Le Rendez-Vous
Oleh: Dimas Abdirama
Namanya Cahaya. Cahaya Delaluna. Ya, sinar rembulan! Nama yang cantik, secantik paras gadis mungil itu. Cahaya sedang bergembira di hari ulang tahunnya yang kelima. Tuan Bob dan Nyonya Tutiek mengundang semua teman-teman putri tunggalnya dalam sebuah pesta meriah lengkap dengan hiburan badut sulap. Pipi tomatnya seperti mau pecah ketika ia meniupkan lilin-lilin di atas kue tart yang dihias seperti sebuah kota. Ada rumah-rumahannya, gunung-gunungannya, dan ada pohon-pohonannya.
„Selamat ulang tahun ya cayaaang!“ ciuman dari mami dan papi mendarat dari sebelah kiri dan kanan wajah menggemaskan itu. Cahaya mengenakan baju permaisuri berwarna merah muda yang roknya mengembang berlapis-lapis. Rambutnya dikuncir dua dengan pita-pita yang cantik. Cahaya tampak senang dengan hari spesialnya, begitu juga Tuan Bob, Nyonya Tutiek, para tamu dan anak-anak mereka.
Satu persatu teman-temannya menghampiri, menyalaminya dan menyerahkan kado-kado yang dibungkus berwarna-warni sambil bernyanyi selamat ulang tahun. Mereka yang diundang bukan sembarang orang. Paling tidak berasal dari keluarga kaya dan terhormat seperti orang tua Cahaya. Di acara itu juga ada hiburan door prize, bagi yang beruntung bisa membawa pulang sebuah televisi dan perangkat alat-alat elektronik lainnya. Benar-benar sebuah pesta yang sangat meriah.
Di luar sana, seorang perempuan kecil berdaki, dekil, berpakaian lusuh tak beralas kaki dan berambut kemerah-merahan sedang mengintip dari celah-celah pagar tinggi rumah keluarga itu. Satpam rumah yang melihatnya langsung tanpa basa-basi mengusirnya. Si anak itu lalu pergi berlari pontang-panting, tapi tak lama diam-diam ia kembali lagi mengintip ke rumah itu. Kali ini ia lebih berhati-hati, sebisa mungkin agar Pak Satpam tidak menyadari kehadirannya. Wajahnya yang kusam terlihat berbinar-binar seperti sedang menunggu datangnya sesuatu.
„Mami, Cahaya mau kue,“ kata Cahaya sambil menarik-narik baju maminya. Si mami yang sedang berbincang-bincang dengan mamanya Bagas menghentikan obrolannya lalu celingak-celinguk ke arah dapur.
„Suuum! Ambilin Cahaya kue!“ Teriak nyonya Tutiek menyuruh Bibi Sum memenuhi permintaan anaknya. Cahaya masih belum puas, ia menarik-narik baju maminya lagi.
„Mami, Cahaya mau bawa kuenya ke luar,“ katanya dengan suara cadel anak-anak yang menggemaskan. Mendengar permintaan putrinya tadi, Nyonya Tutiek langsung mengangguk dan mengiyakan. Cahaya tersenyum nakal, rencananya sukses! Ia adalah anak yang cerdas dan punya banyak akal. Ia sengaja meminta sesuatu di saat si mami sedang asik mengobrol dengan teman-temannya. Daripada obrolannya terganggu, lebih baik diiyakan saja. Iya kan?
Perempuan kecil berbadan dekil yang sedari tadi mengintip dari luar adalah kenalannya – kalau tidak mau dikatakan temannya – seorang anak jalanan penjual koran yang ia temui ketika bermain di halaman belakang rumahnya yang luas. Perempuan dekil itu melihat betapa asiknya Cahaya duduk di atas ayunan, meluncur di atas perosotan, dan menyusun rumah-rumahan untuk boneka barbienya. Si gadis kecil hanya bisa menonton lalu membayangkan dirinya juga sedang memainkan barbie-barbie cantik itu.
„Nama kamu siapa?“ tanya Cahaya dari balik tiang-tiang tinggi pagar rumahnya, saat tahu ada seorang anak yang memperhatikannya bermain. Perempuan dekil itu tidak menjawab, hanya tersenyum-senyum malu.
