Friday, July 29, 2005

Syukur is All You Need

Selepas shalat di malam ini, aku melihat seekor kupu-kupu putih mampir masuk ke dalam kamar. Seketika gue mengeluh, aduh, ada kupu-kupu, harus segera diusir nih! ini pasti gara-gara jendela kamar yang dibuka sehingga kupu-kupu itu dapat masuk ke dalam kamar. Namun seketika juga aku meralat keluhanku. Sang kupu-kupu itu terbang merendah dan diam di atas karpet biru kamarku. Diam tak bergeming, seolah enggan untuk kembali terbang serta enggan untuk berpisah denganku. Aku berpikir, selama di Jerman ini mungkin baru kali ini aku melihat kupu-kupu. Ia datang di tengah malam begini, di ketinggian empat lantai pula. Ketika aku tersadar dari berpikirku, tak lagi aku temukan kupu-kupu itu di sana.

Sang kupu-kupu, mungkin ingin menjengukku dan mengucapkan selamat jalan untukku. Subhanallah, hatiku bergetar, sampai seekor kupu-kupu ingin menemaniku di saat terakhirku di sini. Saat terkhir dengan teman-temanku, yang mungkin ketika aku kembali lagi ke sini tak aku jumpai lagi wajah mereka. Sang kupu-kupu hadir seperti mengunjungi hatiku yang sedang berbunga-bunga atas nikmat Allah yang Ia berikan kepadaku di hari ini: Aku diterima di TUHH.

Sang kupu-kupu yang tiba-tiba hilang itu adalah salah satu dari makhluk Allah yang diizinkan oleh-Nya menjengukku, memikirkanku, menganggap diriku spesial. Tidak hanya diriku, tapi every single person is special. Kali ini, mungkin ada beberapa orang yang sedang memikirkan diriku, mendoakan aku, atau mengkhawatirkan diriku. Betapa spesialnya diriku, padahal aku hanya satu makhluk kecil di antara ribuan manusia yang ada di duniaku. Dan juga tidak hanya aku, si ribuan manusia itu masing-masing memiliki ke-spesial-an juga di mata ribuan manusia lain. Mahasuci Allah.

Bila kita lihat tubuh kita, ribuan sel sedang aktif bergerak, berkerja tanpa mengenal lelah, untuk menyokong tubuhku. Ribuan sel! dan mereka tidak bekerja degan mudah, melainkan dengan sangat amat rumit di mana belum ada teknologi tercanggih saat ini yang mampu menandingi kerumitannya. Kita pun juga dipikirkan serta dikhawatirkan oleh sang sel. Mahasuci Allah.

Dan lihatlah hidup kita, hari ke hari, detik ke detik, apalagi kalau bukan limpahan rizki dan nikmat dari Allah. Padahal pada detik itu justru kita bermaksiat pada-Nya. Namun Allah tetap memberikan limpahan nikmat-Nya. Terus, terus, dan terus. Astagfirullah al'adziim.

Memang hanya syukur yang kita butuhkan. Mari kita sama-sama memperbaharui hidup kita dengan syukur. Syukur is all you need!

-dan adzan subuh dari komputerku pun berbunyi. adzan subuh terakhir, yang dapat membuat aku merinding sambil mengingat-Mu ya Allah... Maafkan aku ya Allah... Maafkan aku...-

Thursday, July 28, 2005

Jakarta Oh Jakarta

Senja hari ini telah datang!
Membawa senyumannya seperti waktu terakhir kami berjumpa
Merekam kuat detik-detik yang disinarnya
Tibalah waktuku untuk kembali pulang
Menjemput sang senja berikutnya
Merelakan sang senja saat ini
Dan mengenang senja-senja sebelumnya

(Senja Dari Jendela Kamar, Mushab Syuhada, Berlin 2005)


T : Lo mau pulang ke Jakarta, mas?
J : Iya.

T : Kapan ?
J : Hari Jumat pagi gue berangkat dari Berlin dan take off di Bandara Frankfurt jam tiga sore

T : Mau berapa lama ?
J : Sampai tanggal 8 September. Tapi masih ada kemungkinan diperpanjang.

T : Di sana bakal ngapain aja ?
J : Sejauh ini sih rencana gue adalah memanjakan diri. Bertemu dengan keluarga gue yang sudah satu setengah tahun lamanya tak berjumpa. Terus, gue pingin makan masakan-masakan yang cuma bisa gue temui di Indonesia. Terus, gue bakalan mengunjungi SMA 61, pergi ke Bandung, ketemu temen-temen, beli-beli buku, nonton bioskop, memperbaharui pakaian-pakaian, dan kegiatan-kegiatan lainnya.

T : Gimana perasaan lo mau pulang?
J : Biasa aja. Malah agak sedih. Sedih karena meninggalkan Berlin. Sejak satu setengah tahun gue di sini alhamdulillah belum pernah merasakan homesick. Perasaan yang lain adalah H2C alias harap-harap cemas (menunggu pengumuman kuliah).

T : Nanti kamar lo siapa yang nempatin?
J : Sudah ada yang nempatin kok. Setengah bulan pertama mungkin kosong, tapi selanjutnya ada yang mengisi.

T : Bagasi lo berapa kilo, mas?
J : 20 kilo.

T : Boleh nitip nggak?
J : Boleh, asalkan sama-sama enak. Maksudnya gue juga bisa bawa barang-barang gue plus titipan dari kalian dalam kondisi bagasi 20 kilo.

T : Minta nomor telepon lo di Jakarta dong, mas?
J : Boleh aja, tapi via japri yah. Oh ya, gue nggak setiap hari di Jakarta lho. Besar kemungkinan akan di Bandung beberapa lama, dan luar Jakarta lainnya.

T : Tetep on line nggak?
J : Insya Allah tetep. Di rumah gue ada jaringan internet kok, tapi nggak tahu deh lemot atau nggak.

