Mang Ujang
Oleh: Mushab Syuhada
Mang Ujang, begitu kami memanggilnya. Mang Ujang adalah kenalan kami ketika kami sedang mengantar keberangkatan seorang teman di stasiun Jatinegara.
„ Maaf dik, saya ingin menuju ke daerah Pasar Minggu. Dengan angkutan apa yah dari sini?“ suara dengan logat sunda yang masih kental tiba-tiba datang dari arah belakang kami.
„Bapak mau ke Pasar Minggu?” ucapku.
“Kalau sudah malam begini, biasanya sudah jarang angkutan, Pak!” seru temanku Irwan.
Aku melihat bawaan Bapak itu. Tiga koper lengkap beserta dua dus kardus dan satu kantong plastik gorengan! Sepertinya si Bapak ini baru datang dari sebuah desa untuk mengadu nasib di kota Jakarta. Pengaruh urbanisasi lah bisa dibilang.
„Begini deh Pak, sekarang kan sudah jam setengah satu pagi. Bagaimana kalau Bapak menginap dulu di rumah saya, besok pagi saya antarkan ke Pasar Minggu“ kata Thomas, temanku yang pada malam itu membawa mobil. „Rumah saya di Depok, Pak. Nggak begitu jauh lah dengan Pasar Minggu“ timpalnya.
***
Mang Ujang orang asli Garut. Datang ke Jakarta dari Cirebon. Beliau diterima kerja di salah satu kantor jasa di bilangan jalan Gatot Subroto. Ini sudah yang kelima kalinya beliau mengunjungi Jakarta, namun beliau masih belum ‘melek’ kota Jakarta. Hari ini kami sepakat mengajak beliau jalan-jalan keliling Jakarta.
Pertama, kami ajak beliau makan siang di Pasar Festival, Kuningan. “Itu loh papes atau apa gitu...” ucapnya saat memberikan usul tempat makan siang kami. “Pafes kali mang! Pasar Festival maksud mang Ujang?” ujarku sambil cekikikan di kursi belakang mobil yang dikendarai Irwan siang hari itu.
Sambil makan, mang Ujang cerita banyak tentang perjalan hidupnya yang menurut kami sangat unik. Salah satu dari sekian banyak ceritanya ada yang menarik perhatian kami. Yaitu keinginannya bertemu dengan sahabat lamanya – teh Atik – yang sedang bekerja di Jakarta dan lebih dari tujuh tahun tidak bertemu walaupun mereka rutin saling menelepon memberi kabar.
“Semalem saya mimpi, saya bisa bertemu dengan Atik itu“ ujarnya.
„Terus, terus?“ tanya Irwan
„Tapi untuk bertemu dengan dia, saya harus melewati berbagai cobaan. Ada yang dikejar singa, ada yang kepleset ke jurang, ada yang nyangkut di ranting pohon, ada yang kepatok ular...“ lanjutnya.
„Hahaha... lucu amat! Emangnya rumahnya Mpok Atik itu di tengah hutan mang?“ timpalku.
„Heh, jangan bilang begitu. Pamali. Dari kecil mang sudah terbiasa mempercayai mimpi“ lanjut mang Ujang.
„Haree geneee masih percaya mimpi! Kita kan bukan di dunia mimpi mang! Lagian kalau kita percaya mimpi gitu ujung-ujungnya bisa syirik loh...” sahut Thomas.
“Anak muda.. anak muda... “ ujarnya sambil geleng-geleng kepala. “Ya sudah. Antarkan mang mencari teh Atik itu yah. Dia bekerja di sebuah kantor di jalan Thamrin-Sudirman. Ini saya punya nomor hapenya“
***
Sore hari itu kami mencari kantornya teh Atik. Setelah mang Ujang menelepon teh Atik untuk mengajak bertemu, mobil kami segera meluncur ke tempat tersebut. Sepanjang perjalanan kami sering senyum-senyum sendiri melihat ekspresi wajah kagum mang Ujang sambil menatap gedung-gedung tinggi dan bangunan-bagunan kedutaan yang megah di kota ini.
Kota Jakarta sore hari. Apalagi kalau bukan macet mewarnai setiap sudut jalan. Satu jam kami terjebak macet karena kami salah mengambil jalan. Ini semua karena mang Ujang ingin melihat bangunan kedutaan Aljazair di depan sana. Akibatnya kami berkutat dengan kemacetan dan sulit mencari jalan memutar balik. Hmmm... mungkin ini cobaan pertama seperti yang dikatakan mang Ujang dalam mimpinya. Ah! mana mungkin kayak begituan harus dipercayai, pikirku. Ini hanya sebuah kebetulan saja.
Setelah lepas dari kemacetan kami menuju ke jalan Thamrin. Dan tahukah apa yang terjadi? Mobil kami melanggar rambu lalu-lintas di sana!
“Prriiiiiiiittt….” Peluit pak Polisi berbunyi ke arah mobil kami. Irwan yang sedang mengendarai mobil panik. Kami juga menjadi panik.
“Selamat sore. Anda melanggar rambu lalu lintas di sini. Anda tidak boleh melewati jalur ini. Apa Anda tidak melihat rambu di sana?” kata pak Polisi.
