Prosa Mata dan Sajak Hati Tak Berima
Oleh: Dimas Abdirama
Sebulan lagi aku akan menjadi orang buta. Benar, sebulan lagi dokter akan mengangkat kedua bola mataku akibat kanker di belakang retina yang makin membahayakan jaringan otak. Semuanya berlangsung sangat cepat, belum ada dua bulan, hingga mataku terasa semakin rabun dari hari ke hari, dan kacamata setebal pantat botol ini sudah tak mampu lagi mengimbangi pandanganku yang lamur.
Terguncang? Jelas. Sedih? Pasti. Berita itu sudah cukup membalun jiwa dan ragaku seremuk-remuknya. Tapi toh untuk apa lagi? Semuanya harus terjadi. Aku hanya punya dua pilihan, kehilangan mata atau kehilangan nyawa. Memang, kehilangan mata terdengar seperti kehilangan nyawa. Bukankah tanpa mata aku tak punya lagi cita-cita? Mau melanjutkan kuliah ini? Bagaimana bisa! Mau menjadi ilmuwan dan dosen untuk membangun Indonesia? Ah, mimpi! Tubuh bacul ini hanya berujung menjadi seorang tuna netra, berharap akan ada nasib baik yang bisa membuatku bertahan sampai hari tua nanti.
Aku tidak lagi sebagas dan sebahaduri itu. Rama yang menyadarkanku. Mungkin ada sekian banyak dosa yang aku perbuat hingga Tuhan mengambil titipannya yang sangat berharga ini pada diriku. Rama menggeleng, „Justru ini bentuk kasih sayang Tuhan kepadamu, san!“ kata Rama. Aku berupaya mencerna. „Lihatlah betapa banyak orang yang tersembab dalam jurang dosa karena pandangan matanya.“
Sejenak aku mengangguk pelan. Betapa hangat kata-kata itu tadi mendesir di telingaku. Kata orang, sesuatu yang mengenakkan itu datang dari mata yang turun ke hati, lalu dialihkan menjadi sebuah bentuk imajinasi. Fantasi. Rama merogoh sesuatu di ranselnya lalu mengeluarkan sebuah kitab kecil yang terlihat sudah tidak lagi baru. Disodorkannya Al-Qur’an itu kepadaku.
„Jika kamu buta, kamu masih bisa berpuasa, salat, berzakat, berzikir. Apapun masih bisa kamu lakukan. Tapi ada satu ibadah yang mungkin akan kamu rindukan nanti... ini...“ sahutnya dengan ratapan mata yang melayu sambil ditunjuk-tunjukinya kitab itu, „kamu akan merindukan nikmatnya melafazkan ayat-ayat mahadahsyat ini.“
Sudah dua puluh hari waktu berjalan menjelang operasiku nanti. Ibu dan ayahku sudah mendengar berita ini di tanah air. Mereka terpukul luar biasa namun hanya bisa bersabar dan berupaya membuat aku kuat dalam menghadapi cobaan ini. Mereka tidak bisa menemani operasiku nanti, mereka harus cukup puas menerima kepulanganku nanti yang tanpa mata, tanpa ijazah, tanpa cita-cita, dan tanpa masa depan.
„Semoga tidak tanpa calon pasangan...“ ucap Rama menanggapi curahan hatiku.
Memang, aku sudah utarakan kepada perempuan itu bahwa aku berniat mengkhitbahnya seusainya aku menyelesaikan studiku yang sebenarnya tinggal satu semester lagi. Setelah menulis thesis, aku sudah merampungkan amanah sekolah di luar negeri ini. Rama yang membantuku setengah mati agar gadis ayu itu mau menerimaku dan mau menunggu sampai saatnya tiba nanti. Perempuan itu mengangguk malu-malu.
„Siapa yang mau memiliki seorang calon suami buta, aku yakin jika dia mendengar berita ini, dia pasti akan membatalkan keputusannya...“
Rama menatapku dengan delikan tajam. „Tidak begitu, san. Sarah itu perempuan solehah. Perempuan solehah hanya untuk lelaki soleh, dan lelaki soleh hanya untuk perempuan solehah. Siapa yang tidak mau memiliki kepala keluarga yang mampu menghapal sepuluh juz hanya dalam waktu tujuh hari?“
Ya benar. Hari ini aku sudah menghapal hampir dua belas juz. Aku akan merindukan saat-saat bertilawah ketika aku sudah buta nanti. Jika mata ini tidak sanggup lagi aku pakai untuk membaca Qur’an, aku akan membacanya dengan hati. Dan memang, waktuku tidak banyak. Namun saat di mana seseorang terdesak dan merasa sangat sempit, di situlah saat di mana seseorang mampu mengeluarkan kekuatan supernaturalnya secara luar biasa. Mungkin kalian tidak percaya jika aku bisa menghapal secepat itu, bukan?
Tinggal sepuluh hari lagi aku bersama kedua bola mata ini. Yang bisa kulihat sekarang hanyalah dunia dengan kabut putih tebal yang buram dan bercampur baur. Aku masih paksakan mata ini untuk melahap dua juz terakhir yang menuntaskan hafalan Qur’anku sebelum aku buta. Dokter sudah berpesan agar aku tidak terlalu memaksakan mata ini untuk selalu bekerja sampai letih. Aku bergumam dalam hari, biarlah letih, toh sebentar lagi mereka akan beristirahat yang teramat panjang. Dokter juga berpesan agar aku melihat pemadangan-pemandangan yang indah sebelum keindahan itu tak mampu lagi tertangkap oleh indera penglihatan ini. Aku bertanya, keindahan yang seperti apa, dok? Keindahan hakiki atau hanya keindahan ilusi?