T : Btw, lo pulangnya naik apa sih?
J : Royal Brunei Airlines, penerbangannya lewat Bangkok dan Bandar Seri Begawan.


Tuesday, July 26, 2005

Lintas: Paris vs Berlin

Champs Élysées, 23 Juli 2005 22:50
Kutatap hawa malam itu, sendiri dalam hiruk pikuk cahaya lampu yang berkilauan, lari melintasi suara-suara tawa, semerbak parfum, gumpalan asap rokok, dentingan cangkir-cangkir capucino. Malam yang gegap kala ribu orang merayap memenuhi dua ruas di mana dunia menatap...


Jumat 22 Juli 2005, kami berangkat menuju Paris seusai shalat Jumat dari terminal Berlin ZOB-Messedam-ICC dengan menggunakan bis antar kota dari biro perjalanan yang kami pakai. Perjalanan kami akan memakan waktu selama 16 jam. Hampir mirip dengan lama perjalanan dari Jerman ke Indonesia dengan menggukan pesawat. Asiknya, di tengah-tengah perjalanan kami bisa gelar koran dan makan malam bersama. Seperti piknik. Nggak enaknya, bis yang kita tumpangi kurang nyaman. Terlalu sempit, agak-agak kotor dan AC di atas tempat duduk kami kurang berfungsi. Selain itu ada sedikit masalah juga sih... but it was ok, although I don’t wanna use them anymore… hehehe

Setelah melalui lintas kota-kota di Jerman via jalan tol, menyebrangi negara Belanda dan menelusuri negara Belgia, tibalah kami di tanah Perancis pada pukul lima pagi di sebuah tempat istirahat di tepi jalan tol. Setelah bersikat gigi, dan cuci muka, kami sarapan pagi dengan bekal yang kami bawa sendiri dari Berlin. Di sana ternyata kami bertemu dengan banyak orang Indonesia. Orang Indonesia di mana-mana, nggak hanya di Jerman, di Perancis pun banyak. Nggak salah deh kalau jumlah penduduk Indonesia adalah peringkat ke-empat terbanyak di dunia. Hehehe

Selanjutnya gue tertidur dalam perjalan menuju kota Paris, dan terbangun ketika si Mbak pemimpin rombongan berkata: “Kalian lihat ke arah kiri, itulah Stade de France tempat berlangsungnya final piala dunia tahun 1998 kemarin”. Seketika itu gue tersentak bangun, dan dalam keadaan antara sadar dan tak sadar, gue melihat bangunan stadion itu. Hati gue pun berkata: “Waahh.. sudah sampai di Paris, kota penuh cinta, kota yang romantis, kota yang gue impi-impikan untuk gue kunjungi dulu, kota yang anu, kota yang ini, bla bla..”

Namun puji-pujian itu tidak berlangsung lama, karena segera gue meralatnya. Selepas wilayah Saint-Denis (bagian utara Paris) barulah wajah Paris terlihat. Kotor dan berantakan! Mirip seperti Jakarta. Sangat jauh bila dibandingkan dengan Berlin, dimana semua teatur, rapih, dan terarah. Satu point untuk Berlin.

Tapi, gue sih lebih suka sesuatu yang tidak terlalu terarah dan beraturan, karena jika kita teralalu lama dalam suatu keberaturan, kita akan merasa cepat bosan, terlalu statis. Beda jika kita dihadapkan dengan kesemrawutan. Memang sih menjengkelkan, tapi membuat hidup menjadi dinamis. Untuk alasan gue yang satu ini, satu point untuk Paris.

Biarpun sedikit kotor dan berantakan, di Paris lebih jarang ditemukan anjing dibandingkan di Berlin, dan juga sangat jarang ditemukan kotoran ajing berceceran di pinggir jalan. Itu satu dari yang tidak gue suka dari Berlin: banyaknya kotoran anjing di mana-mana. Well, tapi gue pernah dengar kalau kota dengan kotoran anjing terbanyak adalah Paris, tapi ternyata tidak sesuai dengan apa yang gue lihat tuh, maka satu point untuk Paris.

Oke, selanjutnya adalah mengitari kota Paris memakai bis yang kami tumpangi. Di sini barulah kita melihat sisi Paris yang lain, yang subhanallah, indah banget! Kami melihat beberapa tempat penting di Paris yang akan kami kunjungi setelahnya, seperti Arc de Triomphe, Champs Élysées, Museum Louvre, Notre Dame, Eiffel Tour, dan lainnya. Bis kami berhenti di sebuah jalan yang menghubungkan Moulin Rouge dengan Sacre Cour.

Sacre Cour adalah sebuah bangunan gereja putih dengan ukiran-ukiran dinding yang bergaya jaman Barok dan Renaissance, terletak di atas bukit di utara kota Paris. Terpisah memang dengan pusat-pusat wisata kota Paris lainnya – yang umumnya terletak di wilayah tengah. Sacre Cour ini memiliki halaman yang luas dengan anak-anak tangga dari sisi kiri dan kanannya. Seperti istana di Potsdam yang gue kunjungi akhir tahun lalu.



Sacre Cour


Menara Eiffel adalah tempat kedua yang kami kunjungi. Kami memulai aksi jepret foto di Palais de Chaillot, sebuah tempat yang menghadap ke arah menara Eiffel, di mana kita dapat mengambil gambar menara itu secara sempurna. Jarak dari Palais de Chaillot ke Eiffel Tour sekitar 600 meter. Di tempat itu kami menghabiskan makan siang yang kami bawa dari Berlin. Di tempat itu kami mulai mencari souvenir kota Paris. Adalah Pak X – terlihat seperti orang India – menjual beberapa souvenir ke pada kami seperti gantungan kunci Eiffel, kartu pos, dsb dengan harga yang sangat amat murah. Tapi untuk membelinya kami diperlakukan seperti mafia. Ternyata souvenir-souvenir itu termasuk dalam pasar gelap di sana. Buktinya, pedagang itu (bersama pedagang yang lain) ketakutan begitu mereka melihat kehadiran polisi di tempat itu. Bagi gue sih bodo amat. Yang penting bisa dapet souvenir dengan harga yang murah. Keberadaan pedagang seperti itu memberikan satu point untuk Paris.