„Kamu mau main ini sama aku?“ tanya Cahaya lagi sambil menyodorkan barbienya. Si gadis dekil mengangguk senang, tersenyum lebar menunjukkan deretan gigi putihnya. Tangan-tangan kecilnya menarik-narik kaus kumal bolong-bolongnya yang kebesaran. Cahaya lalu meminta Bibi Sum membukakan pagar.
„Aduh, jangan non, nanti nyonya marah,“ ujar Bibi Sum. Ia lantas melihat si anak perempuan di luar itu. Diamatinya lekat-lekat dari atas sampai bawah. „Jangan non, main sama bibi aja yuk.“
„Nggak, Cahaya mau main sama teman Cahaya ini. Ayo dong Bi Sum. Cahaya janji nggak bilang-bilang mami deh!“
Bibi Sum pun menyerah dan mengizinkannya masuk dengan perasaan cemas. Si gadis kecil itu senang bukan kepalang diperbolehkan masuk ke pelataran halaman sebuah istana untuk bermain bersama. Mereka bermain ayunan, perosotan, dan rumah-rumahan. Untung Nyonya Tutiek masih di luar rumah sampai nanti sore.
„Non, mainnya sudah yah, nyonya akan sampai di rumah sebentar lagi!“ kata Bibi Sum setengah panik. „Ayo kamu pulang sana!“ lanjutnya ke arah perempuan kecil itu. Cahaya merengut, tapi apa daya, ia tahu maminya pasti akan marah kalau melihat Cahaya bermain dengan anak seperti itu. Sebelum perempuan kecil itu pergi, Cahaya menghadiahkannya beberapa boneka barbie miliknya sebagai tanda perkenalan.
„Besok kamu main ke sini lagi ya. Oh ya, nama kamu siapa?“ tanya Cahaya.
„Lis. Lilis,“ jawab anak itu senang.
Kembali ke ulang tahun Cahaya. Dua gadis kecil itu tersenyum malu–malu saat saling bertemu. Mereka tidak saling menyapa. Cahaya meminta Pak Satpam membukakan pintu pagar, lalu ia menyerahkan sepotong kue yang dibawanya ke anak dekil yang bernama Lilis itu. Lilis tersenyum lebar, matanya berbinar-binar, bahagia luar biasa. Mungkin baru pertama kali itu ia hendak mencicipi lembutnya makanan kalangan orang kaya.
„Dimakan ya kuenya,“ sahut Cahaya. Anak itu tidak menjawab. Ia masih tetap tersenyum lebar, memamerkan gigi-giginya yang berderet rapih, terpaku menjadi patung, masih tak percaya dirinya mendapat sepotong kue yang di matanya tak ternilai harganya.
***
Lima belas tahun kemudian. Cahaya tumbuh menjadi seorang gadis yang memesona. Tubuh gemuk menggemaskannya dulu sudah berubah menjadi langsing semampai. Pipi tomatnya sudah berubah menjadi paras yang cantik. Mata hitamnya bulat, bulu matanya lentik, hidungnya mancung, bibirnya tipis kemerahan. Kecantikannya diperanggun dengan lilitan jilbab rapih yang membalut kepala dan sebagian tubuhnya.
Cahaya sekarang adalah seorang mahasiswi FISIP UI, jurusan Ilmu Politik. Wawasannya luas, ia orang yang cerdas dan aktif. Ia juga menguasai empat bahasa asing: Inggris, Jerman, Spanyol, dan Arab. Cahaya adalah gadis yang santun, tidak banyak berbicara, namun lugas jika menyampaikan pendapat. Kata-katanya berbobot, tidak sembarang berucap. Cahaya adalah gadis yang sopan dan pandai membawa diri. Ia prinsipil, namun hangat dalam bergaul, dan terbuka untuk berteman dengan siapa saja. Cahaya adalah seorang aktivis sosial, ia dan teman-temannya memiliki sekolah pembinaan untuk anak jalanan yang mereka namai Aulad Tsabita *).
