Tuesday, December 16, 2008

Perempuan Berkerudung Kashmir Hijau

Kategori: Cerpen

Perempuan Berkerudung Kashmir Hijau
Oleh: Dimas Abdirama

Jika saja Neng Geulis tidak masuk ke dalam masjid itu, tentu hati Neng tidak akan segundah ini. Seandainya saja Neng tidak bertemu lelaki Jerman bermata biru itu, pasti Neng bisa hidup bahagia sekarang. Ah tidak, bukan, bukan itu, hanya saja Neng tidak menaruh kasihan pada anak kecil bernama Hakan kemarin, semua derita ini tidak akan terjadi!

Neng pandangi sehelai pashmina Kashmir berwarna hijau muda pemberian Serkan Atalay, seorang penjual Döner yang memiliki kedai di wilayah Kreuzberg, Berlin. „Ini ucapan terima kasih saya,“ ucapya seraya tersenyum. Serkan sangat senang melihat anak tunggalnya telah menemukan sosok yang bisa memberikan kasih sayang seorang ibu, menggantikan posisi ibu kandungnya yang meninggalkan mereka ketika Hakan masih setahun.

Air mata Neng meleleh saat melihat Hakan duduk manis di pangkuannya sambil mendengarkan dengan seksama cerita tentang Sahabat Nabi yang ia bacakan. Dibelainya penuh iba kepala Hakan, seorang anak yang menderita gangguan kejiwaan sehingga ia berperilaku overacting dan tidak peduli dengan lingkungannya. Bapaknya justru sengaja menitipkan Hakan di masjid milik komunitas muslim Indonesia, bukan di masjid-masjid Turki yang banyak bertebaran di kota ini. Hampir semua masjid Turki telah ia kunjungi untuk dijadikan tempat anaknya belajar mengaji. Mulanya mereka menerima, tetapi lama-kelamaan semuanya angkat tangan untuk tetap bersedia membimbing anak semata wayangnya. Alasannya sederhana, keberadan Hakan hanya mengganggu anak-anak yang lain.



„Mbak, biarkan saja anak Turki itu berlari-larian di sana, dari pada mengganggu yang lain yang sedang belajar,“ kata Nur, seorang pengajar berusia 20 tahunan dengan tatapan mata jengkel saat Neng bertanya kepadanya mengapa si anak tidak diajak bergabung untuk berlatih membaca Qur’an. Biasanya, Hakan hanya mau membaca dua baris tulisan dari buku Iqro, kemudian ia mulai bosan dan berlarian lagi menuju dunianya.

Walau diperbolehkan datang tiap minggu, keberadaan Hakan sebenarnya juga tidak terlalu diinginkan di masjid ini. Hakan seolah terlihat seperti seorang anak itik hitam di tengah-tengah kawanan angsa berbulu putih. Ia berbeda, baik secara fisik maupun mental. Ah, Neng jadi teringat dengan seorang adik laki-lakinya di Indonesia, Asep. Keduanya sama, mereka tidak diinginkan oleh komunitasnya karena belenggu keterbatasan. Jika Hakan berperilaku seperti ini sejak bayi, adiknya – Asep – justru lahir sebagai seorang bocah yang normal. Hanya saja tumbuh di kehidupan anak jalanan ibukota yang keras telah membekaskan banyak trauma di dirinya, hingga merubah kepribadiannya menjadi sangat antisosial.

„Komm doch mal hier, der Süße,“ rajuk Neng kepada Hakan sambil menawarkan sebuah buku cerita Sahabat Nabi yang hendak ia bacakan. Neng keluarkan juga beberapa permen warna-warni untuk menarik perhatiannya, namun anak itu masih mengacuhinya, bahkan menoleh pun tidak. Rasa kasihan semakin menyeruak dalam hati Neng dan bercampur dengan keinginannya menolong anak malang itu lalu membawanya ke dunia yang normal. Neng tidak ingin kondisi social anxiety yang menimpa Asep terulang pada Hakan. Kondisi dimana lingkungan dapat merubah karakter dan kepribadian seseorang seumur hidupnya.