Eiffel Tour


Selanjutnya kami menuju tempat berdirinya menara Eiffel. Wouw! Sungguh terkesannya gue dapat berada persis di bawah menara Eiffel. Menara itu dapat dinaiki baik memakai lift atau memakai tangga. Untuk memakai lift diperlukan biaya (gue lupa sih) antara 8 – 12 Euro per orang. Kami tidak menaiki menara itu karena selain mahal, antriannya panjang bener! Kayaknya diperlukan sehari khusus deh jika ingin benar-benar menaiki menara itu.

Setelah duduk-duduk di taman menara Eiffel – tempat shootingnya film Eiffel I’m in Love – menyaksikan orang berlalu-lalang, meneguk minuman jus jeruk segar penghapus dahaga, bersantai bersama ratusan turis lain yang sedang menikmati terik matahari di siang itu, dan mendengarkan beberapa bahasa di dunia di mana salah satunya adalah bahasa Indonesia (I told you, there were so many Indonesian in that place!), kami melanjutkan perjalanan.

Kami menemukan sebuah toko souvenir kecil milik orang Aljazair yang beragama Islam. Mereka menunjukkan wilayah tempat masjid berada. Untuk dapat shalat Dzuhur dan Ashar sambil sedikit melepas lelah, kami ingin mengunjungi masjid itu. But first of all, kami harus mencari stasiun Metro terdekat dari tempat itu.

Tahukah kalian apa itu Metro? Metro itu adalah stasiun kereta bawah tanah, seperti U-Bahn di Jerman atau Subway di Inggris dan Amerika. Setelah bertanya sana-sini dengan berbekalkan “Parlez-vous anglais? Où se trouve la Metro-Station proche?” akhirnya kami bertemu dengan stasiun Metro bernama Bir Hakeim. Bila dibandingkan, stasiun U-Bahn di Berlin jauh lebih bagus, modern, dan tertata dibandingkan stasiun Metro di Paris. Dua point untuk Berlin dalam hal ini. Namun stasiun Metro di Paris memakai sistem karcis untuk membuka pintu masuk ke dalam stasiun. Menurut gue, ini lebih efektif dari pada keberadaan BVG Kontrolle di Berlin yang untuk menjalankan tugasnya harus menyamar terlebih dahulu. Satu point untuk Paris.

Di stasiun Metro, kami pun masih harus bertanya dengan orang lain. Berbekal bisa membaca peta saja tidak cukup, karena tata kota Paris yang begitu semrawut. Kalau di Berlin, orang tidak boleh nyasar, karena peta tersedia di mana-mana dan dapat sangat mudah dipahami karena kotanya yang teratur. Tapi kalau di Paris nyasar, menurut gue itu biasa dan lumrah. Untungnya, sejumlah orang Perancis yang kami tanyai (egal apakah ia orang Perancis asli atau orang Marokko, atau orang berkulit hitam, atau orang indochina) semuanya bersuka hati menolong kami. Wajah mereka terlihat lebih freundlich (bersahabat), beda jauh dengan wajah orang-orang Jerman yang cemberut, masam, dan menyebalkan (entschuldigung, dass ich so was sagen muss, hehehe). Satu point lagi untuk Paris. Selain itu, kebanyakan warga Paris bisa berbahasa Inggris. Itu yang paling penting, sebagai kota multikultur semestinya penghargaan terhadap bahasa Inggris sebagai bahasa internasional dihargai, tidak seperti di Jerman, seperti komentar gue yang satu ini, di mana kebanyakan warganya tidak bisa bahasa Inggris, dan tetap memaksakan berbicara bahasa Jerman dengan siapa saja – tak peduli apakah orang itu bisa berbahasa Jerman atau tidak. Gue pernah denger cerita dari seorang guru gue, Frau T, dia bilang, orang Perancis menganggap semua orang harus bisa berbahasa Perancis, dan tidak mau berbahasa Inggris, sedangkan orang Jerman tidak seperti itu. Tapi karena apa yang gue lihat di lapangan berbeda, maka satu point lagi untuk Paris (noch mal, es tut mir ganz herzlich leid).

Dengan menggunakan kereta Metro yang sempit (satu point untuk Berlin yang memiliki kereta U-Bahn ternyaman), kami menuju ke Mosquèe de Paris. Walaupun sempit dan berdesakkan, udara di dalam Metro semerbak wangi, dan I enjoyed seeing every single people di dalam Metro itu. Semua serba unik. Cara mereka duduk, makan, berbicara, wah, Paris pokoknya gue banget deh! That’s the point I like from Paris.



Suasana di dalam Metro


Mosquèe de Paris adalah masjid terbesar di Paris. Dengan komunitas Muslim sebanyak delapan persen, sangat wajar jika Paris memiliki masjid sebesar dan semegah itu. Orang-orang di dalam masjid itu umumnya dari arab maghribi dan afrika tengah, Mereka sangat ramah. Terlihat juga beberapa orang bule melihat-lihat masjid itu. Ternyata hari itu masjid sedang terbuka untuk umum, walaupun pengunjung yang ingin melihat masjid dilarang untuk masuk ke tempat shalatnya.

Setelah selesai shalat, bersih-bersih, dan sedikit melepas lelah, kami meneruskan perjalanan kami. Saat itu kami ingin mengunjungi semua tempat menarik di Paris, karena kami sudah membeli Tageskarte (kartu untuk transportasi yang berlaku selama satu hari penuh) seharga 5,4 euro. Cukup mahal bukan? makanya kami tidak mau rugi, dan kalau perlu semua jengkal kota Paris kami kunjungi.



