Saturday, April 29, 2006

Cinta Karena Allah

Kategori: Artikel

Ukhuwwah
Adalah degup penuh makna
Yang mengalir membawakan cinta

Ukhuwwah fillah adalah ikatan iman yang ditegakkan atas dasar manhaj Allah yang memancar dari rasa ketaqwaan dan bermuara kepada pengendalian yang kokoh dengan tali.-Nya. Dengan ukhuwwah, hati-hati manusia terikat untuk selalu taat kepada-Nya, dan lebih mencintai-Nya.

Dr. Yusuf Qardhawi dalam bukunya Al-Mujtama’ Al-Islamie mengatakan bahwa ukhuwwah islamiyah dapat melahirkan al-ikhaa’ul islamie, dan tujuan terpenting daripadanya adalah persamaan hak (al-musaawah), saling membantu (at-ta’aawun), dan cinta kasih karena Allah (al-hubb fillah).

Persamaan hak dalam ukhuwwah islamiyah berarti kebebasan berukhuwwah dengan siapa saja tanpa membedakan status kekayaan, warna kulit, ataupun ras. Oleh sebab itu, dalam berukhuwwah kita harus menanggalkan pakaian jahiliyah yang membawa egoisme pribadi.

Kehidupan di Berlin yang multikulti, mengajak kita untuk lebih membuka mata tentang keberadaan umat islam di dunia. Dari bangsa arab, kulit hitam, kulit putih, sampai mata kecil asia, dapat ditemukan di kota ini. Sebagai ummat yang beriman, kita harus meninggalkan sifat golongan dalam diri kita. Siapapun dia, asalkan sudah bersyahadat mengakui keesaan Allah dan mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah, adalah saudara kita yang harus kita jaga darahnya.

Allah SWT berfirman dalam surat Al-Hujuraat 13, “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesunggunya orang-orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang-orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal.”

Di dalam masalah persamaan hak, kita dituntut memilki sifat adil. Memperlakukan seseorang sewajarnya sesuai dengan apa yang seharusnya. Nabi Muhammad SAW mencontohkan kita dalam berbuat adil memperlakukan seseorang. Pernah Beliau bersabda, “Demi Allah. Andaikan Fatimah puteri Muhammad SAW mencuri, pasti akan kupotong tangannya”. Sabda Rasul tersebut menunjukkan, bahwa setiap orang sewajarnya diperlakukan sama.

Ciri ukhuwwah yang lain adalah At-Ta’awun atau saling bantu-membantu. Sudah sewajarnya manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk membantunya. Sebagai seorang ikhwan sudah selayaknya kita siap memberikan bantuan kapan saja dan di mana saja bila saudara kita membutuhkannya.

Bantuan adalah hal yang luas pengertiannya. Menolong saudaranya dalam hal mencegah terhadap perbuatan dzalim termasuk juga bantuan. Jadi, bantuan dapat kita kerjakan kapanpun dalam setiap hembusan nafas kita. Sesuai sabda Rasulullah SAW, bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang berguna untuk lingkungannya.

Ukhuwwah timbul dari adanya rasa cinta kepada Al-Ikhwan karena Allah. Cinta dapat diwujudkan melalui menghormati sesama ikhwan, berlapang dada, saling mendoakan, berharap akan kebaikan untuknya, dan menghindari rasa dengki. Rasulullah SAW bersabda dalam hadistnya riwayat Bukhari, “Tidak boleh dengki kecuali dalam dua hal, (yaitu) seseorang yang diberi Allah SWT kekayaan dan dipergunakan kekayaannya untuk mempertahankan yang hak, dan kepada orang yang diberi Allah ilmu yang dengan ilmu itu diajarkan dan diamalkannya”.

Untuk terbentuknya sebuah jalinan ukhuwwah, diperlukan metode atau jalan tersendiri. Di antaranya adalah taat berhukum pada Al-Qur’an dan mengambil sunah Rasul sebagai undang-undang kehidupan. Jika kita berukhuwwah dengan mengedepankan aspek ini, insya Allah ukhuwwah atas dasar iman kepada Allah yang dapat menghantar kita meraih ridho Allah dapat terwujud.

Selain itu diperlukan juga adanya budaya mengucapkan salam. Salam dalam islam berarti mendoakan keselamatan dan kesejahteraan untuk orang yang disalaminya. Dalam satu hadistnya Rasulullah SAW bersabda, “Demi Zat yang diriku berada pada genggaman-Nya, tidaklah kalian masuk surga sehingga kalian beriman, dan tidaklah sempurna iman kalian sehingga kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang dapat menimbulkan rasa saling mencintai? Sebarkanlah (budayakanlah) salam di antara kalian.

