Tuesday, January 05, 2010

Futuristika

Futuristika
Oleh: Dimas Abdirama


Di Berlin sedang terjadi kekacauan yang luar biasa.

Jutaan orang berkumpul di beberapa tempat. Straße des 17. Juni dipenuhi lautan manusia yang berjejal sampai tugu Siegesäule dan Brandenburger Tor. Ribuan orang menumpuk sepanjang Friedrichstrasse sampai Unter den Linden dan Alexanderplatz. Sebagian lagi memadati Potsdamer Platz. Mereka berteriak, mengacungkan plakat dan spanduk tinggi-tinggi. Kekacauan ini bertendensi membuat keributan yang sangat dahsyat.

Kanselir Maximillian Müller menyatakan Republik Federal Jerman berada pada status darurat. Di Hamburg, Köln, München, dan Frankfurt aksi unjuk rasa serupa juga sedang berlangsung secara besar-besaran. Menteri Ekonomi dan Teknologi Ayse Guncan mengadakan pertemuan rahasia dengan kanselir, presiden, dan beberapa pejabat tinggi. Ratusan batalion Bundeswehr dikerahkan untuk mengamankan masa yang makin memanas.

„Kita tidak punya waktu lagi Herr Müller! Kita harus segera memanggil dia!“ ujar Menteri Ekonomi dan Teknologi Ayse Guncan dengan panik. Presiden Alexander Winterroll mengamati dokumen-dokumen yang dibawa Frau Guncan.

Maximillian Müller mengerenyitkan dahi. Sesekali melihat jam tangannya dengan gugup. „Apa kebijakan ini tidak akan membuat ekonomi kita morat-marit, Frau Guncan?“



„Tidak! Kita bisa perkuat kembali hubungan perdagangan kita dengan negara-negara sahabat! Selain itu kita masih punya aset yang cukup besar. Saya akan segera batalkan penjualan VW, Mercedes, dan Bosch ke Amerika. Yang penting, sekarang ini kita harus segera membeli lisensi Tremendous Chip itu dan menyebarkannya ke rakyat kita!”

Kanselir Müller menghirup nafas dalam-dalam, ia tadahkan kepalanya ke atas sambil memejamkan mata. Di dalam tempurung kepalanya, ratusan sel-sel otak sedang berputar dengan cepat bagai teknologi komputer super yang tercanggih.

“Baik! Panggil orang itu sekarang juga!” ujar Müller dengan mantap. „Tolong beritakan kepada Menteri Luar Negeri Phillip Feierabend dan Menteri Kesehatan Hülya Bülüt untuk menghadap saya di Bundeskanzeleramt secepatnya!“

Terik matahari di musim panas makin menggila. Sejak dimulainya musim panas di bulan Februari, sudah banyak virus-virus baru bermunculan akibat limbah dan tumpukan sampah di negara-negara sub saharan yang dibawa oleh angin selatan menuju Jerman. Di sini, lapisan karbondioksida yang tebal memerangkapi virus-virus itu untuk berkembang biak dan beranak pinak dengan leluasa. Yang terparah muncul di bulan ini, virus flu H5N4, hasil rekombinasi genetika flu manusia, kuda, unggas, dan babi menyerang sebagian besar wilayah Jerman.

“Herr Müller! Ada telecam dari Menteri Pertahanan Georg Hiller-Schmeterlinge!” ujar seorang asisten sambil tergopoh-gopoh membawa seperangkat monitor dan alat telecam ke hadapan Maximillian Müller.

Di layar telecam muncul wajah Menteri Pertahanan dengan setelan jas hitamnya. Dia selalu terlihat gagah bahkan di situasi genting seperti ini. Padahal baru saja ia ikut turun ke jalan untuk menenangkan jutaan manusia yang sedang berdemonstrasi sambil membagi-bagikan masker pelindung nafas agar manusia yang berjejalan di sana tidak terkena virus-virus mematikan.

„Herr Müller, apakah kebijakan membeli Tremendous Chip itu sudah Anda pikirkan matang-matang?“ ujarnya. „Saya pikir, ini terlalu berbahaya. Kita bisa berada dalam cengkraman bangsa asing! Walaupun orang itu pernah berkuliah di Jerman, tapi dia tetap bukan warga negara Jerman! Lagi pula, cara kerja Tremendous Chip itu bisa membongkar semua informasi genetik seorang manusia! Sangat berbahaya…”

“Cukup!” bentak Müller. “Atas nama Vaterland! Vaterland! Deutschland ist über alles! Über alles in der Welt! Kita wajib melindungi rakyat kita! Kita tidak punya waktu banyak!“

***

Jauh di sana, di negeri yang subur makmur gemah ripah loh jinawi, serombongan mobil hitam berplat putih CD 32 mendatangi sebuah rumah rindang di wilayah Duren Sawit, Jakarta. Lelaki muda peraih nobel kedokteran dan fisiologi atas penemuannya di bidang imunologi yang ia beri nama Tremendous Chip Dms1986 sedang duduk-duduk santai menikmati senja sambil mendengarkan musik di beranda belakang yang berhadapan dengan kolam renang dan pohon-pohon tanaman tropis. Seorang (atau sebuah) robot dengan cepat mendatanginya, lalu mengatakan bahwa di depan sana ada beberapa orang bule ingin segera menemuinya.