Seribu satu cara Neng coba, namun tidak kunjung berhasil. Mungkin selama ini orang-orang bertindak kurang tepat dalam menghadapi anak seperti Hakan. Ada yang terlalu lembut dalam kepura-puraan, ada juga yang keras dengan letupan amarah, semua itu pasti bisa dirasakan anak ini. Sekarang Neng mencoba memosisikan Hakan seperti adik kandungnya, Asep, yang telah lama ia tinggalkan di Indonesia. Ia dekati Hakan dan dipeluknya hangat seperti membayar rasa rindu pada seorang adik yang lama tak bertemu. Bahasa kasih itu pun dapat dirasakan Hakan, dan usaha serta kesabaran Neng akhirnya berbuah hasil. Tak lama anak itu takluk dan mau mendengarkan cerita yang dibacakan Neng. Dengan manis ia duduk di pangkuannya, dan untuk pertama kalinya ia mau mendengarkan orang lain berbicara dengan seksama. Neng telah menjadi orang pertama yang mampu mengambil hati si anak ini.

***

„Anak saya merengek, meminta bertemu dengan Anda sekarang,“ sahut Serkan dari balik telepon. Di sana juga terdengar suara Hakan yang sedang menangis tersedu-sedu.

„Maaf, Herr Atalay, pasangan saya sedang ada bersama saya sekarang. Saya tidak bisa membawa anak Anda ke sini,“ jawab Neng penuh rasa bersalah. Sudah beberapa hari ini Neng tidak sempat bertemu dengan Hakan. Bocah itu begitu merindukannya.

„Tolong lah, Frau Geulis. Hakan tidak mau makan kalau tidak disuapi Anda. Dari kemarin badannya panas, ia selalu merengek dan menangis.“

Neng menarik nafas panjang. Ia sungguh kasihan dengan anak berumur empat tahun itu. Namun saat ini ia benar-benar berada pada posisi yang sulit. Constantin sedang berada di rumah. Neng tidak ingin Constantin tahu semua ini. Tahu bahwa ada seorang anak bernama Hakan yang hadir hidupnya, dan tahu bahwa Neng diam-diam sering mengunjungi masjid Indonesia itu.

Constantin Metzner-Rodriguez, seorang diplomat muda Jerman. Tahun 1998 ketika erareformasi ia ditugaskan PBB menjadi pengawas HAM sekaligus aktivis sosial di Jakarta. Di sanalah ia bertemu dengan Neng Geulis, seorang anak jalanan penjual koran yang mengikuti program sosial pemberdayaan anak terlantar. Di program itu Constantin bersedia mengajarinya keterampilan berbahasa asing seperti bahasa Jerman dan Inggris. Pertemuan mereka lambat laun menuai cinta. Saat Constantin dipindah tugaskan ke Paris setahun kemudian, Neng ikut dibawanya. Asep dititipkan di sebuah sekolah luar biasa di Sukabumi atas biaya Constantin. Mereka hidup bersama sejak saat itu, tanpa ikatan pernikahan.

Dan Constantin bukan hanya dikenal sebagai seorang aktivis sosial dan HAM, tapi ia juga seorang aktivis politik barat yang antiislam. Sejak hidup bersama Constantin, Neng dilarang beribadah atau melakukan kegiatan-kegiatan ritual keagamaan lain. Pemikiran Neng pun perlahan-lahan dicuci menjadi seorang liberalis. Buku-buku feminisme banyak dihadiahkan Constantin untuk dirinya. Idealisme feminis barat seperti pemikiran Ayaan Hisir Ali mulai banyak menginspirasinya. Namun memang, hati manusia hanya Allah yang punya. Allah masih meninggalkan sebentuk iman di hati Neng. Ketika mereka pindah ke Berlin bulan lalu, entah mengapa Neng tertarik mendatangi sebuah masjid Indonesia yang ia ketahui alamatnya lewat internet. Di sanalah Neng menemukan kembali jiwanya yang telah lama hilang. Tapi di sana pula, ia menemukan semua masalah ini.

„Hallo? Hallo, Frau Geulis? Apakah Anda masih di sana?“ suara Serkan membuyarkan lamunan Neng.

„Ya, ya, Herr Atalay. Maaf.“

„Bagaimana Frau Geulis? Apakah saya bisa mengantarkan anak saya ke rumah Anda?“

„Maaf Herr Atalay, saya tidak bisa. Constantin sedang ada di rumah. Saya tidak ingin ia menaruh curiga. Begini saja, bagaimana jika kita bertemu di restoran Libanon sekarang? Anda bawa Hakan ke sana.“

***

Serkan Atalay memberikan Neng sehelai pashmina Kashmir berwarna hijau muda dengan payet-payet dan sulaman yang cantik. Di restoran itu Hakan mendadak sembuh dari sakitnya, ia bisa makan dengan lahapnya dalam suapan Neng.

