Monday, December 19, 2005

Kedewasaan

Kategori: Curhat

„Pada umur berapa orang Indonesia sudah dikatakan dewasa?“ tanya salah satu temanku, Kazaoki, ketika kami makan siang bersama di mensa. „Tujuh belas“ jawabku. Dia mengerutkan dahi. „Di Jepang umur segitu masih tergolong muda“ jawabnya. Aku membalas seadanya, „Orang Indonesia baru mendapatkan Kartu Tanda Penduduk ketika berumur tujuh belas“.

Memang standar umur kedewasaan di setiap negara itu berbeda. Di Jerman misalnya, seseorang baru dikatakan dewasa ketika berumur delapan belas tahun. Waktu aku pertama kali menginjakkan kaki di Jerman, umurku masih tujuh belas tahun. Memang agak sulit prosedur untuk ‚anak di bawah umur’ seperti aku ini. Contohnya ketika meng-apply visa, aku harus melampirkan surat keluarga, fotokopi KTP ayah dan ibuku, sampai akte kelahiran. Teman-temanku yang kala itu sudah delapan belas tahun keatas tidak perlu melampirkan surat-surat tersebut.

Sesampainya di Jerman pun masih sulit. Aku tidak bisa membuka rekening di bank karena umurku yang belum penuh. Akhirnya aku ‚numpang’ dengan rekening temanku untuk sementara waktu. Di Jerman, seseorang baru mendapat kartu tanda penduduk, boleh berpisah rumah dengan kedua orang tuanya, boleh membuka rekening di bank, dan boleh boleh lainnya, jika orang itu benar-benar telah berumur penuh.

Empat hari yang lalu aku membantu pindahan seorang teman, namanya David, orang Jerman asli. Umur kami hanya terpaut satu tahun. Saat ini dia berusia dua puluh tahun. Dia berperilaku selayaknya remaja-remaja seusia kami. Di hari itu aku sempat satu mobil yang dikendarai oleh temannya (bernama Daniel). Kebut-kebutan, membicarakan merek mobil, dan membahas pelajaran-pelajaran di kampus mengisi perjalanan kami. Singkat kata, mereka masih berjiwa remaja, tetapi mereka sudah tinggal terpisah dengan orang tuanya dan menentukan hidup mereka sendiri.

Sebenarnya, apa sih definisi kedewasaan? Menurutku, kedewasaan itu ada dua bentuk. Kedewasaan psikis dan kedewasaan biologis. Dan kebanyakan orang cenderung lebih melihat kedewasaan biologis. Contohnya ya itu tadi, ketika aku belum bisa membuat rekening bank karena umur yang tidak memungkinkan, berarti pihak bank melihat patokan sebuah kedewasaan dari segi biologis.

Kedewasaan psikis tak jarang sudah lebih dulu hadir sebelum kedewasaan biologis. Seperti contoh kisah dari seorang khalifah dari dinasti Ummayah – Umar bin Abdul Azis, yang pada umur 24 tahun telah diberi kepercayaan menjadi gubernur Madinah dan beberapa tahun berikutnya menjadi pemimpin dinasti Ummayah yang membentang dari Samudra Atlantik sampai dengan Dataran Tinggi Pamir.

Agaknya sulit memisahkan antara kedewasaan biologis dengan kedewasaan psikis. Keduanya dituntut berkembang secara bersamaan. Dan hal itulah, menurutku lagi, adalah salah satu tugas yang cukup berat dalam kehidupan, dimana kita harus menyelaraskan kedua kedewasaan yang kita miliki, melalui beragam proses dan tahap yang tiap saat kita alami.

Wallahu’alam bishawab.

Thursday, December 15, 2005

Mengapa Saya Suka Menulis?

Kategori: Curhat

Artikel kali ini bisa dibilang tidak begitu penting, karena hanya mengulas mengapa saya senang menulis. Bagi yang tidak tertarik untuk mengetahui seluk beluk diri saya atau siapakah saya, lebih baik tunggu saja artikel-artikel lain yang akan muncul di blog ini (hehehe). Tapi bagi yang neugirig tentang kehidupan saya dan ingin mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya tentang saya (mungkin kalian adalah secret admirer saya... hehehe) silahkan baca tuntas artikel ini.

Semua diawali dari tahun 2002, saya mulai senang membuat puisi. Mungkin saya adalah salah satu korban pemutaran film Ada Apa Dengan Cinta (2002) yang menyihir para remaja di ibukota dan tempat-tempat lainnya menjadi puitis. Berdasarkan hasil survey (dari mana sumbernya lupa) penjualan buku-buku puisi dan sastra Indonesia meningkat tajam pasca pemutaran film AADC. Sebutlah salah satu teman SMA saya, berinisial AA, jadi seperti Rangga (tokoh di AADC – red) yang suka nulis-nulis puisi di buku harian. Itu baru satu contoh. Contoh yang lain masih banyak. Jika kalian berasal dari salah satu SMA di Jakarta, pasti kalian banyak menemukan kasus-kasus yang serupa dengan ini bukan? Atau jangan-jangan kalianlah salah satu pelaku dalam kasus tersebut?

Fenomena ini membuat senang guru-guru Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah-sekolah. Sebuah semangat melestarikan bahasa, pikir mereka. Berikut saya beri contoh salah satu tipikal puisi yang dibuat murni oleh beberapa remaja saat itu.
Dalam denting aku terdiam
Dalam kokoh aku rapuh
Sayup sayup suaramu
Meratakan perasaan di balik para sanubari
Lempar saja tubuhku dalam api
Biar terbakar sampai berabu


Tapi semangat saya menulis puisi saat itu bukan dipengaruhi oleh pemutaran film AADC. Menurut psikologi, saya ini termasuk golongan orang Ginestetik, yang banyak bermain dengan perasaan. Saya ingin mengungkapkan sesuatu, yang saya tidak berani (oleh karena beberapa alasan) mengungkapkannya secara gamblang. Jadilah saya mencari jalan lain untuk mengungkapkanya, dengan bermain kata-kata dan menyusunnya dalam kalimat-kalimat sederhana, padat, namun bermakna. Ya puisi itu.

Ketika tahun 2002, umur saya masih 16 tahun. Egoisme remaja masih bergejolak. Perasaan-perasaan seperti cinta, persahabatan, amarah, dan lainnya begitu banyak datang dan membekas. Sehingga ingin rasanya untuk meluapkannya lewat tulisan yang bisa dinikmati kapan saja. FYI, saya juga termasuk orang yang menulis buku harian lho. Dari tahun 2001, tiap hari hidup saya selalu saya tulis di buku harian. Sampai September 2005, tepatnya setelah kembali lagi ke Berlin, saya memutuskan untuk tidak melanjutkan mengisi buku harian lagi. Semua terekam jelas. Hari ini saya sedang apa, pergi kemana saja, bertemu siapa saja, lengkap tertulis di buku harian. Mungkin itu juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan saya senang meluapkan perasaan melalui menulis.

Puisi itu simpel. Tapi maknanya dalam. Dan intrepetasi orang bisa berbeda karena keluasan maknanya. Puisi itu bisa merekam getaran rasa, dan keadaan si pembuat puisi, dan bisa mengatakannya kepada si pembaca. That’s why I like writing and reading poem!

Trend pun berubah, seiring berkembangnya jaman. Saya masih senang membuat puisi tapi tidak sesering dulu. Sekarang saya lebih suka memperhatikan. Tepatnya memperhatikan karakter orang-orang di sekeliling. Saya hidup di berbagai komunitas. Contohnya komunitas Indonesia dan komunitas kampus. Di kampus sendiri, tidak hanya orang Jerman, tapi juga orang-orang dari negara-negara lain. Mereka membawa karakter-karakter yang berbeda dan punya keistimewaan. Dari situlah saya berimajinasi (FYI, berimajinasi adalah salah satu hobby saya) untuk mempertemukan si pemilik karakter A dengan si pemilik karakter B dalam dunia yang saya buat sendiri lengkap bersama problematika yang muncul di antara keduanya. Jadilah Cerpen atau cerita pendek. Tidak dapat dipungkiri, bahwa cerpen itu banyak berdasarkan kisah nyata yang dialami oleh si pembuat cerpen, dengan perubahan seperlunya. Contohnya, jika dalam kehidupan nyata orang yang memiliki karakter A berjenis kelamin perempuan, saya buat dalam cerpen saya berjenis kelamin laki-laki. Atau saya menempatkan diri saya bukan sebagai tokoh utama, melainkan sebagai tokoh pendukung, dan lain sebagainya.

Intinya, dengan menulis, saya memiliki tempat untuk meluapkan berbagai rasa yang ada dalam diri saya. Saya selalu beranggapan bahwa menulis merupakan salah satu bentuk seni, walaupun anggapan saya ini lebih banyak cenderung lari dari kenyataan, bahwa saya tidak punya aliran seni apapun dalam tubuh saya... hehehe... ayah saya seniman sekali, tapi saya tidak bisa bernyanyi, bermain alat musik (padahal di kamar saya di Jakarta ada sebuah gitar, tapi bukan saya yang banyak memainkannya, melainkan ayah saya atau teman-teman saya), atau melukis atau juga fotografi. Jadi saya beranggapan, meluapkan rasa melalui bahasa juga termasuk seni. Jadi saya pun juga punya aliran seni. Ya kan?

Namun kita harus ingat, bahwa menulis juga penuh resiko. Dalam e-mail yang saya dapatkan dari seorang teman beberapa hari yang lalu, akrobat kata-kata dan sirkus retorika bisa jadi bumerang untuk diri sendiri yang siap memenggal leher kita sewaktu-waktu, dan juga bisa membuahkan rasa benci pada orang lain dan bukan membuat mereka tambah berkasih sayang. Hmmm...

Biar gimanapun, menulis itu menyenangkan. Yuk banyak menulis!

Sunday, December 04, 2005

Allah Dekat Selalu!

Kategori: Curhat

Ketika hari itu aku merasa sangat dekat denganMu, semua terasa menjadi indah. Aku tak lagi merasa kesepian, karena aku tahu Kau sedang mengamati aku. Aku tidak lagi memiliki rasa takut, karena aku yakin Kau melindungiku. Aku seperti seorang pencinta yang menemukan kekasihnya.

Namun tak lama, rasa itu semakin tak berasa. Aku sadar, bahwa aku semakin jauh dariMu. Bukan Kau yang menjauhiku, tetapi aku yang bergerak mundur menjauhiMu. Kini semua menjadi hampa, hatiku perlahan tumpul, tubuhku dengan sadar melakukan kemaksiatan-kemaksiatan yang dulu tak berani aku lakukan karenaMu.

Aku sadar, Kau lah yang mengendalikan hatiku. Aku selalu memohon padamu, Ya Rabb, wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku untuk selalu berada pada jalanMu. Namun semua masih terlalu sulit. Sulit sekali aku mendekatiMu seperti dulu.

Aku tahu, Kau mencintaiku, oleh karena itu, Kau berikan cobaan-cobaan mengunjungi diriku. Kau uji aku seberapa besar cintaku padaMu. Kini semua aku yang harus menjawab, sanggupkah aku melewati ujianku?

Yaa Rabb, Kau tahu diri ini lemah, tapi aku tahu aku mampu melewati segala cobaan yang Kau berikan, karena tak mungkin Kau berikan cobaan tanpa aku mampu melewatinya.

Aku teringat sebuah lagu yang pernah dinyanyikan di hari ulang tahunku yang ke-18. Memang tak pantas lagu itu menggambarkanMu berkata dan menjawab, namun setidaknya, lagu itu membangkitkan kembali rasa cintaku pada-Mu, dan berharap dapat memberikan semua jiwa raga secara utuh untukMu.

Pernah aku bertanya
Allah, Engkau di mana?
Dia pun berkata
Aku dekat saja
Pernah aku bertanya
Allah, Engkau di mana?
Dia pun menjawab
Aku dekat selalu
Segala langkah yang kutempuh hendak lah tuju pada-Nya
Karena jika bukan karena-Nya, semua kan tersia
Bila kuluruskan niatku, Allah kan selamatkanku
Kutanamkan dalam hatiku
ALLAH DEKAT SELALU

Tuesday, November 15, 2005

Tata Surya

Autor: Adhipati Yudhistira Indradiningrat

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Apa kabar temen2 semua? Mudah2an tetap istiqomah berjuang di jalan kebenaran. Mudah2an pula perjuangan tersebut mendapat ridha Allah SWT, dan kita pun senantiasa mendapat rahmat-Nya.. amiin.

Jadi ceritanya, saya baru mendapatkan tambahan ilmu setelah membaca salah satu majalah ilmu pengetahuan, yang masya Allah benar2 menambah bukti kekuasaan 4JJ1 SWT. Dan saya ingin membagi ilmu ini sama teman2 semua.. Kalau ada yang ternyata udh tahu, mohon maaf, memang saya yang masih kurang giat mencari ilmu..

Artikel ini berkisar ttg bumi dan tata surya kita. Poin-poin yang mengagumkan tsb adalah :

1. Seperti yang mungkin kebanyakan dari kita sudah mengetahui, tata surya kita (yang di dalamnya ada Bumi tempat kita hidup) "berkelana" dalam galaksi Bima Sakti dengan kecepatan 220 km/detik dengan tujuan yang tak diketahui. Nah, menurut keterangan para ahli astronomi, kemungkinan perjalanan ini selamat tanpa cacat adalah 1 : 1 000 000 000. Dikarenakan, di "tetangga langsung" dr tata surya kita ada satu trilyun Komet, 2 juta asteroid. Ditambah dengan Ledakan-Ledakan Bintang yang dalam beberapa detik saja bisa mengeluarkan beberapa kali lipat energie yang dihasilkan matahari kita selama hidupnya.
Bukankan sangat wajar sekali jika kita bersyukur, dari kemungkinan satu banding semiliar tsb, sampai saat ini masih kemungkinan yang satu alias yang selamat yang terjadi...

2. Pada tanggal 27 Desember 2004 pukul 22.30 dan 36 detik, bumi kita hanya terhindar beberapa derajat dari ledakan bintang yang disebut "Gamma Ray Burst" ini. Total 14 detektor Röntgen dan Gamma di luar angakasa mencatat gelombang yang dalam 0,2 detik mengeluarkan energie yang sebanding dengan energie yang dihasilkan matahari selama 250 000 tahun.

3. Nah, ini yang benar2 membuat saya takjub. Ternyata setiap planet dalam tata surya kita mempunyai peranannya sendiri dalam melindungi bumi. Jadi bukan sembarang "jalan2" di tata surya tanpa maksud. Jika salah satu saja dari planet ini mempunyai orbit yang lain, maka bumi sudah menjadi "planet mati".

