Sunday, June 18, 2006

Sekat dan Suara Langit

Kategori: Cerpen

„Kamu bermuka dua!“ teriakan dari langit itu menggelegar. Sayup-sayup terdengar lagi, „Bagaimana mungkin kamu bisa bertindak seperti itu?“
Ah, hanya saja dulu aku tidak tahu ayat itu, hanya saja dulu aku tidak sadar bahwa maut bisa merenggut kapan saja tanpa kompromi, mungkin aku bisa seperti mereka, berjingkrak, bersorak, hore.

Jiwa yang terbelenggu, tersekat-sekat. „Boleh kah aku menggadaikan kata istiqomah sebentar saja? Aku ingin menghirup masa mudaku sebebas-bebasnya. Lepas!“
„Laaaaa!“ teriak suara langit itu lagi. „Tidak ada yang memaksamu untuk istiqomah. Silahkan cari jalan lain sesukamu. Namun tidak ada yang dapat menjamin kamu akan kembali lagi ke jalan ini!“

Aku menghela nafas yang berat. „Fa alhamahaa fujurohaa wataqwaahaa“. Allah telah bersumpah! Bahkan sumpahnya kali ini lebih hebat dari sumpahnya yang lain. Atas nama matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringnya, dan siang apabila menampakannya, dan malam apabila menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya, dan jiwa serta penyempurnaannya, serta merta sumpah Allah, bahwa jiwa itu diilhamkan kefasikan dan ketakwaannya.

„Lumrahkah itu wahai suara yang menggelegar?“ tanyaku lagi. Namun sang suara tak lagi menggumamkan nyaringnya. Hening. Wahai jiwa, kau memberi tantangan pada keistiqomahan atas sifatmu yang bisa takwa dan bisa fasik!

***

Terbelalak aku di balik lautan orang-orang berwarna-warni dan berbau keringat. „Ole! Ole! Ole! Brasiiiiilllieennnnnn!“. Mengadah aku, dan gelap sudah menggarap langit-langit.
„Ya Allah! Aku belum shalat maghrib!“ Mengapa waktu maghrib pukul setengah sepuluh malam? Di saat pertandingan Brasil melawan Kroasia pukul sembilan malam. Tak mungkin aku menunggu setengah jam di rumah untuk shalat maghrib, lalu berangkat menonton acara piala dunia di tengah kota. Bisa-bisa 45 menit pertama sudah lewat. Lalu, sekarang sudah pukul sebelas, sebentar lagi maghrib habis. Di mana aku bisa mendirikan shalat?, padahal semua jengkal tanah telah direservasi lautan manusia yang sedang berteriak-teriak. Tak mungkin aku shalat di sini. Ini Berlin saudara-saudara!, pastilah orang akan menganggapku teroris jika beribadah di tengah mereka!

„Hayya’lasholaaaaaa“ suara itu datang lagi menyelip dari gelap langit yang semakin memekat. „Di mana?“ tanyaku beremosi. „Yang lain pun tidak shalat! Yang lain pun bergembira!“. Kenapa? Kenapa? Kenapa? Aku ingin dugem, dulalip atau apalah namanya, minum alkohol, pesta pora tralala, itu kan yang semestinya dilakukan orang-orang seumuranku?

Tiba-tiba hujan, pun tak menghentikan gempita malam itu. Menit berjalan, mempertaruhkan waktu maghribku, eksistensi islamku. Ah, islam kah aku? Royal sudah kah aku terhadap agamaku?

„Memang sulit menjaga keistiqomahan terutama di tempat yang bukan mayoritas islam seperti di sini. Tapi jika kamu mampu menjaga istiqomahmu, insya Allah, islam yang kaafah yang akan kamu renggut,“ kata suara ustadz yang kutemui setahun yang lalu.

Teringat aku dengan David, Martin, Patrick, Bettina, Aletta, Marielle... Ketika hidayah datang kepada mereka, bukan kesurutan iman yang mereka temui, tapi malah semakin menjadi. Pernah ku lihat Martin berdoa dengan khusyuk sekali, mengadahkan kedua tangannya, memejamkan matanya, seolah menyerahkan semua yang dia punya, dan hatinya bergumam berkata kepada Allah. Si pirang bermata biru itu selalu merasa sejuk kala menghadap Tuhannya. Atau Aletta, si bule berkacamata yang tetap dengan kain panjang menutup kepalanya dan baju lengan panjangnya, di saat teman-temannya yang lain ber-tanktop dan bercelana pendek di musim yang super panas saat ini, atau di saat lingkungannya menatapnya picik menghinakan, eine Deutsche trägt ein Kopftuch?!

Maghrib akan lewat, Ya Allah, aku menghadap Mu sekarang, ampuni aku ya Allah! Ampuni...

***

„Wahai Muhammad, akan kuberikan apapun yang kamu minta, uang, harta, pangkat, wanita, asalkan kamu berhenti dari dakwahmu!“
„Walapun matahari di tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan berhenti pada jalan ini!“

Andai matahari di tangan kananku tak kan sanggup mengubah yakinku
Terpatri dan tak kan terbeli dalam lubuk hati
Bilakah rembulan di tangan kiriku, tak kan sanggup mengganti imanku
Jiwa dan raga ini apapun adanya
Andaikan seribu siksaan terus melambai-lambaikan derita yang mendalam
Seujung rambutpun aku tak kan bimbang
Jalan ini yang kutempuh
Bilakah ajal kan menjelang jemput rindu-rindu syahid yang penuh kenikmatan
Cintaku hanya untukMu
Tetapkan muslimku selalu
(Harris Syafik – Keimanan)

***

Berlin, 18 Juni 2006
Untuk seorang adik yang akan pulang habis ke Indonesia.