Sekolah pembinaan itu mengajari anak-anak jalanan berbagai macam keterampilan. Dari yang paling sederhana, sampai keterampilan yang mampu memberikan penghasilan. Pesertanya adalah anak jalanan yang berasal dari berbagai pelosok ibukota. Kondisi mereka menyedihkan, ada yang pengamen, ada yang pemulung, tukang sampah, penjual koran, bahkan pengemis. Cahaya dan rekan-rekannya prihatin dengan keadaan mereka yang seakan menjadi bagian terbuang dari komunitas sosial bangsa ini. Tubuh-tubuh mereka seolah hanya berperan sebagai figuran dari laju deru episode dunia: tak berarti dan tak memiliki arti. Padahal, setiap manusia itu spesial, bukan? Allah tentu tidak sia-sia menciptakan sesuatu. Mereka perlu dibina, perlu dicari kelebihan apa yang mereka punya. Dan yang paling menyedihkan, kemiskinan semakin membawa mereka dekat kepada kekufuran. Berapa banyak di antara mereka yang mengenal salat lima waktu? Jangankan untuk menghafal bacaan salat, untuk makan saja susah.
Keadaan negara ini makin buruk ketika di tahun itu, 1998, krisis ekonomi melanda, yang dibarengi dengan gejolak politik dalam negeri yang memanas, dan menyebabkan krisis-krisis sosial dan kemanusiaan yang semakin parah.
„Ukht, bagaimana dengan pembinaan para penjual koran di daerah Kampung Melayu?“ Zahra, si koordinator SDM bertanya ke Cahaya dalam rapat pemantapan sekolah mereka.
„Insya Allah berjalan baik. Saya dan Ukhti Farah berbagi tugas. Kami memberikan mereka keterampilan bahasa. Farah mengajar Bahasa Inggris, saya Bahasa Jerman. Subhanallah, tak disangka mereka semua ternyata cerdas-cerdas! Bahkan ada seorang pemudi... siapa namanya ukht?“
„Lilis!“ sambar Farah bersemangat.
„Iya benar, Lilis, ia sangat cepat menangkap pelajaran. Sepertinya ia tertarik dengan Bahasa Jerman. Padahal ia hanya tamatan SD,“ lanjut Cahaya.
„Kalau begitu, Lilis itu dipisahkan saja dengan yang lain, Ukht. Kita berikan ia pelatihan yang lebih intensif. Insya Allah, semoga keterampilan bahasa ini bisa bermanfaat untuknya. Oh ya, ukhti punya data lengkapnya Lilis?“ ujar Zahra.
„Ya, ada di sini,“ jawab Cahaya, „nama aslinya Neng. Neng Geulis. Panggilannya Lilis.“
***
Tak biasanya Cahaya yang selalu bersahaja itu tertunduk murung. Jika tidak ada masalah yang teramat besar, pasti Cahaya tidak akan bersikap seperti itu. Tapi selepas rapat pemantapan Aulad Tsabita, Cahaya hanya terlihat kurang bersemangat. Zahra kenal betul dengan sahabatnya itu, pasti ada sesuatu yang tidak beres.
Didekatinya Cahaya, dirangkulnya hangat.
„Apakah ada yang salah dari ucapanku ketika rapat tadi?“ tanya Zahra. Cahaya menggeleng.
„Ada masalah di keluargamu?“ tanya Zahra lagi. Cahaya juga menggeleng. „Lalu, apa yang bisa kubantu?“
„Maafkan aku ukht, ini tentang sekolah kita, tentang Aulad Tsabita. Tentang amanah untukku yang kamu berikan pada saat rapat satu bulan yang lalu,“ Cahaya memulai ceritanya.
„Tentang Lilis, penjual koran yang ukhti minta lebih ditingkatkan lagi belajar bahasa Jermannya. Aku sudah mengambil langkah yang salah,“ lanjutnya.
„Aku mencarikannya seorang rekan tandem agar ia bisa banyak berlatih dengan penutur asli. Aku mendapatkannya. Ia adalah seorang diplomat aktivis kemanusiaan dan HAM asal Jerman yang sedang berada di Indonesia.“
„Lalu, apa yang salah dengan langkahmu itu?“ Zahra mulai bertanya.