Neptun : dgn massanya yang luar biasa besar, dahulu kala (udh kaya dongeng aja.. ;p) Neptun menggeser planet2 yang lain, membuat keteraturan dalam tata surya. Tanpa "dia", planet yang lain akan memiliki orbit yang berbeda, dan tak bisa "melindungi" bumi.

Uranus : Uranus "menagkap" tembakan2 batuan terbesar yang mengarah ke bumi, dan membelokkannya ke arah Kuiperguertel (gak tau nama indonya), suatu tempat diantara Planet2 Luar yang bisa dibilang sebuah "Neverland". Dan dalam tempat itu, btuan2 besar tersebut "berkelana" tanpa menimbulkan bahaya.

Saturnus : Dengan cincinnya, saturnus menahan tembakan2 batuan2 kecil. Tanpa planet ini, bumi akan konstan menjadi sasaran empuk, dibombardir oleh batuan2 tsb.

Jupiter : gaya tarik Jupiter lebih kuat 20 000 kali dari bumi. Dengan itu, planet ini mengubah jalur asteroid2 dan komet2 dan mencegah agar asteroid dan komet tsb tidak mengarah ke bumi.

Mars : memenuhi segala syarat untuk menjadi "Bumi kedua".

Venus : menjadi korban pertama efek rumah kaca dr matahari. Sekarang ini venus adalah objek penelitian terpenting untuk para peneliti iklim. Dalam meneliti akibat2 apa yang dihasilkan dari "kesalahan" iklim.

Merkuri : hanya dalam 88 hari mengelilingi matahari, dan karenanya seperti sebuah pelindung bergerak, menangkap "angin matahari (?? skali lagi, gak tau nama indonya, bhs jermannya Sonnenwind). Bagian2 bermuatan listrik dr Sonnenwind ini dapat mengakibatkan kerusakan besar terhadap bumi.

Bulan (walaupun bukan planet, tp nimbrung boleh kan.. ;p) : peranannya adalah, agar semua region di bumi, walaupun dgn intensitas yg berbeda, disinari oleh matahari secara teratur.

Subhanallah!! Di balik keteraturan yang demikian luar biasa ini pastilah ada "tangan" yang mengaturnya. Dia-lah 4JJ1 SWT yang Maha Kuasa yang telah menciptakan alam semesta dan menciptakan pula keteraturan di dalamnya.

Kalau kita renungi, di saat manusia bermalas2an, bersenang2, having fun di klub2, mal2, party2, tanpa memikirkan apa yang akan ada di kehidupan selanjutnya... planet2 yang ada di tata surya ini selalu "melindungi" bumi ini dengan peranannya masing2, di bwh perintah Allah SWT. Ternyata.. manusia itu memang benar2 bodoh dan egois ya....

Sekian..

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
-u'r brother-

Thursday, November 10, 2005

Bilangan Cinta

Apa yang tersembunyi
Adalah kau, sang bilangan!

Bilangan Cinta
Oleh: Mushab Syuhada



„Karina... Apa kabar?“ sapa sebuah suara laki-laki dari belakang. Karina menoleh, segera ia mengembangkan senyumnya dan membinarkan matanya yang bening.
„Daniel! Kemana saja kau? Aku pikir, kau sudah tak lagi kuliah di TU Berlin!“ balas Karina. Daniel membalas senyum.

Terakhir pertemuan antara Karina dan Daniel adalah satu tahun yang lalu, di Mathe-Gebäude TU Berlin lantai satu, di mana para mahasiswa menghabiskan waktunya untuk berdiskusi atau belajar kelompok. Saat itu Daniel sedang minta diajarkan sebuah soal matematika. Tiba-tiba Sabine datang dengan nafas tersengal-sengal, mengatakan kepada Karina, bahwa pengumuman kelulusan mata kuliah Biokimia telah keluar, dan nomor Karina terpampang di sana. Karina gembira luar biasa, karena dengan begitu ia telah menyelesaikan Vordiplom-nya. Ia dan Sabine berlari menuju pengumuman itu dan meninggalkan Daniel di sana, bersama dengan kertas-kertas soal matematikanya. Dan saat Karina kembali, Daniel sudah tidak lagi ada. Hilang, dan baru bertemu kembali hari ini.

„Kau ada waktu, Karina?“ tanya Daniel.
„Tentu. Sampai jam dua siang, setelah itu aku ada kuliah“ jawab Karina dengan tidak memudarkan senyum di wajahnya.
„Kita ke Cafétaria. Minum kopi, aku yang traktir“
Karina mengangguk.

Karina Wulandari, adalah mahasiswi asli Indonesia jurusan Bioteknologi. Entah bagaimana, tiba-tiba ia kedatangan sosok Daniel Grohmann, mahasiswa Jerman yang mengambil jurusan Teknik Mesin. Mereka satu tutorium di mata kuliah Matematika Analisis tiga semester yang lalu. Daniel, yang tinggi dan selalu mengenakan jaket hitam dan jeans biru itu, menghampiri Karina dan mengutarakan kekagumannya ketika melihat Karina mengerjakan soal trigonometri di papan tulis dan berdebat mengenai keberadaan bilangan tak hingga. Daniel ingin lebih banyak belajar matematika pada Karina. Karina pun menerima dengan senang hati. Mulai saat itu mereka sering bersama, berdiskusi, belajar, dan saling bercerita tentang berbagai hal.

„Mengapa kau menghilang begitu saja, Daniel?“ tanya Karina sambil meneguk kopi pahitnya.
„Aku ingin belajar sendiri, mengejar ketertinggalanku, dan meraih Vordiplom-ku. Agar aku bisa bertemu kau lagi“ jawabnya.
„Ingin belajar sendiri sampai pindah rumah segala? Ganti nomor ponsel segala? Sampai-sampai dunia pun tak tahu di mana kau berada“.
Daniel tersenyum pahit.
„Itulah caraku. Aku datang ke Uni hanya untuk ikut ujian. Selebihnya di rumah“.
„Dan...?“
„Dan sekarang aku telah mendapatkan Vordiplom-ku“ ucapnya sambil menyunggingkan senyum bangga.
„Berjanjilah untuk tidak mengulangi perbuatan itu. Kau butuh bersosialisasi, tidak dengan menghilang menyendiri selama satu tahun. bisa-bisa kau dibilang autis“ ujar Karina, kali ini dengan serius.
„Oh tentu, untukmu aku berjanji“ jawab pemuda berambut pirang itu.
Karina tertegun. Sepertinya ia tersandung pada kata ‚untukmu’ yang baru saja dilontarkan Daniel.
„Untukku?“ tanyanya.
„Ya. Untukmu. Dan aku datang kembali ke sini juga untukmu. Tidak kah kau melihat itu“ lugas Daniel. Karina semakin tertegun. Senyum di wajahnya yang ceria memudar. Perlahan ia mulai gugup.
„Maksudmu?“
Daniel menrik nafas panjang. „Aku mencintaimu dari dulu, Karina. Sekarang aku beranikan untuk mengatakan ini padamu. Aku ingin kau jadi kekasihku“ ungkap sorot mata tajam berwarna biru abu-abu itu.
Karina tertawa. Tawa yang dipaksakan.
„Kau bercanda Daniel, mana mungkin aku jadi kekasihmu. Kau itu tampan luar biasa!“
„Dan kau cantik luar biasa“
Karina terkekeh lagi sambil berputar mencari kata lain.
„Tidak mungkin Daniel, aku ini muslimah. Aku harus shalat lima waktu. Nanti acara nonton kita terganggu“
„Tidak masalah. Aku akan menunggumu menyelesaikan shalatmu“
„Aku ini berjilbab, nanti orang-orang akan memandangmu aneh bila kita berjalan bersama“
„Itu juga tidak masalah. Di Berlin ini sudah banyak wanita berjilbab. Itu hal yang biasa, orang tidak lagi melihat keanehan di sana“.
Karina terdiam sesaat. Meneguk kopinya kembali.
„Daniel, mengapa kau ucapkan ini padaku? Kau pasti sudah tahu apa jawabanku? Aku pikir, kau menganggapku hanya sebatas teman, eine Kommilitonin“ tanya Karina sambil menghela nafas.
Daniel tertunduk. Ada guratan kecewa di sana.
„Kau tahu, bagian matematika apa yang paling aku sukai?“ tanya Daniel berbalik. Karina bingung, mencoba mencari korelasi antara pernyataan cinta dan bagian matematika yang Daniel sukai.
„Geometri. Terutama lingkaran. Kau pernah bilang, bahwa lingkaran itu indah, tidak punya sudut. Walau aku bersikukuh bahwa lingkaran juga memiliki sudut yaitu sudut tak hingga. Kau juga bilang, kalau lingkaran itu serupa obat. Banyak dipakai orang, bermanfaat. Dan katamu juga, bahwa di dalam lingkaran ada sebuah penyusun yang sangat místerius. Tak mampu tertangkap secara utuh. Namun ia ada pada setiap lingkaran“
Daniel tersenyum mendengar jawaban itu. „Ingatanmu hebat, Karina. Karena itulah juga aku mencintaimu. Kau mendengar setiap detail perkataan orang dan memberikan pancaran perhatian. Carilah penyusun misterius pada lingkaran itu, maka kau akan tahu siapa kau di mataku.“
Karina mengerutkan dahi.
„Kau sedang bercanda ya?“
„Tidak aku serius. Gabungkanlah penyusun misterius pada lingkaran itu dengan apa yang kau ajarkan padaku ketika terakhir kita bertemu. Lalu datanglah ke Ku-Damm tepat di sebelah gedung Hugendubel pada tanggal 6 Januari 2005. Rasakanlah“
„Aku tahu kau bercanda. Sudahlah. Sekarang ini tanggal 2 Nopember 2005. mana mungkin aku datang ke masa lalu“
Daniel menggelengkan kepala. Menandakan bahwa ia serius. „Aku yakin kau bisa mendapatkan jawabannya. Aku tunggu seminggu lagi“.

***

Akhir Desember tahun 2004. Daniel datang dari arah Hauptgebäude. Karina sudah menunggunya selama 15 menit di depan Mathe-Gebäude bersama dengan asap-asap rokok mahasiswa-mahasiswa yang sedang berdiri di sana.
„Kemana saja?“ ucap Karina pura-pura kesal.
„Es tut mir leid, aku harus ke toilet dulu tadi“
„Baiklah, kita segera ke lantai satu“

Mereka berjalan menaiki anak-anak tangga menuju lantai satu tempat mereka akan belajar bersama. Hari ini hari Rabu, seperti biasa setiap Rabu dan Kamis mereka meluangkan waktu untuk belajar bersama.

„Karina, ajarkan aku tentang bilangan natural“
„Bukankah aku sudah ajarkan itu padamu minggu lalu?“
„Iya, tapi aku lupa. Aku ini seperti fungsi 1/x. Otakku cuma satu namun dibagi-bagi banyak pikiran, sehingga mudah lupa. Ajarkan aku sekali lagi!“
Karina tersenyum. „Iya kau itu seperti fungsi 1/x tapi pada interval negatif!“ledek Karina. Daniel mengiyakan. Mereka berdua tertawa.
„Kau tahu, jika kau adalah fungsi 1/x, lalu ditambah 1 dan dipangkatkan x, lalu dioperasikan dengan limit x mendekati tak hingga, maka jawabannya adalah e – bilangan natural!“ ujar Karina.
„Benarkah?“ tanya Daniel masih dalam tawanya.
„Coba saja kau hitung sendiri!“

Tiba-tiba datang Sabine, setengah berlari. Perempuan berkuncir ekor kuda dan berkacamata tebal itu menghampiri.
„Karina! Akhirnya aku menemukanmu! Kau tahu, hasil ujian Biokimia sudah keluar! Aku lulus, dan kulihat nomormu juga lulus! Kita lulus Vordiplom! Selamat datang Hauptstudium!“ ujar sabine setengah berteriak sambil lompat-lompat.
„Benarkah?! Alhamdulillah! Segala puji untuk-Mu, Tuhan! Di mana pengumumannya?“
„Di Technische Chemie-Gebäude lantai dua. Ayo ikut aku, kita lihat bersama!“

Mereka berdua segera berlari menuju ke tempat pengumuman itu. Daniel ditinggal sendiri. Walau ia tahu pasti Karina tak lama lagi akan kembali, namun ia memutuskan untuk pergi – pulang ke rumah. Ia kecewa, kecewa karena tidak bisa mengambil Vordiplom-nya semester ini. Namun ia tidak menyesalkan kemampuan dirinya yang kurang untuk mendapatkanl Vordiplom, melainkan menyayangkan karena ia tidak lagi bersama dengan Karina. Tidak lagi pada mata kuliah Matematika Analisis.

„Tunggu aku di Hauptstudium, Karina. Kita akan bersama lagi“ ujarnya pelan. Lalu membereskan kertas-kertasnya, dan pergi, mungkin pergi dalam waktu yang lama. Menghilang sementara bagai tertelan kabut.

***

Karina berada persis di depan gedung Hugendubel di Ku-Damm. Namun pada tanggal 3 Nopember 2005, bukan pada 6 januari 2005 seperti yang diminta Daniel. Ia terdiam. Ia tahu Daniel tidak bercanda. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan.
Dipandanginya sekeliling. Gedung yang bersebelahan persis dengan gedung Hugendubel adalah kantor milik Dinas Meteorologi dan Geofisika Berlin. Di atas gedung itu tertempel sebuah termometer digital besar yang menunjukkan angka 12 derajat celcius.
Karina merebahkan dirinya di bangku besi di ujung jalan. Ia berpikir. Apa yang harus dirasakannya di sini? Mengapa Daniel menyuruhnya merasakan sesuatu di waktu yang lampau? Apa yang ada di balik lingkaran? Dan apa yang diajarkan pada kali terakhir bertemu Daniel?

Karina mendapat satu jawab. Yang diajarkannya pada kali terakhir bertemu Daniel adalah bilangan natural – e. Tiba-tiba, aliran matematis yang muncul dari penemuan bilangan e membawanya ke bilangan irrasional lainnya, π – phi, yang ada dalam setiap lingkaran namun tak dapat tertangkap secara utuh. Sampai kapanpun tak ada manusia yang mampu menemukan akhir dari deretan angka-angka acak di belakang koma sang phi. Hanya Tuhan yang Mahatahu.

Satu pertanyaan lagi, apakah yang harus ia rasakan. Ia memandangi termometer besar di atas gedung itu. Satu lagi jawaban ia temukan. Ia harus merasakan suhu udara di sana pada tanggal 6 Januari 2005. Tinggal bagaimana cara mendapatkannya.

