Monday, May 22, 2006

Setitik Embun Mas Fathan

Kategori: Cerpen

Namanya mas Fathan, umurnya sepuluh tahun lebih tua dariku. Aku berkenalan dengannya ketika pertama kali menginjakan kaki di Jerman, dua tahun yang lalu.
„Ini yang namanya Bintang, ya?“ tanyanya dengan mata yang menyipit akibat senyumnya yang manis. „Saya Fathan.“
Pertemuan pertama di bandara Tegel, Berlin. Kala itu mas Fathan yang membawa koperku yang super berat.
„Ini istri saya, Mawaddah. Kalau yang ini Annissa. Ayo, Annissa, salam sama om Bintang,“ ucapnya memperkenalkan keluarganya.
„Kalau yang di kereta bayi itu... anak mas Fathan juga?“ tanyaku membalas.
„Masa anak orang sih. Kan yang ngedorong keretanya istri saya. Namanya Faisal, baru lima bulan,“ jawabnya hangat. Mbak Mawaddah hanya tersipu-sipu mendengar pertanyaan basa-basiku. „Selamat datang di Jerman, di sini tempat perjuangan Bintang.“

Namanya mas Fathan, yang meminta aku menganggap keluarganya seperti keluargaku sendiri. Mas Fathan adalah teman SMA om Jeffri – adiknya ayah yang tinggal di Cirebon. Jadi jangan heran, kalau ayah menitipkan aku padanya.
„Bintang, sampai kamu dapat rumah, tinggal dulu bersama kami. Wohnung kami tidak begitu besar, tapi nyaman kok. Anggap saja rumah sendiri. Saya sedang mengusahakan sebuah apartemen untuk Bintang di daerah Wedding,“ katanya.
Baru sehari aku tinggal bersama mereka, aku sudah merasa betah. Mbak Mawaddah hobby masak. Tiap saat ada yang keluar dari dapur. „Sudah mbak, nggak usah repot-repot. Baru satu jam yang lalu disuguhin risol, martabaknya nanti malam saja,“ kataku. Dia hanya tersenyum sambil berkata „nggak repot kok, kan dimakan bareng-bareng,“.
Annissa juga cepat dekat denganku. Umurnya empat tahun, saat ini masih di Kindergarten. Bahasa Jermannya jauh lebih jago dari pada aku yang masih tersendat-sendat kalau bicara. Kegiatanku tiap pagi: mengantar Annissa ke Kindergarten.

Namanya mas Fathan, saat ini sedang mengambil doktoran di Freie Universität Berlin. Katanya, tak kurang dua tahun yang lalu beliau menyelesaikan studi diplomnya di jurusan Elektrotechnik. Jadi namanya sekarang adalah Dipl.-Ing. Fathan Wibowo. Mbak Mawaddah tinggal satu semester lagi menyelesaikan program masternya. Hebatnya, mereka berdua tidak kesulitan mengatur waktu untuk mengurus Annissa dan Faisal.
„Yaa, Bintang sudah dapat apartemen yah, Mas? Jadi sepi deh sekarang,“ kata mbak Mawaddah kecewa.
Iya, mas Fathan berhasil mencarikan aku sebuah apartemen yang murah. Sedih juga sih, karena aku tidak lagi bisa mengantar Annissa ke Kindergarten atau bermain-main dengan si kecil Faisal.

Namanya mas Fathan, aku begitu merindukan saat-saat bersama keluarga muda itu. Namun walau begitu, mas Fathan sering datang berkunjung ke apartemenku membawa makanan-makanan kecil buatan mbak Mawaddah.
„Saya tahu, Bintang sedang sibuk Studkol. Mahasiswa kayak Bintang kan males masak,“ katanya. Aku hanya cengar-cengir saja mendengarnya. „Nih, saya disuruh Mawaddah mengantarkan pempek laksan. Hasil eksperimen dia katanya,“.

Namanya mas Fathan, yang selalu tersenyum dan menjabat tanganku erat ketika bertemu. Melihat mas Fathan, aku serasa menjadi semangat ibadah. Habis, tiap maghrib dia selalu menyempatkan ke masjid. Tiap di U-Bahn, dia suka membaca Al-Qur’an. Tiap berbicara, kata-katanya tak jauh dari soal Islam. Koleksi buku-buku di rumahnya pun adalah buku-buku Islam. „Bintang suka baca novel?“ tanyanya. Aku mengangguk. „Saya suka sekali novel-novel Agatha Christi, Dee Supernova, atau Dan Brown,“ jawabku. „Wah, saya juga senang dengan novel-novel itu! Hmm, pernah baca novel yang kayak gini?“ lanjutnya. Aku melihat novel itu yang tak lain tak bukan adalah novel islami.