Mosquée de Paris


Selanjutnya kami mengunjungi Cathédrale Notre-Dame de Paris, salah satu bangunan katedral yang sangat populer di Paris. Untuk mencapai ke sana kami harus jalan kaki sampai kaki kami serasa akan putus. Semua itu karena kami kesulitan menemukan letak stasiun Metro di sana. Coba perhatikan percakapan singkat kami dengan salah seorang warga Perancis yang kami tanyai tentang letak Metro di wilayah itu.

Kami: Excuse me, we are looking for the nearest metro station from here. Can you help me to show that place?
Dia: Oh of course! So, do you see the car over there?
Kami: That car? (sambil menunjuk ke arah mobil yang dimaksud)
Dia: exactly! And the metro is behind the car


Jadi saudara-saudara, saking terpencilnya letak stasiun Metro, sampai tertutup oleh sebuah mobil! Aduh, pokoknya kalau masalah beginian sih Berlin is the best. Di dalam Metro itu sendiri terdapat lorong-lorong panjang yang menghubungkan antara stasiun metro satu dan yang lain. Di sana penuh sesak orang, tapi walaupun demikian tetap wangi!

Dan sampailah kita di Notre Dame. Apa yang kami lakukan di sana? Hanyalah duduk-duduk di halaman depan gereja dan bertemu dengan sebuah keluarga Perancis yang dapat berbahasa Indonesia. Selanjutnya kami mengunjungi sebuah toko souvenir di sebelah gereja itu. Gue pun langsung menjalankan tugas membeli beberapa benda khas Paris. Dan saat itu juga uang gue langsung habis banyak... hiks.. hiks.. hiks.. mahal banget! Kayaknya Berlin nggak semahal ini deh (satu point untuk Berlin). Tapi nggak apa-apa lah, belum tentu gue bisa ke Paris lagi. Iya nggak?

Dengan Metro 7 ke arah La Courneuve, selanjutnya kami mengunjungi Palais Royal Musée du Louvre, salah satu museum terbesar yang dimiliki dunia. Memang luar biasa besar museum ini. Lebih pantas disebut istana. Di halaman tengahnya terdapat beberapa bangunan piramida dari kaca, dan pada piramida terbesar terdapat lukisan asli ‚Mona Lisa’ karya Leonardo da Vinci. Sayangnya, kami tidak masuk untuk melihat mahakarya itu karena alasan waktu. Namun dapat duduk di halaman museum itu dan memandang keklasikan bangunan dengan ukiran dan patung di setiap sudut dindingnya, telah dapat memberikan kepuasan tersendiri bagi kami.



Musée de Louvre


Hari pun semakin sore, dan perjalanan tetap kami lanjutkan. Karena pada pukul delapan sore nanti kami akan menaiki boot untuk menikmati kota Paris dari atas sungai Seine, maka rencana mengunjungi Opéra National de Paris – Garnier kami batalkan. Kami segera meluncur menggunakan Metro 1 ke arah La Défense dan turun di stasiun Charles de Gaulle Étolie untuk melihat Arc de Triomphe dari dekat. Perjalanan dilanjutkan ke Champs-Élysées Clemenceau untuk bergabung dengan teman satu perjalanan yang lain.

Ternyata, teman-teman kami yang lain belum berkumpul di tempat itu. Jadilah kami mencari taman rindang di dekat tempat itu dan melepas lelah lagi di sana.

Paris di sore itu, burung-burung beriringan mengepakkan sayapnya dan hinggap di atas lampu kota bercahayakan emas. Hawa udara sore membayangi sepasang yang berpelukan di atas jembatan sungai Seine. Dan sebuah mobil mewah berhenti di depan Café de la Folie. Seorang pria berjas-berdasi bersembunyi di balik kacamata hitam yang ia kenakan, bertemu dengan sosok bergaun panjang di sudut kota.

Huhuhuhu tiba saat paling romantis, yaitu menelusuri sungai Seine dari atas boot sambil melihat kota Paris di tepi sungai itu. Namun sayang, saat kami menaiki sungai itu hujan turun rintik-rintik. Jadi mengurangi suasana romantis deh. Hehehe. By the way, kalau pergi ke Paris kayaknya harus menelusuri sungai ini, dan catat waktu yang paling tepat: sore hari di kala matahari akan tenggelam. Oh, indah banget! So sweet! so süß! (pernah nonton film Before Sunset? Kira-kira seperti itu lah). Dari atas boot kami melihat bangunan-bangunan klasik Paris di balik senja yang turun perlahan dan menerawang. Ketika itu pelan-pelan menara Eiffel mulai bertaburan cahaya-cahaya jingga yang semakin malam akan semakin terang cahayanya. Ketika itu, gue berharap akan dapat mengunjungi Paris sekali lagi. Tapi tidak sendiri, melainkan dengan mama, papa, kakak, dan adik. Dan juga tidak di musim panas, melainkan di musim dingin. Pasti indah banget deh.