Lelaki itu tersenyum, lalu menekan sesuatu di telinganya, mengaktivkan alat telecommunate yang terpasang di baliknya.

„Haidar, bisa kamu temui mereka dulu?“ sahutnya pelan.

Tak lama datang seorang lelaki berperawakan tegas berpakaian kemeja putih dengan vest hitam. Kacamata Gucci yang berbingkai tebal makin memperjelas karakternya sebagai seorang yang serius dan berdedikasi tinggi.

„Selamat sore!“ sapa salah satu dari mereka. Seorang lelaki berkulit putih dan berambut pirang yang memperkenalkan diri dan koleganya dari Kedutaan Besar Republik Federal Jerman di Jakarta.

„Guten Abend,“ balas Haidar.

„Ach! Sie sprechen Deutsch!“ balas si bule itu lagi.

„Ya, tapi saya sedang tidak berminat berbahasa Jerman,“ lanjutnya. Ia melirik sedikit ke arah orang-orang dengan wajah tegang itu. Ada sepuluh orang yang datang. Yang baru saja berbicara adalah Duta Besar Leon Gummibärchen. Haidar mempersilahkan mereka masuk dan duduk di ruangan depan. Seorang (atau sebuah) robot membawakan mereka minuman dingin.

Haidar membuka laptop Apple peraknya, tangannya dengan lincah mengetik sesuatu lalu tak lama membuka sebuah buku harian tebal bersampul kulit hitam.

„Maaf, besok Tuan Mushab harus berada di Tembagapura,“ kata si Arab-Indonesia itu.

„Kami hanya membawanya sebentar. Satu hari saja... Kanselir Müller sudah menunggunya di Berlin... Kami mohon...“ pinta seorang perempuan dengan rambut sebahu yang diikat kuncir kuda dengan nada memelas.

„Tolonglah, demi nilai-nilai kemanusiaan. Rakyat kami menderita. Kami sudah mendapat izin dari Presiden Abdirama...“ lanjut Gummibärchen.

Haidar menatap mereka dengan serius dari balik kacamatanya yang melorot sampai ke bawah hidung. Ia menggeleng. Walaupun mereka membawa-bawa nama Presiden Republik Indonesia, tetap saja Mushab yang menentukan langkahnya sendiri.

„Presiden Abdirama tidak memiliki kuasa apa-apa untuk Tuan Mushab. Anda tahu itu bukan?“ sahut Haidar. Mereka bersepuluh tertunduk lemas, kartu as bangsa mereka terletak pada penemuan lelaki itu.

Mereka saling berpandang-pandangan dengan raut wajah yang pucat pasi. Di ruangan itu bersemilir angin hangat yang datang dari ruangan tengah. Hening sesaat suasana kala itu.

„Ehm... Baik, saya akan berangkat ke Berlin bersama kalian sekarang...“ bunyi suara dari arah halaman belakang. Lelaki sederhana dengan kaus oblong dan celana panjang itu menemui mereka dan menghentikan istrahat sorenya. „Walau bagaimana pun, Jerman telah memberi banyak hal-hal berharga untuk saya...“

Tiba-tiba saja Herr Gummibärchen melompat dari tempat duduknya dan memeluk Mushab kuat-kuat sampai ia kesulitan bernafas. Mereka berteriak histeris meluapkan kegembiraannya, raut wajah-wajah mereka kembali benderang. Perempuan berambut sebahu yang diikat kuncir kuda tadi juga spontan berlari ke arahnya, ingin ikut memeluknya.

„Jangan, Frau Weinachtsbaum! Herr Syuhada tidak senang dipeluk oleh sembarang orang!“ teriak salah seorang di antara mereka untuk menghentikan niatan atase konsuler yang bernama Stefanie Weinachtsbaum itu.

***

Tiga jam kemudian, Mushab sudah sampai di Berlin dan segera dibawa oleh tim khusus menuju Bundeskanzeleramt menghadap Kanselir Müller. Di perjalanan dengan mengendarai helikopter jet, Mushab melihat ratusan manusia terdampar di jalanan. Kehausan, kelelahan. Beberapa di antara mereka bahkan terlihat kepayahan dengan lilitan selang-selang infus untuk menjaga mereka terhindar dari infeksi virus dan bakteri yang bertebaran di sana. Anak-anak menangis sambil meronta-ronta. Ibu-ibunya kebingungan berupaya menghentikan tangisannya. Pemandangan yang sangat kontras dengan yang ia alami beberapa tahun yang lalu saat ia menyelesaikan studinya di kota itu. Saat Jerman sedang jaya-jayanya.

