Kategori: Cerpen
Jilbab Hitam-Merah-Emas
Oleh: Dimas Abdirama
Udara makin menghangat di musim panas yang datang terlambat, walau sesekali hujan bisa saja turun tiba-tiba dengan deras tanpa tendeng aling-aling. Orang-orang di sini sangat cinta dengan matahari, maklum, matahari memang enggan berlama-lama menyengat negara ini. Seperti juga kami, yang sebenarnya punya banyak matahari di negara kami sendiri.
Biasanya di udara seperti ini kami paling senang duduk-duduk bersama di sebuah rumah makan sambil bercerita tentang banyak hal. Membicarakan kesulitan-kesulitan kuliah, membahas satu-persatu kelebihan dan kekurangan para capres dan cawapres, mendengar laporan jalannya pertandingan sepak bola antarmahasiswa, dan puluhan topik lainnya. Tentu di bawah sinar matahari sambil ditemani segelas teh arab yang kental kesukaan kami.
Ah Berlin, kami mencintai kota ini.
Salah seorang di antara kami bercerita tentang sulitnya mencari kerja di sini. Sejak kelulusannya akhir tahun lalu, ia sangat rajin mencari lowongan pekerjaan di mana-mana. Memang, dunia sedang dilanda krisis global. Jerman termasuk yang terkena imbasnya. Kalau mau berpikir positif, mungkin itu alasannya mengapa banyak karyawan terkena PHK atau sedikitnya lowongan pekerjaan akhir-akhir ini.
Ia meneguk teh hangatnya.
„Aku pernah diberi tahu oleh temanku, ia bertanya apakah aku akan melepas jilbabku untuk mencari kerja di sini. Lalu ku jawab, tentu saja tidak!“ katanya. Menurut temannya itu, seorang perempuan berjilbab tidak akan mungkin bisa mendapat pekerjaan kantoran seperti di sebuah perusahaan jika tetap berjilbab.
Kami tertawa kecil. Insya Allah kami yakin, Allah akan memudahkan hambanya yang taat. Karena toh rejeki datangnya juga dari Allah.
Sepulangnya menikmati matahari kami masih melanjutkan diskusi ini. Kami pun membenarkan juga apa yang temannya katakan. Lalu kami mencari-cari, siapakah muslimah Indonesia yang telah berjilbab dan telah bekerja di Jerman ini? Kami tidak tahu banyak, namun sepengetahuan kami jawabannya ternyata belum ada. Kalaupun ada, mereka bukan bekerja, melainkan sedang menyelesaikan pendidikannya di sebuah universitas atau badan penelitian. Kalaupun ada, mungkin mereka bekerja di toko roti, penjual buah, atau sebagai tenaga kebersihan. Kami tidak bilang bahwa pekerjaan-pekerjaan itu hina, bahkan sangat mulia jika dikerjakan secara halal, jujur, amanah, dan ikhlas. Namun di manakah perempuan berjilbab lulusan arsitektur, atau informatik, atau ilmu hukum yang lulus dengan nilai membanggakan bisa bekerja sesuai dengan keahliannya di sini? Jika saja barat serius memperjuangkan kesamarataan antara laki-laki dan perempuan, mengapa kesenjangan ini masih terjadi? Bukankah cara berpakaian sangat dibebaskan di barat ini?
Diskriminasi. Itulah yang kami tahu.
***
Setahun yang lalu, juga di musim panas, di wilayah Johannstadt, Dresden, sebuah kota milik negara bagian Sachsen di sebelah timur Jerman, matahari juga bersinar terang. Kata orang, Dresden adalah salah satu dari tiga kota terindah di negara ini bersama-sama dengan Berlin dan Heidelberg. Bangunan-bangunan abad pertengahan banyak yang masih berdiri gagah di sana. Kota tuanya cantik, sihirnya mampu menarik ribuan turis untuk menikmati keanggunannya.
