Apa yang tersembunyi
Adalah kau, sang bilangan!
Bilangan Cinta
Oleh: Mushab Syuhada
„Karina... Apa kabar?“ sapa sebuah suara laki-laki dari belakang. Karina menoleh, segera ia mengembangkan senyumnya dan membinarkan matanya yang bening.
„Daniel! Kemana saja kau? Aku pikir, kau sudah tak lagi kuliah di TU Berlin!“ balas Karina. Daniel membalas senyum.
Terakhir pertemuan antara Karina dan Daniel adalah satu tahun yang lalu, di Mathe-Gebäude TU Berlin lantai satu, di mana para mahasiswa menghabiskan waktunya untuk berdiskusi atau belajar kelompok. Saat itu Daniel sedang minta diajarkan sebuah soal matematika. Tiba-tiba Sabine datang dengan nafas tersengal-sengal, mengatakan kepada Karina, bahwa pengumuman kelulusan mata kuliah Biokimia telah keluar, dan nomor Karina terpampang di sana. Karina gembira luar biasa, karena dengan begitu ia telah menyelesaikan Vordiplom-nya. Ia dan Sabine berlari menuju pengumuman itu dan meninggalkan Daniel di sana, bersama dengan kertas-kertas soal matematikanya. Dan saat Karina kembali, Daniel sudah tidak lagi ada. Hilang, dan baru bertemu kembali hari ini.
„Kau ada waktu, Karina?“ tanya Daniel.
„Tentu. Sampai jam dua siang, setelah itu aku ada kuliah“ jawab Karina dengan tidak memudarkan senyum di wajahnya.
„Kita ke Cafétaria. Minum kopi, aku yang traktir“
Karina mengangguk.
Karina Wulandari, adalah mahasiswi asli Indonesia jurusan Bioteknologi. Entah bagaimana, tiba-tiba ia kedatangan sosok Daniel Grohmann, mahasiswa Jerman yang mengambil jurusan Teknik Mesin. Mereka satu tutorium di mata kuliah Matematika Analisis tiga semester yang lalu. Daniel, yang tinggi dan selalu mengenakan jaket hitam dan jeans biru itu, menghampiri Karina dan mengutarakan kekagumannya ketika melihat Karina mengerjakan soal trigonometri di papan tulis dan berdebat mengenai keberadaan bilangan tak hingga. Daniel ingin lebih banyak belajar matematika pada Karina. Karina pun menerima dengan senang hati. Mulai saat itu mereka sering bersama, berdiskusi, belajar, dan saling bercerita tentang berbagai hal.
„Mengapa kau menghilang begitu saja, Daniel?“ tanya Karina sambil meneguk kopi pahitnya.
„Aku ingin belajar sendiri, mengejar ketertinggalanku, dan meraih Vordiplom-ku. Agar aku bisa bertemu kau lagi“ jawabnya.
„Ingin belajar sendiri sampai pindah rumah segala? Ganti nomor ponsel segala? Sampai-sampai dunia pun tak tahu di mana kau berada“.
Daniel tersenyum pahit.
„Itulah caraku. Aku datang ke Uni hanya untuk ikut ujian. Selebihnya di rumah“.
„Dan...?“
„Dan sekarang aku telah mendapatkan Vordiplom-ku“ ucapnya sambil menyunggingkan senyum bangga.
„Berjanjilah untuk tidak mengulangi perbuatan itu. Kau butuh bersosialisasi, tidak dengan menghilang menyendiri selama satu tahun. bisa-bisa kau dibilang autis“ ujar Karina, kali ini dengan serius.
„Oh tentu, untukmu aku berjanji“ jawab pemuda berambut pirang itu.
Karina tertegun. Sepertinya ia tersandung pada kata ‚untukmu’ yang baru saja dilontarkan Daniel.
„Untukku?“ tanyanya.
„Ya. Untukmu. Dan aku datang kembali ke sini juga untukmu. Tidak kah kau melihat itu“ lugas Daniel. Karina semakin tertegun. Senyum di wajahnya yang ceria memudar. Perlahan ia mulai gugup.
„Maksudmu?“
Daniel menrik nafas panjang. „Aku mencintaimu dari dulu, Karina. Sekarang aku beranikan untuk mengatakan ini padamu. Aku ingin kau jadi kekasihku“ ungkap sorot mata tajam berwarna biru abu-abu itu.
