelabu di luar ikut menggelapkan ruangan, tapi Tuan tidak perlu menyalakan lampu-lampu, cukup bara-bara api di perapian sudah memberikan sebilas warna-warna merah jingga yang halus di hitam yang semakin pekat.


Selesai sudah persiapan Tuan, kini Tuan beranjak menuju sofa dan menyelimuti Tuan dengan kehangatan yang nyaman. Tuan pandangi salju-salju itu di luar yang turun menderas, tetapi perlahan. Satu-satu... dua-dua... tiga-tiga... Lalu Tuan menyeruputi coklat panas, membiarkan mulut Tuan mengecapi manis yang kental, dan menelannya, menjadikan tenggorokan sampai perut Tuan dijalari hangat-hangat.

Tuan menangis. Ah tidak. Hanya air mata. Tuan bilang itu bukan tangisan karena Tuan tidak ingin menangis. Tapi salju-salju tadi mengatur kata hati Tuan untuk membuka satu sisi di hati Tuan yang selama ini Tuan tutupi rapat-rapat dan terkunci. Tapi sudahlah, Tuan tetaplah Tuan, lelah jika Tuan terus menerus menunjukkan bahwa Tuan itu kuat tapi sebenarnya Tuan hancur dan penuh luka. Tuan menahan derita bahwa bagaimanapun Tuan berusaha, keadaan tetaplah akan sama walau semua tahu bahwa Tuan tidak mudah menyerah, bahkan Tuan tidak akan menyerah. Tuan tidak akan pernah lelah. Tapi Tuan mesti sadar, bahwa semuanya tidak akan lagi menjadi sama.

Salju turun lamat-lamat, pelan-perlahan, syahdu.

Tuan mengantuk, lalu Tuan tertidur. Lelap sekali. Dengan air mata yang menganak sungai. Tuan telah menjadi Salju. Lalu Tuan bermimpi tentang Salju yang mengorbankan diri agar Tuan bisa terus hidup. Walau Tuan tahu, Tuan terluka.

Berlin, 2010.

1 comment:

dinicanidria said...

Jika saat ini sedang malam, jangan ingin segera fajar menjelang. Nikmati saja malamnya dengan pekat dan kelam yang terasa panjang. Ikuti saja alurnya, hingga tanpa terasa nanti fajar sudah ada di depan mata. Entah kapan, yang jelas fajar pasti akan terbit. Sekarang lebih baik membendung samudera sabar dulu. Ketika kita hidup, selalu ada alasan untuk bahagia..