Kategori: Curhat
„Pada umur berapa orang Indonesia sudah dikatakan dewasa?“ tanya salah satu temanku, Kazaoki, ketika kami makan siang bersama di mensa. „Tujuh belas“ jawabku. Dia mengerutkan dahi. „Di Jepang umur segitu masih tergolong muda“ jawabnya. Aku membalas seadanya, „Orang Indonesia baru mendapatkan Kartu Tanda Penduduk ketika berumur tujuh belas“.
Memang standar umur kedewasaan di setiap negara itu berbeda. Di Jerman misalnya, seseorang baru dikatakan dewasa ketika berumur delapan belas tahun. Waktu aku pertama kali menginjakkan kaki di Jerman, umurku masih tujuh belas tahun. Memang agak sulit prosedur untuk ‚anak di bawah umur’ seperti aku ini. Contohnya ketika meng-apply visa, aku harus melampirkan surat keluarga, fotokopi KTP ayah dan ibuku, sampai akte kelahiran. Teman-temanku yang kala itu sudah delapan belas tahun keatas tidak perlu melampirkan surat-surat tersebut.
Sesampainya di Jerman pun masih sulit. Aku tidak bisa membuka rekening di bank karena umurku yang belum penuh. Akhirnya aku ‚numpang’ dengan rekening temanku untuk sementara waktu. Di Jerman, seseorang baru mendapat kartu tanda penduduk, boleh berpisah rumah dengan kedua orang tuanya, boleh membuka rekening di bank, dan boleh boleh lainnya, jika orang itu benar-benar telah berumur penuh.
Empat hari yang lalu aku membantu pindahan seorang teman, namanya David, orang Jerman asli. Umur kami hanya terpaut satu tahun. Saat ini dia berusia dua puluh tahun. Dia berperilaku selayaknya remaja-remaja seusia kami. Di hari itu aku sempat satu mobil yang dikendarai oleh temannya (bernama Daniel). Kebut-kebutan, membicarakan merek mobil, dan membahas pelajaran-pelajaran di kampus mengisi perjalanan kami. Singkat kata, mereka masih berjiwa remaja, tetapi mereka sudah tinggal terpisah dengan orang tuanya dan menentukan hidup mereka sendiri.
Sebenarnya, apa sih definisi kedewasaan? Menurutku, kedewasaan itu ada dua bentuk. Kedewasaan psikis dan kedewasaan biologis. Dan kebanyakan orang cenderung lebih melihat kedewasaan biologis. Contohnya ya itu tadi, ketika aku belum bisa membuat rekening bank karena umur yang tidak memungkinkan, berarti pihak bank melihat patokan sebuah kedewasaan dari segi biologis.
Kedewasaan psikis tak jarang sudah lebih dulu hadir sebelum kedewasaan biologis. Seperti contoh kisah dari seorang khalifah dari dinasti Ummayah – Umar bin Abdul Azis, yang pada umur 24 tahun telah diberi kepercayaan menjadi gubernur Madinah dan beberapa tahun berikutnya menjadi pemimpin dinasti Ummayah yang membentang dari Samudra Atlantik sampai dengan Dataran Tinggi Pamir.
Agaknya sulit memisahkan antara kedewasaan biologis dengan kedewasaan psikis. Keduanya dituntut berkembang secara bersamaan. Dan hal itulah, menurutku lagi, adalah salah satu tugas yang cukup berat dalam kehidupan, dimana kita harus menyelaraskan kedua kedewasaan yang kita miliki, melalui beragam proses dan tahap yang tiap saat kita alami.
Wallahu’alam bishawab.
Setiap detik adalah makna, setiap masa adalah rasa, sulit membayangkan bahwa manusia tidaklah istimewa, perjalanan kita, dalam arus debu aksara - Dimas Abdirama
Monday, December 19, 2005
Thursday, December 15, 2005
Mengapa Saya Suka Menulis?
Kategori: Curhat
Artikel kali ini bisa dibilang tidak begitu penting, karena hanya mengulas mengapa saya senang menulis. Bagi yang tidak tertarik untuk mengetahui seluk beluk diri saya atau siapakah saya, lebih baik tunggu saja artikel-artikel lain yang akan muncul di blog ini (hehehe). Tapi bagi yang neugirig tentang kehidupan saya dan ingin mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya tentang saya (mungkin kalian adalah secret admirer saya... hehehe) silahkan baca tuntas artikel ini.