Karina tertawa. Tawa yang dipaksakan.
„Kau bercanda Daniel, mana mungkin aku jadi kekasihmu. Kau itu tampan luar biasa!“
„Dan kau cantik luar biasa“
Karina terkekeh lagi sambil berputar mencari kata lain.
„Tidak mungkin Daniel, aku ini muslimah. Aku harus shalat lima waktu. Nanti acara nonton kita terganggu“
„Tidak masalah. Aku akan menunggumu menyelesaikan shalatmu“
„Aku ini berjilbab, nanti orang-orang akan memandangmu aneh bila kita berjalan bersama“
„Itu juga tidak masalah. Di Berlin ini sudah banyak wanita berjilbab. Itu hal yang biasa, orang tidak lagi melihat keanehan di sana“.
Karina terdiam sesaat. Meneguk kopinya kembali.
„Daniel, mengapa kau ucapkan ini padaku? Kau pasti sudah tahu apa jawabanku? Aku pikir, kau menganggapku hanya sebatas teman, eine Kommilitonin“ tanya Karina sambil menghela nafas.
Daniel tertunduk. Ada guratan kecewa di sana.
„Kau tahu, bagian matematika apa yang paling aku sukai?“ tanya Daniel berbalik. Karina bingung, mencoba mencari korelasi antara pernyataan cinta dan bagian matematika yang Daniel sukai.
„Geometri. Terutama lingkaran. Kau pernah bilang, bahwa lingkaran itu indah, tidak punya sudut. Walau aku bersikukuh bahwa lingkaran juga memiliki sudut yaitu sudut tak hingga. Kau juga bilang, kalau lingkaran itu serupa obat. Banyak dipakai orang, bermanfaat. Dan katamu juga, bahwa di dalam lingkaran ada sebuah penyusun yang sangat místerius. Tak mampu tertangkap secara utuh. Namun ia ada pada setiap lingkaran“
Daniel tersenyum mendengar jawaban itu. „Ingatanmu hebat, Karina. Karena itulah juga aku mencintaimu. Kau mendengar setiap detail perkataan orang dan memberikan pancaran perhatian. Carilah penyusun misterius pada lingkaran itu, maka kau akan tahu siapa kau di mataku.“
Karina mengerutkan dahi.
„Kau sedang bercanda ya?“
„Tidak aku serius. Gabungkanlah penyusun misterius pada lingkaran itu dengan apa yang kau ajarkan padaku ketika terakhir kita bertemu. Lalu datanglah ke Ku-Damm tepat di sebelah gedung Hugendubel pada tanggal 6 Januari 2005. Rasakanlah“
„Aku tahu kau bercanda. Sudahlah. Sekarang ini tanggal 2 Nopember 2005. mana mungkin aku datang ke masa lalu“
Daniel menggelengkan kepala. Menandakan bahwa ia serius. „Aku yakin kau bisa mendapatkan jawabannya. Aku tunggu seminggu lagi“.
***
Akhir Desember tahun 2004. Daniel datang dari arah Hauptgebäude. Karina sudah menunggunya selama 15 menit di depan Mathe-Gebäude bersama dengan asap-asap rokok mahasiswa-mahasiswa yang sedang berdiri di sana.
„Kemana saja?“ ucap Karina pura-pura kesal.
„Es tut mir leid, aku harus ke toilet dulu tadi“
„Baiklah, kita segera ke lantai satu“
Mereka berjalan menaiki anak-anak tangga menuju lantai satu tempat mereka akan belajar bersama. Hari ini hari Rabu, seperti biasa setiap Rabu dan Kamis mereka meluangkan waktu untuk belajar bersama.
„Karina, ajarkan aku tentang bilangan natural“
„Bukankah aku sudah ajarkan itu padamu minggu lalu?“
„Iya, tapi aku lupa. Aku ini seperti fungsi 1/x. Otakku cuma satu namun dibagi-bagi banyak pikiran, sehingga mudah lupa. Ajarkan aku sekali lagi!“
Karina tersenyum. „Iya kau itu seperti fungsi 1/x tapi pada interval negatif!“ledek Karina. Daniel mengiyakan. Mereka berdua tertawa.