„Anda tidak perlu memberikan saya barang sebagus ini,“ ujar Neng.

„Terimalah. Itu ucapan terima kasih saya.“

Serkan memandangi Neng dengan senyuman yang menyungging di bibirnya. Neng pun terlihat sangat senang dengan pemberian itu. Dipandanginya benda itu lekat-lekat dengan mata berbinar.

„Anda pasti akan menjadi lebih cantik jika memakai pashmina itu di kepala Anda.“

Neng mengangguk. Ia membayangkan suatu saat ia dapat menutupi kepalanya dengan pashmina cantik ini. Rambutnya tertutup rapih dalam balutan kain takwa hijau muda. Wajah putihnya pasti akan lebih memancarkan aura keanggunan yang dimilikinya. Sayangnya, khayalan Neng itu mendadak buyar ketika wajah Constantin tiba-tiba hadir di pelupuk matanya. Ia gusar, senyumannya memudar, yang ada kini hanya raut wajah suram, antara kebingungan dan ketakutan. Diletakkannya pashmina itu di atas meja.

„Lho, ada apa? Anda tidak suka dengan pemberian saya?“ tanya Serkan.

„Bukan, bukan itu. Hanya saja, saya tidak mungkin memakainya...“

„Karena... Pasti karena Constantin?!“ sergap Serkan. „Ingat Frau Geulis, dia bukan siapa-siapa Anda! Anda tidak pernah menikah dengannya, dia bukan seorang suami yang berhak melarang-larang Anda! Kalau Anda merasa kebebasan Anda terkekang, mengapa Anda masih bersamanya? Tinggalkan saja dia!“

Neng menggeleng dan menatap kosong, kemudian ia meneguk teh pahit di hadapannya. Hakan masih asik mengunyah makan siang yang disuapi Neng ke mulutnya.

„Tidak semudah itu, Herr Atalay. Kami sudah hampir delapan tahun hidup bersama. Anda lihat saya sekarang, kondisi saya begitu mapan. Ini semua karena Constantin! Dulu saya hanya seorang gadis miskin penjual koran, tapi sekarang saya menjadi seorang perempuan berpendidikan dan pengusaha butik di Paris. Kalau saja Constantin tidak hadir dalam hidup saya, maka saya akan tetap menjadi orang susah. Adik saya si Asep juga tidak akan pernah bisa makan kenyang dan merasakan bangku sekolah!“

„Kebaikan? Anda menyebutnya kebaikan, Frau Geulis? Ia telah menyeret Anda ke lembah dosa! Anda seorang muslimah, tapi apakah ia mau memberikan hak Anda untuk beribadah? Dan saya yakin Anda tahu persis apa hukumnya Anda tinggal berdua bersama tanpa tali pernikahan!“

Kata-kata Serkan memang sangat menampar batin Neng. Selama ini, delapan tahun ini, ia telah tersembab ke dalam lembah nista. Tak pernah lagi salat ia dirikan, puasa ia jalankan, Qur’an ia bacakan, bahkan tak pelak zina ia lakukan. Semua ini karena cintanya kepada Constantin. Cinta dan pembayaran terima kasih dari apa yang telah ia dapatkan.

„Tuhan!“ jerit Neng dalam batinnya, „jika Engkau Mahaadil, pasti Engkau memahami mengapa aku melakukan semua ini! Dari kecil aku harus bisa menghidupi adikku dan diriku sendiri setengah mati. Lalu jika aku bertemu seseorang yang bisa merubah total hidupku menjadi lebih baik, maka pasti Engkau tahu apa yang harus aku perbuat untuk dia!“

Serkan yang cukup paham Islam dengan sabar terus menasihati Neng meniti jalan hidayah. Ia hanya ingin perempuan baik yang sudah dianggap ibu oleh anaknya itu mendapat jalan yang lurus, jalan yang diridhioi oleh Allah SWT.

„Mama! Mama! Ich möchte jetzt Pipi machen!“ ucap Hakan tiba-tiba. Neng tersentak, untuk pertama kalinya Hakan menyebutnya ‚Mama’. Serkan pun langsung merasa tidak enak.

„Eh Hakan, jangan begitu, pipisnya diantar papa saja, ya?“ tawar Serkan setengah berbisik.