Semua diawali dari tahun 2002, saya mulai senang membuat puisi. Mungkin saya adalah salah satu korban pemutaran film Ada Apa Dengan Cinta (2002) yang menyihir para remaja di ibukota dan tempat-tempat lainnya menjadi puitis. Berdasarkan hasil survey (dari mana sumbernya lupa) penjualan buku-buku puisi dan sastra Indonesia meningkat tajam pasca pemutaran film AADC. Sebutlah salah satu teman SMA saya, berinisial AA, jadi seperti Rangga (tokoh di AADC – red) yang suka nulis-nulis puisi di buku harian. Itu baru satu contoh. Contoh yang lain masih banyak. Jika kalian berasal dari salah satu SMA di Jakarta, pasti kalian banyak menemukan kasus-kasus yang serupa dengan ini bukan? Atau jangan-jangan kalianlah salah satu pelaku dalam kasus tersebut?
Fenomena ini membuat senang guru-guru Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah-sekolah. Sebuah semangat melestarikan bahasa, pikir mereka. Berikut saya beri contoh salah satu tipikal puisi yang dibuat murni oleh beberapa remaja saat itu.
Dalam denting aku terdiam
Dalam kokoh aku rapuh
Sayup sayup suaramu
Meratakan perasaan di balik para sanubari
Lempar saja tubuhku dalam api
Biar terbakar sampai berabu
Tapi semangat saya menulis puisi saat itu bukan dipengaruhi oleh pemutaran film AADC. Menurut psikologi, saya ini termasuk golongan orang Ginestetik, yang banyak bermain dengan perasaan. Saya ingin mengungkapkan sesuatu, yang saya tidak berani (oleh karena beberapa alasan) mengungkapkannya secara gamblang. Jadilah saya mencari jalan lain untuk mengungkapkanya, dengan bermain kata-kata dan menyusunnya dalam kalimat-kalimat sederhana, padat, namun bermakna. Ya puisi itu.
Ketika tahun 2002, umur saya masih 16 tahun. Egoisme remaja masih bergejolak. Perasaan-perasaan seperti cinta, persahabatan, amarah, dan lainnya begitu banyak datang dan membekas. Sehingga ingin rasanya untuk meluapkannya lewat tulisan yang bisa dinikmati kapan saja. FYI, saya juga termasuk orang yang menulis buku harian lho. Dari tahun 2001, tiap hari hidup saya selalu saya tulis di buku harian. Sampai September 2005, tepatnya setelah kembali lagi ke Berlin, saya memutuskan untuk tidak melanjutkan mengisi buku harian lagi. Semua terekam jelas. Hari ini saya sedang apa, pergi kemana saja, bertemu siapa saja, lengkap tertulis di buku harian. Mungkin itu juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan saya senang meluapkan perasaan melalui menulis.
Puisi itu simpel. Tapi maknanya dalam. Dan intrepetasi orang bisa berbeda karena keluasan maknanya. Puisi itu bisa merekam getaran rasa, dan keadaan si pembuat puisi, dan bisa mengatakannya kepada si pembaca. That’s why I like writing and reading poem!
Trend pun berubah, seiring berkembangnya jaman. Saya masih senang membuat puisi tapi tidak sesering dulu. Sekarang saya lebih suka memperhatikan. Tepatnya memperhatikan karakter orang-orang di sekeliling. Saya hidup di berbagai komunitas. Contohnya komunitas Indonesia dan komunitas kampus. Di kampus sendiri, tidak hanya orang Jerman, tapi juga orang-orang dari negara-negara lain. Mereka membawa karakter-karakter yang berbeda dan punya keistimewaan. Dari situlah saya berimajinasi (FYI, berimajinasi adalah salah satu hobby saya) untuk mempertemukan si pemilik karakter A dengan si pemilik karakter B dalam dunia yang saya buat sendiri lengkap bersama problematika yang muncul di antara keduanya. Jadilah Cerpen atau cerita pendek. Tidak dapat dipungkiri, bahwa cerpen itu banyak berdasarkan kisah nyata yang dialami oleh si pembuat cerpen, dengan perubahan seperlunya. Contohnya, jika dalam kehidupan nyata orang yang memiliki karakter A berjenis kelamin perempuan, saya buat dalam cerpen saya berjenis kelamin laki-laki. Atau saya menempatkan diri saya bukan sebagai tokoh utama, melainkan sebagai tokoh pendukung, dan lain sebagainya.