„Ada. Bahkan sangat fatal. Sekolah kita ini bukan hanya sekolah pembinaan keterampilan, tapi di luar semua itu, kita memiliki misi membina ruhiyah mereka. Seharusnya interaksi kita dengan mereka juga membuahkan perbaikan akhlak mereka, bukan sebaliknya.
„Semenjak Lilis mengenal rekan tandemnya itu, ia berubah. Ia sering bersama-sama dengannya. Gaya hidupnya mulai kebarat-baratan. Pakaiannya kini serba baru, bagus-bagus, tapi semakin minim. Ia tidak berjualan koran lagi. Sepertinya pemuda Jerman itu yang memberikannya uang dan tempat tinggal. Setiap malam mereka saling bertemu, berjalan-jalan sampai pagi. Bahkan mereka pernah keluar kota bersama dan menginap bersama.
„Adiknya, si Asep, juga sudah tidak pernah terlihat lagi. Kemarin aku mencoba menanyakan keberadaannya ke salah seorang temannya, namun tidak ada dari mereka yang tahu di mana Lilis sekarang! Ya Allah, kalau sampai terjadi apa-apa dengan Lilis, betapa berdosanya aku!“ urai Cahaya. Tak terasa beberapa butir air matanya jatuh. Zahra memeluk sahabatnya.
„Dalam berdakwah selalu ada hasil yang manis dan pahit. Sabar ukhti. Kita doakan semoga tidak terjadi apa-apa dengan Lilis,“ ujar Zahra menenangkan.
***
Rentetan waktu mengalir tanpa ampun. Siapa yang tidak bisa mengikutinya, pasti akan terseret-seret sendiri. Sepuluh tahun kemudian, Cahaya telah menikah. Saat ini ia dan suaminya sedang mengejar gelar doktor di luar negeri setelah mendapatkan beasiswa dari institusi kenamaan negara Jerman.
Berlin. Sebuah kota mahaindah, perpaduan antara historika dan modernitas dengan gaya metropolitan yang klasik. Penduduknya beragam dan multikultural. Di musim semi ini Berlin tampak lebih bergairah dibanding musim-musim lain. Kala siang datang, matahari menghangatkan udara jantung Eropa ini. Jika malam hadir, gemerlap lampu mempercantik setiap bangunan di atasnya.
Cahaya tetaplah Cahaya. Perempuan solehah yang memiliki segalanya. Setelah pensiun dari Aulad Tsabita, Cahaya tetap mengabdikan dirinya untuk dakwah walaupun ia sedang berada di negeri rantau. Beruntungnya komunitas muslim Indonesia di kota ini, mereka memiliki masjid sebagai pusat aktivitas kerohanian yang memberikan mereka peluang untuk ber-fastabiqul khoirot, berlomba-lomba dalam amal soleh dan kebaikan.
Hari itu hari Minggu siang.
Seorang perempuan dengan rambut diikat sebahu datang ke masjid itu saat sedang ada kegiatan rutinan taman pendidikan Al-Qur’an untuk anak-anak. Ia memandang sekeliling, memperhatikan setiap lekuk ruangan dan orang-orang yang sedang berada di dalamnya. Cahaya dan beberapa guru yang sedang mengajar baru pertama kali melihat kehadiran perempuan itu di masjid ini. Bahkan di luar masjid pun mereka belum pernah bertemunya.
Perempuan itu duduk di belakang lingkaran anak-anak kecil yang sedang membaca iqro. Ada seorang anak laki-laki yang sedang berlari-lari mengacaukan suasana dan tidak ikut kegiatan membaca. Perempuan itu lalu mencoba menenangkan si anak kecil pengacau tadi.
Cahaya mengamati lekat-lekat perempuan itu dari kejauhan. Wajahnya mengingatkan ia pada seseorang. Ya jelas. Wajah itu adalah wajah yang tidak asing baginya sepuluh tahun lalu. Wajah yang tiba-tiba menghilang kini dipertemukan lagi oleh Allah di belahan dunia yang lain. Perempuan itu sedang membacakan sebuah cerita kepada si anak pengacau. Hebatnya, anak itu mau mendengarkannya dengan seksama. Usai membacakan cerita, perempuan itu melangkah mendekat ke arah Cahaya.
