[Cokelat]
Ketika aku sedang berkumpul dengan kolega-kolega kerja pada sore itu, sekotak cokelat dibagi-bagikan sebagai hadiah natal dari divisi lain. Aku mengambil sebuah cokelat putih berbentuk kerang, spontan salah seorang kolega kerjaku berteriak.
"Dimas! Di cokelat itu ada alkoholnya!" lantas ia merebut kotak cokelat itu dan segera melihat bahan bakunya di bungkus belakang.
"Tuh kan benar! Ada liquor-nya!" katanya keras-keras. Aku kagum sekali pada L, teman Jerman saya yang nonmuslim itu malah yang paling panik melihat aku memegang cokelat yang mengandung alkohol. Di setiap acara apa pun, dia yang terdepan memberi tahuku isi kandungan di setiap makanan yang disajikan. "Di situ ada salaminya, ini ada dagingnya," dan lain-lain.
"Duh ada alkoholnya, ya?" kataku kikuk. "Buat kamu mau nggak?" tanyaku lagi.
"Aku juga tidak minum alkohol," jawabnya. Aku sangat malu menawari dia sesuatu yang untukku haram hukumnya, apalagi dia juga tidak minum alkohol. Aku menyesal telah mengambil cokelat itu. Aku menyesal malah menawari dia. Aku menyesal, dan aku buang cokelat putih berbentuk kerang itu ke tempat sampah.
[Status]
"Dulu, murobbiyah ku pernah berkata, jangan berpikir bahwa apa yang kamu katakan ke orang lain itu untuk orang lain, tapi sesungguhnya itu untuk dirimu sendiri.."
Aku tertohok. Aku jadikan itu sebagai statusnya dia, dan 18 orang menyukainya.
[Muslim]
Jumat itu seperti biasa adalah hari yang aku tunggu-tunggu. Di sela-sela pembicaraan kami, A bercerita tentang studkolnya. Ia memiliki teman yang suka menanya-nanya tentang keislaman dia. Mengapa ia pakai janggut, padahal lebih bagus tidak pakai janggut (relatif lah), mengapa ia tidak makan babi, mengapa ia begini dan begitu, bahkan ada temannya yang mengejeknya bahwa orang Islam harus bagus di pelajaran kimia supaya bisa membuat bom.
Ia bercerita tentang bagaimana ia menghadapi mereka.
"Tunjukkan saja adab kita sebagai seorang muslim, A. Adab itu sangat erat dengan iman. Rasulullah SAW berkata bahwa malu sebagian dari iman. Bahwa tidaklah beriman seseorang jika ia tidak amanah, bahwa tidak beriman seseorang jika tidak berbuat baik dengan tetangganya, tidak memuliakan tamunya, dan berbicara yang tidak baik. Sempurna kan? Jadi kita bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka dengan adab dan perilaku kita sebagai muslim."
Adikku yang lain, J, juga menyampaikan hal yang sama. Ia resah melihat beberapa kemungkaran di hadapannya, namun ia tidak tahu harus berbuat bagaimana.
"Bang, bagaimana kalau yang orang muslimnya sendiri tidak memberi contoh itu... Saya mau menegur tapi teman saya yang muslim malah seperti tidak mendukung saya..."
Masya Allah. Mereka anak-anak yang hanif. Terkadang aku merasa sangat malu dan hina untuk menjadi abang mereka. Ya Allah, tetapkanlah diriku selalu dalam cahayaMu..
[Ibu]
Dalam postinganku sebelumnya, aku menjelaskan mengapa cerita ini layak menjadi cerita pilihan untuk pekan ini. Salim A. Fillah menulis: ibu, melodi paling harmoni yang menggemakan jagad dengan jihad agungnya.
[Pagi]
Pagi itu aku datang beberapa menit sebelum adzan subuh berkumandang. Kulihat L sedang duduk di dapur sambil membaca Al-Ma'tsurat. Yang lain sibuk dengan mushaf Qur'an-nya masing-masing. Pagi itu setelah aku kembali dari mengajar Bahasa Indonesia, mereka sedang khusyuk melakukan salat dhuha.
Aku teringat pada kata-kata seorang sahabat: Hidayah Allah itu sangat mahal harganya. Orang yang mendapatkannya akan merasakan manisnya iman dan lezatnya ibadah. Menangislah wahai orang yang tidak merasakannya, karena hatimu telah membeku dan keras seperti batu, akibat maksiat yang kamu kerjakan selalu dan selalu.
[Jujur]
Usai rapat di KBRI tadi sore aku menyapa Mbak I, menanyakan kabar riset doktorannya.
"Aku memang akhir-akhir ini sibuk banget, kemarin kan aku sempat ada masalah dengan risetku," ujarnya.
"Lho, kenapa?"
"Iya, aku kan kerja berdasarkan tiga publikasi yang diminta oleh professorku untuk dikembangkan, ternyata aku menemukan kesalahan fatal dalam tiga publikasi itu."
Aku bergumam dalam hati, Mbak I hebat sekali bisa menemukan kesalahan pada paper yang sudah dipublikasikan.
"Aku sempat dilema juga, profesorku minta aku tutup mata saja melihat kesalahan ini karena itu akan menghancurkan nama baiknya, tapi aku nggak bisa, pertama aku seorang muslim, kalau aku tetap menulis berdasarkan publikasi-publikasi yang salah itu, sama saja aku menyebarkan kebohongan."
Aku salut. "Memangnya publikasinya tentang apa sih mbak?"
"Tentang drug delivery."
"Itu kan vital banget!" ujarku. "Itu impactnya sangat luas kalau kesalahan itu dibiarkan."
"Makanya, profesor aku sudah mewanti-wanti aku, katanya aku kan dibiayai oleh proyek ini, kok bisa-bisanya aku berani membongkar kebenaran ini. Tapi aku bismillah saja, aku terus maju."
"Jangan-jangan professornya mbak itu si Professor X ya? Dia kan terkenal banget untuk soal drug delivery!" Mbak I pun mengiyakan. Aku tidak habis pikir kok bisa terjadi hal seperti itu. Tapi yang paling penting, aku sangat salut dan bangga terhadap Mbak I, ia berani, ia seorang muslimah.
1 comment:
SALAM UKHWAH.....
beruntung saudara dikelilingi teman2 yg menitik beratkan hal2 yg haram bg agama RASULLULLAH SAW...
bukan senang utk istiqamah dlm hidup jika kita jauh di rantau orang...
Post a Comment