Sudut kota Paris yang tertangkap dari atas sungai Seine


Malam semakin memekatkan gelapnya di kota itu, sudut-sudut kota mulai bermandikan cahaya lampu yang makin menambah suasana romantis dan klasik. Tiba saatnya untuk segera berpisah dengan Paris. Rombongan kami akan mengitari kota Paris sekali lagi namun kami tidak ikut dengan mereka. Kami ingin mencari makan malam. Waktu kami hanya satu setengah jam. Setelah itu rombongan kami akan kembali ke Berlin. Awalnya, karena kami bingung adakah restaurant halal di sepanjang Champs Élysées, makan kami putuskan untuk membeli kentang goreng plus burger ikan di McD. Namun salah seorang dari kami tiba-tiba menghilang untuk mencari toko kebab. Dimulailah kisah lanjutan dari Eiffel I’m in Love, berjudul Champs Élysées I’m Ribet. Waktu kami hanya satu setengah jam, namun kami harus saling cari-carian dan tunggu-tungguan. Ada yang menghilang untuk mencari kebab, ada yang di toilet lama banget. Malam itu ruas jalan Champs Élysées dipenuhi orang-orang hilir mudik penuh suka cita. Jalanan itu disulap menjadi catwalk yang penuh dengan kemewahan dan kemegahan. Setiap orang menikmati setiap langkah kaki yang mereka tapak di ruas jalan itu. Tapi tidak dengan gue. Gue harus berlari-lari mengejar waktu, menyalip orang-orang yang lalu lalang dari kiri dan dari kanan.

Sebuah toko kebab kami temukan di sana. Kami membeli Schawarma seharga empat euro! Mahal banget! Di Berlin aja paling mahal dua euro! (satu point untuk Berlin) mungkin karena gue membelinya di tempat elit kali yah.

Selanjutnya kami terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok yang pertama bertugas menyelesaikan urusan pembelian Schawarma dan kelompok yang kedua mencari supermarket terdekat untuk membeli air minum. Gue termasuk dalam kelompok kedua. Sekali lagi kami berlari ke sana ke mari, menyebrari jalan, bertanya ke beberapa orang yang kami temui, dan bertemulah kami dengan supermarket Monoprix – supermarket termahal yang gue kenal. Tapi karena waktu yang semakin sempit, egal deh seberapa mahal juga kami beli. Masih untung kami sudah menemukan supermarket itu.

Biarpun detik-detik akhir kami heboh dan ribet, moment itulah yang paling gue suka di antara seluruh perjalan kami di kota Paris. Malam di Champs Élysées, indah banget, unforgetable deh, sayangnya gue nggak mengambil foto di malam itu, tapi bakal gue kenang dalam otak gue. (uuhh... so sweet... so süß...)

Au Revoir, Paris. Dan dari Paris vs Berlin, kita telah temukan pemenangnya. Penilaian ini murni plus asli subjektif dari diri gue, tanpa ada data statistik yang mendukung, tanpa ada pembuktian ilmiah yang menyokong. Semua bersumber dari bolamata di balik kacamata gue. Hehehe. Gue putuskan pemenangnya adalah PARIS ! (ohne die erreichten Punkte nachzugücken).

Thursday, July 21, 2005

Les nouvelles de Paris




Paris, le bel endroit, si romantique, si élégant. Laissez Paris toucher votre vie dans ce sommer. Venez bientôt, le reportage de Paris, seulement sur ce Blog.

Sunday, July 17, 2005

The Rainbow's Way




Melemah...
Jauh dari sebilas pelangi sore
Yang dulu senantiasa kutunggu kehadirannya
Yang dapat memperbaharui semangat juangku
Dan saat tabir terungkap
Sang pelangi semakin jarang datang
Pun tunggu tak lagi aku harapkan
Buyar perlahan...
(apa yang salahkah?)
...tidak ada...
Sebuah jalan yang telah ku tempuh
Izinkan aku untuk tetap merengkuh
Pelangi indah di sore itu

Berlin 2005

Lintas: Rihlah Magdeburg

Merujuk ke postingan gue yang kemarin, maka sekarang akan gue ceritakan perjalanan gue yang kedua di kota Magdeburg. Kali ini dalam acara Rihlah. Bagi yang belum tahu apa itu Rihlah, akan gue jabarkan sedikit.

Rihlah itu artinya berjalan bersama-sama. Hmm.. mungkin lebih mirip dengan berwisata bersama ke sebuah tempat. Namun berjalan bersama-sama dalam rihlah masih dalam cakupan tarbiyah dan juga dengan cara-cara yang islami. Sasaran dari rihlah itu sendiri adalah untuk mempraktekkan nilai-nilai islam, untuk memperkuat ukhuwwah dan untuk menanamkan nilai-nilai penting dalam beramal jama'i.

Rihlah yang diadakan oleh PIP PKS Jerman ini mengambil tempat di Elbauenpark, kota Magdeburg. Dari Berlin, kami berangkat dengan menggunakan tiket Wochenendeticket (WET) selama satu setengah jam. Hari itu udara cerah dan sejuk, tidak seperti hari-hari biasanya di musim panas ini. Banyak sekali orang yang ingin menghabiskan akhir pekannya di luar kota, sehingga Bahnhof (Stasiun kereta) ketika itu sangat penuh dan sesak.

Benar saja, kami tidak kebagian tempat duduk dalam perjalanan pergi ke Magdeburg. Gue berdiri bow satu setengah jam di dalam kereta! but, it was okay lah..





Elbauenpark, Magdeburg


Sampai di sana, kami bertemu dengan rombongan lain, dan segera ke tempat acara. Setelah acara pembukaan dan makan siang, barulah kami memulai penjelajahan Elbauenpark ini. Kami dibagi dalam tiga kelompok, gue berada di kelompok dua. Tempat pertama yang dikunjungi oleh kelompok dua adalah Sommerrolenbahn. Sommerrollenbahn adalah sejenis kereta yang dapat diatur kecepatannya. Kereta ini meluncur mengikuti jalannya sendiri. Hmm, cukup seru. Untuk dapat menaiki Sommerrollenbahn ini diperlukan biaya 1,5 Euro per orang.