„Nggak, Hakan maunya ditemenin mama! Ayo ma, Hakan mau pipis!“ jawabnya sambil menarik-narik baju Neng.

***

Masjid itu bernama Masjid Al-Falah, tempat di mana setiap hari Selasa siang diadakan pengajian ibu-ibu masyarakat Indonesia yang tinggal di Berlin. Diam-diam Neng rutin mengikuti kajian itu tanpa sepengetahuan Constantin. Neng merasa nyaman bisa duduk di tengah-tengah taman surga, belajar kembali membaca kitab suci, mendengarkan nasihat-nasihat keagamaan yang menyegarkan hati, dan merasakan kembali ketenangan jiwa ketika bertakbir mendirikan salat. Di sana ia banyak bertemu dengan perempuan-perempuan solehah yang selalu membuatnya semangat untuk kembali mendekatkan diri kepada Allah, Tuhannya yang telah lama ia tinggalkan.

„Ibu-ibu, minggu depan yang bertugas membawakan tausiyah kultum adalah Ibu Neng Metzner-Rodriguez ya!“ ujar seorang ibu pemimpin kegiatan pengajian ini.

„Hah? Giliran saya Mbak Mun?“ tanya Neng kaget.

„Lho iya. Kan jadualnya sudah saya kasih. Temanya minggu depan tentang mengingat mati,“ jawab si ibu tadi.

„Jangan saya deh Mbak Mun. Saya masih belum pantas membawakan nasihat agama. Saya ini masih sangat kotor, Mbak. Dosanya masih banyak,“ lanjut Neng sambil melihat sekeliling. Di sana banyak juga terdapat ibu-ibu ustadzah yang ceramahnya bisa sampai menggetarkan jiwa. Neng merasa rendah diri dan kerdil di hadapan mereka. Mana mungkin seorang pezina ini layak menasihati ibu-ibu ustadzah?

„Nggak apa-apa Bu Neng. Kita semua masih belajar kok. Kalau nggak dicoba, kita nggak akan pernah bisa lho, Bu. Ingat, berdakwah itu tugas semua muslim. Berdakwah itu artinya menyeru, menyampaikan. Itu tugas Bu Neng juga lho. Ayo kita belajar, sampaikan walau hanya satu ayat!“

Seminggu itu Neng banyak membaca artikel-artikel keislaman, tidak hanya tentang tema mengingat mati yang ditugaskan kepadanya, tetapi juga tentang Islam secara keseluruhan. Ia mencatatnya pelan-pelan, di atas kertas dan di atas hatinya. Ia perdalam lagi dengan mencari ayat dan haditsnya. Ia perkaya dengan mendengar ceramah-ceramah di internet. Ia mendapatkan hidayah itu, perlahan, tetapi pasti.

Dan Constantin tetap tidak tahu apa yang Neng kerjakan akhir-akhir ini.

***

Sekuat apapun Neng berusaha memejamkan mata, ia tetap tidak bisa tertidur di malam itu. Ia tatap Constantin yang sudah terlelap di sisinya. Constantin memiliki semua yang Neng inginkan. Rambutnya berwarna emas, matanya biru, hidungnya mancung dan dagunya berbelah. Ketampanannya mampu menaklukkan Neng ketika awal pertemuan mereka di Jakarta bertahun-tahun silam. Dipandanginya kamar itu sekeliling. Sebuah tempat tinggal mewah dan nyaman yang mereka huni. Uang, mobil, pakaian, semuanya mereka miliki tanpa kekurangan. Dan Neng benar-benar menikmatinya.

Neng menangis. Tiba-tiba ia merasa sangat jijik dengan tubuhnya sendiri, seolah ia mencium bau busuk yang menyeruak dari tiap sudut badannya. Neng beranjak dari tempat tidur, melangkah ke arah jendela. Ia pandangi malam dengan kerlipan bintang-bintang yang jauh di sana. Dan Tuhan sedang berada di balik mereka, mengamati setiap gerak-gerik makhluknya sampai saat ini. Air mata Neng kali ini menderas, Neng menangis sejadi-jadinya, hatinya kian risau dan galau.

Lantas ia membasuh wajahnya dengan siraman air wudhu, ia tenangkan hatinya, dan diam-diam dalam kegelapan ia dirikan tahajud. Tahajud yang penuh harap agar Tuhan mau membersihkan bau bangkai yang menyengat dari badannya. Agar Tuhan mau mendengarkan keluh kesahnya. Agar Tuhan mau memberikan secercah sinar harapan dan jalan.