Di sebuah taman bermain untuk anak-anak, atau dikenal dengan sebutan Spielplatz dalam bahasa Jerman, Marwa duduk santai sambil memperhatikan Mustafa yang sedang bergembira berseluncur di atas perosotan. Jagoannya yang berumur dua tahun itu tampak ceria dan menggemaskan. Sesekali ia berhenti karena haus, lalu berlari ke arah Marwa untuk meneguk minumannya. Setelah itu ia berlari lagi melanjutkan keasikannya.
Di sebelah sana, seorang pemuda berkulit putih, berbadan gemuk dengan rantai kalung yang melingkar di lehernya tampak sedang menunggui keponakannya bermain. Pemuda itu duduk di sebuah ayunan kecil yang sebenarnya tidak muat menampung badannya yang besar. Sesekali pemuda itu melirik ke arah Marwa dan putranya dengan lirikan sinis. Memang sangat disayangkan, pemandangan lirikan sinis terhadap orang asing memang mudah sekali ditemui di negara ini, apalagi di sebuah kota bekas Jerman timur seperti di Dresden ini.
Mustafa kecil tampak sudah bosan dengan perosotannya, ia mendekati ibunya lagi, meneguk minumannya kembali dan berjalan ke arah ayunan kecil yang sedang diduduki pemuda tadi.
„Nak, main yang lain saja!“ sahut Marwa ke putranya. Marwa sudah merasa tidak enak dengan gerak-gerik pemuda gemuk itu. Namun Mustafa masih berusia dua tahun, ia belum mengerti benar apa yang baru saja Marwa katakan. Ia tetap di sana, mengelilingi ayunan itu, dan berharap si pemuda tadi mau beranjak dan membiarkannya bermain. Tetapi pemuda itu seperti sengaja tidak mau beranjak dan memandangi Mustafa kecil dengan pandangan merendahkan.
Marwa yang berjilbab mendekatinya, dan dimulailah semua cerita ini. Cerita akibat propaganda dunia atas nama kebencian.
„Maaf, bolehkah anak saya bermain dengan ayunan ini sebentar?“ sahut Marwa. Pemuda tadi memandangnya sekilas dengan penuh kebencian. Bibirnya mencibir, ia tidak menanggapi permintaan Marwa. „Maaf, bolehkah anak saya bermain di ayunan ini?“ Marwa mengulangi.
Pemuda tadi mendepakkan kakinya ke tanah penuh amarah.
„Apa kamu bilang?! Dasar Schlampe! Halt den Maul!“ bentak si pemuda. Schlampe berarti pelacur, sebuah kata hinaan yang terkasar dalam bahasa Jerman. Setiap perempuan baik-baik pasti akan tersinggung jika disebut demikian.
„Maaf! Atas dasar apa Anda memanggil saya pelacur? Saya hanya meminta Anda untuk beranjak karena anak saya ingin bermain di atas ayunan ini. Apa Anda yang sudah sebesar ini masih ingin bermain ayunan?!“ jawab Marwa mempertahankan harga dirinya.
Dan perkataan-perkataan rasis pun keluar dari mulutnya terhadap Marwa. Bahwa Marwa seorang teroris, seorang islamis, karena Marwa berjilbab.
***
Berlin adalah sebuah kota multikultural. Ada banyak orang Turki tinggal di kota ini. Jilbab sudah menjadi pemandangan lumrah di mana-mana. Maka sangat lucu jika masih saja diketemukan orang-orang rasis di kota ini.
Baru saja kami membeli daging di swalayan, membeli roti dan kacang-kacangan di toko roti, serta membeli obat batuk di apotek. Kebetulan yang melayani kami seorang kasir berjilbab, seorang penjual roti berjilbab, dan seorang apoteker berjilbab. Kami pun teringat kembali percakapan kami beberapa hari lalu di sebuah rumah makan sambil menikmati sengatan matahari.