Setelah itu kami berjalan menuju Jahrtausendturm, pusat wisata di Elbauenpark ini. Jarhtausendturm adalah bangunan yang terbuat dari kayu setinggi lima tingkat, yang di dalamnya terdapat pertunjukkan barang-barang peradaban manusia terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Mirip dengan Technisches Museum Berlin yang gue kunjungi bersama teman-teman sekelas gue di akhir semester kemarin. Bedanya, Jahrtausendturm ini lebih menonjolkan barang-barang iptek yang sangat dasar, yang dibangun oleh peradaban manusia jaman dulu (seperti jaman mesir kuno, yunani kuno, dsb). Ilmu-ilmu fisika dasar deh intinya. Sedangkan Technisches Museum lebih menonjolkan barang-barang iptek yang modern, masa kini, seperti pesawat terbang, lokomotif, perahu dsb. Di sana, baik di Jahrtausendturm maupun di Technisches Museum, sama-sama terdapat objek interaktif yang dapat kita mainkan sendiri. Contohnya, untuk pembuktian bahwa medan magnet bergerak dari kutub postif ke kutub negatif, kita bisa menggerak-gerakkan sendiri magnetnya. Jadi kita dapat melihat proses-proses fisik dengan mempraktekannya secara langsung. Ini bagus untuk para siswa yang sedang duduk di sekolah lanjutan agar mereka dapat dengan mudah memahami konsep-konsep fisika yang diajarkan di sekolah.




Jahrtausendturm




Technisches Museum Berlin


Selanjutnya acara shalat Dzuhur dan Ashar dan acara game. Game kali ini masih dalam tiga kelompok. Sayangnya dalam game ini kelompok gue kalah.. uhuhuhu.. Setelah acara game, berikutnya adalah sepakbola. Udah berapa tahun yah gue nggak main bola? Kira-kira selepas lulus SMA deh. Acara main bola ini bakal terus berlangsung kalau nggak ada yang ngingetin bahwa hari sudah semakin sore... Pada keasikan main bola kayaknya.




Acara game




Main bola bersama


Setelah lelah bermain bola, tiba saatnya untuk kembali ke kotanya masing-masing. Kami meninggalkan Magdeburg pada pukul tujuh sore dan sampat di Berlin pukul setengah sepuluh sore. Sangat melelahkan namun mengasyikan!

Kalau si Mbak yang satu ini akan mengupas habis-habisan tentang reportase makanan di postingan-postingan berikutnya, gue bakal mengupas segala jenis tempat yang gue kunjungi. Tema reportase blog gue kali ini adalah wisata. Hehehehe, lagi liburan musim panas nih, bisa kelilipan kalau diam di rumah sepanjang hari. Weekend besok insya Allah gue bakal pergi ke Paris, Perancis. Tunggu reportasenya yah. Dan minggu depannya lagi, gue bakal balik ke Indonesia (tentunya dengan reportase yang lebih menarik). hehehehe... oh ya, doain buat si Mas yang satu ini biar bisa balik juga ke Indonesia. Biar seru, soalnya banyak banget penghuni Jerman yang bakal balik ke Indonesia dalam waktu dekat ini. Terus, kemungkinan besar dalam perjalanan pulang ke Jerman, gue bakal keliling Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, pengen lihat masjid raya-nya sekalian shalat Jum'at di sana, dan kalau sempet juga, pengen turun di Bangkok, Thailand.

Selamat berwisata!

Thursday, July 14, 2005

Lintas: Magdeburg Gedubrak

Prolog: Waktu gue masih kursus bahasa Jerman di Jakarta dulu, guru gue, Herr Dedy memberikan sebuah joke: Apa nama kota di Jerman yang sakit sampai memar? jawabnya: Magdeburg. Kenapa? Karena Magdeburg itu identik dengan bunyi orang jatuh..'magdeburg,,gedubrakk,,magedegbaggedebug,,gubragg'

Magdeburg adalah ibukota negara bagian Sachsen-Anhalt yang termasuk dalam wilayah DDR alias Jerman Timur di kala Jerman belum bersatu dulu. Kota ini populer dengan sebutan Elbestadt, karena memang sungai Elbe membelah dengan indah kota ini. Kota dengan luas 201 kilometer persegi ini dihuni oleh 226.610 orang yang 8.103 di antaranya adalah Ausländer (orang asing).

Kota ini sempat masuk dalam jajaran kategori lulus seleksi calon kota masa depan Dimas Abdirama, sebelum akhirnya gue gugurkan. Rencananya, gue mau mendaftar jurusan Europa Studie (Studi Eropa) di Otto-von-Guericke Universität Magdeburg. Namun karena gue udah ngirim e-mail ke Studienberatung jurusan itu untuk bertanya hal-hal yang bersangkutan dengan jurusan tersebut - namun hampa gue temukan balasan e-mail di mailbox gue - maka gue nyatakan kota Magdeburg tidak bon á fide! hehehe... kalo gue ngomong gini pasti ada seseorang yang marah... peace yah om!... nggak juga sih, gue nggak milih Magdeburg karena Universitasnya sudah kena ASSIST, dari pada gue mesti bayar ASSIST 50 Euro... mendingan nggak usah ngelamar ke sana kan? lagi pula, kayaknya kotanya nggak nyaman deh... terlalu gersang githu lho... (untuk para magdeburger, peace... peace...)

Hampir dua minggu yang lalu, kami (gue dan 4 orang yang lain yaitu Om Je, Hima, Sultan dan Wira) mengunjungi kota ini. Tepat 1200 tahun umur kota itu ketika kami pergi ke sana. Maksud kunjungan kami ke sana sih adalah untuk nemenin Om Je yang sudah rindu dengan kota masa studi masterannya. Selain itu untuk survey awal, di mana kita akan melihat-lihat Uni dan FH di kota itu plus sedikit berkeliling. Kalau Wira, ia ingin mengikuti pengajian mingguan di sana. Dan ada lagi nih yang juga penting, dikabarkan dalam ulang tahunnya yang ke 1200, pemerintah Magdeburg akan melepas 1200 ekor angsa ke sungai Elbe.