Sesampainya di sebuah bangunan tinggi dengan dinding kaca bernuansa minimalis yang sangat berbeda dengan bangunan Bundestag megah di sebelahnya yang bernuansa klasik, Mushab Syuhada disambut oleh Kanselir Maximillian Müller dan Presiden Alexander Winterroll. Di belakang mereka berjejer beberapa pejabat penting dengan wajah harap-harap cemas. Ini dia orangnya, batin mereka. Orang yang bisa menyelamatkan bangsa ini dari kemelut.

„Silahkan duduk Herr Syuhada,“ Müller menyodorkan tangannya ke arah bangku empuk di hadapannya. „Langsung saja, kami ingin membeli lisensi Tremendous Chip Dms1986 untuk kami bagikan kepada rakyat kami. Mereka semua dalam keadaan bahaya. Penyakit-penyakit memata-matai kita di negara ini!“

Kanselir Müller menolehkan kepalanya ke kiri dan kanannya. Berharap salah seorang menterinya menambahi apa yang baru saja ia ajukan. Georg Hiller-Schmeterlinge menangkap tatapan Kanselir Müller yang penuh makna itu.

„Bisa Anda jelaskan bagaimana cara kerja dari chip buatan Anda?“ tanya Menteri Pertahanan Georg Hiller-Schmeterlinge kemudian.

Mushab mengangguk pelan, diliriknya Haidar yang berada di sampingnya lengkap dengan laptop Apple perak dan buku harian tebal bersampul kulit hitam. Haidar paham maksud lirikan tuannya. Buru-buru ia mengeluarkan beberapa poster tentang chip tersebut.

Tremendous Chip Dms1986 adalah sebuah chip kecil yang berfungsi sebagai pusat pengendalian penyakit di tubuh manusia. Dengan menanamnya di bawah jaringan kulit, chip itu mampu mengendalikan fungsi dan cara kerja sel dengan sinyal-sinyal cytokin yang dikeluarkannya. Jika ada virus masuk ke dalam tubuh manusia, maka chip itu akan menangkap kode genetik virus tersebut dan menghancurkannya. Bagian tubuh yang rusak seperti patah tulang atau kulit yang terbakar, dapat segera disembuhkan dengan mendorong sel-sel di sekitarnya untuk berregenerasi. Penyakit genetik dapat disembuhkan dengan memperbaiki kode-kode genetik di setiap sel di tubuh manusia. Dengan Tremendous Chip Dms1986, manusia akan terbebas dari segala penyakit yang muncul dewasa ini.

„Namun, pasti Anda melakukan kontrol untuk orang-orang yang memakai chip itu bukan?“ tanya Hiller-Schmeterlinge lagi, kali ini dengan pandangan kritis.

„Ya. Bila seseorang menanam chip itu di tubuhnya, maka saya bisa dengan leluasa melihat kode-kode genetik orang itu. Bahkan saya bisa mendengar apa yang mereka pikirkan di otak-otak mereka karena chip ini memiliki kemampuan menangkap sinyal-sinyal yang muncul di sel otak, lalu menginterpretasikannya ke dalam bentuk sebuah bahasa...

...dan bila ada seseorang yang tidak saya suka, tentu saya bisa saja mengubah kode genetik orang itu semau saya, lalu membunuhnya pelan-pelan atau tiba-tiba. Semua bisa saya lakukan dari balik monitor saya...“

Kanselir, presiden, dan beberapa pejabat yang hadir di situ menjadi tegang. Keringat dingin bercucuran dari pelipis-pelipis mereka.

„Sekarang terserah Anda, apakah Anda benar-benar ingin membeli chip saya dengan segala konsekuensinya?“

Mereka saling berpandangan, namun pada akhirnya mereka hanya mengangkat bahu. Tidak ada jalan lain, rakyat mereka di luar sana menginginkan chip itu, namun mereka tidak bisa membelinya karena harganya yang sangat mahal. Bahkan untuk membayar barang itu, Jerman mempertaruhkan kestabilan ekonominya. Namun apa yang bisa mereka perbuat? Jika mereka biarkan rakyat mereka mengaung dan menjerit, pasti ekonomi mereka akan lebih hancur dari yang mereka duga. Rakyat menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab terhadap kesehatan dan kesejahteraan jutaan rakyat Jerman. Mereka ingin pemerintah membelikan mereka barang itu dan membagikannya dengan cuma-cuma.

Keadaan makin genting. Kanselir Maximillian Müller dihadapkan pada pilihan sulit. Bangsa dan rakyatnya akan dikontrol dengan mudah dari jarak jauh oleh orang asing. Apakah ini merupakan pertanda kehancuran bangsa besar yang sangat terpandang di dunia itu?