„Tuh, buktinya ada juga kok perempuan berjilbab yang bekerja di sini!“
„Iya, tapi kerjanya di swalayan yang kepunyaan orang Turki, di toko roti yang kepunyaan orang Turki, di apotek yang kepunyaan orang Turki. Ya jelas saja, perempuan berjilbab diperbolehkan bekerja di sana. Coba kalau di supermarket Jerman, apotek Jerman, ada nggak?“
Benar juga. Apakah memang umat Islam harus memiliki semuanya sendiri di barat ini?
Salah seorang di antara kami, alhamdulillah ia telah berjilbab, dulu sempat memiliki pengalaman yang menarik. Ketika perjalanan pulang ke rumah, di dalam U-Bahn (kereta bawah tanah), waktu ashar akan segera habis. Namun perjalanannya masih jauh karena sebelumnya ia sempat tertinggal bus dan harus menunggu dua puluh menit untuk mendapatkan bus berikutnya. Detik-detik berjalan, ia harus melaksanakan salatnya sekarang. Tetapi bagaimana? Walaupun ia masih punya wudhu, namun ia tidak punya apapun untuk menutupi kepalanya. Untung ada sebuah kantung pelastik di dekatnya, di antara himpitan sepatu orang-orang yang sedang berada di sana. Ia ambil kantung pelastik itu, ia bersihkan sedikit, dan dengannya ia tutupi kepalanya. Dengan gerak-gerik yang cukup asing ditambah dengan pelastik di kepala, ia menjadi pusat perhatian ketika menjalankan salat di dalam U-Bahn. Tak sedikit juga terdengar cemoohan dari penumpang yang lain. Tetapi setelah kejadian itu, ia bilang, ia memiliki rasa bangga yang luar biasa sebagai seorang muslimah. Dan tak lama akhirnya ia berjilbab.
***
Islam tidak membiarkan harga diri umatnya diinjak-injak. Bersyukur, di negara ini, sesiapa saja yang menghina orang lain dengan kata-kata kasar, kata-kata yang tidak sopan dan penuh dengan kebencian akan dikenakan hukuman.
Marwa Al-Sharbini, yang sedang menemani suaminya sebagai pemegang beasiswa dan peneliti di Max-Planck-Institut, melaporkan kasus penghinaan ini kepada pengadilan di Jerman. Tak pelak, dengan bukti-bukti dan saksi-saksi, Alexander W, si pemuda tadi, dinyatakan bersalah telah menghina Marwa dengan kata-kata kasar dan penuh dengan kebencian rasistis. Ia dikenakan denda dari pengadilan sebesar 780 €.
Hari berganti hari. Kasus Marwa merupakan salah satu kasus dari ribuan kasus di dunia ini. Marwa merupakan salah seorang dari ribuan orang yang berupaya mencari keadilan dan membela harga diri dari sebuah propaganda pihak-pihak yang berupaya menyebarkan kebencian terhadap Islam. Headline surat kabar, opini dan pendapat media, pemberitaan di televisi, kasus karikatur nabi, kasus film Fitna, dan banyak lagi kasus yang lain telah berhasil memutar balikkan pandangan orang-orang yang tidak tahu tentang Islam. Orang-orang yang berjilbab itu teroris, fundamentalis, ekstrimis, dan kata-kata lain yang mereka gunakan untuk menjabarkan istilah „orang Islam“.
Kami yakin, tidak semua orang barat seperti itu. Ada di antara mereka yang mempunyai hati nurani, ada di antara mereka yang menjadi sahabat-sahabat kami dan melihat kami sebagaimana seorang manusia. Kami tidak akan menganggap sama orang-orang yang menyebarkan propaganda dengan yang menjadi korban. Dan orang-orang yang memang membenci kami dengan yang memanusiakan kami. Kami juga berharap mereka tidak menyamaratakan orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi dengan orang-orang yang taat berada di ajaran Rasul kami.