Neng berdesis pelan dalam doanya „Yaa Rabb... Tangan ini yaa Rabb... Mulut ini yaa Raab... Mata ini yaa Raab... Dan kehormatan ini yaa Rabb... Kehormatanku yaa Raab... Tubuhku yaa Rabb... Pemikiraku yaa Rabb... Hati ini yaa Rabb...“

Malam itu Neng terus berdoa, pelan-pelan, menahan isakannya yang menyesakkan dada, memahami posisinya yang serba sulit. Tangisan Neng semakin kuat, seperti malam yang semakin larut.

***

„Frau Geulis, kali ini Anda saya traktir di kedai saya. Anda mau makan apa? Hähnchen Dürüm? Döner Teller? Lahmacun? semua boleh Anda pesan,“ kata Serkan menyambut kedatangan Neng di kedainya.

„Terima kasih, sebenarnya saya masih kenyang. Saya pesan türkische Pizza saja,“ jawab Neng.

„Oh ya Frau Geulis, saya punya dua berita baik untuk Anda. Semenjak Hakan mengenal Anda, ia mulai banyak perkembangan. Sekarang ia sudah mulai peduli dengan lingkungannya. Ia sudah mulai bisa diatur dan diajak bekerjasama.“

„Echt?! Alhamdulillah!“

„Dan sekarang, pengasuh taman kanak-kanaknya bilang, Hakan sudah boleh bergabung di taman kanak-kanak yang normal. Ia sudah sembuh! Terima kasih Frau Geulis!“

„Alhamdulillah! Saya sangat senang mendengarnya! Berterima kasihlah kepada Tuhan!“

„Berita yang kedua,“ lanjut Serkan, „saya dan Hakan akan pergi selama dua minggu ke Istanbul untuk menengok orang tua saya.“

„Oh ya? dua minggu? lama sekali!“

„Awalnya Hakan menolak karena ia tak ingin berpisah dengan Anda, Frau Geulis. Tapi alhamdulillah ia mau diberi pengertian. Hakan khan sudah besar, sudah akan berusia lima tahun!“ tandasnya senang. Neng pun juga tersenyum senang. „Jaga diri baik-baik ya selama kami tinggal ke Istanbul. Kami akan membawakan Anda sebuah kejutan nanti!“

***

Neng mengenakan kerudung dari kain pashmina Kahsmir yang dihadiahkan Serkan pada kegiatan pengajian ibu-ibu Selasa siang itu. Keindahan kain itu memukau perhatian semua ibu-ibu di sana.

„Wah, ini asli Kashmir, ya? Ibu Neng jualan kain ini di butik Ibu yang di Paris itu, ya?“

„Kapan-kapan aku nitip ya. Beli yang banyak, Bu. Biar bisa aku jual lagi ke ibu-ibu di sini.“

„Emang suami Bu Neng bisnisnya apa sih?“

Pertanyaan-pertanya an seputar kain itu mulai bermunculan. Namun pertanyaan terakhir tentang ‚suami’ Neng membuatnya merasa gelisah. Ia berbohong, ia belum menikah, Herr Metzner-Rodriguez itu bukan suaminya.

„Baik ibu-ibu, terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya. Saya akan membacakan tausiyah tentang mengingat mati. Ibu-ibu, sejujurnya saya masih belum pantas berada di depan untuk membawakan materi ini, tapi insya Allah akan saya coba semampu saya,“

„Ibu-ibu pasti tahu bagaimana pedihnya sakratul maut. Maut itu adalah sesuatu yang mengintai kita. Kita semua tidak tahu kapan kita akan mati. Bisa jadi satu jam lagi, bisa jadi besok, bisa jadi minggu depan. Oleh karena itu bu, kita harus siap-siap...“

Tiba-tiba hening suasana di masjid itu. Neng tampak menahan sesuatu yang menggelora dari dalam hatinya.

„Ada orang yang awalnya baik, tapi naudzubillah matinya dalam keadaan tidak baik. Tapi ada juga yang selama hidupnya jahat, justru matinya dalam keadaan terhormat...“

Neng menahan isakannya. Buliran air mata sudah siap pecah di sudut matanya.

