Setiap detik adalah makna, setiap masa adalah rasa, sulit membayangkan bahwa manusia tidaklah istimewa, perjalanan kita, dalam arus debu aksara - Dimas Abdirama
Thursday, April 29, 2010
Tuesday, April 13, 2010
Prosa Mata dan Sajak Hati Tak Berima
Prosa Mata dan Sajak Hati Tak Berima
Oleh: Dimas Abdirama
Sebulan lagi aku akan menjadi orang buta. Benar, sebulan lagi dokter akan mengangkat kedua bola mataku akibat kanker di belakang retina yang makin membahayakan jaringan otak. Semuanya berlangsung sangat cepat, belum ada dua bulan, hingga mataku terasa semakin rabun dari hari ke hari, dan kacamata setebal pantat botol ini sudah tak mampu lagi mengimbangi pandanganku yang lamur.
Terguncang? Jelas. Sedih? Pasti. Berita itu sudah cukup membalun jiwa dan ragaku seremuk-remuknya. Tapi toh untuk apa lagi? Semuanya harus terjadi. Aku hanya punya dua pilihan, kehilangan mata atau kehilangan nyawa. Memang, kehilangan mata terdengar seperti kehilangan nyawa. Bukankah tanpa mata aku tak punya lagi cita-cita? Mau melanjutkan kuliah ini? Bagaimana bisa! Mau menjadi ilmuwan dan dosen untuk membangun Indonesia? Ah, mimpi! Tubuh bacul ini hanya berujung menjadi seorang tuna netra, berharap akan ada nasib baik yang bisa membuatku bertahan sampai hari tua nanti.
Aku tidak lagi sebagas dan sebahaduri itu. Rama yang menyadarkanku. Mungkin ada sekian banyak dosa yang aku perbuat hingga Tuhan mengambil titipannya yang sangat berharga ini pada diriku. Rama menggeleng, „Justru ini bentuk kasih sayang Tuhan kepadamu, san!“ kata Rama. Aku berupaya mencerna. „Lihatlah betapa banyak orang yang tersembab dalam jurang dosa karena pandangan matanya.“
Oleh: Dimas Abdirama
Sebulan lagi aku akan menjadi orang buta. Benar, sebulan lagi dokter akan mengangkat kedua bola mataku akibat kanker di belakang retina yang makin membahayakan jaringan otak. Semuanya berlangsung sangat cepat, belum ada dua bulan, hingga mataku terasa semakin rabun dari hari ke hari, dan kacamata setebal pantat botol ini sudah tak mampu lagi mengimbangi pandanganku yang lamur.
Terguncang? Jelas. Sedih? Pasti. Berita itu sudah cukup membalun jiwa dan ragaku seremuk-remuknya. Tapi toh untuk apa lagi? Semuanya harus terjadi. Aku hanya punya dua pilihan, kehilangan mata atau kehilangan nyawa. Memang, kehilangan mata terdengar seperti kehilangan nyawa. Bukankah tanpa mata aku tak punya lagi cita-cita? Mau melanjutkan kuliah ini? Bagaimana bisa! Mau menjadi ilmuwan dan dosen untuk membangun Indonesia? Ah, mimpi! Tubuh bacul ini hanya berujung menjadi seorang tuna netra, berharap akan ada nasib baik yang bisa membuatku bertahan sampai hari tua nanti.
Aku tidak lagi sebagas dan sebahaduri itu. Rama yang menyadarkanku. Mungkin ada sekian banyak dosa yang aku perbuat hingga Tuhan mengambil titipannya yang sangat berharga ini pada diriku. Rama menggeleng, „Justru ini bentuk kasih sayang Tuhan kepadamu, san!“ kata Rama. Aku berupaya mencerna. „Lihatlah betapa banyak orang yang tersembab dalam jurang dosa karena pandangan matanya.“
Subscribe to:
Posts (Atom)