“Manusia itu tergantung dien kawan kentalnya, maka perhatikanlah salah satu dari kawan kental manusia itu”, begitulah bunyi sabda Rasulullah SAW. Membangun sebuah ukhuwwah tidaklah semudah seperti berjumpa dengan seseorang, menjabat tangannya, dan menanyakan namanya. Ada tolak ukur untuk membangun sebuah ukhuwwah islamiyah antar al-ikhwan. Sebagai penutup artikel ini, berikut tolok ukur membangun sebuah ukhuwwah.

1. Menjadikan ukhuwwah itu ikhlas karena Allah semata.
2. Menjadikan ukhuwwah yang pertalian didalamnya atas dasar iman dan takwa.
3. Menjadikan ukhuwwah yang didalamnya ada rasa komitmen untuk selalu menjalankan apa yang ditulis di Al-Qur’an dan dipesankan Rasulnya.
4. Menjadikan ukhuwwah dengan berpegang teguh dengan selalu saling menasihati dalam kebaikan.
5. Menjadikan ukhuwwah atas dasar ta’awun dan tafakul baik dalam waktu sempit maupun lapang.

Thursday, April 06, 2006

Firasat

Kategori: Cerpen

Senja dingin itu, di bandara Soekarno-Hatta. Teman-teman yang akan berangkat bersamaku di kelilingi oleh sanak saudara dan keluarganya masing-masing. Mereka berfoto, berpelukan, dan bertangisan.

„Yu, kamu siap-siap check in, gih,“ kata mama. Tak aku jawab. Aku balas hanya dengan tatapan sebal.
„Yu, paspor kamu di mana? Hati-hati ya, jangan sampai hilang,“ lanjutnya lagi. Tak aku jawab juga.
„Yu, teman-teman kamu sudah pada masuk tuh mau check in,“ suara itu berbunyi lagi. Aku tak tahan. Aku berdiri, dan menatap ke wajah yang mulai renta itu.
„Mama! Bayu tahu! Bayu kan bukan anak kecil lagi! Mama gak usah ngingetin Bayu terus!“ suara kerasku terdengar menggema. Orang-orang yang di sekelilingku menatap ke arah kami. Hening sejenak. Hening paras Mama waktu mendengar bentakanku. Ia terdiam sebelum akhrnya mengulum kembali senyum yang dipaksakan.

Dan tiba saat pesawat akan berangkat, ku tepis tubuh Mama dan Papa saat hendak memelukku. Saat teman-temanku banjir air mata, tak ku tatap lagi wajah orang tuaku. Kesal aku dengan mereka, yang selalu memperlakukan aku bagai anak kecil. Yang selalu terobsesi dengan diriku, dan yang selalu menuntutku agar menjadi seperti apa yang mereka mau.

***

Ladies and gentlemen, welcome in Garuda Indonesia Airlines, my name is Retno Wulandari. I am head flight attendant from Jakarta to Frankfurt...

Aku duduk, menatap kosong ke arah televisi di depanku. Firman, yang duduk di sebelahku baru berhenti dari menangis ketika pesawat sudah mulai tinggal landas. Pramugari-pramugari itu mulai sibuk menyajikan santap malam untuk para penumpang.

„What do you want to eat?, we have rice with scramble eggs, noodle with sausage, or...“
„Terserah mbak!“ jawabku memotong. Ku tahu, pramugari itu terhenyuk mendengar jawaban kasarku. Okay, katanya sambil tersenyum, lalu menanyakan hal yang sama kepada Firman.
„Yu, plis jangan marah ya. lo kenapa sih? Dari tadi kelihatannya keseeel terus,“ tanya Firman sambil membuka menu yang telah dipilihnya.
„Kesel aja. Boleh, kan?“ jawabku ketus.
„Kesel boleh, tapi di waktu yang pas dong. Bukannya gue sok tua yah, kayaknya nggak pantes deh lo ngebentak pramugari tadi. Dan nggak pantes juga tadi lo ngedorong tubuh nyokap lo saat dia mau meluk lo,“ lanjutnya lagi. „Gue malah pengen bisa meluk tubuh nyokap gue selama mungkin,“
Aku diam, mulai menyantap hidangan.
„Jangan buat orang tua marah. Nanti kalau kiriman uang lo di-stop gimana hayo? Susah kan lo nanti jadinya,“
„Gue yakin, mereka nggak bakal nyetop kiriman uang,“ jawabku. „Mereka yang mau gue nerusin sekolah di Jerman. Ini semua cita-cita mereka. Mereka teralu terobsesi sama diri gue“
Firman hanya menatap.
„Tujuan lo ke Jerman buat apa?“ tanyaku.
„Buat sekolah lah. Hari gini, masa buat hura-hura,“
„Berarti kita berkebalikan. Tujuan gue justru buat hura-hura. Dengan gue ke Jerman, gue bisa lepas dari orang tua gue, pergi dari kehidupan di rumah yang membosankan,“
„Lo gak kasihan dengan orang tua lo? Lo kan anak semata wayang,“
„Tau apa lo soal anak semata wayang? Gue benci dengan sebutan itu. Apakah anak semata wayang harus terus bersama orang tua?“