„Setelah mati, kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi, bu. Semua akan dihitung, semua akan diadili. Kita akan merasakannya nanti...“

„Jangan sampai kita mati dalam keadaan melawan Allah, bu. Kita harus mati dalam keadaan baik-baik. Jangan mati dalam bermaksiat bu... jangan... kita tidak tahu kapan kita mati... jangan bu... kalau ibu tahu itu salah, segera tinggalkan bu... jangan bu... jangan...“ dan isakan Neng semakin mengeras, sepertinya ada beban berat yang menggantung di kepalanya. Neng tersungkur. Ia pingsan dalam kesedihan.

***

Ia telah mantap, Neng akan ceritakan semua ini kepada Constantin. Ia siap dengan resiko kehilangan semua yang ia miliki sekarang. Hari ini, ia akan kenakan jilbab pashmina Kashmir itu di hadapan Constantin.

„Schatz, aku mandi dulu ya,“ sahut Constantin.

Neng tatap wajahnya di cermin. Ada raut ketegangan di sana. Namun apapun yang terjadi akan ia hadapi dengan berani, Allah lebih utama dari apapun di dunia ini. Ia gantungkan kain itu di kepalanya, ia kaitkan dengan sebuah peniti di depan lehernya. Bismillahirrahmaannirrahiim.

„Schatz, mandinya sudah belum? Aku ada kejutan nih,“ kata Neng.

„Kejutan apa sih sayang?“ sahut Constantin sambil berjalan keluar dari kamar mandi. Ketika ia melihat penampilan Neng saat itu, maka terjadilah! Constantin pun terpaku memandang Neng berjilbab, tak pelak, matanya terbelalak. Kaget disertai dengan amukan amarah yang menyala-nyala di matanya.

„Apa-apaan kamu, Neng?! Buka! Cepat lepas kain itu dari kepalamu sekarang! SEKARANG!“ bentak Constantin keras.

„Lho? Kenapa Schatz? Bukannya aku terlihat lebih cantik dengan ini?“ ujar Neng dengan terus menahan senyum di bibirnya.

„Tidak! Kamu terlihat lebih bodoh! Sama bodohnya dengan perempuan-perempuan Islam yang hanya bisa mengurus dapur! Ayo cepat buka!“

„Tidak, Consti! Demi Allah! Aku tidak akan mau membukanya!“

Mendengar penolakan itu, Constantin mendaratkan sebuah hantaman keras di pipi Neng. Lalu Neng terhuyung-huyung sebelum kemudian terjatuh. Ditariknya kain itu dengan kasar oleh Constantin. Namun tidak hanya kain penutup kepala yang dilepasnya, tetapi juga kain penutup lainnya.

„Consti..! Bitte nicht Consti..! Aku sedang berpuasa..! Aku tidak mau melakukan ini lagi..! Bitte nicht..!“ teriak Neng meronta-ronta yang tak berdaya dalam dekapan Constantin.

***

„Consti, aku mau pergi. Kalau kamu merasa dirugikan olehku, kamu seret saja aku ke penjara! Demi Allah, aku lebih menyukai penjara dari pada berada dalam kondisi ini! Maaf, kita sepertinya tidak bisa lagi bersama,“ ujar Neng dalam kepedihan akibat perlakukan Constantin tadi siang.

Constantin duduk terdiam. Kepalanya ditundukkan dalam-dalam.

„Aku tidak menyangka, seorang aktivis HAM bisa melarang hak asasiku untuk beragama dan untuk mempercayai sesuatu. Bahkan merampas hak ku untuk berpakaian seperti yang aku mau!“ tandas Neng dengan suara meninggi. Dilihatnya Constantin yang masih tertunduk menyesal.

„Dulu, kamu selalu mendengung-dengungkan kalau Islam adalah agama yang keras, agama yang menindas perempuan, bahkan katamu, keterangan seorang suami yang boleh memukuli istrinya itu tercantum di Al-Qur’an!“ bentak Neng. Constantin makin terhenyuk, ia mengangkat kepalanya pelan-pelan. Mata birunya memperlihatkan adanya penyesalan yang teramat.

„Apa bedanya yang kamu lakukan kepadaku? Padahal dalam Islam, pukulan itu hanya boleh menggunakan kayu sebesar pensil dan tidak boleh sampai membekas sama sekali. Itu artinya bukan pukulan kemarahan, tapi pukulan pendidikan! Sedangkan kamu, bukan kayu sebesar pensil, tapi kepalan tanganmu yang kekar!“

Constantin melihat pipi kanan Neng yang biru lebam. Didekatinya Neng dengan perasaan bersalah, ingin dipeluknya Neng untuk permintaan maaf.

