Persis di tengah kota Berlin.
Brandenburger Tor berhias pantulan cahaya emas. Temperatur udara berada di bawah nol derajat.
Dengan pakaian batik, celana bahan hitam yang di bagian lututnya sudah memutih, sepatu pantoffel yang kurang nyaman, jaket hitam dan ransel, aku memasuki salah satu hotel termewah di kota ini, Adlon, tepat di hadapan Brandenburger Tor.
Setelah menyerahkan tas dan ransel, aku melihat sekitar, mencari toilet dan membiasakan diri. Sebelum dipersilahkan masuk ke ballroom, aku menyempatkan diri duduk di café lobi hotel. Sekadar duduk, tidak memesan apapun, karena aku tahu secangkir teh berharga sama dengan lima kilo daging.
Beberapa tamu undangan yang lain mulai berdatangan, berpakaian bagus-bagus. Sebelum masuk ke ballroom, aku datangi lagi toilet di seberang yang lain, mencoba sabun mewah dan lotion kulit yang disediakan di sana.
Tamu undangan dan aku dipersilahkan masuk.
Aku berada di meja nomor empat. Beberapa pelayan berpakaian jas dan dasi kupu-kupu mulai bertugas melayaniku. Ditariknya kursi, diselempangkan serbet berwarna pastel di pangkuanku. Dua buah lilin putih dinyalakan, tangan mereka menuangkan air putih dengan cekatan.
Setiap detik adalah makna, setiap masa adalah rasa, sulit membayangkan bahwa manusia tidaklah istimewa, perjalanan kita, dalam arus debu aksara - Dimas Abdirama
Tuesday, December 15, 2009
Thursday, July 09, 2009
Jilbab Hitam-Merah-Emas
Kategori: Cerpen
Jilbab Hitam-Merah-Emas
Oleh: Dimas Abdirama
Udara makin menghangat di musim panas yang datang terlambat, walau sesekali hujan bisa saja turun tiba-tiba dengan deras tanpa tendeng aling-aling. Orang-orang di sini sangat cinta dengan matahari, maklum, matahari memang enggan berlama-lama menyengat negara ini. Seperti juga kami, yang sebenarnya punya banyak matahari di negara kami sendiri.
Biasanya di udara seperti ini kami paling senang duduk-duduk bersama di sebuah rumah makan sambil bercerita tentang banyak hal. Membicarakan kesulitan-kesulitan kuliah, membahas satu-persatu kelebihan dan kekurangan para capres dan cawapres, mendengar laporan jalannya pertandingan sepak bola antarmahasiswa, dan puluhan topik lainnya. Tentu di bawah sinar matahari sambil ditemani segelas teh arab yang kental kesukaan kami.
Ah Berlin, kami mencintai kota ini.
Jilbab Hitam-Merah-Emas
Oleh: Dimas Abdirama
Udara makin menghangat di musim panas yang datang terlambat, walau sesekali hujan bisa saja turun tiba-tiba dengan deras tanpa tendeng aling-aling. Orang-orang di sini sangat cinta dengan matahari, maklum, matahari memang enggan berlama-lama menyengat negara ini. Seperti juga kami, yang sebenarnya punya banyak matahari di negara kami sendiri.
Biasanya di udara seperti ini kami paling senang duduk-duduk bersama di sebuah rumah makan sambil bercerita tentang banyak hal. Membicarakan kesulitan-kesulitan kuliah, membahas satu-persatu kelebihan dan kekurangan para capres dan cawapres, mendengar laporan jalannya pertandingan sepak bola antarmahasiswa, dan puluhan topik lainnya. Tentu di bawah sinar matahari sambil ditemani segelas teh arab yang kental kesukaan kami.
Ah Berlin, kami mencintai kota ini.
Saturday, May 16, 2009
Cinta vs Benci dari Gang Haji Nawi
Cinta vs Benci dari Gang Haji Nawi
Oleh: Dimas Abdirama
Gang Haji Nawi emang panas! Emang sempit! Emang banyak mas-mas tengil (masteng) yang nongkrong terus seharian kagak ada kerjaan sambil main gitar gonjrang-ganjreng. Paling malas deh kalau harus melewati gang Haji Nawi. Tapi mau bagaimana lagi, satu-satunya jalan dari rumah ke masjid cuma bisa lewat gang itu. Terpaksa deh suka nggak suka harus disuka-sukain. Kan aku ketua keputrian masjid (baru kepilih lho minggu kemarin) yang punya program seabrek-abrek untuk masjid, jadi aku sering beraktivitas di sana sepulang kuliah.
Yang bikin aku tambah sebel, sejak dua bulan ini di masjid ada seorang pengurus baru. Ya, bisa dibilang penjaga masjid deh yang tiap malam mengisi kajian untuk bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak muda, dan anak-anak kecil. Orangnya sih biasa, tampangnya standar banget lah (masih gantengan si Ucok), bisa dibilang murah senyum dan ramah, tapi aku melihatnya kayak ada udang di balik bakwan, eh salah deh! Di balik batu! Soalnya, aku pernah mendapatinya sedang ngelirik-lirik aku. Pas ketahuan mata ketemu mata, dia pura-pura menundukan pandangannya. Huh nggak gentle amat sih!