Dengan langkah ragu, ia masuk ke dalam gedung Meteorologi dan Geofisika.
„Selamat siang, saya Karina Wulandari, mahasiswi TU Berlin“ ujarnya sambil menyodorkan kartu mahasiswa.
„Bisakah saya mendapatkan data tentang suhu udara di sini pada tanggal 6 Januari 2005?“
„Ya. Anda bisa mendapatkannya. Apakah ini untuk keperluan studi Anda?“ tanya wanita gemuk itu di balik meja informasi. Karina mengangguk. „Lurus terus dan belok kiri. Silahkan Anda minta pada Herr Rossbach“

Dan Karina mendapatkannya. Suhu udara pada hari itu adalah -1, minus satu.

***

Malam itu sunyi. Di atas tempat tidurnya Karina mencoret-coret tiga bentuk pada kertas usang. Bilangan e, π, dan angka -1. Tak lama ia tersenyum. Ia tahu apa yang diinginkan Daniel. Bilangan imajiner – i. Bilangan yang apabila bersama-sama π menjadi pangkat bilangan natural – e, akan menghasilkan angka -1.

„e dipangkatkan perkalian phi dan i adalah minus satu. Bilangan i – kau lah jawabannya“

***

„Aku sudah dapatkan alasannya“ujar Karina pada pertemuan mereka berikutnya, tepat seminggu setelah daniel memberikan teka-teki itu.
„Apa maksudnya bilangan i?“ tanya Karina
„Ya. kau itu seperti bilangan i. Kau itu terlalu imajiner. Kau ada tapi kau hanya mampu dibayangkan. Maaf, aku bayangkan maksudku. Kau berperilaku sopan pada siapa saja, tak hanya pada orang muslim, bahkan pada orang tak beragama sepertiku. Kau mampu menghormati orang lain, namun kau tidak meninggalkan ideologimu sebagai muslimah. Kau cantik luar dalam, itulah mengapa aku menyukaimu. Namun sekali lagi, kau tak mungkin bisa aku dapatkan, karena kau terlalu imajiner.“
Karina menitikkan air mata. „Kau pasti tahu apa jawabanku Daniel, maaf. Cinta bagiku adalah ikatan suci yang justru akan mendekatkan aku pada Tuhanku. Aku ingin, siapapun kekasihku, bisa membuatku makin cinta pada Tuhanku. Mengertilah.“
„Aku mengerti“ ucap Daniel. Hening sesaat di antara mereka.
„Siapa yang mengajarkanmu ini semua, Karina?“ tanyanya lagi.
„Agamaku“
„Aku tidak mengenal agama sejak lahir. Namun ideologimu yang kuat membuat aku tertarik melihat apa agama itu“

Danielpun kembali menghilang. Di hari itu, di musim gugur, seperti tertiup angin bersama dengan dedaunan yang rontok. Karina bergumam dalam hati, aku adalah bilangan imajiner dan Daniel adalah fungsi 1/x di interval negatif. Seketika ia merinding. Fungsi 1/x dalam interval negatif berjalan menuju ke minus tak hingga dan nol. Apakah minus tak hingga dan nol itu? Kematiankah? Istighfar berulang kali ia baca. Ia tak mau Daniel memilih mati oleh karena apa yang diucapkannya hari ini.

Tapi, fungsi 1/x tak akan menyentuh nol maupun minus tak hingga. Tak akan. Sampai kapanpun. Daniel tidak memilih mati. Ia memilih mengenal apa itu agama. Karina masih bisa berharap tenang dan menunggu Daniel kembali ketika ia sudah mengenal agama. Dan mudah-mudahan, Islam-lah yang akan memberikan jawab atas ketertarikan Daniel melihat agama.

***

Alhamdulillah,
Berlin 10 Nopember 2005, Sudah maghrib nih, buka puasa dulu yak!
Mengapa saat banyak hal yang harus dikerjakan, saya malah membuat cerpen?
Ah tidak apa, bisa sekalian belajar matematika. Mudah-mudahan berguna
Mushab Syuhada.

Wednesday, November 02, 2005

Ied Mubarak

Assalamu'alaikum wr. wb.

Air mata yang selaksana embun menghantar kita pada
penghujung Ramadhan dan gerbang kemenangan

Taqabalallahu minnaa wa minkum, semoga kita
dipertemukan kembali dengan Ramadhan di tahun depan.

Mohon maaf lahir bathin.

Wassalamu'alaikum wr. wb.

Thursday, October 27, 2005

Obrolan Teguh-Ratna 2

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam kemuliaan (Lailatul Qadar). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?. Malam kemuliaan itu lebih baik dari pada seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS Al Qadr:1-5)





Dari mana, Guh? Kok jam segini baru pulang?

Dari masjid baru selesai shalat tarawih. Nah situ ngapain? malam ini kok nggak ikutan tarawih?

Lagi dapet, Guh. Guh, malam ini langit terang banget yah. Lihat deh, bintang-bintang terlihat jelas sedang berkilau-kilau.

Iya. Hampir tidak ada awan di langit. Udara juga sejuk yah.

Hati gue kok rasanya lapang banget, Guh. Rasanya semua yang gue lihat dan gue temui indah banget.

Hati gue juga hari ini lebih sensitif. Entah kenapa, tadi ketika shalat tarawih air mata gue meleleh. Tiba-tiba gue mengingat dosa-dosa dan kemaksiatan gue. Barusan sebelum keluar dari masjid, gue juga menangis ketika membaca Al-Qur'an. Hati ini tidak seperti biasanya.

Sayang, Guh. Gue sedang tidak bisa shalat malam ini. Kenapa yah, gue juga pengeeen banget shalat, terus bersimpuh, dan mengadukan semua gundah gulana gue dalam doa-doa gue.

Apa mungkin malam ini malam Lailatul Qadar, Rat? Malam ketika Al Qur'an diturunkan. Malam yang diimpi-impikan oleh seluruh umat Islam di dunia. Malam yang lebih baik dari seribu bulan, yang berarti lebih baik dari kurang lebih 83 tahun.

Subhanallah, Allah Mahapemurah yah. Allah memberikan kita sebuah malam yang sangat istimewa. Aduh Guh, kok mata gue jadi basah gini...?

Ya Allah, sungguh aku ingin bertemu pada malam Qadar-Mu. Sungguh aku ingin. Aku ingin kembali dekat denganMu setelah sekian lama setan menggerogoti hatiku dalam kemaksiatan.

Friday, October 07, 2005

Die Liebe und Der Herbst

A Mushab Syuhada's

Es war im Herbst. Die Leute bekleideten sich, als ob sie schon im Winter wären. Du hast gesagt, dass mein Gesicht in diesem Herbst langsam gelb geworden war, wie die Blätter, die immer herunterfallen und die Straßen schmutzen.
„Aber nicht mein Geist, war?“ sagte ich.
Sie lächelte, „Nein, dein Geist wird niemals unterfallen“
„Doch, kann sein“ sagte ich wieder. Sie gückte mich an, und sah so aus, dass sie mein letztes Wort nicht kappierte. „Wenn ich in Liebe wäre?“
Dann Liebe ist wie Herbst. Sie kommt und beeinflusst, damit die Wärme in die Kälte umwechselt, damit die Blätter gelb geworden sein, dann keine Kräfte mehr haben.

Saturday, October 01, 2005

Senangnya!!

Senangnya!! gimana gak senang, kalau Ramadhan sudah ada di depan mata kita!! Bulan yang kita tunggu-tunggu sebentar lagi datang, di mana aliran nafas kita adalah tasbih, di mana tidur kita ibadah, di mana amal-amal kita akan dilipatgandakan, di mana rahmat Allah tersebar di mana-mana!!

Sebelum melangkah ke bulan yang kita rindu-rindukan ini, Dimas mau mengucapkan mohon maaf lahir bathin atas semua kesalahan yang dilakukan baik sengaja maupun tidak sengaja, baik sadar maupun tidak sadar, baik diniatkan maupun tidak diniatkan! Semoga Ramadhan kali ini akan menjadi ladang yang subur untuk kita dalam meraup pahala Allah sebanyak-banyaknya, dan menjadikan kita sebagai insan yang tak bernoda di hari kemenangan nanti!

Selamat berpuasa yah!

Wednesday, September 28, 2005

Hari-hari Pertama

Alhamdulillah, semua dilancarkan.

Dari mulai berangkat ke bandara, di mana papa mengantar anaknya dengan kecepatan mobil yang super duper cepat. Dari Duren Sawit ke Cengkareng cuma ditempuh dalam waktu 33 menit. Alhamdulillah nggak kena macet.

Di bandara, bagasi gue overweight sampai 30 kilo, padahal jatahnya hanya 20 kilo. Alhamdulillah lolos dengan mudah ketika check in. Sekali lagi dilancarkan.

Di Bandar Seri Begawan mendapat penginapan yang nyaman, serta dapat keliling melihat-lihat kota itu. Padahal sudah berpikir bakal mendapat masa transit yang melelahkan sekaligus membosankan. Alhamdulillah dilancarkan lagi.

Di dalam pesawat sampai di dalam kereta semua serba lancar dan mendapat kemudahan. Alhamdulillah.

Pada hari senin, gue berhasil menyelesaikan beberapa urusan seperti membuat keterangan asuransi, bertanya ke TU, buat janji dengan Ausländerbehörde, dsb. Semua selesai hanya dalam satu hari! dan hari selasa gue telah melakukan imatrikulasi di kampus. Alhamdulillah.

-- maka nikmat Tuhanmu manakah yang kau dustakan --

Terimakasih kepada semua pendoa. Oh ya, doakan yah, saluran internet gue lagi ngambek nih. Suka error. Suka mati sendiri nggak jelas, semoga cepat kembali normal sehingga bisa terus meng-update blog.

Thursday, September 22, 2005

There Will Be A Time For Everything

Tidak terasa waktu terus berjalan dan melangkah. Jadi teringat, waktu itu bulan Juni. Gue sedang sibuk-sibuknya menghadapi ujian. Tiap hari kerjaan gue kalo nggak di perpustakaan wohnheim (tempat tinggal gue), ya di perpustakaan nasional. Tinggal cari gue di kedua tempat itu kalau mau ketemu gue. Setelah selesai ujian, gue bersiap-siap pulang ke Indonesia. Waktu itu sempet jalan-jalan ke Paris dan satu minggu kemudian terbang ke Jakarta.

Di Jakarta gue seneng banget! Gimana nggak seneng, gue bisa bertemu kembali dengan keluarga gue setelah satu setengah tahun nggak jumpa, cuma dengar kabar lewat telepon atau SMS saja. Sekarang, gue bisa bertemu mereka! Rutinitas sehari-hari di Berlin pun gue tinggalkan. Kalau biasanya bangun pagi lalu cuci piring atau pergi belanja, kini bangun pagi, nonton berita, terus tidur lagi deh. Cuci piring juga cuma sesekali aja kalau lagi niat. Pokoknya santai all time every time.

Teman-teman gue satu persatu berdatangan ke rumah, gue sempat berkunjung kembali ke sekolah gue. Ketika malam minggu, gue diajak mengikuti pengajian. Pokoknya tiada hari tanpa bepergian. Minggu berikutnya gue dan keluarga gue melaksanakan ibadah umroh selama satu minggu. Masih teringat saat-saat berlama-lama di Masjid Nabawi, saat melihat Ka’bah di Masjidil Haram, saat bertawaf dan bersa’i. Everything was very very beautiful.

Selesai itu gue sempat jalan-jalan bersama para penghuni Jerman yang sedang di Indonesia. Terciptalah cerita ini. Minggu berikutnya gue pergi ke Bandung untuk bertamasya dengan memakai kedok praktikum. Setelah selesai berkebun, selesai pulalah waktu tamasya gue. Beberapa hari kemudian gue dioperasi di rumah sakit ini. Dan karena habis operasi, gue nggak bisa pergi kemana-mana. Padahal sudah banyak ajakan, ada yang ngajak reunian teman-teman kursus Bahasa Jerman, ada undangan pernikahan, ada yang ngajak ke Bogor buat LDKS, ada yang ngajak nonton Pentas Seni Islam, dan lainnya. Jadwal kepulanganpun gue undur.

Gue juga sempat jalan-jalan dengan teman SMP. Ada yang bela-belain bolos kuliah di UGM dan pergi ke Jakarta demi ketemu gue! Hiks, jadi terharu lagi. Kami menghabiskan sore dengan makan di Roti Bakar Edi di belakang Al-Azhar.

Kata seorang sahabat, gue harus menentukan nasib gantungan kunci. Nggak ada yang ngerti maksudnya, kan?

Setelah keadaan sudah agak baikan, gue bersama teman-teman Jerman yang sedang berada di Indonesia mengunjungi Pak Nur Azzam, Abi Aska, dan Pak Aceng di Bogor. Setelah itu, gue memutuskan untuk diam di rumah menanti tanggal kepulangan dan menikmati detik-detik terakhir di sini.

Memang benar. Kata seseorang, jangan berada di Indonesia lebih dari satu bulan. Karena kalau sudah lebih dari satu bulan, bakalan berat meninggalkan Indonesia. Itu betul! It’s too hard to leave my Jakarta. Tapi itulah hidup. Kata seorang sahabat, there will be a time for everything. Jadi yah, ini saatnya gue harus kembali ke Jerman. Insya Allah dengan semangat baru.

Jadi ingat lagunya Ismail Marzuki yang berjudul Juwita Malam. Ada satu bait yang menggambarkan keadaan gue saat ini. Bait itu pun gue rubah dengan mengacu pada perkembangan jaman. Hehehe.

Bait yang benar:
Kereta kita
Segera tiba
Di Jatinegara kita kan berpisah
Berilah nama
Alamat serta
Esok lusa boleh kita jumpa pula


Bait yang telah dirubah (nyanyikan dengan nada lagu Juwita Malam):
Pesawat kita
Segera terbang
Di Soekarno-Hatta kita kan berpisah
Berilah nama
Alamat e-mail
Tahun depan boleh kita jumpa pula


Au Revoir Jakarta! Ini bagian yang paling gue nggak suka. Saat senja. Waktu itu juga senja ketika gue pergi ke Jerman untuk yang pertama kali. Sekarang juga begitu. Dengan tenggelamnya matahari, tenggelam pula saat gue di negara ini. Pasti hujan air mata mewarnai bandara kala itu. Aihh... terlalu mendramatisir deh!

Sunday, September 18, 2005

Cerita Tentang Dia

Pagi itu seseorang datang ke rumahku.
„Assalamu’alaykum. Dimas, ayo ikut gue ke Gramedia“
„Hah! Lo nggak bilang-bilang gue dulu! Gue kan belum mandi!“
„Udah nggak usah mandi deh“
„Enak aja. Nanti siang kan shalat Jumat!“
„Cuci muka aja“
„Kan kemarin gue bilang, kalau hari ini jadi pergi, satu jam sebelumnya lo harus telepon gue biar gue bisa siap-siap!“
„Apaan, lo nggak bilang begitu!“
Doch! Jelas-jelas kemarin gue bilang! Lo nya aja yang...“

Adu mulut, rutinitas kami setiap saat bertemu. Dia baru satu minggu di Jakarta, tapi kami sudah yang kesekian kali beradu mulut. Ini tatap muka yang kedua, yang terakhir di stasiun Zoologischer Garten saat dia mengantar kepulanganku satu setengah bulan yang lalu. Dia masih sama. Suka berkomentar dan suka nyeloteh yang lucu-lucu.