„Jangan peluk aku! Kita bukan suami-isteri! Aku akan pergi dari sini!“

„Neng, maafkan aku. Sekali lagi maafkan aku. Aku tak mau kamu pergi, Schatz. Kamu mau pergi ke mana? Rumahmu di sini,“ ujar Constantin.

„Tidak! Aku bisa tinggal di mana saja! Aku tidak bisa berhubungan denganmu yang bukan suamiku!“ jawab Neng. Constantin menghela nafas. Sayup wajahnya merasa bersalah karena telah melakukan tindakan kasar terhadap Neng.

„Neng.. Maafkan aku.. aku yang akan pergi, kamu tetap di sini, di rumahmu sendiri.. Sekali lagi maafkan aku Neng, aku mengaku salah..“ ujar Constantin.

„Neng..,“ lanjutnya, „ich liebe dich noch... und immer...“

Neng menahan tangis yang ingin membuncah. Sebenarnya, ia juga masih mencintai Constantin. Ah, jika saja semua ini tidak pernah terjadi, jika saja Neng tidak ke masjid itu, jika saja Neng tidak pernah mengenal pemuda Jerman itu, dan jika saja bocah Turki itu tidak hadir dalam hidupnya... Tentu semua ini...

„Liebst du mich noch, Neng?“ tanya Constantin pelan.

„Aku hanya mencintai Tuhanku. Dan lelaki yang ku cintai adalah lelaki yang dapat membawaku untuk lebih mencintai Tuhanku,“ jawab Neng.

„Maukah kamu menikah dengan ku? Aku akan masuk Islam,“ ujar Constantin tiba-tiba. Neng terkejut, itu adalah sebuah pernyataan yang tidak pernah terpikirkan Neng sebelumnya, apalagi terlontar dari mulut seseorang seperti Constantin. Tapi mungkin rasa bersalah dan cintanya pada Neng telah mendorongnya untuk mengucapkan kata-kata tadi.

„Tidak, Consti. Aku tidak mau kalau hal itu hanya kau jadikan sebagai syarat untuk menikahiku. Jika kamu memang ingin masuk Islam, masuklah dengan sebenar-benarnya, dengan sempurna. Kamu harus berjanji ke dirimu sendiri untuk berkomitmen, untuk memperdalami dan mempelajarinya,“ kata Neng.

„Ya, aku berjanji. Tolong bantu aku untuk mengenal agamamu,“ kata Constantin dengan sinar wajah penuh harap. Secerah cinta yang bersemi kembali kala itu.

„Consti... ich liebe dich auch noch...“

***

Masyarakat Indonesia di Berlin akhirnya mengetahui bahwa Neng belum menikah dengan pasangannya, namun hal itu tidak lagi membebaninya. Hari ini, mereka akan menikah. Constantin terlebih dahulu akan bersyahadat di hadapan seluruh masyarakat muslim Indonesia di masjid itu, dan berikrar menjadi suami secara sah menurut agama.

„Schatz, ayo cepat, suaminya Mbak Yun yang akan menikahkan kita sudah sampai di masjid lho!“ teriak Neng sambil memasang pashmina kashmir hijau muda itu di kepalanya sebagai busana pernikahan. Constantin buru-buru menyelesaikan persiapannya. Ia masih sibuk di dalam kamarnya.

Bagi Neng, keinginan Constantin ini adalah akhir dan hadiah terindah dari penderitaan batinnya selama ini. Ia bisa menghalalkan cintanya dan bisa menyumbangkan seorang muallaf untuk menjadi pengikut agama ini. Hari itu, hari yang indah. Seindah busana muslimah berwarnah hijau muda dan baju koko berwarna putih yang mereka kenakan.

Tak lama bel rumah itu berdering. Neng keheranan, rasa-rasanya tidak ada yang bilang akan bertamu. Ah, mungkin saja tukang pos yang ingin menitipkan kiriman untuk tetangganya. Ia bukakan pintu rumah itu, dan...

„Mama!“ teriak seorang anak kecil dengan ceria. Hakan datang bersama ayahnya.

„Frau Geulis, apa kabar? Kami sudah kembali dari Istanbul! Wah! Cantik sekali Anda dengan pashmina kashmir pemberian saya!“ kata Serkan dengan senyuman yang lebar.

Neng membisu dan tertahan untuk berbicara. Ia hanya mematung di depan pintu rumahnya. Atau mungkin ia tak tahu apa yang harus diucapkannya?