Bruk bruk bruk. Pembicaraan kami terhenti saat pesawat kami tiba-tiba seperti berputar tak tentu arah. Makanan kami berhamburan.

Ting. Flight attendant, please come!

Dan para pramugari itu cepat-cepat kembali ke kursi mereka.

To all passengers, please return to your seats and fasten your seatbelts for we are expecting turbulances due to the bad weather. Thank you.

Suasana mendadak menjadi sepi. Yang ada hanyalah ketakutan. Lampu pesawat dipadamkan.
Tiba-tiba yang terlintas di pikiranku adalah kedua orang tuaku. Entah, padahal aku membenci mereka, namun saat ini wajah mereka seakan tepat di pelupuk mataku.

This is your captain speaking. Ladies and gentlemen, please take emergency landing position immediately.

Pesawat kami tiba-tiba manukik, turun dengan kecepatan yang luar biasa cepat. Semua orang panik. Panik sambil berusaha mengenakan baju pengaman dan meraih selang oksigen yang muncul dari atas kepala.

Mama, papa, mengapa saat ini kalian yang berada dalam pikiranku.

Jeritan di mana-mana, tubuh kami bertambah berat akibat pengaruh gravitasi berlebih, pesawat semakin cepat melaju ke bawah. Aku sadar. Aku akan mati. Ya, aku akan merasakan pedihnya sakratul maut sesaat lagi. Asyhadu alaa illaaha ilallah, wa asyhadu anna muhammadarrasulullah.

Ledakan besar, api, dan aku tak ingat lagi apa-apa.

***

Mataku terbelalak, tubuhku basah. Hanya sebuah mimpi buruk. Kulihat jam dinding yang menunjukkan pukul tiga pagi. Aku menangis, menangis sejadi-jadinya. Beberapa jam dari sekarang aku akan pergi meninggalkan rumah ini, dan, pikiranku kembali kepada mama dan papa.

Ku beranjak keluar kamar, ku lihat seseorang bermukena putih bersimpuh di dalam mushalla mengerjakan tahajud rutinnya. Itu mama. Ya, itu mama. Mama.
„Mama!“
Wanita separuh baya itu menatapku dengan air mata yang masih menggenang di pelupuk mata.
„Bayu, kok belum tidur? Kamu harus istirahat cukup. Perjalanan ke Jerman nanti akan menguras tenaga,“ katanya.
Ku rangkul tubuhnya. Ku peluk hangat.
„Ma, Bayu nggak mau ke Jerman, ma. Bayu mau sama mama,“ kataku dengan tangis yang mulai mengalir.
„Kamu bicara apa sih, sayang. Jam lima sore nanti kan kamu sudah harus terbang ke Jerman,“ katanya lembut, walau kutahu, perih yang dirasakannya saat ini.

Mama, yang sudah berbuat banyak untukku. Menjamin aku mendapat susu tiap hari saat ku kecil, menemaniku melukis saat aku di taman kanak-kanak, hingga sampai saat ini, kata-kata yang keluar setiap aku pulang ke rumah adalah „Bayu, sudah makan atau belum,“

„Mama sadar, apapun bisa terjadi nanti. Bayu, kamu anak mama semata wayang. Pun kamu hanyalah titipan Allah yang harus mama jaga. Jika kamu, atau mama, dipanggil oleh Yang Menciptakan kita, maka tidak ada yang dapat kita perbuat lagi selain mengikhlaskannya“.

Mama, tahukah kau, kalau aku baru bermimpi buruk tadi.

Mushab Syuhada
Berlin 2006