Sungai Elbe di Kota Magdeburg, tempat 1200 ekor angsa mendapat kebebasan


Wah, sebuah obyek pariwisata yang menarik nih... kapan lagi bisa melihat 1200 ekor angsa berenang-renang di sungai. Gue juga sampai terkagum-kagum, kok bisa yah orang nangkep 1200 ekor angsa... banyak bener... nggak repot tuh nangkepnya. Berikut gue tampilkan cuplikan kata-kata OJ (nama asli sengaja gue samarkan) yang persuasif, cerdas, dan provokatif: "Dimas, nanti hari sabtu ikut ke Magdeburg yah. Ada pelepasan 1200 ekor angsa ke sungai Elbe dalam hari ulang tahun kota Magdeburg yang ke-1200. Sekalian kita lihat-lihat Uni dan FH di sana. Katanya Dimas mau ngelamar juga ke sana" (peace OJ!!)

Sesampainya di Magdeburg, kami menanti acara pelepasan tersebut. Namun saudara-saudara, kami kecewa, ternyata bukan angsa sungguhan yang dilepas ke sungai Elbe, melainkan bebek mainan anak-anak yang biasa di kamar mandi!!! Pantesan jumlahnya sampai 1200!!



Inilah yang dilepas di sungai Elbe!


Itulah secuplik rubrik Lintas dari kota Magdeburg. Akhir pekan ini, insya Allah gue bakal ke Magdeburg lagi (cinta amat sih sama Magdeburg sampai mau dikunjungin lagi segala) hehehehe... tapi yang ini kayaknya bakal seru deh. Karena di sana bakal ada Rihlah yang akan mengambil tempat-tempat yang indah dong. Tunggu saja postingan gue berikutnya yang akan mengupas tentang Rihlah di kota itu.

Prolog: Berlin tetep.. is the best!

Sunday, July 10, 2005

Sekeping Cahaya Perak




Rerumputan itu bergemerisik
Dalam pekatnya gelap
Menggigil menjepit setiap tubuh
Dan basuhan air suci itu
Serta uap yang terhembus dari tiap mulut
Saat ketika jiwa belum seutuhnya terkumpul
Saat ketika ruh begitu lunak untuk ditembus
Saat ketika air mata siap meleleh
Saat berseru wahai adzan subuh di langit bumi
Dan kau sekeping cahaya perakku
Larut dalam pelukan dan tangis
Di atas pundakku

Berlin 2005

Friday, July 08, 2005

Für Alle Bestandene

The visitor of my blog are not only from Indonesia but also from other countries. They - this kind of visitor - are my friends at my last school in Studienkolleg der TU Berlin. We have accomplished our mission there. Now it's the time to start our brand new day. The new day to study and to gain our next mission...

Für die bestandene, die noch in Berlin bleiben, treffen wir uns (inshaAllah) noch mal wieder. Ich bewerbe mich um einen Studienplatz in Berlin, Hamburg, München und in Braunschweig. Aber Berlin ist für mich noch die erste Priorität. Ich hoffe, Biotechnologie an der TU Berlin würde meine Zukunft sein...

For the graduate, who will go out to another city, I just can say good luck for your decision... reach your dreams, make your things better than yesterday and today... We will meet again sometimes and somewhere...

Jetzt beglückwünsche ich euch zum Bestehen des Studienkollegs...







wir
haben
bestanden

Saturday, July 02, 2005

Makan Memakan Di Berlin

Alhamdulillah, ada juga waktu buat gue untuk ngisi postingan di blog lagi, setelah sepekan terakhir ini disibukkan dengan proses Bewerbung dan hal-hal pasca kelulusan Studkol lainnya. Oke, sesuai janji gue, gue bakal menulis tentang proses makan memakan di Berlin.

Bacalah potongan testimonial tentang gue berikut ini dari seseorang berinisial D


...Wah tambah cuby
yah..ga ky wkt smu,ud kurus,item,aneh,
n dengan maskot lo yaitu...

Sekarang gue sedang dalam proses menggemukkan badan, dan syukurnya kehidupan gue di Jerman mendukung rencana gue itu. Di dalam kulkas gue tersedia tiga buah kotak susu sapi segar dengan 3,5% lemak yang gue minum sehari sekali atau sehari dua kali. Dulu, gue sempet jatuh cinta dengan yoghurt, tapi enam bulan terakhir sudah jarang makan yoghurt lagi. Namun, dalam belanja gue kemarin, gue membeli lima gelas kecil yoghurt.

Keju 45% lemak juga tak ketinggalan ada di barisan makanan penting kulkas gue. Ditambah lagi dengan beraneka ragam coklat, hmm lecker! Tapi jangan salah, gue juga mengkonsumsi sayur-sayuran segar bergizi, seperti selada, paprika, bayam, brokoli, wortel dan teman-temannya. Contohnya beberapa hari yang lalu, gue sarapan pagi dengan selada yang gue iris tipis-tipis, ditambah ikan tuna kalengan, cuka dan mayonaise. Makan model seperti itulah yang mewarnai dapur gue sepekan ini.

Walau demikian, gue juga memakan makanan asli Indonesia lho. Baru setelah di Jerman ini gue merasakan nikmatnya memasak. Masak bagi gue adalah seni, dimana mencampur-baurkan antara perasaan, pikiran, kasih sayang, dan lainnya. Bagi yang pernah memakan masakan dari dapur apartemen gue (403) harap beri komentar dipostingan ini! Hehehe...

Selain itu, kadang gue juga sering memakan makanan di luar rumah, seperti di Imbiss, Restaurant, atau di Mall. Baik, gue jabarkan di mana saja tempat favorit makanan-luar-rumah gue di Berlin.

1. El-Reda Restaurant (Libanon)

Kehalalan adalah yang paling utama dalam memilih makanan atau bahan makanan. Di lingkungan masyarakat muslim di Jerman, telah tersebar daftar bahan makanan yang harus diperhatikan, karena bahan-bahan makanan itu mengandung sesuatu yang tidak halal atau dipertanyakan kehalalannya. Oleh karena itu setiap belanja di supermarket, kami selalu membawa daftar itu dan sibuk meneliti Zutaten (ingredients) dari bahan makanan yang ingin kami beli.

