Thursday, March 16, 2006

The Day

S u j u d k u



pun takkan memuaskan inginku
untuk haturkan sembah ke dalam kalbu

adapun kusembahkan syukur padaMu ya Allah
untuk nama, harta, dan keluarga yang mencinta

dan perjalanan yang sejauh ini tertempa

alhamdulillah pilihan dan kesempatan
yang membuat hamba mengerti lebih baik tentang makna diri

semua lebih berarti apabila dihayati
alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah


Too Phat feat. Dian Sastro feat. Yassin - alhamdulillah

Sunday, March 05, 2006

Hukum Pareto

Kategori: Cerpen

Hukum Pareto
Oleh: Mushab Syuhada


Laboratorium Kimia Anorganik, Gedung Kimia, TU Berlin
Aku masih menatap beberapa tabung reaksi yang berjejer rapi di depanku, melihat dengan teliti dan seksama setiap perubahan yang terjadi dalam larutan-larutan warna-warni itu. Perlahan aku tiba pada titik kejenuhan. Sekitar lima belas menit yang lalu, aku mengajukan laporan penelitian pada asisten lab. Ku katakan, bahwa dalam zat yang aku teliti saat ini tidak terdapat phospat, sulfat, dan klorid. Tapi kata dia, laporan yang aku ajukan itu hanya ada satu jawaban yang benar, sisanya salah, dan bahkan ada satu unsur yang tidak terdeteksi oleh ku.

Ruangan laboratorium besar yang diisi 80 mahasiswa perlahan sepi. Hanya tersisa lima mahasiswa yang belum menyelesaikan laporannya, termasuk aku. Laboratorium akan ditutup sepuluh menit lagi, sedangkan aku masih harus mengulang percobaan agar unsur yang tersembunyi di balik zat itu berhasil aku temukan.

„Baik, saya ajukan laporan kedua saya. Saya sangat yakin di dalam zat ini tidak terdapat unsur karbonat, karena saya sudah mengulang percobaan ini sebanyak tiga kali, dan tidak saya temukan juga gas karbon dioksida dalam larutan barium hidroksid,“ kataku dengan sedikit emosi.
„Ya benar,“ jawab asisten itu. „pada zat yang kamu miliki memang tidak ada karbonat. Tapi mengapa kamu tulis dalam laporan pertamamu?“
Ups, hampir ketahuan kalau saya menebak jawaban tanpa melakukan percobaan.
„Selanjutnya, dalam zat ini ada unsur iodid, karena ketika saya berikan asam sulfat, muncul sol berwarna kuning dengan titik-titik air berwarna ungu, serta kristal hitam pada dinding tabung reaksi,“ lanjutku.
„Ya itu benar, kamu punya unsur Iodid. Tapi, apa yang kamu ajukan sekarang masih salah. Apakah kamu yakin kamu punya unsur sulfat?“
„Ya! sangat yakin,“ jawabku dengan sedikit ngotot.
„Apa buktinya?“
„Hmmm... saya melihat ada sol yang jatuh pada larutan bariumsulfat setelah proses sentrifugal,“
„Yakin?“
„Sedikit yakin,“
„Coba lihat larutannya,“
„Ehh... sudah saya buang...,“
„Kalau begitu saya ingin lihat zat yang kamu punya,“
„Baik, Anda ikut saya ke meja kerja saya,“

Saya menunjukkan zat dalam gelas kimia kecil. Mendadak raut muka asisten itu berubah.
„Kamu belum menghaluskan garam-garam ini, ya?“ tanyanya sedikit terkaget.
„Belum, memangnya harus dihaluskan?“ jawabku.
„Ya jelas! Pantas jawaban kamu salah semua. Unsur-unsur itu harus diteliti secara bersamaan!“ jawabnya.
„Anda tidak mengatakannya!“ kataku membela diri.
„Doch! Saya mengatakannya ketika seminar. Saya bahkan melihat kamu hadir pada seminar tadi siang. Jelas saja, karena kamu tidak menghaluskan garam-garam ini, sampai kapanpun kamu tidak akan bisa menganalisis unsur-unsur dalam zat ini!“

***

Ruang Locker, Gedung Kimia, TU Berlin
Aku membuka jas lab putih serta kacamata pelindung dengan tanpa semangat. Kugantungkan di dalam lemari besiku. Hari ini mendapat nilai 4,0, hampir saja tidak lulus. Seseorang keluar dari toilet dalam ruang locker ini, Robert Mensch, teman kuliahku. Ia mengambil jaket dan tas dari dalam lemarinya. Terlalu malas aku untuk menyapanya – menyapa orang-orang – setelah mengetahui hasil yang kudapatkan dari enam jam berkutat di lab.