Intinya, dengan menulis, saya memiliki tempat untuk meluapkan berbagai rasa yang ada dalam diri saya. Saya selalu beranggapan bahwa menulis merupakan salah satu bentuk seni, walaupun anggapan saya ini lebih banyak cenderung lari dari kenyataan, bahwa saya tidak punya aliran seni apapun dalam tubuh saya... hehehe... ayah saya seniman sekali, tapi saya tidak bisa bernyanyi, bermain alat musik (padahal di kamar saya di Jakarta ada sebuah gitar, tapi bukan saya yang banyak memainkannya, melainkan ayah saya atau teman-teman saya), atau melukis atau juga fotografi. Jadi saya beranggapan, meluapkan rasa melalui bahasa juga termasuk seni. Jadi saya pun juga punya aliran seni. Ya kan?
Namun kita harus ingat, bahwa menulis juga penuh resiko. Dalam e-mail yang saya dapatkan dari seorang teman beberapa hari yang lalu, akrobat kata-kata dan sirkus retorika bisa jadi bumerang untuk diri sendiri yang siap memenggal leher kita sewaktu-waktu, dan juga bisa membuahkan rasa benci pada orang lain dan bukan membuat mereka tambah berkasih sayang. Hmmm...
Biar gimanapun, menulis itu menyenangkan. Yuk banyak menulis!
Artikel kali ini bisa dibilang tidak begitu penting, karena hanya mengulas mengapa saya senang menulis. Bagi yang tidak tertarik untuk mengetahui seluk beluk diri saya atau siapakah saya, lebih baik tunggu saja artikel-artikel lain yang akan muncul di blog ini (hehehe). Tapi bagi yang neugirig tentang kehidupan saya dan ingin mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya tentang saya (mungkin kalian adalah secret admirer saya... hehehe) silahkan baca tuntas artikel ini.
Semua diawali dari tahun 2002, saya mulai senang membuat puisi. Mungkin saya adalah salah satu korban pemutaran film Ada Apa Dengan Cinta (2002) yang menyihir para remaja di ibukota dan tempat-tempat lainnya menjadi puitis. Berdasarkan hasil survey (dari mana sumbernya lupa) penjualan buku-buku puisi dan sastra Indonesia meningkat tajam pasca pemutaran film AADC. Sebutlah salah satu teman SMA saya, berinisial AA, jadi seperti Rangga (tokoh di AADC – red) yang suka nulis-nulis puisi di buku harian. Itu baru satu contoh. Contoh yang lain masih banyak. Jika kalian berasal dari salah satu SMA di Jakarta, pasti kalian banyak menemukan kasus-kasus yang serupa dengan ini bukan? Atau jangan-jangan kalianlah salah satu pelaku dalam kasus tersebut?
Fenomena ini membuat senang guru-guru Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah-sekolah. Sebuah semangat melestarikan bahasa, pikir mereka. Berikut saya beri contoh salah satu tipikal puisi yang dibuat murni oleh beberapa remaja saat itu.
Dalam denting aku terdiam
Dalam kokoh aku rapuh
Sayup sayup suaramu
Meratakan perasaan di balik para sanubari
Lempar saja tubuhku dalam api
Biar terbakar sampai berabu
Tapi semangat saya menulis puisi saat itu bukan dipengaruhi oleh pemutaran film AADC. Menurut psikologi, saya ini termasuk golongan orang Ginestetik, yang banyak bermain dengan perasaan. Saya ingin mengungkapkan sesuatu, yang saya tidak berani (oleh karena beberapa alasan) mengungkapkannya secara gamblang. Jadilah saya mencari jalan lain untuk mengungkapkanya, dengan bermain kata-kata dan menyusunnya dalam kalimat-kalimat sederhana, padat, namun bermakna. Ya puisi itu.
