Kategori: Kisah
Siang itu selepas Vorlesung [1] tak biasa-biasanya Selman memintaku untuk bersamanya minum kopi di cafetaria kampus. Aku mengamati wajahnya lekat-lekat yang menyembunyikan rasa gembira. Sahabatku ini telah mengenalku ketika kami sama-sama menyelesaikan Studienkolleg [2] sebelum masuk ke bangku kulah. Selman adalah lelaki Turki soleh, ia mudah bergaul, ramah, dan sangat penolong.
„Aku akan berta’aruf malam ini,“ katanya sambil tersenyum. Aku kaget. Rupanya itu yang ingin ia katakan padaku.
„Dengan siapa?“ balasku bertanya.
„Seorang gadis Turki. Ia anak dari rekan ayahku. Keluarga kami sudah dekat. Ayahku sepertinya ingin menikahkanku dengannya,“.
Siang itu, aku mendapat kehormatan menjadi sahabatnya yang pertama yang mendengar kabar ini. Siang itu Selman bercerita panjang, tentang perasaan gugupnya, tentang kegembiraannya, tentang keinginannya yang kuat untuk segera menikah.
„Aku tidak sanggup menunggu terlalu lama,“ katanya. Aku membatin, lelaki mana yang sanggup? Usianya masih sangat muda, kami hanya terpaut beberapa bulan. Selman lalu meminta pendapatku tentang keinginannya.
Aku teringat pesan guru ngajiku dalam memilih jodoh. „Ingat, memilih pasangan adalah memilih rekan untuk meniti jalan menuju surga. Pilih karena agamanya, maka kamu akan selamat,“ begitu kata-katanya yang masih membekas di ingatanku. Kusampaikan hal ini panjang lebar kepada Selman. Ia mengangguk, lalu sesaat tertegun, sesaat tersenyum penuh harapan.
„Jika kamu memilih karena agamanya, maka kamu akan tenang. Ia akan berbakti kepadamu dan mendidik anak-anakmu untuk menjadi pejuang-pejuang Islam yang tangguh,“ begitu kira-kira pesanku, pesan yang belum tentu dapat kukerjakan sendiri karena aku belum menikah.
***
Satu semester telah berjalan. Yang aku tahu, Selman sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan pernikahannya. Selama itu, Selman banyak bercerita tentang proses perkenalannya, khitbahnya, keluarganya, bahkan kadang-kadang aku sering kebagian cokelat, baklava [3] atau makanan khas Turki lainnya lantaran adat budaya tukar-menukar makanan dari kedua keluarga yang akan menikah.
Beberapa minggu terakhir Selman terlihat lelah. Aku sering melihatnya menerima telepon di tengah-tengah kuliah, atau tiba-tiba meninggalkan ruangan kuliah karena ada urusan yang mendadak. Aku paham, sulit memang mempersiapkan pernikahan di tengah-tengah semester. Pernah suatu kali Selman berbicara kepadaku.
„Masalahku datang tak pernah habis. Baru selesai masalah yang satu, datang masalah yang lain,“ keluhnya. Aku tersenyum dan menjawab semoga Allah memberikannya kekuatan dan kesabaran, dan menghitung usaha-usahanya sebagai amal baik yang akan tergantikan dengan kebahagiaan yang tiada tara.
Dan waktu yang ditunggupun tiba, Selman membawakan sepucuk undangan bertuliskan namaku. Yüce Allah’in (c.c) rizasi, Rasulün’ün (s.a.v) sünnetine uyarak evlenen evlatlarimiz... dügün merasimlerinde sizleri de aramizda görmekten mutluluk duyariz...
***
Sore itu hujan turun rintik-rintik. Tempat walimah nikah cukup jauh dari tempat tinggalku, dan kebetulan hari itu masjid kami sedang menyelenggarakan kegiatan pengajian bulanan. Banyak hal yang dapat membuatku mengurungkan niat datang ke pesta pernikahannya, namun untuk hari bersejarah sahabat baikku, aku bulatkan tekad untuk datang.
Konsep pernikahannya sederhana. Letaknya di alam bebas di balik pepohonan rindang dan taman bunga. Tempat duduk undangan laki-laki dan perempuan terpisah. Irama shalawat nabi mengalun sebagai musik hiburan. Benar-benar sebuah pesta nikah yang syar’i. Aku merasa asing karena aku bukan seorang Turki namun duduk di tengah-tengah komunitas Turki. Untungnya mereka sangat ramah dan memperlakukan aku seperti saudaranya sendiri.
Sebelum sang pengantin bertemu dengan tamu-tamunya, seorang lelaki setengah baya melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Seluruh orang yang hadir mendengarkannya dengan penuh hikmat. Alam bebas pun ikut menambah syahdunya suasana kali itu. Ah, sahabatku, akhirnya jadi juga kau menikah.
Selman datang dengan pakaian yang indah. Sebuah jas hitam yang terlihat gagah. Ia mengampiri satu-persatu tamunya yang ingin mengucapkan selamat atas pernikahannya. Ia pun datang menghampiriku, aku peluk dia sambil berbisik „Mabruk akhi, barakallahu fii kum,“.
Berlin 2008.
[1] Kuliah umum
[2] Fase persiapan untuk orang asing
[3] Sejenis kue khas Turki yang sangat manis
3 comments:
Waktu membaca judulnya...saya kira yang empunya blog yang mo nikah...udah siap-siap mo kasih selamat..:D
Ternyata temennya...Wah..Barakallahu buat temennya, ya, mas (empunya blog)...Mudah2an cepet nyusul :D
he..he..
assalamualaikum..
akhi, perkenalkan saya irika..
maaf kalau kasih commentnya gak nyambung sama judul postingnya..
ada yang mau ditanyakan..
mungkin akhi bisa bantu..
kalau untuk mendapatkan beasiswa S2 di Jerman gimana ya caranya?
Insya Allah setelah lulus S1 disini saya pgn melanjutkan kesana, biar lebih enak..bisa tidak contact saya lewat email..irikadevi@yahoo.co.id
syukran..afwan merepotkan
„Aku akan berta’aruf malam ini,“ ...
„Jika kamu memilih karena agamanya, maka kamu akan tenang. Ia akan berbakti kepadamu dan mendidik anak-anakmu untuk menjadi pejuang-pejuang Islam yang tangguh,“...
„Mabruk akhi, barakallahu fii kum,“...
kyk nonton ayat-ayat cinta deh, seneng aku baca blog ini !!! :)
Post a Comment