„Bu, anak itu orang tuanya yang mana ya?“ tanya perempuan itu. Cahaya mendadak gugup, ia semakin yakin bahwa orang di depannya adalah orang yang ia khawatirkan dulu. Neng Geulis!
„Oh, anak dari Turki itu. Biasanya sebentar lagi ayahnya akan datang menjemput. Terima kasih ya sudah membantu kami menenangkannya.“
„Sama-sama bu. Dia itu anak yang baik. Ngomong-ngomong, kenalkan, nama saya Neng Geulis, saya pendatang baru di Berlin. Pasangan saya baru dipindah tugaskan di Berlin. Nama ibu siapa?“ Deg! Neng Geulis? Berarti benar dialah orangnya!
„Saya biasa dipanggil Ibu Kaligis di sini,“ ujar Cahaya menyamarkan namanya dengan nama suaminya.
„Sepertinya kita sudah pernah bertemu ya Bu Kaligis?“ tanya Neng.
„Masa sih, bu?“ jawab Cahaya datar, „ kok saya tidak merasa begitu ya?“ lanjut Cahaya sambil berusaha menutupi kegugupannya. Ia tidak ingin diketahui bahwa dirinya bernama Cahaya, kakak asuhnya dulu. Ternyata Neng alias Lilis sekarang benar-benar sudah berubah, sudah tidak mengenal Cahaya lagi.
***
Sesampainya di rumah, Cahaya segera membuka laptopnya dan mengetik nama Neng Geulis di laman pencarian Google. Matanya terbelalak, beberapa artikel dan reportase tentang Neng ia temui.
Di sana tertera: Neng Geulis, hidup bersama Constantin Metzner-Rodriguez, seorang diplomat dan aktivis HAM Jerman. Constantin mengetuai sebuah organisasi asuhan partai politik liberalis. Sebelumnya mereka tinggal di Paris. Selama di sana, ia menempuh pendidikan eksternal filosofi di Collège de Sorbonne, dan aktif dalam organisasi-organisasi feminis seperi La Femme dan Chère Madame. Artikel-artikel yang ia tulis sebagian besar bertemakan ketertindasan perempuan yang menyudutkan nilai-nilai Islam.
„Astaghfirullah,“ batin Cahaya dalam hati. Seandainya dulu ia tidak mencarikan rekan tandem untuk Neng di sekolah Aulad Tsabita, mungkin Neng tidak akan seperti ini.
Cahaya baca satu-persatu jurnal dan artikel yang ditulis Neng, hatinya semakin miris! Di sana tertulis bahwa agama Islam adalah agama antikebebasan perempuan. Perempuan dikuasai laki-laki. Perempuan bagaikan dibungkam mulutnya, dijambak rambutnya, ditendang, diinjak-injak. Cahaya jadi berpikir, jika Neng benar-benar tidak menyukai Islam, untuk apa ia datang ke masjid tadi siang? Untuk apa ia membacakan sebuah cerita nabi untuk seorang anak di sana jika keimanannya saja dipertanyakan? Siapakah dia sekarang? Mau apa dia di sana? Apakah dia seorang mata-mata?
„Baca apa sih mi, kok serius sekali?“ ujar Hamka, suaminya. „Baru pulang kok sudah langsung duduk di depan laptop.“
„Gawat bi! Gawat! Masjid kita kedatangan seorang intel!“
„Ah yang benar mi? Umi memang tahu dari mana?“
„Umi tahu persis bi! Coba abi baca artikel-artikel ini, orang yang menulisnya itu barusan datang ke masjid kita!“
Hamka Kaligis, laki-laki bersahaja itu membaca tulisan-tulisan yang ditunjukkan istrinya. Ia heran, ada juga seorang yang begitu bencinya dengan Islam sampai membuat tulisan-tulisan seperti itu. Ah, ternyata ia ingat! Si penulis itu, Neng Geulis, dulu pernah menanyakannya di mana letak masjid itu!