Contoh komentar-komentarnya:
Bertempat di Gramedia Matraman, sebuah rak buku bacaan novel remaja dipenuhi oleh anak-anak berseragam SMA. Rata-rata anak cewek. Pakai rok panjang abu-abu, baju lengan panjang putih yang digulung sampai siku, dan kerudung yang sudah menjuntai di bahu. Hari itu hari Jumat, seluruh sekolah di Jakarta mewajibkan siswa-siswinya mengenakan busana sekolah muslim-muslimah. Jumlah mereka banyak. Berjejer memblokir jalanan di depan rak buku sambil asik sendiri membolak-balik tiap lembar novel yang ada di tangannya. Mereka nggak memperdulikan orang lain yang ingin mencari atau mengambil buku yang ada di rak di depan mereka. Kalau kita bilang permisi, pasti mereka menggeser posisi dengan wajah yang manyun atau decakan kesal. Serasa Gramedia milik mereka deh. Jadi serba salah.

Aku sudah tahu, dia sebal banget melihat kelakuan anak-anak SMA itu.
„Tahu nggak, Mas. Dari tadi bau apa yang gue cium?“
„Apa?“
„Bau cologne-nya anak-anak SMA“
Tahukan bau cologne anak-anak SMA? Ya gitu deh, wangi-wangi segar tapi telah terkontaminasi dengan aroma keringat tubuh.

***

„Aduh, Mas. Kacamata lo itu loh, frame-nya extrem banget!“ kata dia di dalam mobil. Sekarang giliran kacamataku yang terkena komentar.
Padahal, kacamataku biasa aja kok. Ini kacamata kompakan sekeluarga. Kacamata ayah dan ibuku juga framenya seperti ini. Warnanya hitam, dan bingkai sampingnya setebal satu centi. Kata kakakku malah kacamata seperti ini sudah nggak jaman.
„Semenjak lo di Jakarta, Mas, gaya lo berubah banget deh. Gue rasa orang-orang Berlin bakalan syok ngeliat gaya lo yang baru!“ komentarnya lagi.
Padahal nggak banyak perubahan kok. Cuma rambut yang sudah tidak lagi cepak botak, melainkan agak panjang dan dibelah pinggir, dan kadang-kadang suka memakai gelang karet warna-warni di lengan yang sekarang lagi in di kota ini.
„Elo tahu pria metroseksual, Mas? Yang kayak di postingannya Mbak Amel?“ tanyanya. „Ya kayak lo gitu tuh“ lanjutnya.
„Enak aja!“ balasku.

***

Ketika masih di Gramedia, kami mencari sebuah buku karangan penulis favorit kami, Helvy Tiana Rosa. Sebut saja buku itu berjudul ‚Ketika Mbak Ayu Pulang’. Kami mencari di komputer pencari buku, dan di situ tertulis bahwa buku itu tinggal satu-satunya. Lantas kami bertanya pada seorang petugas mengenai letak dan keberadaan buku itu. Tapi rupanya si petugas tidak tahu di mana buku itu berada dan bertanya pada seorang rekannya yang berjarak hanya dua meter dari dirinya dengan suara yang lantang dan keras.
„Eh, buku ‚Ketika Mbak Ayu Pulang’ di mana, ya??“
Kontan beberapa kelompok pengunjung yang ada di situ – yang kami yakini tahu atau pernah membaca buku itu – segera menoleh ke arah kami sambil tersenyum-senyum. Kami pura-pura nggak tahu dan pergi menjauhi si petugas.

„Aduh! Teriak dia, Jo! Nggak pake toa sekalian, Pak? Biar segedung ini dengar semua?“ komentarnya.

***

Yang terakhir ketika kami di warnet.
„Mas, baca deh testimonial gue dari Farah (20, Mahasiswi UI, bukan nama sebenarnya)“.
Aku membacanya lalu langsung cekikikan sendiri karena testimonialnya lucu. Ada kata mahligai-lah, suamiku-lah, meninggalkanku-lah, pangeranku-lah, pokoknya kata-kata seperti itu deh.
„Mana sebelumnya baru aja si Monik (20, bukan nama sebenarnya) ngasih testimonial yang isinya nggak jauh beda kayak gini. Bisa disangka apa gue? Disangka cowok buaya gue sama orang-orang“.
Tawaku langsung meledak-ledak.

***

Itulah dia. Sabtu kemarin adalah pertemuan terakhir kami. Semestinya sih Jumat kemarin pertemuan terakhirnya, soalnya hari sabtu pagi dia bilang akan pergi ke Anyer. Tapi ternyata dia membatalkan kepergiannya ke sana. Aku yakin, itu pasti karena Morning Sick. Itu lho, sakit yang hanya datang di pagi hari karena rasa kantuk yang menstimulasi saraf-saraf di tubuh dan mendorong kerja kelenjar untuk tidak melakukan aktivitas lain saat itu selain tidur.

Bagaimanapun, kami akan bertemu lagi lebaran nanti.
„Maaf lahir batin ya“ ucapku sambil mengulurkan tangan dari luar kaca jendela saat ia mengantarku pulang sampai di depan rumah.
„Sama-sama, Mas“ balasnya sambil tersenyum. „Sukses ya“ lanjutnya. Setelah dia berkata, ia tidak segera pergi. Ia masih termenung di dalam mobilnya.
„Kenapa?“tanyaku. Aku tahu, sisi melankolisnya sedang keluar membuncah saat itu.
„Gue takut, Mas. Nanti di Darmstadt gue kesepian nggak ya?“
„Nggak lah! Di sana kan banyak mahasiswa Indonesia juga, walau nggak sebanyak di Berlin. Baik-baik lagi! Nggak bakal kesepian deh“ jawabku. „Nanti lebaran main ke Berlin ya!“
„Insya Allah, ya. Kalau ada duit dan waktu, gue bakal main ke Berlin“ sahutnya. Namun ia masih tetap termenung di dalam mobil itu.
„Kenapa lagi? Mestinya kan lo seneng nggak ada yang ngerjain lo lagi di sana. Lo nggak nyesel kan dengan keputusan lo meninggalkan Berlin untuk kuliah di Darmstadt?“
„Nggak. Insya Allah, nggak nyesel“ kata dia mantap setelah sekian detik terbisu. Lalu ia mengucapkan salam dan pergi.

Ingat nggak, waktu sebelum kita berangkat ke Jerman dulu, kita sering berkirim e-mail dengan seorang kakak. Dalam salah satu e-mailnya ia berkata: EVERYTHING YOU CHOOSE, CONSEQUENCY IS A MUST. Jadi, selamat jalan dan selamat menjalankan keputusan, ya!

Jakarta, 18 September 2005
Mushab Syuhada

Daftar istilah:
Doch: Kata pertentangan atau penegasan dalam bahasa Jerman. Bila statement yang dikeluarkan negatif, padahal dalam realitas positif, barulah kata ini dikeluarkan (terjemahan bebas). Kata ini banyak diucapkan oleh masyarakat Indonesia di Jerman.
Zoologischer Garten: Artinya Kebun Binatang. Zoologischer Garten adalah stasiun kereta terbesar di Berlin, mencakup U-Bahn, S-Bahn, Fernzug, sampai ICE. Ketika penyelenggaraan piala dunia tahun 2006 nanti, stasiun ini akan ditutup untuk perjalanan ke luar kota dan akan dipindahkan ke stasiun yang lebih besar lagi – Berlin Hauptbahnhof Lehrter Bahnhof.
Manyun: Cemberut.
Cologne: Kolonyo. Biasa disebut eau de cologne, sejenis cairan mirip parfum dengan wangi yang menyegarkan dan juga terasa segar di kulit. Sesuai namanya, cologne dibuat pertama kali di Jerman, tepatnya di kota Köln (bahasa inggris: kota Cologne).
Frame: Bingkai.
Gelang karet warna-warni: Banyak dipakai di kalangan anak muda. Ada yang bilang sebagai gelang persahabatan. Ada yang bilang hasil penjualan gelang ini akan dipakai untuk kegiatan sosial seperti peduli jantung, peduli AIDS, peduli narkoba, dsb. Pada gelang tersebut tertulis kata-kata seperti ‚Truth’, ‚Best Friend’, ‚Love’, ‚I Feel Lucky’, dsb. (Mohon dikoreksi bila salah).
Pria Metroseksual: lihat ini.
Toa: Alat pengeras suara.
Warnet: Warung Internet
Testimonial: Dalam bahasa Inggris berarti sebuah tulisan rekomendasi yang dapat menggambarkan kualitas sesuatu atau seseorang. Demam Friendster di Indonesia membuat berbagai kalangan mengenal istilah ini dan dijadikan ajang untuk menceritakan seseorang (siapa dia, bagaimana dia, pengalaman apa saja dengan dia, dsb).
Morning Sick: Sakit di pagi hari.
Buncah, membuncah: Meledak-ledak, bergelora, kacau, rusuh, hati, keruh, bingung.
Darmstadt: Sebuah kota pelajar di sebelah barat Jerman, tepatnya di negara bagian Hessen, tidak jauh dari Frankfurt.

Wednesday, September 14, 2005

Ketoprak

Ketoprak
Oleh: Mushab Syuhada

“Ketopraknya masih ada, pak?“ tanyaku di balik kaca mobil kepada seorang penjual ketoprak yang tiap malam mangkal di tepi jalan itu.
“Masih.. Masih banyak, mas!” sahutnya sambil tersenyum. Segera ia bangkit dari duduknya dan dengan gesit mengerjakan pekerjaannya. Kegembiraannya mendapati aku sebagai seorang pembeli terlihat dari raut wajahnya.

Aku termenung sebentar melihat semangat bapak paruh baya itu bekerja. Pandangan matanya tulus. Aku tahu, ia bekerja untuk mencari uang. Untuk menghidupinya. Dan mungkin juga untuk menghidupi anak istrinya. Sekali lagi aku berpikir, apakah cukup penghasilan seorang penjual ketoprak untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup?

“Ramai malam ini, pak?” tanyaku kepada si pemilik wajah berseri-seri itu.
“Nggak, mas. Sebulan terakhir ini sepi pembeli. Untuk malam ini ya… baru mas saja yang membeli” jawabnya. Leherku tersekat mendengar jawabannya. Pantas ia begitu gembira begitu aku menepikan mobil di depan gerobaknya. “Hanya pesan satu bungkus, mas?” tanyanya memecah lamunan singkatku
“Eh, saya pesan tiga bungkus, pak!” sahutku. Ia tersenyum sambil mengangguk.

“Berapa semua, pak?” tanyaku. Laki-laki itu menggenggam selembar uang seribu rupiah.
“Sepuluh ribu, mas” katanya. Aku tahu maksudnya. Ia memintaku memberikan sepuluh ribuan dan ia akan mengembalikan seribu rupiah yang ia genggam kepadaku. Harga tiga bungkus ketoprak itu sembilan ribu rupiah.
“Sudah, pak. Seribu rupiahnya bapak simpan saja” kataku.
“Bukan begitu, mas. Saya hanya ingin satu lembar sepuluh ribuan utuh saja. Biar tidak terlalu banyak receh” jawabnya. Lalu memasukkan selembar seribu rupiah itu pada pelastik hitam bersama tiga bungkus ketoprak. Jujur sekali bapak ini, batinku.
“Bapak punya pekerjaan lain selain berdagang ketoprak?” tanyaku lagi sambil mengambil pelastik itu.
“Tidak. Hanya jualan ketoprak saja. Pagi hari saya pergi membeli bahan-bahan dan mempersiapkan dagangan. Jam empat sore saya mulai berdagang. Walaupun hasilnya tidak seberapa, saya senang dapat berjualan dengan cara halal, mas.”

***

Dalam perjalanan pulang, aku banyak bersyukur karena saat ini aku masih bisa mengendarai sebuah merci. Orang tuaku serba berkecukupan. Rumah kami tergolong mewah di wilayah Pondok Indah. Pekerjaan orang tuaku tidak membutuhkan banyak tenaga dibandingkan dengan bapak penjual ketoprak tadi. Hanya duduk di ruangan ber-ac, membolak-balikkan kertas, angkat telepon, tanda tangan, dapat gajinya jauh berlipat-lipat dari pada bapak yang tiap malam duduk-duduk di tepi jalan itu menanti kunjungan pembeli.

“Hari gini beli ketoprak?” sahut sahabatku Arya, yang rumahnya hanya beberapa blok dari rumahku. Aku sempatkan mampir dulu menemuinya.
“Makanya gue datang kemari. Elo ambil deh ketopraknya satu bungkus. Nggak bakal habis gue makan sendirian” jawabku.
“Nah, elo udah tahu nggak bakal habis makan sendirian, ngapain lo beli sampai tiga bungkus segala?” tanyanya.
“Gue kasihan sama penjualnya. Belum ada yang beli dagangannya”
“Hmmm, gimana yah. Gue mau sih, tapi baru saja gue pergi sama bokap nyokap habis makan di Kelapa Gading. Masih kenyang nih, Man! Sori yak. Lo masukin aja di kulkas, besok kalo lapar tinggal dipanasin di microwave”
“Jadi lo nggak mau nih?” tanyaku sekali lagi. Arya menggeleng.

Memang tidak ada ceritanya orang kaya seperti Arya itu makan makanan pinggir jalan. Jelas saja ia tidak mau. Orang tuaku pun juga tidak mau ketika ditawari. Malah aku terkena ceramah soal kesehatan makanan. Aku melangkah masuk ke dalam kamar. Dari pada mubazir, aku habiskan dua bungkus ketoprak sendiri, dan sebungkusnya lagi aku berikan ke Mbok Atun.

***

Hari ini tidak ada kuliah. Arya juga. Kuajak ia jalan-jalan sampai sore. Mobil merci perakku melaju sampai dengan ruas jalan itu. Ruas jalan tempat bapak penjual ketoprak berdagang di balik gerobaknya.
“Mau buat apa uang seratus ribu itu?” tanya Arya di sebelahku.
“Ketoprak” jawabku singkat.
“Seratus ribu mau dihabisin buat beli ketoprak? Lo bisa beli sekalian sama gerobaknya, kali!” sahut Arya. Aku mendesis, memintanya untuk diam.

