Kategori: Artikel
Hukum adalah sebuah perangkat penting dalam kehidupan. Tidak hanya untuk kehidupan pribadi, tetapi juga untuk kehidupan sosial. Hukum dapat berbentuk tertulis seperti sebuah undang-undang, atau dapat juga berbentuk cara pandang tehadap sesuatu. Terkadang, cara pandang muncul dari sebuah kontemplasi pribadi yang banyak dipengaruhi oleh keadaan yang dianggap „normal“ di lingkungan sekitar.
Mari kita berangkat dari Islam, agama dan sistem yang kita yakini bulat sebagai sistem terbaik yang tidak ada tandingannya, karena semua sumber hukumnya berasal dari Yang Mahatahu. Logikanya, jika kita meyakini bahwa Allah adalah Pencipta yang tak terbatas kekuasaan-Nya dan hasil ciptaan-Nya, maka kita juga mutlak harus meyakini bahwa Allah mengetahui secara detail apa yang diperlukan untuk hasil ciptaan-Nya. Saya teringat sebuah khutbah Jum’at dari Dr. Yogi di KBRI hampir setahun yang lalu: Jika kita membeli sebuah lemari produksi IKEA, dan ingin memulai menyusun bagian-bagian lemari itu agar menjadi sebuah lemari yang utuh, maka kita harus melihat buku petunjuk yang dikeluarkan oleh IKEA. Sama halnya jika ternyata lemari yang kita beli terdapat cacat atau kekurangan, maka kita harus melapor ke IKEA, bukan yang lain. Mengapa? Karena IKEA-lah yang seharusnya mengenal dan mengerti produknya.
Masyarakat di negara-negara Islam - yang rata-rata berada pada jajaran Negara Dunia Ketiga - sayangnya belum mengenal benar hukum-hukum Islam yang lengkap dan menyeluruh. Padahal dalam Islam, aturan-aturan seperti disiplin, bersih, jujur, beradab, toleransi, menuntut ilmu dll tertuang jelas dan dibahas lengkap di dalam Al-Qur’an dan/atau Al-Hadits. Di sisi lain, negara-negara berkembang justru yang mengejawantahkan hal-hal tersebut. Di Jerman misalnya, masyarakatnya lebih disiplin dalam berlalu lintas jika dibandingkan dengan Indonesia. Akibatnya, banyak masyarakat kita yang mengiblatkan pandangannya ke negara-negara ini.
Hal ini sah-sah saja, selama memang itu merupakan hal yang positif. Toh dalam Islam hal-hal tersebutpun juga ada dan diperintahkan. Namun yang perlu hati-hati adalah proses penyamarataan semua pandangan sehingga keluar dari batas-batas hukum Islam. Tidak selamanya budaya-budaya asing (misal: Jerman) harus didewakan seolah yang paling benar sedangkan yang lain (baca: Indonesia) dianggap buruk setelah dibanding-bandingka n. Tidak selamanya sistem pendidikan anak di Jerman dianggap lebih baik dari pada sistem pendidikan anak di Indonesia. Tidak selamanya kebebasan di barat dianggap paling baik dari pada kebebasan dalam Islam.
Di Jerman, seseorang boleh dengan bebasnya mengeluarkan cairan hidung didepan orang banyak. Mengapa? Karena hal tersebut sudah membudaya dan dianggap wajar. Namun di Indonesia, seseorang hendaknya tidak mengeluarkan cairan hidungnya di depan orang banyak atau ditengah-tengah jamuan santap malam. Mengapa? Karena norma dan budaya Indonesia yang mengatakan hal tersebut kurang sopan/pantas. Lantas, apakah kita langsung menilai bahwa budaya Jermanlah yang paling benar? Atau sebaliknya, budaya Indonesialah yang benar?
Kerelativan sebuah hukumlah yang akhirnya mendatangkan hukum Islam – atau hukum yang bersumber dari Allah – sebagai satu-satunya hukum yang mutlak dan tidak relatif. Islam memberikan jawab atas semua pertanyaan. Islam memberikan contoh untuk setiap panutan. Islam memberikan solusi untuk setiap permasalahan. Sehingga tidak ada yang tidak tersentuh oleh Islam, dan Islam tidak akan pernah „leave something in vogue“.
Akhirnya, saya ingin mengajak diri saya sendiri dan juga saudara-saudara saya se-iman, untuk bersama-sama mengenal Islam secara utuh, tidak setengah-setengah, agar kita mengetahui lebih dalam keunggulan sistem-sistem yang ada dalam Islam, yang kita yakini adalah yang paling baik dan yang paling benar untuk seluruh umat manusia. Sehingga cara pandang kita terhadap sesuatu lebih berlandaskan kepada Islam, dengan tidak mengunci kita untuk mengenal dan mempelajari segala sesuatu yang „bukan islam“.
Wallahu’alam.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Islam bermula dalam keadaan asing (gharib), dan akan kembali di anggap asing sebagaimana bermula. Maka beruntunglah orang-orang asing itu (ghuraba).” (HR. Imam Muslim dari Abu Hurairah).