Persis di tengah kota Berlin.
Brandenburger Tor berhias pantulan cahaya emas. Temperatur udara berada di bawah nol derajat.
Dengan pakaian batik, celana bahan hitam yang di bagian lututnya sudah memutih, sepatu pantoffel yang kurang nyaman, jaket hitam dan ransel, aku memasuki salah satu hotel termewah di kota ini, Adlon, tepat di hadapan Brandenburger Tor.
Setelah menyerahkan tas dan ransel, aku melihat sekitar, mencari toilet dan membiasakan diri. Sebelum dipersilahkan masuk ke ballroom, aku menyempatkan diri duduk di café lobi hotel. Sekadar duduk, tidak memesan apapun, karena aku tahu secangkir teh berharga sama dengan lima kilo daging.
Beberapa tamu undangan yang lain mulai berdatangan, berpakaian bagus-bagus. Sebelum masuk ke ballroom, aku datangi lagi toilet di seberang yang lain, mencoba sabun mewah dan lotion kulit yang disediakan di sana.
Tamu undangan dan aku dipersilahkan masuk.
Aku berada di meja nomor empat. Beberapa pelayan berpakaian jas dan dasi kupu-kupu mulai bertugas melayaniku. Ditariknya kursi, diselempangkan serbet berwarna pastel di pangkuanku. Dua buah lilin putih dinyalakan, tangan mereka menuangkan air putih dengan cekatan.