Tiba-tiba sebuah BMW hitam mengedipkan lampu sorotnya ke mobilku. Mobil itu milik Susan, anak konglomerat yang tinggal persis di belakang rumahku. Pamannya dulu bekas mentri. Ibunya yang punya hotel mewah di bilangan Senayan. Benar-benar sebuah keluarga high class.

“Hai hai… berduaan aja nih kayak patung selamat datang” sapanya genit di balik jendela yang membuka perlahan setelah kami parkirkan mobil kami di pelataran sebuah ruko. Aku tersenyum.
“Hai, San, baru dari mana?” balas Arya
“Habis dari kampus, terus mampir dulu ke salon Royke. Biasalah cewek. Banyak perawatan. Eh, kalian mau ke mana? Laper nih! Makan bareng yuk?” pintanya.
“Kebetulan!” sambarku. “Di depan ada penjual ketoprak tuh!” Susan melongo menatapku.
“Ke-to-prak? Oh no! bisa-bisa gue muntaber gara-gara sakit perut!”balas Susan.
“Yeee, sekali-kali makan makanan pinggir jalan kenapa sih? Lagian belum tentu kotor kok! Coba gue tanya, sudah pernah nyobain ketoprak, belum?” ujarku.
“Belum” sahut Susan. Arya juga bilang belum.
“Nah, dari pada dibilang kuper gara-gara umur sudah dua puluh tahun tapi nggak tahu rasanya ketoprak, mendingan kita cobain dulu. Gue yang traktir deh!”

***

Sore itu langit berwarna lembayung. Kami parkirkan mobil kami persis di depan gerobak bapak penjual ketoprak. Kami nikmati santapan itu bersama. Aku membeli tiga bungkus ketoprak dengan harga seratus ribu rupiah. Bapak itu kaget, ia sempat menolak. Namun aku berbohong dan mengatakan kepadanya kalau hari itu aku sedang berulang tahun, dan memintanya menerima uang itu sebagai ucapan syukur. Bapak itupun menerimanya sambil tak henti-hentinya berterimakasih.

“Gila lo yah, uang seratus ribu buat beli tiga bungkus ketoprak” ujar Susan. “Lo mau ngikutin acara reality show yang di tivi-tivi yah? Itu loh, yang ngasih duit mendadak ke orang yang kurang mampu”
“Hus!” sergahku. “Udah deh, mendingan kita langsung makan aja yah” lanjutku. Tak lama kami mulai menyantap hidangan itu. Ketoprak itu berisi lontong, sayur-mayur seperti toge, dedaunan, bihun, tahu, tempe, kerupuk, telur, sambal, kecap, gula merah, cabe rawit, mentimun, dan bumbu kacang yang gurih.
“Wuihh… enak banget, Man!” teriak Arya.
“Beneran! Enak buangeeett!” teriak Susan juga. Mereka menyerbunya dengan lahap. Aku tersenyum-senyum sendiri melihat aksi makan mereka.
“Gue gak tahu, apa guenya yang kelaperan atau emang ketoprak ini beneran enak, yang jelas gue mau nambah satu bungkus lagi, dong!” sahut Susan setelah menelan suapan terakhir ketoprak babak pertamanya.
Anak-anak borjuis inipun tersihir oleh kelezatan makanan pinggir jalan.

***

Malam ini adalah malam pembuka weekend. Kuajak Arya dan Susan mengunjungi ketoprak favorit kami. Ketoprak Pak Bagir, biasa orang-orang disekitar sana menyebutnya.
“Gue heran, ketoprak Pak Bagir kan enak banget. Tapi kok sepi pembeli yah?” ujar Susan membuka diskusi kecil kita di perjalanan menuju ke sana.
“Kurang promosi kali. Jadi nggak banyak orang yang tahu” Arya menimpali. Benar juga, pikirku. Seandainya ketoprak Pak Bagir diketahui orang banyak, pasti jualannya akan laris manis, dan ia akan meraup keuntungan yang besar. Tak lama sebuah ide muncul dari benakku.
“Gue ada ide nih!” teriakku. Arya dan Susan segera pasang telinga untuk mendengar ide apa yang akan aku keluarkan. “Kita buat usaha ketoprak, yuk! Kita buktikan kalau anak-anak seperti kita juga bisa punya usaha sendiri dan tidak dicap melulu sebagai pembuat habis uang orang tua. Dengan begitu kita juga bisa membantu orang lho!”
“Hah? Bisnis ketoprak? Membantu orang? Gimana cara?” todong Susan dengan serentetan pertanyaan.
“Iya, kita buka sebuah restoran ketoprak. Tempatnya di ruangan dekat loby utama hotel nyokap lo, San. Kita juga bisa menyediakan makanan lain selain ketoprak, tapi yang termasuk makanan pinggir jalan, seperti gado-gado, gorengan, bakso, mie ayam, atau lainnya.”
“Terus, target marketing kita siapa?” tanya Arya.
“Orang-orang kaya. Kan restoran kita letaknya di dalam sebuah hotel. Kita perkenalkan kepada mereka kalau jajanan pinggir jalan juga enak! Kalau kita buat restoran dengan hidangan pinggir jalan tapi dikemas dengan elit, bersih, dan mewah, gue rasa mereka mau datang” jelasku berapi-api.
“Tadi kata lo, kita juga bisa sekalian beramal. Dari mananya kita bisa beramal?” tanya Susan.
“Kita rekrut Pak Bagir dan para pedagang pinggir jalan lainnya menjadi koki di restoran kita. Kan lumayan untuk menambah penghasilan mereka sekaligus mengangkat kesejahteraan mereka”
“Modalnya?” tanya Arya dan Susan berbarengan.
“Untuk tempat nggak masalah, kan. Gue yakin tante Broto akan memberikan ruangan itu untuk putri kesayangannya” sahutku sambil melihat Susan. “Kalau untuk modal keseluruhan, paling mahal juga dua M. Gue tahu, di tabungan Arya ada lima M. Kalau di tabungan Susan, gue perkiraan paling sedikit ada tujuh M, disisihkan sedikit kan nggak apa-apa” kataku sambil tersenyum nakal.
“Enak aja! Gue kan sudah bercita-cita beli Jaguar dari uang di tabungan gue!”protes Arya.
“Aduh, Jaguar sih gampang. Bakal kebeli kok! Tenang aja”.

***

Setelah empat bulan kami disibukkan dengan persiapan pembukaan restoran, akhirnya datang juga malam ini. Launching restoran yang kami beri nama ‘Ketoprakami’ akan dimulai sesaat lagi. Banyak tamu hadir yang kebanyakan dari teman-teman kampus kami. Namun terlihat juga beberapa pejabat, artis, wartawan, dan orang-orang berdasi lainnya yang aku tahu sebagai teman-teman relasi orang tua kami. Acara kali ini akan diliput live oleh sebuah stasiun radio kondang, dan dimeriahkan oleh sebuah grup musik ternama.

“Gila, gue seneng banget! Akhirnya restoran kita bakal dibuka juga!” sahut Susan kepadaku dengan sedikit berteriak di ruangan yang bising oleh suara tamu yang hadir. Ia memerkan senyum dengan kawat gigi warna-warninya. Di pojok sana tampak Arya sedang sibuk mengatur acara pembukaan dengan sang MC.
“Tapi, Man, ada satu yang bikin gue bahagiaaaa banget di malam ini” lanjutnya.
“Apa?”
“Senyumnya Pak Bagir dan para pedagang lain yang kini akan menjadi koki andalan kita!”
Alhamdulillah, aku juga senang dapat membuka usaha dan juga dapat sekalian mengangkat kesejahteraan orang lain.

Senin, 12 September 2005
Pukul 20:29
Sepuluh hari lagi meninggalkan Jakarta!

Monday, September 12, 2005

Denke an Dich

I am so blind
Yang tidak bisa menangkap citra ketulusan
Lantas malah bertanya
Tentang sebuah alasan
Padahal, apakah setiap hal memerlukan sebuah alasan?
I am so dumb
Yang tidak mampu berucap terimakasih
Atas sebuah perhatian
Yang hanya kudapatkan darimu
Sehingga
Saat aku baca syair pilumu
Aku sadar, akulah yang semestinya telah merepotkanmu
Tapi terserah apa itu
Merepotkan atau direpotkan adalah hal wajib
Menyusahkan atau disusahkan adalah hal penting
Yang keberadaannya melekat satu sama lain
Karena jika tidak
Tak ubahnya seperti dua orang yang tidak saling mengenal
Atau hanya mengenal sebatas nama
Afwan atas kebutaan dan kebisuanku
Kita tidak pernah tahu isi hati
Yang kerap dibolak-balikkan oleh Sang Penguasa Hati
Tapi sesuai katamu
Semoga Allah mendengar doa kita

Bogor 2005

Koreksi

Koreksi terhadap kata ‚jet lake’ yang sering gue tulis dalam blog ini. Yang benar adalah kata ‚jet lag’

jet lag
noun
fatigue and disorientation from long flight: an internal physical disturbance experienced by air travelers on flights across different time zones. It affects the body’s internal clock, disrupting sleeping patterns, eating schedules, and body temperature.

-jet-lagged, adjective

Microsoft® Encarta® Reference Library 2005. © 1993-2004 Microsoft Corporation. All rights reserved.

Thursday, September 08, 2005

Pengumuman!

Dengan ini gue mengumumkan, bahwa gue memundurkan waktu kepulangan gue ke Jerman. Rencananya gue berangkat hari ini, 8 September 2005. Namun gue geser sampai dengan hari Kamis, 22 September 2005. Pergeseran ini dikarenakan suatu hal. Insya Allah, gue akan kembali di tanggal yang baru, dengan semangat baru, dan penampilan baru dong tentunya... :)

Producing Tee


Teh poci hangat wangi segar
Menjadi pewarna diriku setiap sore
Sendiri, menghirupnya sambil memandangi bukit-bukit
Atau memandangi rumput dan padi yang menari karena angin

Rindu Rindu Rindu, Bayangan Senja, Jakarta 2003

Hehehe, postingan kali ini gue awali dengan cuplikan puisi gue yang ada kata ‘teh’-nya. Kenapa? Kenapa lagi kalau bukan tema teh yang akan gue angkat kali ini. Di postingan gue sebelumnya, gue pernah menjanjikan liputan pembuatan teh dari pengalaman yang gue dapatkan selama praktikum. Pertengahan bulan Agustus kemarin, gue telah menyelesaikan praktikum di sebuah perkebunan dan pabrik teh di kawasan Lembang, Jawa Barat. Berikut laporan pembuatan teh, dari mulai dipetik, sampai siap untuk dikonsumsi.

Pemetikan

Di pagi hari yang sejuk gue sudah mendaki perkebunan teh untuk melihat para petani teh melakukan pemetikan. Ini merupakan bagian yang penting dalam keseluruhan proses pembuatan teh. Pasalnya, kualitas teh yang akan diperdagangkan jelas dipengaruhi oleh kualitas pucuk-pucuk teh yang diseleksi oleh para petani ini. Di perkebunan ini ada dua jenis teh. Pertama teh Sigling. Jenis ini merupakan hasil dari penyemaian bibit-bibit teh. Kedua, teh Stek, yang merupakan hasil perkembangbiakan melalui cara stek. Jadi ranting tanaman teh yang sudah dipotong, ditimbun dalam tanah, sehingga akan tumbuh teh-teh baru. Tanaman dengan jenis Sigling telah ditanam sejak tahun 1836 sedangkan jenis Stek ditanam pada sejak tahun 1869. Keduanya sejak masih dalam masa pemerintahan kolonial Belanda.

Untuk memetik teh tidak boleh sembarangan. Dibutuhkan keterampilan. Pertama, teh yang dipetik harus yang masih muda dan mulus. Kedua, memetiknya dengan cara dicongkel (ditaruk – bahasa sananya) pada bagian pangkal batang. Ketiga, sang pemetik harus tahu apakah teh yang dipetiknya merupakan jenis P+1, P+2, P+3, P+4, BM1, atau BM2 (penjelasan di bawah). Keempat, teh tidak boleh dipegang dengan sarung tangan dan juga tidak boleh terlalu lama digenggam oleh tangan karena bisa merusak keadaan daun teh tersebut. Kelima, teh yang telah dipetik tidak boleh terkena sinar matahari dan juga harus kedap air. Hal ini untuk menjaga agar kandungan asam amino yang ada dalam daun tidak mengendap keluar. Karena jika asam aminonya keluar, cita rasa tehnya akan berubah. Untuk perawatan tanahnya sendiri dibutuhkan pupuk-pupuk seperti pupuk kimia, pupuk TSP, atau pupuk Urea.

Selanjutnya adalah proses penimbangan. Teh yang telah dipetik segera ditimbang dan diangkut dengan menggunakan truk untuk dibawa ke pabrik. Semakin berat timbangan teh yang berhasil dipetik oleh seorang petani, semakin banyak pula upahnya.

Analisis

Pintu gerbang yang menghubungkan antara kebun teh dengan pabrik adalah proses analisis. Ada dua istilah penting untuk analisis ini, yaitu Antik dan Ancuk. Antik adalah analisis petik dan Ancuk adalah analisis Pucuk. Proses analisis ini membutuhkan keterampilan di bidang statistika, karena dengan analisis ini akan diketahui seberapa bagus kualitas daun teh, berapa biaya produksi yang dibutuhkan, seberapa banyak bahan bakar yang dibutuhkan, berapa upah yang akan didapatkan oleh para petani, berapa harga jual produksi, dan lain sebagainya.

Pada Antik teh dikumpulkan berdasarkan jenis pucuknya. Ada P+1 yang berarti sebuah pucuk dengan satu daun teh. Begitu pula dengan P+2, P+3, P+4. cara mengklasifikasikannya lumayan susah lho. Waktu itu semua teh yang telah gue klasifikasi gagal total, sehingga menambah kerjaan pegawai Antik di sana. Uhuhuhu. Kalau BM1 adalah pucuk dengan satu daun teh yang masih muda atau baru menyembul. Begitu pula dengan BM2. Ada istilah lagi yaitu BT alias batang tua. Berarti pucuk yang diambil sudah tua dan tidak layak untuk diproses. Namun, teh-teh ini diambil secara acak di ruang pelayuan. Jadi walaupun ada teh yang rusak atau tua, tetap saja akan diproduksi terus.

Selanjutnya adalah Ancuk. Analisis ini berguna untuk menghitung kadar air dalam daun teh dan juga untuk mengukur rasio pucuk basah dan pucuk kering. Ini berguna untuk menghitung pemakaian bahan bakar ketika proses pengeringan nanti. Standar rasio pucuk basah dan kering adalah 0,30. Lebih dari itu berarti boros bahan bakar, dan kurang dari itu berarti irit bahan bakar.