Oleh: Dimas Abdirama
Gang Haji Nawi emang panas! Emang sempit! Emang banyak mas-mas tengil (masteng) yang nongkrong terus seharian kagak ada kerjaan sambil main gitar gonjrang-ganjreng. Paling malas deh kalau harus melewati gang Haji Nawi. Tapi mau bagaimana lagi, satu-satunya jalan dari rumah ke masjid cuma bisa lewat gang itu. Terpaksa deh suka nggak suka harus disuka-sukain. Kan aku ketua keputrian masjid (baru kepilih lho minggu kemarin) yang punya program seabrek-abrek untuk masjid, jadi aku sering beraktivitas di sana sepulang kuliah.
Yang bikin aku tambah sebel, sejak dua bulan ini di masjid ada seorang pengurus baru. Ya, bisa dibilang penjaga masjid deh yang tiap malam mengisi kajian untuk bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak muda, dan anak-anak kecil. Orangnya sih biasa, tampangnya standar banget lah (masih gantengan si Ucok), bisa dibilang murah senyum dan ramah, tapi aku melihatnya kayak ada udang di balik bakwan, eh salah deh! Di balik batu! Soalnya, aku pernah mendapatinya sedang ngelirik-lirik aku. Pas ketahuan mata ketemu mata, dia pura-pura menundukan pandangannya. Huh nggak gentle amat sih!
Saturday, May 02, 2009
Le Rendez-Vous
Le Rendez-Vous
Oleh: Dimas Abdirama
Namanya Cahaya. Cahaya Delaluna. Ya, sinar rembulan! Nama yang cantik, secantik paras gadis mungil itu. Cahaya sedang bergembira di hari ulang tahunnya yang kelima. Tuan Bob dan Nyonya Tutiek mengundang semua teman-teman putri tunggalnya dalam sebuah pesta meriah lengkap dengan hiburan badut sulap. Pipi tomatnya seperti mau pecah ketika ia meniupkan lilin-lilin di atas kue tart yang dihias seperti sebuah kota. Ada rumah-rumahannya, gunung-gunungannya, dan ada pohon-pohonannya.
„Selamat ulang tahun ya cayaaang!“ ciuman dari mami dan papi mendarat dari sebelah kiri dan kanan wajah menggemaskan itu. Cahaya mengenakan baju permaisuri berwarna merah muda yang roknya mengembang berlapis-lapis. Rambutnya dikuncir dua dengan pita-pita yang cantik. Cahaya tampak senang dengan hari spesialnya, begitu juga Tuan Bob, Nyonya Tutiek, para tamu dan anak-anak mereka.
Satu persatu teman-temannya menghampiri, menyalaminya dan menyerahkan kado-kado yang dibungkus berwarna-warni sambil bernyanyi selamat ulang tahun. Mereka yang diundang bukan sembarang orang. Paling tidak berasal dari keluarga kaya dan terhormat seperti orang tua Cahaya. Di acara itu juga ada hiburan door prize, bagi yang beruntung bisa membawa pulang sebuah televisi dan perangkat alat-alat elektronik lainnya. Benar-benar sebuah pesta yang sangat meriah.
Oleh: Dimas Abdirama
Namanya Cahaya. Cahaya Delaluna. Ya, sinar rembulan! Nama yang cantik, secantik paras gadis mungil itu. Cahaya sedang bergembira di hari ulang tahunnya yang kelima. Tuan Bob dan Nyonya Tutiek mengundang semua teman-teman putri tunggalnya dalam sebuah pesta meriah lengkap dengan hiburan badut sulap. Pipi tomatnya seperti mau pecah ketika ia meniupkan lilin-lilin di atas kue tart yang dihias seperti sebuah kota. Ada rumah-rumahannya, gunung-gunungannya, dan ada pohon-pohonannya.
„Selamat ulang tahun ya cayaaang!“ ciuman dari mami dan papi mendarat dari sebelah kiri dan kanan wajah menggemaskan itu. Cahaya mengenakan baju permaisuri berwarna merah muda yang roknya mengembang berlapis-lapis. Rambutnya dikuncir dua dengan pita-pita yang cantik. Cahaya tampak senang dengan hari spesialnya, begitu juga Tuan Bob, Nyonya Tutiek, para tamu dan anak-anak mereka.
Satu persatu teman-temannya menghampiri, menyalaminya dan menyerahkan kado-kado yang dibungkus berwarna-warni sambil bernyanyi selamat ulang tahun. Mereka yang diundang bukan sembarang orang. Paling tidak berasal dari keluarga kaya dan terhormat seperti orang tua Cahaya. Di acara itu juga ada hiburan door prize, bagi yang beruntung bisa membawa pulang sebuah televisi dan perangkat alat-alat elektronik lainnya. Benar-benar sebuah pesta yang sangat meriah.
Subscribe to:
Posts (Atom)