„Kau tahu, jika kau adalah fungsi 1/x, lalu ditambah 1 dan dipangkatkan x, lalu dioperasikan dengan limit x mendekati tak hingga, maka jawabannya adalah e – bilangan natural!“ ujar Karina.
„Benarkah?“ tanya Daniel masih dalam tawanya.
„Coba saja kau hitung sendiri!“
Tiba-tiba datang Sabine, setengah berlari. Perempuan berkuncir ekor kuda dan berkacamata tebal itu menghampiri.
„Karina! Akhirnya aku menemukanmu! Kau tahu, hasil ujian Biokimia sudah keluar! Aku lulus, dan kulihat nomormu juga lulus! Kita lulus Vordiplom! Selamat datang Hauptstudium!“ ujar sabine setengah berteriak sambil lompat-lompat.
„Benarkah?! Alhamdulillah! Segala puji untuk-Mu, Tuhan! Di mana pengumumannya?“
„Di Technische Chemie-Gebäude lantai dua. Ayo ikut aku, kita lihat bersama!“
Mereka berdua segera berlari menuju ke tempat pengumuman itu. Daniel ditinggal sendiri. Walau ia tahu pasti Karina tak lama lagi akan kembali, namun ia memutuskan untuk pergi – pulang ke rumah. Ia kecewa, kecewa karena tidak bisa mengambil Vordiplom-nya semester ini. Namun ia tidak menyesalkan kemampuan dirinya yang kurang untuk mendapatkanl Vordiplom, melainkan menyayangkan karena ia tidak lagi bersama dengan Karina. Tidak lagi pada mata kuliah Matematika Analisis.
„Tunggu aku di Hauptstudium, Karina. Kita akan bersama lagi“ ujarnya pelan. Lalu membereskan kertas-kertasnya, dan pergi, mungkin pergi dalam waktu yang lama. Menghilang sementara bagai tertelan kabut.
***
Karina berada persis di depan gedung Hugendubel di Ku-Damm. Namun pada tanggal 3 Nopember 2005, bukan pada 6 januari 2005 seperti yang diminta Daniel. Ia terdiam. Ia tahu Daniel tidak bercanda. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan.
Dipandanginya sekeliling. Gedung yang bersebelahan persis dengan gedung Hugendubel adalah kantor milik Dinas Meteorologi dan Geofisika Berlin. Di atas gedung itu tertempel sebuah termometer digital besar yang menunjukkan angka 12 derajat celcius.
Karina merebahkan dirinya di bangku besi di ujung jalan. Ia berpikir. Apa yang harus dirasakannya di sini? Mengapa Daniel menyuruhnya merasakan sesuatu di waktu yang lampau? Apa yang ada di balik lingkaran? Dan apa yang diajarkan pada kali terakhir bertemu Daniel?
Karina mendapat satu jawab. Yang diajarkannya pada kali terakhir bertemu Daniel adalah bilangan natural – e. Tiba-tiba, aliran matematis yang muncul dari penemuan bilangan e membawanya ke bilangan irrasional lainnya, π – phi, yang ada dalam setiap lingkaran namun tak dapat tertangkap secara utuh. Sampai kapanpun tak ada manusia yang mampu menemukan akhir dari deretan angka-angka acak di belakang koma sang phi. Hanya Tuhan yang Mahatahu.
Satu pertanyaan lagi, apakah yang harus ia rasakan. Ia memandangi termometer besar di atas gedung itu. Satu lagi jawaban ia temukan. Ia harus merasakan suhu udara di sana pada tanggal 6 Januari 2005. Tinggal bagaimana cara mendapatkannya.
Dengan langkah ragu, ia masuk ke dalam gedung Meteorologi dan Geofisika.
„Selamat siang, saya Karina Wulandari, mahasiswi TU Berlin“ ujarnya sambil menyodorkan kartu mahasiswa.
„Bisakah saya mendapatkan data tentang suhu udara di sini pada tanggal 6 Januari 2005?“
„Ya. Anda bisa mendapatkannya. Apakah ini untuk keperluan studi Anda?“ tanya wanita gemuk itu di balik meja informasi. Karina mengangguk. „Lurus terus dan belok kiri. Silahkan Anda minta pada Herr Rossbach“
Dan Karina mendapatkannya. Suhu udara pada hari itu adalah -1, minus satu.