Mari kita mengukur kadar air. Caranya, pucuk yang sudah dianalisis petik, diambil secara acak lagi sebanyak 100 gram, lalu kembali dipisahkan menurut kualitas. Apakah kualitasnya baik, sedang, atau buruk. Selanjutnya ditimbang, dan hasil timbangannya dibagi dengan kelipatan persekutuan terkecil (KPK – temennya FPB, matematika ketika SD). Barulah kita mengambil sampel kelipatan itu.

Setelah itu, pucuk diiris tipis-tipis dan dimasukkan dengan ke dalam alat Halogen Moisture Constant. Dengan alat itu dapat diketahui berapa besar kadar air dalam pucuk tersebut.

Proses

Setelah analisis teh selesai, semua teh masuk dalam alat pelayauan. Dengan menggunakan alat Mixing Chamber yang berukuran panjang 35 meter dan lebar 1,8 meter, serta mampu menampung sampai dengan kapasitas 2100 kg, semua teh dibiarkan layu dengan udara yang dihembuskan dari bawah mesin selama 18 sampai 20 jam.

Pucuk yang telah layu dengan kadar kelayuan antara 68 – 70 %, segera digiling dan dimasukkan kedalam alat confayer. Setelah itu dilakukan pembersihan terhadap debu atau kotoran yang menempel pada daun teh, dengan alat GLS (Green Leaf Sifter). Selanjutnya, daun the akan digiling lagi hingga lebih halus, dan dipotong-potong hingga tipis oleh mesin CTC 1 pada suhu 28 derajat celcius.

Perlu diketahui, pabrik teh ini dikenal dengan nama CTC karena menggunakan mesin CTC. Ada lagi pabrik yang lain yang dikenal dengan nama Orthodox karena menggunakan mesin Orthodox. Perbedaan antara kedua mesin, sayangnya nggak gue ketahui.

Setelah melalui mesin CTC 1, penggilingan dilanjutkan dengan mesin CTC 2, CTC 3, dan CTC 4, pada suhu masing-masing 30, 32, dan 34 derajat celcius. Pada keadaan ini teh sudah berbentuk sangat halus. Selanjutnya bubuk-bubuk teh itu dimasukkan dalam alat FU alias Fermenting Unit. Dari namanya kita akan mengira bahwa teh akan difermentasi. Tapi kalau bicara tentang fermentasi, maka pikiran kita akan tertuju dengan penggunaan bakteri atau mikroba khusus. Padahal, dalam proses ini tidak memakai mikroba apapun. Jadi, menurut gue proses ini lebih tepat dinamakan oksidasi enzymatis, karena menggunakan media udara untuk difermentasikan. Dalam sebuah acara makan siang, gue sempat mendengar seorang senior atau pakar dalam dunia teh sedang menjelaskan proses tersebut kepada para insinyur yang bekerja di sana. Ia menjelaskan juga tentang kesalahan penggunaan istilah dalam proses tersebut. Kata dia, proses tersebut adalah proses apa gitu (gue lupa, soalnya pakai bahasa ilmiah dan gue nggak mencatatnya. Malu dong, lagi acara makan siang malah sibuk mencatat).

Lama dari fermentasi tersebut sekitar 63 menit. Lalu dilanjutkan pada fermentasi terakhir sampai teh berwarna cokelat tanah dan bersuhu 27 derajat celcius. Proses tadi bertujuan untuk mematangkan dan mensterilkan teh sehingga layak untuk dikonsumsi.

Proses terakhir adalah pengeringan dan pengepakan. Di sini diperlukan bahan bakar untuk mengerjakan alat pengeringan itu. Setelah kering, teh siap dikonsumsi dan diperdagangkan. Namun sebelum itu, teh tersebut harus melalui tahap analisis cita rasa yang diuji oleh para insinyur. Demikianlah cara membuat teh. Tertarik?

Oh ya, dalam proses praktikum gue menginap dirumah seorang pegawai bernama Pak Aam. Kalau pak Aam membaca blog ini, terimakasih saya ucapkan untuk bapak dan ibu yang telah bersedia direpotkan dengan kedatangan saya. Terimakasih untuk keluarga Pak Haji Ridwan yang telah membantu saya habis-habisan. Mbak Wida! Ada titipan selai pisang dan beberapa film korea nih! Terimakasih juga untuk semua pegawai yang telah membantu saya, saling bertukar informasi, bersedia ditanyakan macam-macam, dan bersedia mengantar ke mana-mana. Terimakasih banyak! Dan juga untuk teman-teman gue di Bandung, terimakasih juga sudah mau direpotkan. Buat Nico yang nyediain rumah untuk nginep dan menaruh barang-barang serta udah mau mengantar-jemput di tengah-tengah kesibukannya di himpunan, buat Ridwan yang udah mau diculik malem-malem buat nemenin gue ke Lembang, buat Adit – hei dit, akhirnya kita bertatap muka juga. Dan buat beberapa anak 61 angkatan 2005 yang masuk ITB dan secara nggak sengaja bertemu gue di depan McD Simpang. Gini yah, perlu gue jelaskan, gue bukan anak ITB, tapi gue di Bandung untuk berpraktikum. Jadi kalau kalian nyangka gue anak ITB, sampe kapan juga kalian nggak bakal nemu gue di sana. Hehehe.

Saturday, August 27, 2005

Titian Waktu



Kala senja datang membayang
Maka aku pergi
Menjejaki uraian airmata dengan indah cerita di sana

Kala malam hadir penih elegi
Maka lebur semua perasaan
Yang membaur dalam manis kenangan

Dan kala pagi menghembus tenang
Sentakkan kantukmu
Lawan gigilmu
Hadir kembali dengan jiwa baru

Mainz 2005

Wednesday, August 24, 2005

Halo Halo Bandung

Pertama-tama gue mau mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya buat Mbak Wida atas bala bantuannya... Insya Allah semua kebaikan Mbak Wida dan keluarga mendapat balasan dari Allah. Aamiin.

Mulai hari ini gue berada di Bandung. Jadi buat teman-teman yang sering sekonyong-konyong dateng ke rumah gue di Jakarta tanpa pemberitahuan sebelumnya, untuk hari ini dan seterusnya dengan sangat menyesal kalian tidak bisa melakukannya lagi. Hehehehehe.

Jadi begini, teman gue, Sultan, memberi kabar ke gue tentang diterimanya gue di sebuah universitas terkenal di Jerman bernama Technische Universitaet Muenchen di jurusan Biotechnologie und Technologie der Lebensmittel (Bioteknologi dan Teknologi Bahan Pangan). Jurusan tersebut meminta gue untuk melakukan Vorpraktikum (praktikum awal) di sebuah industri yang berhubungan dengan bahan pangan. Setelah mencari, akhirnya Mbak Wida menawarkan tempat di PT Perkebunan Nusantara (PTPN VIII) di Bandung. Malam itu, segera gue mengurus kepergian gue untuk berpraktikum di Bandung. Setelah urusan di malam itu selesai dan besok pagi gue siap merantau ke Bandung, muncullah kabar dari Berlin bahwa gue diterima masuk di Technische Universitaet Berlin jurusan Bioteknologi.

Esok paginya setelah bangun tidur, keadaan bimbang datang. Gue bingung, antara jadi praktikum atau nggak. Hampir saja gue membatalkan rencana praktikum gue. Tapi alhamdulillah, jawaban itu datang. Gue memantapkan hati untuk pergi ke Bandung dan praktikum dengan berbagai pertimbangan.

Siang itu gue berangkan dari stasiun Jatinegara. Tepat setelah kedatangan gue di stasiun, kereta Parahyangan menuju Bandung datang. Perjalanan memakan waktu hampir tiga jam. Siang itu gue sampai di Bandung.


Gedung Sate, Bandung


Sekitar pukul setengah tiga, dibawah guyuran hujan, datang mobil peugeot perak milik teman gue, Nico. Selama di Bandung gue akan menginap di rumahnya. Sore itu juga gue langsung menuju kantor PTPN VIII di Jalan Dago. Untungnya semua serba dekat. Mulai besok gue akan memulai praktikum di sebuah pabrik dan perkebunan teh di wilayah Lembang. Selama beberapa hari gue akan menginap di sana sebelum akhirnya kembali lagi ke Bandung. Doakan lancar yah!


Kebun Teh


Setelah dari kantor PTPN VIII, gue bertemu dengan seorang adik kelas waktu di 61 dulu. Kita berbincang-bincang lama sekali di pinggir jalan Dago. Dia baru pulang dari OSPEK di ITB. Setelah itu, gue makan di McD Simpang, dan menemukan warnet ini tidak jauh dari situ. Jadilah gue berwarnet ria.

Oh ya, mungkin postingan gue setelah ini akan mengenai perkebunan teh. Semoga akan menarik.

Tuesday, August 23, 2005

Mang Ujang

Mang Ujang
Oleh: Mushab Syuhada


Mang Ujang, begitu kami memanggilnya. Mang Ujang adalah kenalan kami ketika kami sedang mengantar keberangkatan seorang teman di stasiun Jatinegara.
„ Maaf dik, saya ingin menuju ke daerah Pasar Minggu. Dengan angkutan apa yah dari sini?“ suara dengan logat sunda yang masih kental tiba-tiba datang dari arah belakang kami.
„Bapak mau ke Pasar Minggu?” ucapku.
“Kalau sudah malam begini, biasanya sudah jarang angkutan, Pak!” seru temanku Irwan.
Aku melihat bawaan Bapak itu. Tiga koper lengkap beserta dua dus kardus dan satu kantong plastik gorengan! Sepertinya si Bapak ini baru datang dari sebuah desa untuk mengadu nasib di kota Jakarta. Pengaruh urbanisasi lah bisa dibilang.
„Begini deh Pak, sekarang kan sudah jam setengah satu pagi. Bagaimana kalau Bapak menginap dulu di rumah saya, besok pagi saya antarkan ke Pasar Minggu“ kata Thomas, temanku yang pada malam itu membawa mobil. „Rumah saya di Depok, Pak. Nggak begitu jauh lah dengan Pasar Minggu“ timpalnya.

***

Mang Ujang orang asli Garut. Datang ke Jakarta dari Cirebon. Beliau diterima kerja di salah satu kantor jasa di bilangan jalan Gatot Subroto. Ini sudah yang kelima kalinya beliau mengunjungi Jakarta, namun beliau masih belum ‘melek’ kota Jakarta. Hari ini kami sepakat mengajak beliau jalan-jalan keliling Jakarta.

Pertama, kami ajak beliau makan siang di Pasar Festival, Kuningan. “Itu loh papes atau apa gitu...” ucapnya saat memberikan usul tempat makan siang kami. “Pafes kali mang! Pasar Festival maksud mang Ujang?” ujarku sambil cekikikan di kursi belakang mobil yang dikendarai Irwan siang hari itu.

Sambil makan, mang Ujang cerita banyak tentang perjalan hidupnya yang menurut kami sangat unik. Salah satu dari sekian banyak ceritanya ada yang menarik perhatian kami. Yaitu keinginannya bertemu dengan sahabat lamanya – teh Atik – yang sedang bekerja di Jakarta dan lebih dari tujuh tahun tidak bertemu walaupun mereka rutin saling menelepon memberi kabar.
“Semalem saya mimpi, saya bisa bertemu dengan Atik itu“ ujarnya.
„Terus, terus?“ tanya Irwan
„Tapi untuk bertemu dengan dia, saya harus melewati berbagai cobaan. Ada yang dikejar singa, ada yang kepleset ke jurang, ada yang nyangkut di ranting pohon, ada yang kepatok ular...“ lanjutnya.
„Hahaha... lucu amat! Emangnya rumahnya Mpok Atik itu di tengah hutan mang?“ timpalku.
„Heh, jangan bilang begitu. Pamali. Dari kecil mang sudah terbiasa mempercayai mimpi“ lanjut mang Ujang.
„Haree geneee masih percaya mimpi! Kita kan bukan di dunia mimpi mang! Lagian kalau kita percaya mimpi gitu ujung-ujungnya bisa syirik loh...” sahut Thomas.
“Anak muda.. anak muda... “ ujarnya sambil geleng-geleng kepala. “Ya sudah. Antarkan mang mencari teh Atik itu yah. Dia bekerja di sebuah kantor di jalan Thamrin-Sudirman. Ini saya punya nomor hapenya“

***

Sore hari itu kami mencari kantornya teh Atik. Setelah mang Ujang menelepon teh Atik untuk mengajak bertemu, mobil kami segera meluncur ke tempat tersebut. Sepanjang perjalanan kami sering senyum-senyum sendiri melihat ekspresi wajah kagum mang Ujang sambil menatap gedung-gedung tinggi dan bangunan-bagunan kedutaan yang megah di kota ini.

Kota Jakarta sore hari. Apalagi kalau bukan macet mewarnai setiap sudut jalan. Satu jam kami terjebak macet karena kami salah mengambil jalan. Ini semua karena mang Ujang ingin melihat bangunan kedutaan Aljazair di depan sana. Akibatnya kami berkutat dengan kemacetan dan sulit mencari jalan memutar balik. Hmmm... mungkin ini cobaan pertama seperti yang dikatakan mang Ujang dalam mimpinya. Ah! mana mungkin kayak begituan harus dipercayai, pikirku. Ini hanya sebuah kebetulan saja.

Setelah lepas dari kemacetan kami menuju ke jalan Thamrin. Dan tahukah apa yang terjadi? Mobil kami melanggar rambu lalu-lintas di sana!
“Prriiiiiiiittt….” Peluit pak Polisi berbunyi ke arah mobil kami. Irwan yang sedang mengendarai mobil panik. Kami juga menjadi panik.
“Selamat sore. Anda melanggar rambu lalu lintas di sini. Anda tidak boleh melewati jalur ini. Apa Anda tidak melihat rambu di sana?” kata pak Polisi.
“Aduh Pak! Maaf deh... damai getoh loh... kita buru-buru nih Pak!” ujar Irwan dalam kepanikan.
“Oke, tolong tunjukkan SIM dan STNK Anda” perintahnya.
Segera Irwan membuka dompetnya, namun ia tidak menemukan STNKnya di sana. Irwan semakin panik. Segera ia mengacak-acak isi mobil.
“Tenang Wan!” seruku. “Coba cari lagi di dompet. Kali aja nyelip”
Dan benar saja, STNK Irwan berhasil ditemukan di dompet itu.
“Sekarang SIMnya mana?” tanya pak Polisi lagi.
Keringat dingin Irwan mengalir. “Ketinggalan di rumah, Pak“
„Ketinggalan atau memang nggak punya?“
Aku baru ingat, dua tahun lalu Irwan pernah kehilangan dompetnya. SIMnya juga ikut hilang. Dia tidak bisa mengurusnya lagi karena ia tidak punya fotokopi SIMnya.