„Kalau tidak salah, abi deh yang memberi tahu dia di mana letak masjid kita.“
„Kok bisa, bi? Memang abi kenal dia dari mana?“
„Dia pernah mengirimkan pesan melalui laman masjid. Abi kan sekretaris masjid, jadi abi yang membalas pesannya. Abi juga tidak tahu kalau ternyata dia orang yang seperti itu. Sudah lah mi, lagi pula belum tentu benar juga kan? Lihat, artikel-artikel itu ia tulis di tahun 2005, artinya sudah tiga tahun yang lalu. Siapa tahu sekarang ia sudah mendapat hidayah.“
***
Biar bagaimanapun, Cahaya tidak bisa mempercayai begitu saja kehadiran Neng di masjid ini. Ia menaruh curiga, terlebih sekarang Neng semakin aktif di masjid dan semakin dekat dengan ibu-ibu yang lain. Cahaya berprasangka, jangan-jangan ibu-ibu di sini akan dicuci otaknya dengan pemikiran Neng yang menyimpang! Bahkan minggu depan Neng mendapatkan giliran menyampaikan kultum di pengajian ibu-ibu. Bisa-bisa kultum tersebut membahas yang tidak-tidak.
„Jangan begitu, Mbak Cahaya,“ ujar Mbak Mun. „Kalau pun dia mata-mata, buat apa kita harus takut? Memangnya kita berbuat apa di masjid ini?“
„Benar. Selama sebulan kita saling berinteraksi, dia tidak macam-macam kok. Bahkan dia sangat bersemangat di pengajian ibu-ibu. Ingat nggak? Sebulan yang lalu dia masih berantakan membaca Al-Qur’an. Sekarang? Kemajuannya sudah pesat!“ giliran Mbak Yun menimpali.
„Mbak Cahaya, kalau pun benar dia seperti itu, apakah kita harus melarangnya datang ke masjid dan menghadiri pengajian-pengajian di sini? Dakwah Islam itu untuk siapa saja, suku apapun, golongan apapun. Mereka berhak menerimanya dan kita wajib menyampaikannya.“
Obrolan dengan Mbak Mun dan Mbak Yun selepas pengajian ibu-ibu tadi pagi masih membekas di kepalanya. Benar juga, ia tidak mau termakan dengan prasangkanya sendiri yang bisa jadi membuat fitnah. Sore ini Cahaya akan mengunjungi Neng ke rumahnya. Ia ingin bersilaturahim sekaligus mencari tahu siapakah Neng yang sebenarnya sekarang.
***
„Wa’alaikumussalaam! Ibu Kaligis! Wah, surprise sekali saya didatangi ibu, ayo masuk bu! Masuk! Jangan sungkan-sungkan!“ sambut Neng ramah. Ia mempersilahkan Cahaya masuk ke flatnya. Sebuah hunian yang mewah di bilangan Potsdamer Platz Berlin. Rumah itu berada di lantai delapan dengan pemandangan kota Berlin yang menakjubkan. Barang-barang di rumahnya bukan barang sembarangan, serba mahal dan serba impor. Deretan lukisan-lukisan khas abad pertengahan menempel dengan elegan di setiap bidang dinding. Lampu kristal yang megah bergantung di setiap ruangan. Patung-patung dari Bali menghiasi setiap sudut rumah, dan... deretan koleksi botol minuman keras tersusun rapih di salah satu rak.
„Senang mengoleksi botol minuman keras ya bu?“ ucap Cahaya sekenanya. Neng terlihat agak kaget dengan pertanyaan tiba-tiba dari Cahaya itu.
„Oh tidak, kebetulan pasangan saya yang suka...“ jawabnya datar.
„Pasangan? Maksud ibu, suami ibu?“ tanya Cahaya lagi. Ia ingin tahu apakah Constantin yang dulu dikenalkannya itu sudah menjadi suaminya. Cahaya tidak menjawab, ia malah mengalihkan pembicaraan sambil bertanya mau minum apa.