Orang-orang di kota ini akhirnya mengetahui kabarku. Sejak hari ini aku akan menginap di rumah sakit sampai dengan operasi nanti untuk menjalani sejumlah terapi dan persiapan medis. Entah berapa banyak obat-obatan yang sudah terinjeksi ke badan ini. Entah betapa tak berdayanya fisik ini menjelang eksekusi nanti. Aku hanya mampu merebah di atas ranjang berbau desinfektan khas rumah sakit. Satu persatu orang datang, rupa-rupa mereka sudah tidak banyak lagi yang aku kenali. Mata ini sudah hampir sampai pada titik nol. Mereka membawakan aku bunga. Ah, untuk apa? Toh aku sudah tidak bisa lagi menebak apa warnanya. Lebih baik kalian bawakan aku doa.
Dan sore itu, datang sesosok anggun dari balik kabut-kabut putih pelupuk mata ini. Aku tahu siapa dia. Seorang gadis pujaan, Sarah. Untuk pertama kalinya ia menemuiku semenjak aku mendapat kabar pilu itu.
„Kapan operasinya bang...?“
„Pekan depan..."
Tinggal tiga hari lagi. Dengan sabar Rama duduk di sisiku menyimak satu persatu bacaan hafalan Qur’anku. Aku telah genap menghafal seluruh isi kitab suci ini sudah sejak dua hari yang lalu. Kini tinggal aku ulang-ulangi terus sampai hati ini terasa puas dan siap merasakan nikmatnya bertilawah tanpa sepasang bola mata. Dan sampai pada ayat terakhirku, kudengar Rama terisak. Ia memeluk tubuh lemahku lama sekali sampai buliran air matanya menjatuhi wajahku.
„Teruslah sabar, wahai sahabatku, Ihsan...“ bisiknya. „Kamu akan mendapat gantinya yang terbaik. Mungkin bukan Sarah yang terbaik...“
Kukenang kembali wajah Sarah dan kejadian di sore itu saat ia menolak untuk menjalin rumah tangga bersamaku. Dan perasaan hati sebagai seorang pecundang masih begitu melekat di sini. Aku ingin mencari seekor merpati, agar bisa kuikat perasaan ini lalu membiarkannya pergi melayang jauh-jauh dari hatiku. Namun nyatanya keinginanku terlampau sulit untuk terwujud, karena Sarah selalu menjengukku akhir-akhir ini. Membawakanku berbagai buah dan makanan. Sesekali juga makan siang dan makan malam untuk Rama yang selalu bersamaku. Setiap aku merasakan kehadirannya, semakin kecut dunia yang kurasa.
Sekaranglah saatnya. Sebelum ranjang dorong ini dibawa ke ruangan operasi, aku melihat dunia untuk yang terakhir kali. Dalam sayup-sayup aku melihat Rama dan orang-orang terdekatku berjejer mengelilingiku, merengkuh tanganku dan mengalunkan doa untukku. Lalu aku lihat tangan dokter yang menempelkan sebuah kain kasa dan kain hijau di seluruh wajahku. Dokter yang lain menyuntikkan bius, dan inilah saat-saat aku berpisah dengan dunia. Perlahan... makin layu... makin rabun... gelap.
Aku tersadar. Gelap gulita. Selamat tinggal cahaya. Kedua bola mataku sudah memisahkan diri dari tubuhku. Aku berucap syukur bahwa aku masih diberi kesempatan untuk hidup kembali dari mati sesaatku. Kurasakan ranjang ini didorong menuju kamarku di mana beberapa orang sudah menunggu operasiku dengan cemas. Perban yang membalut muka ini akan dilepas selapis demi selapis, dan mereka akan melihat kekosongan pada diriku.
„Berzikir, Ihsan,“ suara Rama.
„Yang kuat, bang!“ suara Sarah.
Suster melepaskan perban ini sampai pada lapis terakhir. Dan tiba-tiba sesuatu yang menusuk tajam masuk ke dalam rongga penglihatan ini! Secarik cahaya!
„Aku melihat! Aku melihat cahaya!“ jeritku histeris.
Aku bersumpah, aku bisa melihat! Aku melihat wajah Rama yang melongo dan wajah Sarah yang sangat tegang!
„Istighfar Ihsan, ikhlaslah pada kenyataan ini!“ ujar Rama kembali.
Mereka berpikir aku gila. Tidak! Sumpah! Aku bisa melihat! Aku melihat semuanya! Seisi ruangan ini, udara di luar jendela sana, para dokter itu, semuanya!
„Abang, mata abang sudah diambil, abang terima kenyataan ini yah...“ sahut Sarah menahan isakannya.
Aku menoleh kearahnya. Aku lihat ia menangis, namun aku melihat sesuatu yang lain pada dirinya. Oh, begitu. Ternyata ia menyukai Rama. Selama ini ia mendekatiku hanya untuk mendekati Rama. Lalu aku pandangi Rama, aku temukan juga sesuatu yang lain di auranya.
Apa ini semua? Aku tidak melihat dengan mata, tapi sepertinya aku melihat dengan mata hati. Mata hati ini jauh lebih tajam dari pada mataku yang dulu. Apakah ini semua karena aku memakai mataku untuk menghafal ayat-ayatMu, Tuhan?
„Ihsan, semua datang dari Allah dan kepadaNyalah semua kembali,“ bisik Rama.
Sudahlah, tidak ada yang mempercayaiku kalau aku memang benar-benar bisa melihat. Kulihat Rama dengan segala ketulusan yang terpancar dari wajahnya...
„Fawatstsiqillaahumma roobithotahaa...“ ujarku sambil memandangnya.
Berlin, 8 April 2010
FLP Jerman.
2 comments:
Ceritanya bagus kak Dims :))
terharu
Post a Comment