Ketika berlibanon



Begitu juga dalam memilih Restaurant, kehalalan adalah yang terpenting. Salah satu Restaurant yang terpercaya adalah El-Reda atau orang Indonesia di Berlin menyebutnya Libanon (karena pemilik dan pegawai Restaurant ini orang Libanon). Restaurant ini menyediakan masakan Iran, seperti Jujeh, Kubideh, dan nama-nama aneh lainnya.

Setiap orang Indonesia di Berlin hampir dapat dipastikan mengenal dan pernah mengunjungi Restaurant ini (duh, kok gue kayak sales gini yah? Tapi gue nggak dibayar lho sama Restaurant ini!). Tanyakan pada setiap orang indo tentang Restaurant ini jika kalian bertemu mereka di jalan, kemungkinan besar mereka dapat menjawabnya. Berikut cuplikan chatting antara gue dan G di Yahoo!Messenger:

...
GG: ach so.
GG: di berlin jalan2..
lab_kimia: ke mana aja?
GG: jalan2 doank...
GG: trus makan di libanon..
lab_kimia: ahahahaha
GG: gw pesen 2mal pket 1
GG: buset mo pingsan makannya
GG: ampe kolaps gw..
lab_kimia: hahaha
...



Pertama kali datang ke Jerman (tepatnya tanggal 1 Februari 2004) kami – satu rombongan – makan malam di Restaurant ini. Awalnya kaget, bayangkan, hidangan yang disajikan hanya berupa nasi yang menggunung (banyak banget!), daging kambing sepanjang 20 cm, dan satu butir tomat yang dibakar (sayangnya gue nggak menemukan gambar makanan itu untuk gue pubikasikan). Kali pertama ilfeel, makan nggak habis, dibungkus untuk dibawa pulang, dan di rumah pun juga nggak dimakan. Hal ini terjadi tidak hanya pada diri gue, tetapi pada semua teman-teman gue. Kali kedua tetap sama, kali ketiga sepiring berdua (biar habis), kali keempat habis sendirian, kali kelima dan seterusnya ketagihan!

2. Café de Gelato di Potsdamer Platz

Baru sekarang lho gue bisa menikmati memakan es krim. Café ini berada di tingkat dua Mall Arkaden, di bilangan Potsdamer Platz, salah satu pusat kota di Berlin. Jenis Es Krim yang ditawarkan sangat beragam dan lezat banget! Untuk ukuran student, eskrim satu Kugel (satu tangkup) seharga satu euro sudah cukup lah. Kalau masih kurang puas, boleh lah yang dua Kugeln seharga dua euro. Kalau lagi ada acara spesial, biasanya kami memesan yang lebih luar biasa lagi. Ada es krim dengan taburan buah, coklat, dsb dsb dengan harga ab empat euro. Enaknya, di sana dijelaskan es krim mana yang memakai alkohol, gelatin atau bahan-bahan terlarang lainnya, sehingga kita juga bisa memilih yang halal.



Es krim lezat...



Kalau gue baru pulang dari Staatsbibliothek (Perpustakaan Negara) yang terletak bersebelahan dengan Mall itu, kadang gue sempat mampir, membeli es krim, ke toko buku, atau jalan-jalan mengelilingi Mall melepas kepenatan. Gue suka dengan lingkungan di Potsdamer Platz. Modern dan klasik.

3. Mensa TU Berlin

Biasanya sebelum berangkat sekolah gue selalu mempersiapkan makanan untuk makan siang, agar bisa gue makan di mensa (kantin) ketika istirahat panjang. Terkadang gue tidak sempat masak di pagi hari. Kalau seperti itu, berarti gue harus makan di mensa. Menu di mensa tidak semuanya halal. Terkadang menyediakan daging babi. Tapi di hari Jumat, mensa menyediakan daging ikan yang dibalut dengan tepung panir, dimakan beserta kentang, sayuran dan saus putih.

Pasta tomat juga bisa menjadi pilihan. Terkadang, daging ayam dan daging sapi juga disediakan di sana. Tapi kan kita nggak tahu bagaimana proses penyembelihannya, jadi untuk daging-daging seperti itu kita hindari.

4. Imbiss Kebab

Yang ini sangat populer di kalangan semua orang Indo di Jerman. “Ein mal Döner bitte! Ohne Zwiebel!“ (saya pesan kebab tanpa bawang dong!) kata itu pasti sudah tak asing didengar dan diucap. Ada banyak toko Kebab tersebar di seluruh pelosok Berlin. Bagi yang belum tahu kebab, kebab adalah jenis makanan dari arab (Döner dari Turki dan Schawarma dari Arab) yang berupa roti diisi dengan irisan daging, sayur-sayuran, dan saus. Teman gue – D – adalah salah satu maniak kebab, sampai-sampai berfantasi memiliki toko kebab sendiri dan dapat bebas memakan kebab kapanpun dia mau.

Di semester dua kemarin, gue sering jalan bareng dengan A dari negara Y. Biasanya kita belajar bareng di perpustakaan atau di kampus, setelah itu kita makan siang deh. Dia banyak tahu toko-toko kebab dengan rasa yang menggiurkan selera, dan kita sering menjelajah Berlin demi menemukan toko kebab itu. Tercatat toko kebab di wilayah Tempelhof, Nollendorfplatz, Zoologischer Garten, Turmstraße, dan Büllowstraße adalah toko kebab dengan kebab yang lezat dan populer di Berlin.

Itulah saudara-saudara tentang kehidupan makan-memakan di Berlin. Tertarik? Hehehehe... oh ya, malam ini gue janjian makan malam di Libanon lho!