Sore itu mereka berbincang-bincang hal-hal yang umum, hal-hal yang tidak memberikan Cahaya informasi apa-apa tentang wanita di hadapannya. Hingga saatnya tiba, Cahaya mulai mengarahkan pertanyaan tentang kehidupannya.
„Ngomong-ngomong, dulu ibu bisnis apa di Paris?“
„Saya membuka butik di sana, di Rue de Berri yang bersebelahan dengan Champs-Élysées itu lho bu,“ jawabnya. Cahaya lalu ber-oh pelan.
„Lalu, ibu tidak ikut organisasi-organisasi seperti La Femme di sana?“ Deg! Mendengar apa yang dilontarkan barusan, hati Neng tertusuk tajam. Ia terdiam, memandang perempuan berjilbab rapih di depannya, lalu menunduk. Lama. Dan cukup lama.
„Bu Neng? Kok terdiam bu? Aduh maaf bu, maafkan pertanyaan saya barusan!“ ujar Cahaya menyesal. Neng tidak mengangkat kepalanya, bahkan ia mulai terisak. Ia menangis! „Bu Neng, astaghfirullah, maafkan saya bu! Saya tidak bermaksud...“
„Tidak apa-apa, Cahaya,“ jawab Neng pelan sambil mengangkat kepalanya. Aliran air mata sudah menganak sungai di wajahnya, namun segera ia hapus. Kini giliran Cahaya yang terkejut, Neng memanggil nama aslinya, padahal setahunya, Neng mengenalnya dengan nama Ibu Kaligis!
Neng menarik nafas dalam-dalam sampai ia bisa menenangkan dirinya. Ditatapnya tajam mata Cahaya dalam-dalam.
„Aku mengenalmu Cahaya. Cahaya Delaluna yang dulu seorang mahasiswi cerdas dari FISIP UI. Aku mengenal Aulad Tsabita tempatku bersekolah dulu, mengenalmu mengajariku dan membimbingku. Mengenal semua kebaikanmu, belas kasihanmu, kesabaranmu, semuanya! Mungkin kamu pikir aku sudah melupakanmu?
„Saat aku menginginkan keadilan, ku bertanya di manakah keadilan itu? Lihatlah dirimu Cahaya, kamu tumbuh dari kalangan berada dan sejahtera, sedang aku dari lingkungan kumuh di pinggir jalan. Kamu besar dengan pendidikan tinggi, bahkan sampai meraihnya ke negeri Jerman, sedang aku hanya sampai lulus SD.
„Di manakah keadilan itu saat aku bisa mendapatkan apa yang kamu bisa? Hidup yang lebih baik, makan, rumah, pakaian, pendidikan, yang kudapatkan melalui Constantin. Di manakah keadilan itu di saat aku sadar bahwa aku telah memakai pendidikanku justru di jalan yang salah? Di manakah keadilan itu saat aku mengenal cinta, tapi aku tahu bahwa cintaku ini adalah cinta yang terlarang?
„Dan di manakah keadilan itu saat aku menemukanmu lagi setelah sekian lama aku mencarimu, tapi ternyata kamu menaruh curiga padaku, bahkan mungkin kamu tidak akan mempercayaiku lagi selama-lamanya. Semoga kecurigaanmu tidak sampai menuduhku sebagai seorang mata-mata yang ingin menyebarkan pemikiran busuk ke masyarakat di sini.“
Cahaya tertegun. Neng menjelaskannya dengan tenang walaupun ia berusaha terlihat tegar. Neng menceritakan semuanya seperti ia tahu benar isi hati Cahaya saat itu.
„Kalau bukan karena aku ingin menemuimu lagi, mungkin aku tidak akan mencari di mana masjid itu berada, mungkin aku tidak pernah terlibat dalam sebuah pengajian dan tahu apa itu penyesalan.
„Kalau bukan karena aku ingin menemuimu, mungkin aku tidak mengenal anak kecil Turki itu yang ayahnya selalu menasihatiku tentang Islam dan membantuku menemukan hidayah. Dan mungkin aku tidak akan terjebak pada penyesalan cinta terlarangku dengan Constantin.