***
Malam itu sunyi. Di atas tempat tidurnya Karina mencoret-coret tiga bentuk pada kertas usang. Bilangan e, π, dan angka -1. Tak lama ia tersenyum. Ia tahu apa yang diinginkan Daniel. Bilangan imajiner – i. Bilangan yang apabila bersama-sama π menjadi pangkat bilangan natural – e, akan menghasilkan angka -1.
„e dipangkatkan perkalian phi dan i adalah minus satu. Bilangan i – kau lah jawabannya“
***
„Aku sudah dapatkan alasannya“ujar Karina pada pertemuan mereka berikutnya, tepat seminggu setelah daniel memberikan teka-teki itu.
„Apa maksudnya bilangan i?“ tanya Karina
„Ya. kau itu seperti bilangan i. Kau itu terlalu imajiner. Kau ada tapi kau hanya mampu dibayangkan. Maaf, aku bayangkan maksudku. Kau berperilaku sopan pada siapa saja, tak hanya pada orang muslim, bahkan pada orang tak beragama sepertiku. Kau mampu menghormati orang lain, namun kau tidak meninggalkan ideologimu sebagai muslimah. Kau cantik luar dalam, itulah mengapa aku menyukaimu. Namun sekali lagi, kau tak mungkin bisa aku dapatkan, karena kau terlalu imajiner.“
Karina menitikkan air mata. „Kau pasti tahu apa jawabanku Daniel, maaf. Cinta bagiku adalah ikatan suci yang justru akan mendekatkan aku pada Tuhanku. Aku ingin, siapapun kekasihku, bisa membuatku makin cinta pada Tuhanku. Mengertilah.“
„Aku mengerti“ ucap Daniel. Hening sesaat di antara mereka.
„Siapa yang mengajarkanmu ini semua, Karina?“ tanyanya lagi.
„Agamaku“
„Aku tidak mengenal agama sejak lahir. Namun ideologimu yang kuat membuat aku tertarik melihat apa agama itu“
Danielpun kembali menghilang. Di hari itu, di musim gugur, seperti tertiup angin bersama dengan dedaunan yang rontok. Karina bergumam dalam hati, aku adalah bilangan imajiner dan Daniel adalah fungsi 1/x di interval negatif. Seketika ia merinding. Fungsi 1/x dalam interval negatif berjalan menuju ke minus tak hingga dan nol. Apakah minus tak hingga dan nol itu? Kematiankah? Istighfar berulang kali ia baca. Ia tak mau Daniel memilih mati oleh karena apa yang diucapkannya hari ini.
Tapi, fungsi 1/x tak akan menyentuh nol maupun minus tak hingga. Tak akan. Sampai kapanpun. Daniel tidak memilih mati. Ia memilih mengenal apa itu agama. Karina masih bisa berharap tenang dan menunggu Daniel kembali ketika ia sudah mengenal agama. Dan mudah-mudahan, Islam-lah yang akan memberikan jawab atas ketertarikan Daniel melihat agama.
***
Alhamdulillah,
Berlin 10 Nopember 2005, Sudah maghrib nih, buka puasa dulu yak!
Mengapa saat banyak hal yang harus dikerjakan, saya malah membuat cerpen?
Ah tidak apa, bisa sekalian belajar matematika. Mudah-mudahan berguna
Mushab Syuhada.
Adalah kau, sang bilangan!
Bilangan Cinta
Oleh: Mushab Syuhada
„Karina... Apa kabar?“ sapa sebuah suara laki-laki dari belakang. Karina menoleh, segera ia mengembangkan senyumnya dan membinarkan matanya yang bening.
„Daniel! Kemana saja kau? Aku pikir, kau sudah tak lagi kuliah di TU Berlin!“ balas Karina. Daniel membalas senyum.
Terakhir pertemuan antara Karina dan Daniel adalah satu tahun yang lalu, di Mathe-Gebäude TU Berlin lantai satu, di mana para mahasiswa menghabiskan waktunya untuk berdiskusi atau belajar kelompok. Saat itu Daniel sedang minta diajarkan sebuah soal matematika. Tiba-tiba Sabine datang dengan nafas tersengal-sengal, mengatakan kepada Karina, bahwa pengumuman kelulusan mata kuliah Biokimia telah keluar, dan nomor Karina terpampang di sana. Karina gembira luar biasa, karena dengan begitu ia telah menyelesaikan Vordiplom-nya. Ia dan Sabine berlari menuju pengumuman itu dan meninggalkan Daniel di sana, bersama dengan kertas-kertas soal matematikanya. Dan saat Karina kembali, Daniel sudah tidak lagi ada. Hilang, dan baru bertemu kembali hari ini.