Ketika tahun 2002, umur saya masih 16 tahun. Egoisme remaja masih bergejolak. Perasaan-perasaan seperti cinta, persahabatan, amarah, dan lainnya begitu banyak datang dan membekas. Sehingga ingin rasanya untuk meluapkannya lewat tulisan yang bisa dinikmati kapan saja. FYI, saya juga termasuk orang yang menulis buku harian lho. Dari tahun 2001, tiap hari hidup saya selalu saya tulis di buku harian. Sampai September 2005, tepatnya setelah kembali lagi ke Berlin, saya memutuskan untuk tidak melanjutkan mengisi buku harian lagi. Semua terekam jelas. Hari ini saya sedang apa, pergi kemana saja, bertemu siapa saja, lengkap tertulis di buku harian. Mungkin itu juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan saya senang meluapkan perasaan melalui menulis.
Puisi itu simpel. Tapi maknanya dalam. Dan intrepetasi orang bisa berbeda karena keluasan maknanya. Puisi itu bisa merekam getaran rasa, dan keadaan si pembuat puisi, dan bisa mengatakannya kepada si pembaca. That’s why I like writing and reading poem!
Trend pun berubah, seiring berkembangnya jaman. Saya masih senang membuat puisi tapi tidak sesering dulu. Sekarang saya lebih suka memperhatikan. Tepatnya memperhatikan karakter orang-orang di sekeliling. Saya hidup di berbagai komunitas. Contohnya komunitas Indonesia dan komunitas kampus. Di kampus sendiri, tidak hanya orang Jerman, tapi juga orang-orang dari negara-negara lain. Mereka membawa karakter-karakter yang berbeda dan punya keistimewaan. Dari situlah saya berimajinasi (FYI, berimajinasi adalah salah satu hobby saya) untuk mempertemukan si pemilik karakter A dengan si pemilik karakter B dalam dunia yang saya buat sendiri lengkap bersama problematika yang muncul di antara keduanya. Jadilah Cerpen atau cerita pendek. Tidak dapat dipungkiri, bahwa cerpen itu banyak berdasarkan kisah nyata yang dialami oleh si pembuat cerpen, dengan perubahan seperlunya. Contohnya, jika dalam kehidupan nyata orang yang memiliki karakter A berjenis kelamin perempuan, saya buat dalam cerpen saya berjenis kelamin laki-laki. Atau saya menempatkan diri saya bukan sebagai tokoh utama, melainkan sebagai tokoh pendukung, dan lain sebagainya.
Intinya, dengan menulis, saya memiliki tempat untuk meluapkan berbagai rasa yang ada dalam diri saya. Saya selalu beranggapan bahwa menulis merupakan salah satu bentuk seni, walaupun anggapan saya ini lebih banyak cenderung lari dari kenyataan, bahwa saya tidak punya aliran seni apapun dalam tubuh saya... hehehe... ayah saya seniman sekali, tapi saya tidak bisa bernyanyi, bermain alat musik (padahal di kamar saya di Jakarta ada sebuah gitar, tapi bukan saya yang banyak memainkannya, melainkan ayah saya atau teman-teman saya), atau melukis atau juga fotografi. Jadi saya beranggapan, meluapkan rasa melalui bahasa juga termasuk seni. Jadi saya pun juga punya aliran seni. Ya kan?
Namun kita harus ingat, bahwa menulis juga penuh resiko. Dalam e-mail yang saya dapatkan dari seorang teman beberapa hari yang lalu, akrobat kata-kata dan sirkus retorika bisa jadi bumerang untuk diri sendiri yang siap memenggal leher kita sewaktu-waktu, dan juga bisa membuahkan rasa benci pada orang lain dan bukan membuat mereka tambah berkasih sayang. Hmmm...
Biar gimanapun, menulis itu menyenangkan. Yuk banyak menulis!
Sunday, December 04, 2005
Allah Dekat Selalu!
Kategori: Curhat
Ketika hari itu aku merasa sangat dekat denganMu, semua terasa menjadi indah. Aku tak lagi merasa kesepian, karena aku tahu Kau sedang mengamati aku. Aku tidak lagi memiliki rasa takut, karena aku yakin Kau melindungiku. Aku seperti seorang pencinta yang menemukan kekasihnya.