„Dan kalau bukan karenamu, mungkin aku tidak pernah bertemu Constantin.“
Neng beranjak dari sofa hitamnya menuju ke sebuah rak yang dipenuhi dengan pajangan boneka-boneka. Ia mengambil sebuah boneka kecil, lalu tersenyum memandang benda itu seakan sedang mengenang sesuatu yang sangat indah.
„Mungkin kamu juga sudah lupa dengan ini?“ kata Neng sambil menunjukkan boneka kecil itu. Boneka barbie yang cantik, di belakangnya tertulis sebuah kata: Milik Cahaya.
„Astaghfirulah!“ mata Cahaya berkaca-kaca, terputar lagi masa kecilnya dua puluh lima tahun silam. Masa bersama Papi Bob dan Mami Tutiek, masa bersama Bibi Sum, masa berbahagia di hari ulang tahunnya, dan masa bermain bersama seorang anak dekil yang tak lain tak bukan adalah Lilis, Neng Geulis, perempuan yang sedang berada di hadapannya. Dirinya bertanya-tanya mengapa Allah memisahkan dan mempertemukan mereka sehebat ini.
„Saat-saat yang paling indah di masa kecilku adalah ketika aku menerima sepotong kue ulang tahunmu dulu. Aku sangat menghormatimu, Cahaya. Kalau boleh ku mengatakannya, aku mencintaimu, walaupun ku tahu kamu tidak akan semudah itu mempercayaiku.“
***
Memang tidak semudah itu Cahaya bisa mempercayai Neng sampai kabar menggemparkan terdengar ke seluruh masyarakat Indonesia di Berlin: Neng terkena serangan jantung dan terbaring koma di rumah sakit akibat tekanan batin yang dialaminya bertubi-tubi. Masyarakat sudah tahu bahwa selama ini Neng dan Constantin belum menikah, lalu berita itu menjadi buah bibir masyarakat.
Dan ceritanya panjang, sampai akhirnya mereka berdua sepakat untuk menghalalkan cinta mereka. Constantin akan memeluk Islam dan segera menikahinya. Namun di hari itu, datang orang ketiga yang membuatnya terkejut sampai terjatuh dan tak sadarkan diri.
„Mama!“.
„Frau Geulis, apa kabar? Kami sudah kembali dari Istanbul! Wah! Cantik sekali Anda dengan pashmina kashmir pemberian saya!“
„Oh ya, saya juga membawa orang tua saya dari Istanbul,“
„Hari ini saya ingin melamar Anda menjadi isteri saya!“
„Schatz, siapa yang bertamu? Aku sudah siap nih, yuk kita ke Masjid!“
„Lho schatz! Kamu kenapa? Siapa kalian?! Schatz! Schatz! Tolong segera panggil ambulans!!“
Cahaya memandangi tubuh lemah yang terbaring di atas tempat tidur rumah sakit. Cantik sekali ia dengan jilbab kashmir hijau yang membalut kepalanya. Neng, malang benar nasibmu sampai kamu harus menderita sehebat ini! Ah, bukankah ini semua juga salah Cahaya? Kalau dulu Cahaya tidak mengenalkan Neng dengan Constantin, pasti semua ini tidak akan pernah terjadi bukan?
Tidak juga, kalau saja Cahaya tidak mengajak bermain Neng ketika kecil dulu, pasti cerita ini tidak akan muncul kan?
Allah di atas Arsy-Nya sedang mengamati mereka. Ia masih menyimpan hikmah-Nya dari setiap kejadian, setiap pertemuan, dan setiap perpisahan.
Berlin, 1 Mei 2009
FLP Jerman
*) Terinspirasi dari sekolah dengan nama yang sama, yang pernah digerakkan oleh Ibu Ineu Abdurrahman, rekan FLP Jerman.
1 comment:
Bravo !!
Mantap bener ceritanya...
Aku pikir kisah baru..rupanya flash back dari kisah sebelumnya...
Mantap banget, Dim ...*aih..udah dua kali aku ngomong 'mantap', ya? he..he..*
Sebuah ending yang suprise..win-win solution, ya ? *ato sebenarnya masih belum ending ?*
Benar-benar cerdas...he..he..
Post a Comment