„Hai,“ sapanya terlebih dahulu.
„Hai,“ balasku datar
„Bagaimana percobaan kamu tadi?“ tanyanya.
„Buruk, aku mendapat 4,0,“
„Aaah, sayang sekali,“ jawabnya. Aku tersenyum.
„Kalau kamu, bagaimana?“ tanyaku membalas.
„Aku mendapat 2,0,“
„Waw! Bagus!“
„Na ja, itu juga karena aku terlalu banyak memberikan asam sulfat. Semestinya perbandingannya satu banding satu,“ katanya. „Mengapa kamu bisa mendapat 4,0? Apa yang salah?“ lanjutnya bertanya.
„Hukum Pareto,“ jawabku.
„Hukum Pareto?“
„Kamu pulang dengan kereta U2 dan U9, kan? Ayo kita pulang bersama, nanti aku jelaskan hukum Pareto itu,“

***

Di dalam U-Bahn U2 dan U9
„Vilfredo Frederico Damaso Pareto, lahir di Paris 15 Juli 1848, adalah seorang ahli mikroekonomi Italia yang banyak berperan dalam dunia ekonomi, sosiologi, dan filosofi. Dia pernah membuat sebuah survey mikroekonomi di Italia. Hasil surveynya menyebutkan, bahwa 80% peredaran uang di Italia, terkonsentrasi hanya pada 20% warganya. Hanya 20% dari populasi!“ kataku memulai penjelasan. Robert yang duduk di hadapanku mendengarkan dengan seksama. „Dari situ muncul lah hukum Pareto, atau dalam bahasa Inggris disebut Pareto Principle, dalam bahasa Jerman disebut Pareto Verteilung, atau dikenal dengan sebutan 80-20 Rules atau 80:20 Regel,“
„Maksudnya?“ tanya Robert sambil mengerutkan dahi.
„Hukum itu menjelaskan, bahwa jumlah yang kecil dalam sebuah himpunan, banyak mempengaruhi himpunan tersebut. Dan juga sebaliknya, jumlah yang besar dalam sebuah himpunan, justru tidak banyak berperan dalam himpunan itu. Atau dalam kata lain, 80% keberhasilan diperoleh hanya dari 20% unsur pendukung keberhasilan itu,“ lanjutku.
„Lalu apa hubungannya dengan percobaan kimia kamu?“ Robert semakin penasaran. Kereta kami sampai pada stasiun Zoologischer Garten, saatnya kami harus berpindah kereta.
„Coba bayangkan. Kegagalan percobaanku hanya karena aku lupa menghaluskan garam-garam itu. Menghaluskan garam-garam paling hanya membutuhkan waktu selama tiga menit, tapi mempengaruhi enam jam kerjaku secara keseluruhan. Karena aku lupa mengerjakan hal yang kecil itu, maka gagal lah seluruh pekerjaan ku,“ jawabku. Robert tersenyum, dia mulai mengerti apa yang aku maksud.
„Kamu punya contoh yang lain lagi?“ tanyanya. Aku mengangguk.
„Kita belajar Matematika Analisis atau Aljabar Liniar selama satu semester bukan?“ tanyaku. „Berapa banyak waktu yang kamu butuhkan dalam satu minggu untuk belajar dua mata kuliah itu?“
„Wah! Sangat banyak! Setiap minggunya kita mendapat pekerjaan rumah yang sangat sulit dan membutuhkan waktu minimal dua hari untuk mengerjakannya. Belum lagi dengan bahan yang sangat banyak dan tugas-tugas lainnya yang menumpuk,“ katanya.
„Sepakat!“ jawabku. „Semester ini kita banyak disibukkan hanya untuk kedua mata kuliah itu, bukan?“ lanjutku. Robert mengiyakan. „Dan kamu tahu, Robert, upaya kita dalam satu semester itu hanya ditentukan dalam waktu satu jam! Ya, satu jam!“
„Benar!“ teriak Robert. „Ujian mata kuliah itu hanya selama satu jam! Dan bila kita gagal dalam satu jam itu, maka sia-sia pula upaya kita dalam satu semester! Tidak peduli walaupun kita telah membuang waktu banyak hanya untuk dua mata kuliah ini. Bila nilai kita dalam satu jam ujian itu jelek, maka kita tidak lulus!“
Aku tersenyum. Apa yang dikatakan Robert itu benar.
„Contoh lain lagi, waktu aku sekolah di Indonesia, aku ikut dalam organisasi siswa. Setiap akan melakukan kegiatan, kami wajib membuat proposal. Tanpa Proposal, kegiatan kita mustahil dijalankan. Padahal, kalau kita membuat time-schedule dalam kegiatan tersebut, alokasi waktu untuk membuat proposal paling hanya satu minggu. Yang paling banyak adalah proses kerja kita dalam kegiatan itu. Tapi hal yang banyak itu tidak akan mungkin dijalankan bila kita tidak membuat proposal,“ lanjutku.
„Hukum Pareto!“ teriak Robert.
„Dan satu contoh lagi. Menurut agamaku, kehidupan di dunia ini hanyalah sebentar. Dan kehidupan setelah di dunia adalah kehidupan abadi. Kehidupan kekal dan selama-lamanya. Namun kehidupan abadi kita itu ditentukan oleh kehidupan kita di dunia yang sesingkat ini. Apakah kita akan hidup di surga atau neraka, ditentukan dalam hidup kita saat ini. Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah SAW berkata, hidup di dunia itu bagaikan seseorang yang sedang berjalan jauh melintasi luasnya padang pasir, dan berhenti sejenak di bawah pohon kurma untuk beristirahat, sebelum kemudian melanjutkan perjalanannya lagi,“

„Teng tong, Leopoldplatz, Übergang zu U-Bahn Linie U6“

„Robert, aku harus turun di sini. Rumahku di sini,“
„Ach so, oke sampai besok!“
„Mach’s gut,“
„Du auch. Ciao“
„Ciao“

„Zug nach Osloerstrasse. Einsteigen, bitte! Zurückbleiben, bitte!“

Mushab Syuhada
Berlin, 5 Maret 2006
12:05