Ah, kami begitu bangga dengan Schwester-schwester (saudara perempuan) kami yang telah berjilbab, yang menapak tegap kehidupan di sini dengan segala resikonya, namun santun dalam berperilaku dan istiqomah dalam berakhlak sebagai muslimah yang kaaffah.
***
Musim panas yang sebenarnya pun di mulai, walau cuaca masih sulit ditebak. Orang-orang sudah mulai berpakaian seadanya, menghindari rasa gerah yang menyekap. Marwa tetap dengan busana muslimahnya, dan juga jilbabnya. Mustafa kecil datang menghampiri untuk mengelus-elus perut Marwa. Kini ia sudah tahu bahwa beberapa bulan lagi ia akan memiliki seorang adik. Ibundanya sedang mengandung tiga bulan.
Hari ini mereka, Marwa, Ali – suaminya, dan Mustafa akan datang kembali ke pengadilan atas kasus penghinaan rasistis oleh Alexander setahun yang lalu. Marwa akan memberikan kesaksian lagi di hadapan hakim. Di setiap proses pengadilan yang sudah berlangsung berkali-kali itu, Alexander selalu mengungkapkan rasa bencinya terhadap Islam. Bahkan ia pernah suatu kali mengancam akan membunuh Marwa. Mendengar semuanya itu, Marwa tetap tidak takut, Ali selalu memberikan dukungan yang penuh untuk istrinya, meski ia tahu, segala kemungkinan bisa terjadi terhadap keselamatan keluarganya.
Landgericht Dresden, Rabu 1 Juli 2009.
Hanya segelintir orang saja yang hadir di Gerichtsaal (ruang sidang) pagi itu. Memang, kasus ini bukan kasus yang besar, hanya sebuah pengaduan penghinaan. Tidak ada polisi yang berjaga-jaga di sekitar ruangan. Tidak ada alat detektor metal untuk keamanaan, padahal kasus ini mendakwa seseorang yang memiliki kebencian begitu besar. Mengapa mereka tidak memikirkan hal itu sebelumnya? Pemuda gemuk itu bisa lebih berbahaya dari seorang teroris!
Dua orang polisi mengapit tangan kiri dan kanan Alexander ketika memasuki ruangan sidang. Lagi-lagi ia memancarkan aura kebencian terhadap keluarga Mesir itu yang sudah hadir di sana. Tak lama kedua polisi itu pergi, dan pengadilan di mulai.
Marwa memberikan kesaksian, menceritakan kembali kisah di musim panas satu tahun yang lalu, membeberkan betapa bencinya Alexander terhadap dirinya, hanya karena ia seorang muslimah dan seorang berjilbab.
Ya, Marwa seorang muslimah, dan seorang berjilbab yang pemberani. Ia tidak akan pernah takut dengan ancaman apapun. Bahkan sampai saat itu, ketika Alexander memenuhi janjinya, tiba-tiba beranjak dari duduknya sambil menggenggam sebilah pisau, dan berlari ke arah Marwa. Ia mengayunkan pisaunya ke tubuh seorang perempuan yang tak berdaya. Menghunus tajam, mencabik-cabik.
Dan darah pertama mengucur harum, darah yang sangat mulia di hadapan Allah.
Orang-orang di sana berteriak, tetapi tidak ada yang beranjak. Hakim, jaksa, pengacara dan lainnya pun terdiam. Dua kali, tiga, empat, lima, enam, tujuh... tusukan-tusukan itu mendarat bertubi-tubi ke sekujur tubuh Marwa. Darahnya yang merah kehitaman berhamburan ke mana-mana.
Mustafa terdiam melihat tubuh ibunya ditikam berkali-kali. Salah satu tusukan itu tertancap ke perut ibunya, yang tadi pagi baru saja dielus-elusnya. Pisau itu sampai juga ke tubuh adiknya yang masih tidur di dalam sana.