„Baik, demi Vaterland, kami akan membeli chip Anda!“

***

Berlin, tahun 2131.

Setahun setelah rakyat Jerman menanam chip itu di tubuh-tubuh mereka, perubahan besar terjadi di negara itu. Negara Jerman menjadi bangsa yang besar, bahkan mengalahkan kebesaran bangsanya di era Gerhard Schröder dan Angela Merkel. Jerman terdepan di segala bidang, baik teknologi, ekonomi, perdagangan, pendidikan, budaya, maupun olahraga. Dan yang paling mencolok, peradaban, pola pikir, dan karakter rakyat Jerman berubah total ke arah kebaikan.

„Herr Outogomonieu, apa kabar?“ sapa Frau Wenzel ke tetangganya yang berkulit hitam sambil menyiram tanamannya dengan senyum yang manis. Tradisi sapa-menyapa, tolong-menolong, dan kedekatan hubungan keluarga menjadi budaya baru di Jerman. Tidak ada lagi wajah-wajah muram atau bentakan-bentakan kasar di negara ini. Tidak ada lagi pandangan merendahkan terhadap orang lain di negeri ini. Tidak ada lagi egoisme, semua kejelekan hancur lebur.

„Alhamdulillah, akhirnya pemerintah melarang peredaran alkohol!“ teriak Frau Kittel yang disambut dengan sahutan alhamdulillah dari Frau Schmidt dan Herr Neubauer.

„Jangan lupa, besok Ustadz Hubsch akan ceramah di televisi!“ kata Annette di depan kelasnya. Murid-murid yang lain bersorak gembira.

„Iiih, kok orang-orang jaman dulu pakai bajunya jelek-jelek ya mah?“ celoteh Martin ke ibunya melihat buku sejarah yang dipenuhi foto orang-orang yang berpakaian seadanya. Maklum, di jaman ini yang menjadi trend adalah busana serba tertutup.

Mushab tersenyum lebar melihat cara bekerja pegawai-pegawainya dari balik monitor. Mereka mengubah sinyal-sinyal pikiran setiap rakyat Jerman dan menggantikannya dengan sinyal-sinyal positif, sehingga mereka lebih ramah, santun, dan memiliki etos kerja yang lebih baik dari sebelumnya.

„Haidar, siapkan pesawat sekarang, aku mau terbang ke Berlin. Bilang ke Müller, siapkan teh hangat. Sekarang bulan Agustus, pasti sudah mulai musim dingin...“

Tiga jam kemudian Mushab sampai di Bundeskanzeleramt. Perubahan besar-besaran sudah terjadi. Kanselir Maximillian Müller menyambutnya dengan gembira.

„Silahkan, ini teh hangat yang Anda pesan,“ kata Müller. Mereka tertawa renyah.

„Apa saya bilang. Kita belajar dari sejarah. Kalau di jaman Merkel dulu tidak ada yang concern dengan perubahan iklim, pasti akan ada keadaan lebih parah dari sekarang. Jaman sekarang saja musim panas dimulai di bulan Februari dan musim dingin di bulan Agustus. Kalau kita baca buku sejarah, dua abad yang lalu kan tidak seperti itu!“ Mushab memulai pembicaraan.

„Untungnya perubahan iklim yang menyebabkan merebaknya penyakit ini bisa kita atasi dengan cepat. Rakyat Jerman berterima kasih dan berhutang budi kepada Anda, Herr Mushab!“

„Tidak perlu... tidak perlu... Anda dan rakyat Jerman tidak perlu berterima kasih kepada saya. Jerman negara saya juga. Saya dulu berkuliah di sini... Saya mencintai negara ini...“

Menteri Ekonomi dan Teknologi Ayse Guncan yang berjilbab itu mendatangi mereka. Ia berterima kasih atas bantuan Mushab mengatasi krisis kesehatan di Jerman setahun yang lalu. Hadir juga Menteri Pertahanan Georg Hiller-Schmeterlinge, Menteri Luar Negeri Phillip Feierabend, dan Menteri Kesehatan Hülya Bülüt.

„Oh ya Herr Müller, kapan Anda bisa saya undang minum teh di Jakarta? Jakarta-Berlin kan dekat, cuma tiga jam saja...“

„Boleh saja, yang jelas jangan bulan depan. Saya ingin menjalankan ibadah Ramadan dengan tenang dan khusyuk,“ jawab sang Kanselir.

Hembusan angin dingin datang, tanda musim dingin akan segera datang, di awal bulan Agustus ini.


Berlin, 5 Januari 2010
FLP Jerman

1 comment:

Nurry Maulida Raraswati said...

Keren kak Dims ;D
Kak Dimas nanti mau jadi presiden juga yah?