„Oh ya, saya juga membawa orang tua saya dari Istanbul,“ kata Serkan. Ditunjukkannya seorang wanita paruh baya dan seorang lelaki bermantel hitam yang berdiri di belakangnya. Mereka membawa beberapa bungkusan kue-kue kering Baklava khas Turki.

„Hari ini saya ingin melamar Anda menjadi isteri saya,“ lanjutnya sambil tersenyum. Hakan melompat-lompat gembira. Mulut Neng terkunci rapat, ia tidak bisa berucap apapun!

„Schatz, siapa yang bertamu? Aku sudah siap nih, yuk kita ke Masjid!“ ujar Constantin sambil menghampiri mereka.

Di luar sana, salju pertama turun di penghujung bulan November ini, melayang-layang perlahan, lalu jatuh meninggalkan serbuk putih yang menggunung, persis seperti bongkahan bimbang di dalam hati Neng.

Berlin, 21 November 2008.
FLP Jerman.

Döner: Kebab khas Turki
Komm doch mal hier, der Süße!: Kemarilah, anak manis!
Mama! Mama! Ich möchte jetzt Pipi machen!: Mama! Mama! Aku mau pipis sekarang!
Echt?!: Benarkah?!
Schatz: Sayang
Bitte nicht!: Tolong jangan!
Ich liebe dich noch.. und immer..: Aku masih mencintaimu.. dan akan terus mencintaimu..
Liebst du mich noch?: Apakah kamu masih mencintaiku?
ich liebe dich auch noch: Saya juga masih mencintaimu

6 comments:

Anonymous said...

asSalamualaykum...bung dimaS...

Perempuan Berkerudung Kashmir Hijau...heuMmmm
saya baca post ini pake didialogkan Loh...sampe dikira orang gila Ngomong sendiri...*biar meresap sampai keotak hehehehe

Neng Geulis...unik juga namanya, dikira awalnya ad abank" yang lagi ngomong ama neng...

"Jika saja Neng Geulis tidak masuk ke dalam masjid itu, tentu hati Neng tidak akan segundah ini. Seandainya saja Neng tidak bertemu lelaki Jerman bermata biru itu, pasti Neng bisa hidup bahagia sekarang. Ah tidak, bukan, bukan itu, hanya saja Neng tidak menaruh kasihan pada anak kecil bernama Hakan kemarin, semua derita ini tidak akan terjadi!"

awalnya bingung kenapa mesti "Constantin Metzner-Rodriguez, seorang diplomat muda Jerman. Tahun 1998 ketika erareformasi ia ditugaskan PBB menjadi pengawas HAM"
taunya ada hubungannya dengan
„Aku tidak menyangka, seorang aktivis HAM bisa melarang hak asasiku untuk beragama dan untuk mempercayai sesuatu. Bahkan merampas hak ku untuk berpakaian seperti yang aku mau!“ tandas Neng dengan suara meninggi.

hebuat euY ni cerpen....heummm...

TAPI KENAPA


MENGAPA

cuma sampai.... Di luar sana, salju pertama turun di penghujung bulan November ini, melayang-layang perlahan, lalu jatuh meninggalkan serbuk putih yang menggunung, persis seperti bongkahan bimbang di dalam hati Neng.


HUH....ditunggu lanjutannya...

Dimas Abdirama said...

Hehehe, justru di situ seninya, akhir menggantung membiarkan sang pembaca menentukan sendiri jalan ceritanya. Terima kasih ya sudah membaca cerpen saya..

Anonymous said...

Hebuat uei ceritanya !!

Apa sudah dibukukan ?

Akhir cerita yang menggantung, ya ? Berarti hak preogratif pembaca untuk menentukan endingnya, ya ?

Saya pilih neng Geulis nikah dengan Serkan saja :D

kisahnya menarik..menarik sekali

Dimas Abdirama said...

Wa'alaikumussalaam wr wb,

Terima kasih mbak putri telah menyempatkan waktunya membaca cerpen ini, terima kasih juga masukannya neng geulis bersama serkan :-)

Anonymous said...

Mushab..
Kemana aja, nih ?
sudah berbulan-bulan blognya sepi...

Semoga diberi kesehatan, ya...
Take care

Ajeng said...

dim,,,bagus banget deh ceritanya.. ampe extra ga ngapa2in pas baca.. tapi ending nyaaaaaa bikin gemes, haha