Namun tak lama, rasa itu semakin tak berasa. Aku sadar, bahwa aku semakin jauh dariMu. Bukan Kau yang menjauhiku, tetapi aku yang bergerak mundur menjauhiMu. Kini semua menjadi hampa, hatiku perlahan tumpul, tubuhku dengan sadar melakukan kemaksiatan-kemaksiatan yang dulu tak berani aku lakukan karenaMu.
Aku sadar, Kau lah yang mengendalikan hatiku. Aku selalu memohon padamu, Ya Rabb, wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku untuk selalu berada pada jalanMu. Namun semua masih terlalu sulit. Sulit sekali aku mendekatiMu seperti dulu.
Aku tahu, Kau mencintaiku, oleh karena itu, Kau berikan cobaan-cobaan mengunjungi diriku. Kau uji aku seberapa besar cintaku padaMu. Kini semua aku yang harus menjawab, sanggupkah aku melewati ujianku?
Yaa Rabb, Kau tahu diri ini lemah, tapi aku tahu aku mampu melewati segala cobaan yang Kau berikan, karena tak mungkin Kau berikan cobaan tanpa aku mampu melewatinya.
Aku teringat sebuah lagu yang pernah dinyanyikan di hari ulang tahunku yang ke-18. Memang tak pantas lagu itu menggambarkanMu berkata dan menjawab, namun setidaknya, lagu itu membangkitkan kembali rasa cintaku pada-Mu, dan berharap dapat memberikan semua jiwa raga secara utuh untukMu.
Pernah aku bertanya
Allah, Engkau di mana?
Dia pun berkata
Aku dekat saja
Pernah aku bertanya
Allah, Engkau di mana?
Dia pun menjawab
Aku dekat selalu
Segala langkah yang kutempuh hendak lah tuju pada-Nya
Karena jika bukan karena-Nya, semua kan tersia
Bila kuluruskan niatku, Allah kan selamatkanku
Kutanamkan dalam hatiku
ALLAH DEKAT SELALU
Ketika hari itu aku merasa sangat dekat denganMu, semua terasa menjadi indah. Aku tak lagi merasa kesepian, karena aku tahu Kau sedang mengamati aku. Aku tidak lagi memiliki rasa takut, karena aku yakin Kau melindungiku. Aku seperti seorang pencinta yang menemukan kekasihnya.
Namun tak lama, rasa itu semakin tak berasa. Aku sadar, bahwa aku semakin jauh dariMu. Bukan Kau yang menjauhiku, tetapi aku yang bergerak mundur menjauhiMu. Kini semua menjadi hampa, hatiku perlahan tumpul, tubuhku dengan sadar melakukan kemaksiatan-kemaksiatan yang dulu tak berani aku lakukan karenaMu.
Aku sadar, Kau lah yang mengendalikan hatiku. Aku selalu memohon padamu, Ya Rabb, wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku untuk selalu berada pada jalanMu. Namun semua masih terlalu sulit. Sulit sekali aku mendekatiMu seperti dulu.
Aku tahu, Kau mencintaiku, oleh karena itu, Kau berikan cobaan-cobaan mengunjungi diriku. Kau uji aku seberapa besar cintaku padaMu. Kini semua aku yang harus menjawab, sanggupkah aku melewati ujianku?
Yaa Rabb, Kau tahu diri ini lemah, tapi aku tahu aku mampu melewati segala cobaan yang Kau berikan, karena tak mungkin Kau berikan cobaan tanpa aku mampu melewatinya.
Aku teringat sebuah lagu yang pernah dinyanyikan di hari ulang tahunku yang ke-18. Memang tak pantas lagu itu menggambarkanMu berkata dan menjawab, namun setidaknya, lagu itu membangkitkan kembali rasa cintaku pada-Mu, dan berharap dapat memberikan semua jiwa raga secara utuh untukMu.
Pernah aku bertanya
Allah, Engkau di mana?
Dia pun berkata
Aku dekat saja
Pernah aku bertanya
Allah, Engkau di mana?
Dia pun menjawab
Aku dekat selalu
Segala langkah yang kutempuh hendak lah tuju pada-Nya
Karena jika bukan karena-Nya, semua kan tersia
Bila kuluruskan niatku, Allah kan selamatkanku
Kutanamkan dalam hatiku
ALLAH DEKAT SELALU
Subscribe to:
Posts (Atom)