Setelah memarkir mobil di belokan yang menghubungkan jalur lambat dan jalur cepat di jalan Sudirman, di mana semua bis dan mobil mengklakson karena keberadaannya di sana mengganggu lalu lintas, Irwan dan aku turun menghampiri polisi itu untuk menyelesaikan urusan.

„Gimana nih, Anda mau bayar denda atau ke pengadilan?“ tanya Polisi itu.
“Udah pengadilan saja, Pak” ujarku. Aku mau proses hukum yang sebenernya *deu... gaya bener!*. Nggak ada dong istilah sogok-menyogok.

Akhirnya urusan dengan polisi itu selesai juga. STNK Irwan ditahan. Mang Ujang bersama Thomas yang dari tadi di dalam mobil juga ketakutan menghadapi bentakkan para supir bus karena parkir sembarangan.

„Apa kata saya. Akan banyak cobaan!“ seru mang Ujang.

***

Sejak kejadian itu, kami semua menjadi drop. Konsentrasi Irwan menyupir jadi terpecah belah. Yang semestinya belok malah lurus. Yang semestinya masuk jalur lambat malah masuk ke jalur cepat. Akhirnya kami terdampar di halaman parkir Plasa Senayan.

“Tik, kita bertemu di sini saja deh“ kata mang Ujang.
“Kenapa lagi, Jang?” sahut suara di ujung telepon sana.
“Nyasar Tik!”
“Hahahahaha... oke, sepuluh menit lagi aku di sana”

Tepat sepuluh menit muncul sosok dengan jilbab merah, kemeja merah, rok panjang, sendal jepit dan tas tentengan warna hijau. Inilah teh Atik.
“ Aduh Ujang. Tujuh tahun tak jumpa tak ada yang berubah yah dari diri kamu! Tetap gendut!” Sahutnya sambil tertawa renyah. “Oke. Kita shalat maghrib dulu baru deh kita jalan. Mau kemana nih? Nonton? Makan?”

***

Karena Irwan masih dalam kepanikan, maka selanjutnya teh Atik lah yang menyupir. „Aku ini supir yang handal lho!“ ujarnya.
Kami tertawa bersama mengingat cobaan yang kami alami sore tadi. Malam itupun kami masih merasakan cobaan-cobaan datang. Contohnya, kami ingin menuju Blok S untuk makan malam. Perjalanan yang kami tempuh serasa sudah mengelilingi kota Jakarta bolak-balik. Tapi ternyata, letak Blok S adalah di belakang kantornya teh Atik dan dapat ditempuh dengan jalan kaki selama lima menit!

Mang Ujang... walaupun teori mempercayai mimpinya ngasal, dengan dia kami jadi mendapatkan pengalaman seru di sore itu!

Friday, August 19, 2005

The Pattern in The Big Sky

Assalamu'alaikum kawans!

Senang sekali bisa berjumpa kembali setelah sekian lama dipisahkan oleh jarak dan waktu. Alhamdulillah gue sudah balik kembali ke Indonesia dengan sehat wal afiat tanpa kekurangan sedikitpun...

Semua sangat indah, jika gue mengingat delapan hari yang gue habiskan di Madinah, Mekkah, dan Jeddah... sangat indah dan tidak akan mampu terukir dengan serentetan kata-kata. Insya Allah teman semua akan berkesempatan melihat dan merasakan nikmat indah yang telah gue rasakan di sana

Ya Allah, rindu aku
Untuk dapat menumpahkan keluh kesah di pelataranMu
Ya Rasul, rindu aku
Untuk merasakan berseminya cinta dan ketenangan jiwa di dekat makammu





Sekarang gue sudah di Indonesia... Melanjutkan hidup, yang mudah-mudahan akan menjadi hidup baru.

Saturday, August 06, 2005

Simpuhku

Ya Allah
Pun jika Kau izinkan aku menemuiMu
Maka berikan aku waktu
Tuk tumpahkan segala kisahku
Tuk adukan segala susahku
Tuk memohon segala inginku
Tuk mengharap ridhoMu
Tuk meminta agar aku kelak dapat melihat senyumMu
Tuk meneteskan beberapa bulir air mata
Di hadapanMu

Dan kau wahai Baginda Rasul
Tak dapat aku gambarkan lagi rinduku
Mengunjungi tempat istirahatmu
Dan tempat kau berdiri gagah dulu

9-18 Agustus, Di rumahMu...


Friday, July 29, 2005

Syukur is All You Need

Selepas shalat di malam ini, aku melihat seekor kupu-kupu putih mampir masuk ke dalam kamar. Seketika gue mengeluh, aduh, ada kupu-kupu, harus segera diusir nih! ini pasti gara-gara jendela kamar yang dibuka sehingga kupu-kupu itu dapat masuk ke dalam kamar. Namun seketika juga aku meralat keluhanku. Sang kupu-kupu itu terbang merendah dan diam di atas karpet biru kamarku. Diam tak bergeming, seolah enggan untuk kembali terbang serta enggan untuk berpisah denganku. Aku berpikir, selama di Jerman ini mungkin baru kali ini aku melihat kupu-kupu. Ia datang di tengah malam begini, di ketinggian empat lantai pula. Ketika aku tersadar dari berpikirku, tak lagi aku temukan kupu-kupu itu di sana.

Sang kupu-kupu, mungkin ingin menjengukku dan mengucapkan selamat jalan untukku. Subhanallah, hatiku bergetar, sampai seekor kupu-kupu ingin menemaniku di saat terakhirku di sini. Saat terkhir dengan teman-temanku, yang mungkin ketika aku kembali lagi ke sini tak aku jumpai lagi wajah mereka. Sang kupu-kupu hadir seperti mengunjungi hatiku yang sedang berbunga-bunga atas nikmat Allah yang Ia berikan kepadaku di hari ini: Aku diterima di TUHH.

Sang kupu-kupu yang tiba-tiba hilang itu adalah salah satu dari makhluk Allah yang diizinkan oleh-Nya menjengukku, memikirkanku, menganggap diriku spesial. Tidak hanya diriku, tapi every single person is special. Kali ini, mungkin ada beberapa orang yang sedang memikirkan diriku, mendoakan aku, atau mengkhawatirkan diriku. Betapa spesialnya diriku, padahal aku hanya satu makhluk kecil di antara ribuan manusia yang ada di duniaku. Dan juga tidak hanya aku, si ribuan manusia itu masing-masing memiliki ke-spesial-an juga di mata ribuan manusia lain. Mahasuci Allah.

Bila kita lihat tubuh kita, ribuan sel sedang aktif bergerak, berkerja tanpa mengenal lelah, untuk menyokong tubuhku. Ribuan sel! dan mereka tidak bekerja degan mudah, melainkan dengan sangat amat rumit di mana belum ada teknologi tercanggih saat ini yang mampu menandingi kerumitannya. Kita pun juga dipikirkan serta dikhawatirkan oleh sang sel. Mahasuci Allah.

Dan lihatlah hidup kita, hari ke hari, detik ke detik, apalagi kalau bukan limpahan rizki dan nikmat dari Allah. Padahal pada detik itu justru kita bermaksiat pada-Nya. Namun Allah tetap memberikan limpahan nikmat-Nya. Terus, terus, dan terus. Astagfirullah al'adziim.

Memang hanya syukur yang kita butuhkan. Mari kita sama-sama memperbaharui hidup kita dengan syukur. Syukur is all you need!

-dan adzan subuh dari komputerku pun berbunyi. adzan subuh terakhir, yang dapat membuat aku merinding sambil mengingat-Mu ya Allah... Maafkan aku ya Allah... Maafkan aku...-

Thursday, July 28, 2005

Jakarta Oh Jakarta

Senja hari ini telah datang!
Membawa senyumannya seperti waktu terakhir kami berjumpa
Merekam kuat detik-detik yang disinarnya
Tibalah waktuku untuk kembali pulang
Menjemput sang senja berikutnya
Merelakan sang senja saat ini
Dan mengenang senja-senja sebelumnya

(Senja Dari Jendela Kamar, Mushab Syuhada, Berlin 2005)


T : Lo mau pulang ke Jakarta, mas?
J : Iya.

T : Kapan ?
J : Hari Jumat pagi gue berangkat dari Berlin dan take off di Bandara Frankfurt jam tiga sore

T : Mau berapa lama ?
J : Sampai tanggal 8 September. Tapi masih ada kemungkinan diperpanjang.

T : Di sana bakal ngapain aja ?
J : Sejauh ini sih rencana gue adalah memanjakan diri. Bertemu dengan keluarga gue yang sudah satu setengah tahun lamanya tak berjumpa. Terus, gue pingin makan masakan-masakan yang cuma bisa gue temui di Indonesia. Terus, gue bakalan mengunjungi SMA 61, pergi ke Bandung, ketemu temen-temen, beli-beli buku, nonton bioskop, memperbaharui pakaian-pakaian, dan kegiatan-kegiatan lainnya.

T : Gimana perasaan lo mau pulang?
J : Biasa aja. Malah agak sedih. Sedih karena meninggalkan Berlin. Sejak satu setengah tahun gue di sini alhamdulillah belum pernah merasakan homesick. Perasaan yang lain adalah H2C alias harap-harap cemas (menunggu pengumuman kuliah).

T : Nanti kamar lo siapa yang nempatin?
J : Sudah ada yang nempatin kok. Setengah bulan pertama mungkin kosong, tapi selanjutnya ada yang mengisi.

T : Bagasi lo berapa kilo, mas?
J : 20 kilo.

T : Boleh nitip nggak?
J : Boleh, asalkan sama-sama enak. Maksudnya gue juga bisa bawa barang-barang gue plus titipan dari kalian dalam kondisi bagasi 20 kilo.

T : Minta nomor telepon lo di Jakarta dong, mas?
J : Boleh aja, tapi via japri yah. Oh ya, gue nggak setiap hari di Jakarta lho. Besar kemungkinan akan di Bandung beberapa lama, dan luar Jakarta lainnya.

T : Tetep on line nggak?
J : Insya Allah tetep. Di rumah gue ada jaringan internet kok, tapi nggak tahu deh lemot atau nggak.

T : Btw, lo pulangnya naik apa sih?
J : Royal Brunei Airlines, penerbangannya lewat Bangkok dan Bandar Seri Begawan.


Tuesday, July 26, 2005

Lintas: Paris vs Berlin

Champs Élysées, 23 Juli 2005 22:50
Kutatap hawa malam itu, sendiri dalam hiruk pikuk cahaya lampu yang berkilauan, lari melintasi suara-suara tawa, semerbak parfum, gumpalan asap rokok, dentingan cangkir-cangkir capucino. Malam yang gegap kala ribu orang merayap memenuhi dua ruas di mana dunia menatap...


Jumat 22 Juli 2005, kami berangkat menuju Paris seusai shalat Jumat dari terminal Berlin ZOB-Messedam-ICC dengan menggunakan bis antar kota dari biro perjalanan yang kami pakai. Perjalanan kami akan memakan waktu selama 16 jam. Hampir mirip dengan lama perjalanan dari Jerman ke Indonesia dengan menggukan pesawat. Asiknya, di tengah-tengah perjalanan kami bisa gelar koran dan makan malam bersama. Seperti piknik. Nggak enaknya, bis yang kita tumpangi kurang nyaman. Terlalu sempit, agak-agak kotor dan AC di atas tempat duduk kami kurang berfungsi. Selain itu ada sedikit masalah juga sih... but it was ok, although I don’t wanna use them anymore… hehehe

Setelah melalui lintas kota-kota di Jerman via jalan tol, menyebrangi negara Belanda dan menelusuri negara Belgia, tibalah kami di tanah Perancis pada pukul lima pagi di sebuah tempat istirahat di tepi jalan tol. Setelah bersikat gigi, dan cuci muka, kami sarapan pagi dengan bekal yang kami bawa sendiri dari Berlin. Di sana ternyata kami bertemu dengan banyak orang Indonesia. Orang Indonesia di mana-mana, nggak hanya di Jerman, di Perancis pun banyak. Nggak salah deh kalau jumlah penduduk Indonesia adalah peringkat ke-empat terbanyak di dunia. Hehehe

Selanjutnya gue tertidur dalam perjalan menuju kota Paris, dan terbangun ketika si Mbak pemimpin rombongan berkata: “Kalian lihat ke arah kiri, itulah Stade de France tempat berlangsungnya final piala dunia tahun 1998 kemarin”. Seketika itu gue tersentak bangun, dan dalam keadaan antara sadar dan tak sadar, gue melihat bangunan stadion itu. Hati gue pun berkata: “Waahh.. sudah sampai di Paris, kota penuh cinta, kota yang romantis, kota yang gue impi-impikan untuk gue kunjungi dulu, kota yang anu, kota yang ini, bla bla..”

Namun puji-pujian itu tidak berlangsung lama, karena segera gue meralatnya. Selepas wilayah Saint-Denis (bagian utara Paris) barulah wajah Paris terlihat. Kotor dan berantakan! Mirip seperti Jakarta. Sangat jauh bila dibandingkan dengan Berlin, dimana semua teatur, rapih, dan terarah. Satu point untuk Berlin.

Tapi, gue sih lebih suka sesuatu yang tidak terlalu terarah dan beraturan, karena jika kita teralalu lama dalam suatu keberaturan, kita akan merasa cepat bosan, terlalu statis. Beda jika kita dihadapkan dengan kesemrawutan. Memang sih menjengkelkan, tapi membuat hidup menjadi dinamis. Untuk alasan gue yang satu ini, satu point untuk Paris.

Biarpun sedikit kotor dan berantakan, di Paris lebih jarang ditemukan anjing dibandingkan di Berlin, dan juga sangat jarang ditemukan kotoran ajing berceceran di pinggir jalan. Itu satu dari yang tidak gue suka dari Berlin: banyaknya kotoran anjing di mana-mana. Well, tapi gue pernah dengar kalau kota dengan kotoran anjing terbanyak adalah Paris, tapi ternyata tidak sesuai dengan apa yang gue lihat tuh, maka satu point untuk Paris.

Oke, selanjutnya adalah mengitari kota Paris memakai bis yang kami tumpangi. Di sini barulah kita melihat sisi Paris yang lain, yang subhanallah, indah banget! Kami melihat beberapa tempat penting di Paris yang akan kami kunjungi setelahnya, seperti Arc de Triomphe, Champs Élysées, Museum Louvre, Notre Dame, Eiffel Tour, dan lainnya. Bis kami berhenti di sebuah jalan yang menghubungkan Moulin Rouge dengan Sacre Cour.

Sacre Cour adalah sebuah bangunan gereja putih dengan ukiran-ukiran dinding yang bergaya jaman Barok dan Renaissance, terletak di atas bukit di utara kota Paris. Terpisah memang dengan pusat-pusat wisata kota Paris lainnya – yang umumnya terletak di wilayah tengah. Sacre Cour ini memiliki halaman yang luas dengan anak-anak tangga dari sisi kiri dan kanannya. Seperti istana di Potsdam yang gue kunjungi akhir tahun lalu.