“Aduh Pak! Maaf deh... damai getoh loh... kita buru-buru nih Pak!” ujar Irwan dalam kepanikan.
“Oke, tolong tunjukkan SIM dan STNK Anda” perintahnya.
Segera Irwan membuka dompetnya, namun ia tidak menemukan STNKnya di sana. Irwan semakin panik. Segera ia mengacak-acak isi mobil.
“Tenang Wan!” seruku. “Coba cari lagi di dompet. Kali aja nyelip”
Dan benar saja, STNK Irwan berhasil ditemukan di dompet itu.
“Sekarang SIMnya mana?” tanya pak Polisi lagi.
Keringat dingin Irwan mengalir. “Ketinggalan di rumah, Pak“
„Ketinggalan atau memang nggak punya?“
Aku baru ingat, dua tahun lalu Irwan pernah kehilangan dompetnya. SIMnya juga ikut hilang. Dia tidak bisa mengurusnya lagi karena ia tidak punya fotokopi SIMnya.
Setelah memarkir mobil di belokan yang menghubungkan jalur lambat dan jalur cepat di jalan Sudirman, di mana semua bis dan mobil mengklakson karena keberadaannya di sana mengganggu lalu lintas, Irwan dan aku turun menghampiri polisi itu untuk menyelesaikan urusan.
„Gimana nih, Anda mau bayar denda atau ke pengadilan?“ tanya Polisi itu.
“Udah pengadilan saja, Pak” ujarku. Aku mau proses hukum yang sebenernya *deu... gaya bener!*. Nggak ada dong istilah sogok-menyogok.
Akhirnya urusan dengan polisi itu selesai juga. STNK Irwan ditahan. Mang Ujang bersama Thomas yang dari tadi di dalam mobil juga ketakutan menghadapi bentakkan para supir bus karena parkir sembarangan.
„Apa kata saya. Akan banyak cobaan!“ seru mang Ujang.
***
Sejak kejadian itu, kami semua menjadi drop. Konsentrasi Irwan menyupir jadi terpecah belah. Yang semestinya belok malah lurus. Yang semestinya masuk jalur lambat malah masuk ke jalur cepat. Akhirnya kami terdampar di halaman parkir Plasa Senayan.
“Tik, kita bertemu di sini saja deh“ kata mang Ujang.
“Kenapa lagi, Jang?” sahut suara di ujung telepon sana.
“Nyasar Tik!”
“Hahahahaha... oke, sepuluh menit lagi aku di sana”
Tepat sepuluh menit muncul sosok dengan jilbab merah, kemeja merah, rok panjang, sendal jepit dan tas tentengan warna hijau. Inilah teh Atik.
“ Aduh Ujang. Tujuh tahun tak jumpa tak ada yang berubah yah dari diri kamu! Tetap gendut!” Sahutnya sambil tertawa renyah. “Oke. Kita shalat maghrib dulu baru deh kita jalan. Mau kemana nih? Nonton? Makan?”
***
Karena Irwan masih dalam kepanikan, maka selanjutnya teh Atik lah yang menyupir. „Aku ini supir yang handal lho!“ ujarnya.
Kami tertawa bersama mengingat cobaan yang kami alami sore tadi. Malam itupun kami masih merasakan cobaan-cobaan datang. Contohnya, kami ingin menuju Blok S untuk makan malam. Perjalanan yang kami tempuh serasa sudah mengelilingi kota Jakarta bolak-balik. Tapi ternyata, letak Blok S adalah di belakang kantornya teh Atik dan dapat ditempuh dengan jalan kaki selama lima menit!
Mang Ujang... walaupun teori mempercayai mimpinya ngasal, dengan dia kami jadi mendapatkan pengalaman seru di sore itu!
3 comments:
Asskum..
Mas, tega bener lo mas...
entar gue aduin ke mang ujang lho--
btw gimana kabar mang ujang di sana?? baik2 kan?,
Bilangin mang ujang, entar kita jalan2 bareng deh mang, aye tunjukin betawi..
btw, ir*an masih aja nggak berubah dari dulu, KETANGKEP terus sama POLISI!!..dari ketabrak, nabrak, ditabrak, ditubruk, diserempet, sampe nabrak abang2 ketoprak! huhuhu...
btw, irwan dimarahin lagi nggak sama bokapnya?
ooh iya jangan ke bogor dulu dong!, tungguin gue..gue ikut!
WassaLam
Hihihi... Kyanya gw tau d Irwan itu siapa ^^^;;
Btw, truz pas di sidangnya gmana? Lanjutin critanya yaa!! *wink wink*
HAHAHAHA.... aduh ancur... ancur... kalo sampe gue dipecat dari kantor gara2 cekikikan pas bacain blog anak2 keluarga Broto semacam ini, SIAPA YG TANGGUNG JAWAB??? mang Ujang aja kali ya gue mintai pertanggungjawabannya ;;)
Btw, kisah di warnet kok gak dimasukin sih? gue rasa itu representasi dari "mimpi digonggongi tyranosaurus" hehehe...
Post a Comment