Namanya mas Fathan, yang berperan dalam proses sosialisasiku di Berlin. Aku tidak mengenal siapa-siapa ketika pertama kali di sini, lalu beliau mengajakku ke masjid Al-Falah, sebuah masjid Indonesia di Berlin, dan memperkenalkanku kepada komunitas muslim di kota ini. Di sini, aku menemukan ikatan ukhuwwah yang benar-benar erat satu sama lain. Aku baru menyadari manisnya islam justru di sini. Ya, di sini, di negara yang bukan mayoritas muslim!

Namanya mas Fathan, aku kenal benar dengan kehidupan ekonomi keluarganya yang cukup sederhana. Namanya juga mahasiswa, mas Fathan harus menghidupi istri dan dua orang anaknya. Walaupun dia dapat gaji dari Universitas, tapi dia juga harus melakukan kerja tambahan untuk dapat survive di sini. Aku melihat sosok mas Fathan yang bertanggungjawab, ulet, dan dapat membagi waktu dengan baik. Suatu ketika mas Fathan datang ke apartemenku bersama Faisal yang kini sudah bisa berjalan. Ia membawa sebuah ransel biru muda untuk membawa laptop.
„Apa ini, mas?“ tanyaku keheranan.
„Hadiah untuk Bintang yang sudah lulus Studkol dan masuk Uni,“ katanya sambil tersenyum. „Saya beli di Ebay kok. Murah. Kan Bintang belum punya tas laptop. Nanti di Uni, para mahasiswa sering membawa laptopnya ke kampus.“ Lanjutnya. Aku terharu atas hadiah insidental dari mas Fathan ini. Aku sadar, mas Fathan seharusnya menyimpan uangnya untuk dibelikan hal lain yang lebih penting seperti susu untuk Faisal atau lainnya, bukan untuk ransel ini. Mas Fathan benar-benar menganggap istimewa diriku, sehingga ia memberikanku sebuah hadiah.
„Terima kasih banyak, mas. Oh ya, gara-gara novel islami yang mas Fathan pinjamkan ke saya, sekarang saya jadi senang menulis lho. Hehehehe,“ kataku.
„Oh ya? Wah, saya mau baca dong! Masukin dong ke USB-Stick saya!“ katanya bersemangat.

Namanya mas Fathan, tiba-tiba bertemuku di depan Deutsche Bank.
„Wah, lagi nabung yah, Bintang?“ tanyanya.
„Eh, nggak kok mas,“ jawabku singkat sambil memandangi kertas Kontoauszug. Pasalnya, ayahku belum mengirimi aku uang untuk membayar Semesterticket di Uni, padahal pembayaran terakhir adalah lusa.
„Kok, murung, Bintang? Ada apa?“ tanyanya.
„Mmmm, nggak ada apa-apa kok, mas. Saya sedang menunggu kiriman uang dari ayah untuk membayar Semesterticket, tapi sampai sekarang uangnya belum datang,“jawabku.
Segera mas Fathan menarik tanganku menuju mesin ATM. „Berapa yang kamu butuhkan?“ tanyanya.
„Nggak usah mas, nggak usah, nanti saya telepon ayah saja,“
„Bintang, saya ini saudaramu. Saya ingin menjadi orang pertama yang membantu saudaranya. Bintang boleh menggantinya kapan saja. Berikan saya kesempatan menolong saudara yang saya cintai ya,“ katanya.
Ah mas Fathan, terharu aku saat itu.
„Tapi mas, mas sudah terlalu banyak membantu saya. Saya tahu mas juga punya keluarga. Saya nggak tahu gimana cara membalas kebaikan mas Fathan,“ kataku bergetar sambil menahan air mata yang sudah ingin mengalir.
Mas Fathan – kakakku – hanya tersenyum. „Belajar yang rajin, dan tunjukkan Bintang berhasil sekolah di sini, maka saya akan senang,“ katanya.

Namanya mas Fathan, suatu ketika aku dapat surat dari Indonesia. Tepatnya dari sebuah majalah islam yang terbit di sana. Isinya mengucapkan terimakasih atas cerpen-cerpen yang dikirimkan ke mereka. Mereka telah mengirimkan royaltinya ke rekeningku, dan meminta aku untuk mengirimkan cerpenku lagi. Aku segera ke bank, dan benar saja, sejumlah uang yang tidak sedikit masuk ke rekeningku. Aku bersyukur karena uang itu bisa memenuhi kebutuhanku selama sebulan.
Lantas aku menelepon pihak majalah untuk bertanya siapa yang mengirimkan naskah cerpen-cerpenku itu, karena aku tidak pernah mengirimnya. Kata mereka, dari seseorang bernama Fathan Wibowo.

Sudah dua minggu ini aku tidak bertemu mas Fathan. Ia juga sudah jarang ke masjid ketika shalat Maghrib. Aku langsung bertanya-tanya, apakah dia sakit, atau Annissa dan Faisal yang sakit. Kuputuskan untuk segera ke rumahnya.