Sacre Cour


Menara Eiffel adalah tempat kedua yang kami kunjungi. Kami memulai aksi jepret foto di Palais de Chaillot, sebuah tempat yang menghadap ke arah menara Eiffel, di mana kita dapat mengambil gambar menara itu secara sempurna. Jarak dari Palais de Chaillot ke Eiffel Tour sekitar 600 meter. Di tempat itu kami menghabiskan makan siang yang kami bawa dari Berlin. Di tempat itu kami mulai mencari souvenir kota Paris. Adalah Pak X – terlihat seperti orang India – menjual beberapa souvenir ke pada kami seperti gantungan kunci Eiffel, kartu pos, dsb dengan harga yang sangat amat murah. Tapi untuk membelinya kami diperlakukan seperti mafia. Ternyata souvenir-souvenir itu termasuk dalam pasar gelap di sana. Buktinya, pedagang itu (bersama pedagang yang lain) ketakutan begitu mereka melihat kehadiran polisi di tempat itu. Bagi gue sih bodo amat. Yang penting bisa dapet souvenir dengan harga yang murah. Keberadaan pedagang seperti itu memberikan satu point untuk Paris.



Eiffel Tour


Selanjutnya kami menuju tempat berdirinya menara Eiffel. Wouw! Sungguh terkesannya gue dapat berada persis di bawah menara Eiffel. Menara itu dapat dinaiki baik memakai lift atau memakai tangga. Untuk memakai lift diperlukan biaya (gue lupa sih) antara 8 – 12 Euro per orang. Kami tidak menaiki menara itu karena selain mahal, antriannya panjang bener! Kayaknya diperlukan sehari khusus deh jika ingin benar-benar menaiki menara itu.

Setelah duduk-duduk di taman menara Eiffel – tempat shootingnya film Eiffel I’m in Love – menyaksikan orang berlalu-lalang, meneguk minuman jus jeruk segar penghapus dahaga, bersantai bersama ratusan turis lain yang sedang menikmati terik matahari di siang itu, dan mendengarkan beberapa bahasa di dunia di mana salah satunya adalah bahasa Indonesia (I told you, there were so many Indonesian in that place!), kami melanjutkan perjalanan.

Kami menemukan sebuah toko souvenir kecil milik orang Aljazair yang beragama Islam. Mereka menunjukkan wilayah tempat masjid berada. Untuk dapat shalat Dzuhur dan Ashar sambil sedikit melepas lelah, kami ingin mengunjungi masjid itu. But first of all, kami harus mencari stasiun Metro terdekat dari tempat itu.

Tahukah kalian apa itu Metro? Metro itu adalah stasiun kereta bawah tanah, seperti U-Bahn di Jerman atau Subway di Inggris dan Amerika. Setelah bertanya sana-sini dengan berbekalkan “Parlez-vous anglais? Où se trouve la Metro-Station proche?” akhirnya kami bertemu dengan stasiun Metro bernama Bir Hakeim. Bila dibandingkan, stasiun U-Bahn di Berlin jauh lebih bagus, modern, dan tertata dibandingkan stasiun Metro di Paris. Dua point untuk Berlin dalam hal ini. Namun stasiun Metro di Paris memakai sistem karcis untuk membuka pintu masuk ke dalam stasiun. Menurut gue, ini lebih efektif dari pada keberadaan BVG Kontrolle di Berlin yang untuk menjalankan tugasnya harus menyamar terlebih dahulu. Satu point untuk Paris.

Di stasiun Metro, kami pun masih harus bertanya dengan orang lain. Berbekal bisa membaca peta saja tidak cukup, karena tata kota Paris yang begitu semrawut. Kalau di Berlin, orang tidak boleh nyasar, karena peta tersedia di mana-mana dan dapat sangat mudah dipahami karena kotanya yang teratur. Tapi kalau di Paris nyasar, menurut gue itu biasa dan lumrah. Untungnya, sejumlah orang Perancis yang kami tanyai (egal apakah ia orang Perancis asli atau orang Marokko, atau orang berkulit hitam, atau orang indochina) semuanya bersuka hati menolong kami. Wajah mereka terlihat lebih freundlich (bersahabat), beda jauh dengan wajah orang-orang Jerman yang cemberut, masam, dan menyebalkan (entschuldigung, dass ich so was sagen muss, hehehe). Satu point lagi untuk Paris. Selain itu, kebanyakan warga Paris bisa berbahasa Inggris. Itu yang paling penting, sebagai kota multikultur semestinya penghargaan terhadap bahasa Inggris sebagai bahasa internasional dihargai, tidak seperti di Jerman, seperti komentar gue yang satu ini, di mana kebanyakan warganya tidak bisa bahasa Inggris, dan tetap memaksakan berbicara bahasa Jerman dengan siapa saja – tak peduli apakah orang itu bisa berbahasa Jerman atau tidak. Gue pernah denger cerita dari seorang guru gue, Frau T, dia bilang, orang Perancis menganggap semua orang harus bisa berbahasa Perancis, dan tidak mau berbahasa Inggris, sedangkan orang Jerman tidak seperti itu. Tapi karena apa yang gue lihat di lapangan berbeda, maka satu point lagi untuk Paris (noch mal, es tut mir ganz herzlich leid).

Dengan menggunakan kereta Metro yang sempit (satu point untuk Berlin yang memiliki kereta U-Bahn ternyaman), kami menuju ke Mosquèe de Paris. Walaupun sempit dan berdesakkan, udara di dalam Metro semerbak wangi, dan I enjoyed seeing every single people di dalam Metro itu. Semua serba unik. Cara mereka duduk, makan, berbicara, wah, Paris pokoknya gue banget deh! That’s the point I like from Paris.



Suasana di dalam Metro


Mosquèe de Paris adalah masjid terbesar di Paris. Dengan komunitas Muslim sebanyak delapan persen, sangat wajar jika Paris memiliki masjid sebesar dan semegah itu. Orang-orang di dalam masjid itu umumnya dari arab maghribi dan afrika tengah, Mereka sangat ramah. Terlihat juga beberapa orang bule melihat-lihat masjid itu. Ternyata hari itu masjid sedang terbuka untuk umum, walaupun pengunjung yang ingin melihat masjid dilarang untuk masuk ke tempat shalatnya.

Setelah selesai shalat, bersih-bersih, dan sedikit melepas lelah, kami meneruskan perjalanan kami. Saat itu kami ingin mengunjungi semua tempat menarik di Paris, karena kami sudah membeli Tageskarte (kartu untuk transportasi yang berlaku selama satu hari penuh) seharga 5,4 euro. Cukup mahal bukan? makanya kami tidak mau rugi, dan kalau perlu semua jengkal kota Paris kami kunjungi.



Mosquée de Paris


Selanjutnya kami mengunjungi Cathédrale Notre-Dame de Paris, salah satu bangunan katedral yang sangat populer di Paris. Untuk mencapai ke sana kami harus jalan kaki sampai kaki kami serasa akan putus. Semua itu karena kami kesulitan menemukan letak stasiun Metro di sana. Coba perhatikan percakapan singkat kami dengan salah seorang warga Perancis yang kami tanyai tentang letak Metro di wilayah itu.

Kami: Excuse me, we are looking for the nearest metro station from here. Can you help me to show that place?
Dia: Oh of course! So, do you see the car over there?
Kami: That car? (sambil menunjuk ke arah mobil yang dimaksud)
Dia: exactly! And the metro is behind the car


Jadi saudara-saudara, saking terpencilnya letak stasiun Metro, sampai tertutup oleh sebuah mobil! Aduh, pokoknya kalau masalah beginian sih Berlin is the best. Di dalam Metro itu sendiri terdapat lorong-lorong panjang yang menghubungkan antara stasiun metro satu dan yang lain. Di sana penuh sesak orang, tapi walaupun demikian tetap wangi!

Dan sampailah kita di Notre Dame. Apa yang kami lakukan di sana? Hanyalah duduk-duduk di halaman depan gereja dan bertemu dengan sebuah keluarga Perancis yang dapat berbahasa Indonesia. Selanjutnya kami mengunjungi sebuah toko souvenir di sebelah gereja itu. Gue pun langsung menjalankan tugas membeli beberapa benda khas Paris. Dan saat itu juga uang gue langsung habis banyak... hiks.. hiks.. hiks.. mahal banget! Kayaknya Berlin nggak semahal ini deh (satu point untuk Berlin). Tapi nggak apa-apa lah, belum tentu gue bisa ke Paris lagi. Iya nggak?

Dengan Metro 7 ke arah La Courneuve, selanjutnya kami mengunjungi Palais Royal Musée du Louvre, salah satu museum terbesar yang dimiliki dunia. Memang luar biasa besar museum ini. Lebih pantas disebut istana. Di halaman tengahnya terdapat beberapa bangunan piramida dari kaca, dan pada piramida terbesar terdapat lukisan asli ‚Mona Lisa’ karya Leonardo da Vinci. Sayangnya, kami tidak masuk untuk melihat mahakarya itu karena alasan waktu. Namun dapat duduk di halaman museum itu dan memandang keklasikan bangunan dengan ukiran dan patung di setiap sudut dindingnya, telah dapat memberikan kepuasan tersendiri bagi kami.



Musée de Louvre


Hari pun semakin sore, dan perjalanan tetap kami lanjutkan. Karena pada pukul delapan sore nanti kami akan menaiki boot untuk menikmati kota Paris dari atas sungai Seine, maka rencana mengunjungi Opéra National de Paris – Garnier kami batalkan. Kami segera meluncur menggunakan Metro 1 ke arah La Défense dan turun di stasiun Charles de Gaulle Étolie untuk melihat Arc de Triomphe dari dekat. Perjalanan dilanjutkan ke Champs-Élysées Clemenceau untuk bergabung dengan teman satu perjalanan yang lain.

Ternyata, teman-teman kami yang lain belum berkumpul di tempat itu. Jadilah kami mencari taman rindang di dekat tempat itu dan melepas lelah lagi di sana.

Paris di sore itu, burung-burung beriringan mengepakkan sayapnya dan hinggap di atas lampu kota bercahayakan emas. Hawa udara sore membayangi sepasang yang berpelukan di atas jembatan sungai Seine. Dan sebuah mobil mewah berhenti di depan Café de la Folie. Seorang pria berjas-berdasi bersembunyi di balik kacamata hitam yang ia kenakan, bertemu dengan sosok bergaun panjang di sudut kota.

Huhuhuhu tiba saat paling romantis, yaitu menelusuri sungai Seine dari atas boot sambil melihat kota Paris di tepi sungai itu. Namun sayang, saat kami menaiki sungai itu hujan turun rintik-rintik. Jadi mengurangi suasana romantis deh. Hehehe. By the way, kalau pergi ke Paris kayaknya harus menelusuri sungai ini, dan catat waktu yang paling tepat: sore hari di kala matahari akan tenggelam. Oh, indah banget! So sweet! so süß! (pernah nonton film Before Sunset? Kira-kira seperti itu lah). Dari atas boot kami melihat bangunan-bangunan klasik Paris di balik senja yang turun perlahan dan menerawang. Ketika itu pelan-pelan menara Eiffel mulai bertaburan cahaya-cahaya jingga yang semakin malam akan semakin terang cahayanya. Ketika itu, gue berharap akan dapat mengunjungi Paris sekali lagi. Tapi tidak sendiri, melainkan dengan mama, papa, kakak, dan adik. Dan juga tidak di musim panas, melainkan di musim dingin. Pasti indah banget deh.



Sudut kota Paris yang tertangkap dari atas sungai Seine


Malam semakin memekatkan gelapnya di kota itu, sudut-sudut kota mulai bermandikan cahaya lampu yang makin menambah suasana romantis dan klasik. Tiba saatnya untuk segera berpisah dengan Paris. Rombongan kami akan mengitari kota Paris sekali lagi namun kami tidak ikut dengan mereka. Kami ingin mencari makan malam. Waktu kami hanya satu setengah jam. Setelah itu rombongan kami akan kembali ke Berlin. Awalnya, karena kami bingung adakah restaurant halal di sepanjang Champs Élysées, makan kami putuskan untuk membeli kentang goreng plus burger ikan di McD. Namun salah seorang dari kami tiba-tiba menghilang untuk mencari toko kebab. Dimulailah kisah lanjutan dari Eiffel I’m in Love, berjudul Champs Élysées I’m Ribet. Waktu kami hanya satu setengah jam, namun kami harus saling cari-carian dan tunggu-tungguan. Ada yang menghilang untuk mencari kebab, ada yang di toilet lama banget. Malam itu ruas jalan Champs Élysées dipenuhi orang-orang hilir mudik penuh suka cita. Jalanan itu disulap menjadi catwalk yang penuh dengan kemewahan dan kemegahan. Setiap orang menikmati setiap langkah kaki yang mereka tapak di ruas jalan itu. Tapi tidak dengan gue. Gue harus berlari-lari mengejar waktu, menyalip orang-orang yang lalu lalang dari kiri dan dari kanan.

Sebuah toko kebab kami temukan di sana. Kami membeli Schawarma seharga empat euro! Mahal banget! Di Berlin aja paling mahal dua euro! (satu point untuk Berlin) mungkin karena gue membelinya di tempat elit kali yah.

Selanjutnya kami terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok yang pertama bertugas menyelesaikan urusan pembelian Schawarma dan kelompok yang kedua mencari supermarket terdekat untuk membeli air minum. Gue termasuk dalam kelompok kedua. Sekali lagi kami berlari ke sana ke mari, menyebrari jalan, bertanya ke beberapa orang yang kami temui, dan bertemulah kami dengan supermarket Monoprix – supermarket termahal yang gue kenal. Tapi karena waktu yang semakin sempit, egal deh seberapa mahal juga kami beli. Masih untung kami sudah menemukan supermarket itu.

Biarpun detik-detik akhir kami heboh dan ribet, moment itulah yang paling gue suka di antara seluruh perjalan kami di kota Paris. Malam di Champs Élysées, indah banget, unforgetable deh, sayangnya gue nggak mengambil foto di malam itu, tapi bakal gue kenang dalam otak gue. (uuhh... so sweet... so süß...)

Au Revoir, Paris. Dan dari Paris vs Berlin, kita telah temukan pemenangnya. Penilaian ini murni plus asli subjektif dari diri gue, tanpa ada data statistik yang mendukung, tanpa ada pembuktian ilmiah yang menyokong. Semua bersumber dari bolamata di balik kacamata gue. Hehehe. Gue putuskan pemenangnya adalah PARIS ! (ohne die erreichten Punkte nachzugücken).