Ali berusaha menghentikan kebiadaban Alexander , ia melindungi istrinya walau ia tahu, nyawanya juga akan terancam. Beberapa tusukan mendarat ke tubuh Ali, lalu kembali ke tubuh Marwa lagi, dua belas... tiga belas... empat belas... jilbabnya sudah berlumuran darah. Orang-orang berteriak, beberapa polisi segera datang ke ruangan.
Dor! Dor! Pistol-pistol polisi itu memuntahkan pelurunya. Tapi peluru itu tidak menembus tubuh Alexander, melainkan tertuju ke Ali. Mengapa mereka bisa salah tembak? Apa karena mereka pikir yang sedang berbuat anarkis saat itu pasti yang berwajah Arab? Apa karena yang membuat keributan di sana pasti orang Islam?
Dor! Dan Mustafa menyaksikan bagaimana peluru itu menembus tubuh ayahnya, bagaimana pisau itu menghunus kedua orang tuanya, bagaimana tusukan ketujuh belas... lalu kedelapan belas... Dan bagaimana Marwa merenggang nyawa, meninggalkannya yang baru tiga tahun bersama...
Mustafa hanya tahu darah, ibunya sudah tiada, ayahnya koma, dan pemuda itu tidak terluka sama sekali. Mustafa tidak tahu kalau malaikat berpakaian amat bagus dengan wangi yang sangat harum tersenyum menyambut Marwa di ruangan itu. Malaikat-malaikat itu memberikan Marwa pakaian yang sangat indah, pakaian untuk para syuhada di langit sana.
Mustafa, bagaimanakah umur empat tahunmu? Umur lima tahunmu? Masa sekolahmu? Masa remajamu? Ibumu dibunuh di depan matamu. Ayahmu sedang koma di depan matamu.
***
Kami malas menikmati matahari, setelah mendengar berita itu, berita kematian Marwa oleh seseorang yang membenci Islam, berita yang baru muncul ke publik dua hari kemudian. Ya! Dua hari kemudian! Surat-surat kabar sehari setelahnya tidak ada yang memberitakan kejadian ini. Di Süddeutsche Zeitung? Tidak ada! Di Frankfurter Allgemeine? Tidak ada! Padahal kalau ada berita „seorang muslim menyenggol orang lain“ atau „seorang berjilbab mencolek orang lain“ pasti berita-berita itu akan menjadi berita besar dan menjadi headline news di koran-koran! Tapi berita Marwa? Jangan harap!
Bahkan beberapa hari kemudian, surat-surat kabar tidak mengupas mengapa Marwa dibunuh, oleh siapa ia dibunuh, tetapi lebih mengupas tentang rencana perbaikan sistem keamanan di ruangan sidang ke depan!
Kami menitikkan air mata mendengar semua ini. Kami menitikkan air mata membayangkan nasib Mustafa saat ini.
Mustafa, ini bukan karena kamu ingin bermain di ayunan itu, tetapi ini karena jilbab yang dipakai ibumu.
Berlin, 9 Juli 2009.
FLP Jerman.
7 comments:
Jilbab itu Mulia dan Memuliakan
Boleh bertanya ?
Kisah Marwa..kisah sesungguhnya, kah ?
Sebenarnya..siapa yang terbelakang...orang2 rasis ato justru muslim....!!
*ergh..jadi emosi sy...*
Ya, kisah ini diangkat dari kisah nyata.
mas, ijin mo ngelink blognya boleh ya ya ya?
Aber natürlich!
Ris, gabung ke FLP Jerman yuk? Ajak Mbak Nur juga..
dengan senang hati :)
iya nanti Nurry pasti juga mau diajak
Assalamualaikum wr.wb..
Kisah nyata kah? MasyaAllah.. T_T
Merinding bacanya..
pas bgd apa yg disampaikan Pramoedya,
"Jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan. Di manapun ada yg mulia dan jahat... Kau sudah lupa kiranya,Nak, yg kolonial selalu iblis. Tak ada yg kolonial pernah mengindahkan kepentingan bangsamu"
Post a Comment