Namanya mas Fathan, berseri-seri menyambut kehadiranku di rumahnya.
„Apa kabar?“ sapa mbak Mawaddah dibalik jilbabnya sambil menyuapi Faisal.
„Alhamdulillah baik. Mas Fathan dan mbak Mawaddah apa kabar? Kok jarang keliatan dua minggu ini? Saya kira sakit,“ tanyaku.
„Kami baik-baik saja kok,“jawab mas Fathan lalu mempersilahkan aku duduk.
„Mas, terimakasih yah telah mengirimkan cerpen-cerpenku,“ kataku.
„Oh? Sudah terbit ya? alhamdulillah, maaf yah Bintang saya lancang tidak memberi tahu dulu,“ jawabnya.
Aku melihat sekeliling, rumah mas Fathan tampak beda sekarang. Ya! tampak beda! Beberapa barang-barang di rumah itu sudah disimpan di dalam kardus.
„Lho, mas Fathan mau pindahan ya?“ tanyaku. Ia terdiam, sebelum sesaat kemudian berkata.
„Saya sekeluarga akan pulang habis ke Indonesia minggu depan,“
Bagaikan ditimpa sebongkah batu besar, aku membisu mendengar jawaban dari mas Fathan. Semua persaan bercampur. Kaget, kecewa, dan penuh tanya.
„Pulang habis? Ke Indonesia? Minggu depan? Kenapa mas? Kenapa?“ tanyaku meronta-ronta seperti anak kecil.
„Izin perpanjangan visa saya entah mengapa ditolak. Jerman menyuruh kami pulang, Ausländerbehörde tidak memberikan izin tinggal lagi. Saya harus menghentikan program doktoran saya, tapi tidak mengapa, toh gelar Diplom-Ing sudah saya dapatkan. Mawaddah juga sudah selesai dengan kuliahnya. Jadi, kita pulang for good,“
Wajahku memerah padam. Aku kecewa.
„Saya kecewa, mas. Mas Fathan sendiri yang bilang saya adalah saudara mas. Tapi kenapa saya tidak diberitahu tentang hal ini. Mas sendiri yang bilang, jadilah orang pertama untuk membantu saudaranya, tapi kenapa saya tidak dibiarkan melakukan hal itu, mas? Saya tahu, saya tidak bisa berbuat apa-apa dalam urusan visa, tapi paling tidak, saya bisa membantu mas dengan doa,“ kataku dengan air mata yang tak lagi terbendung.

Hening seketika pada sore di rumah itu.

„Maafkan saya Bintang. Saya salah. Ada alasan mengapa saya tidak ingin memberitahu Bintang. Bintang baru satu semester di Universitas, perjalanan Bintang masih panjang. Saya tidak mau Bintang menjadi jatuh semangat mendengar kabar ini. Ausländerbehörde tidak bisa ditebak. Jika mereka menyuruh kita pulang, maka kita pulang tanpa harus tahu alasannya. Saya ingin Bintang tetap optimis menuntut ilmu di sini. Itulah mengapa saya tidak ingin memberitahu Bintang,“

Aku pulang, lebih baik aku mendinginkan diri dulu setelah mendengar kabar ini.

Namanya mas Fathan, satu Berlin juga heboh mendengar berita kepulangan keluarga mas Fathan yang mendadak. Mereka juga merasa kehilangan sosok keluarga itu. Siapa yang tidak kenal mas Fathan dibalik kesolehan dan kesupelannya. Kini takdir memisahkan kita, secepat ini.

Bandara Tegel, tempat pertama aku bertemu dengannya, tempat mas Fathan menjemputku, kini juga tempatku mengantar mas Fathan. Kulihat orang-orang yang mengantar kepulangannya seperti ingin berlama-lama memeluk dan mengucapkan salam perpisahan dengannya. Tak lama, matanya menuju ke arahku, dan menghampiriku.

„Bintang, jangan khawatir, kalau Bintang liburan ke Indonesia, pasti Bintang bertemu kami lagi. Saya ingin berpesan kepada Bintang, berjanjilah untuk membawa kesuksesan dalam studi Bintang. Jangan sekali-kali Bintang jauh dari Allah, karena Dia-lah tempat kita menggantung segala urusan kita. Tugas Bintang di sini adalah belajar. Maksimalkan belajar Bintang dan serahkan setelahnya kepada Allah. Insya Allah, Bintang akan berhasil. Semangat ya!“ katanya ceria.
Namanya mas Fathan, sebentuk pelajaran telah banyak saya dapatkan selama saya mengenalnya. Doakan saya berhasil di sini, mas!

Berlin, 21 Mei 2006
Mushab Syuhada.

Daftar Istilah:
1. Wohnung: Tempat tinggal
2. Kindergarten: Taman Kanak-kanak
3. Studkol: Studienkolleg, sekolah kelas 13 - prauniversitas
4. Uni: Universität, Universitas
5. Kontoauszug: Kertas keadaan rekening bank
6. Semesterticket: Tiket transportasi untuk satu semester
7. Ausländerbehörde: Instansi pemerintah keimigrasian

1 comment:

Anonymous said...

Hm...kok jadi terasa ikut terbawa nuansa nostalgia nih :D