„Kau ada waktu, Karina?“ tanya Daniel.
„Tentu. Sampai jam dua siang, setelah itu aku ada kuliah“ jawab Karina dengan tidak memudarkan senyum di wajahnya.
„Kita ke Cafétaria. Minum kopi, aku yang traktir“
Karina mengangguk.
Karina Wulandari, adalah mahasiswi asli Indonesia jurusan Bioteknologi. Entah bagaimana, tiba-tiba ia kedatangan sosok Daniel Grohmann, mahasiswa Jerman yang mengambil jurusan Teknik Mesin. Mereka satu tutorium di mata kuliah Matematika Analisis tiga semester yang lalu. Daniel, yang tinggi dan selalu mengenakan jaket hitam dan jeans biru itu, menghampiri Karina dan mengutarakan kekagumannya ketika melihat Karina mengerjakan soal trigonometri di papan tulis dan berdebat mengenai keberadaan bilangan tak hingga. Daniel ingin lebih banyak belajar matematika pada Karina. Karina pun menerima dengan senang hati. Mulai saat itu mereka sering bersama, berdiskusi, belajar, dan saling bercerita tentang berbagai hal.
„Mengapa kau menghilang begitu saja, Daniel?“ tanya Karina sambil meneguk kopi pahitnya.
„Aku ingin belajar sendiri, mengejar ketertinggalanku, dan meraih Vordiplom-ku. Agar aku bisa bertemu kau lagi“ jawabnya.
„Ingin belajar sendiri sampai pindah rumah segala? Ganti nomor ponsel segala? Sampai-sampai dunia pun tak tahu di mana kau berada“.
Daniel tersenyum pahit.
„Itulah caraku. Aku datang ke Uni hanya untuk ikut ujian. Selebihnya di rumah“.
„Dan...?“
„Dan sekarang aku telah mendapatkan Vordiplom-ku“ ucapnya sambil menyunggingkan senyum bangga.
„Berjanjilah untuk tidak mengulangi perbuatan itu. Kau butuh bersosialisasi, tidak dengan menghilang menyendiri selama satu tahun. bisa-bisa kau dibilang autis“ ujar Karina, kali ini dengan serius.
„Oh tentu, untukmu aku berjanji“ jawab pemuda berambut pirang itu.
Karina tertegun. Sepertinya ia tersandung pada kata ‚untukmu’ yang baru saja dilontarkan Daniel.
„Untukku?“ tanyanya.
„Ya. Untukmu. Dan aku datang kembali ke sini juga untukmu. Tidak kah kau melihat itu“ lugas Daniel. Karina semakin tertegun. Senyum di wajahnya yang ceria memudar. Perlahan ia mulai gugup.
„Maksudmu?“
Daniel menrik nafas panjang. „Aku mencintaimu dari dulu, Karina. Sekarang aku beranikan untuk mengatakan ini padamu. Aku ingin kau jadi kekasihku“ ungkap sorot mata tajam berwarna biru abu-abu itu.
Karina tertawa. Tawa yang dipaksakan.
„Kau bercanda Daniel, mana mungkin aku jadi kekasihmu. Kau itu tampan luar biasa!“
„Dan kau cantik luar biasa“
Karina terkekeh lagi sambil berputar mencari kata lain.
„Tidak mungkin Daniel, aku ini muslimah. Aku harus shalat lima waktu. Nanti acara nonton kita terganggu“
„Tidak masalah. Aku akan menunggumu menyelesaikan shalatmu“
„Aku ini berjilbab, nanti orang-orang akan memandangmu aneh bila kita berjalan bersama“
„Itu juga tidak masalah. Di Berlin ini sudah banyak wanita berjilbab. Itu hal yang biasa, orang tidak lagi melihat keanehan di sana“.
Karina terdiam sesaat. Meneguk kopinya kembali.
„Daniel, mengapa kau ucapkan ini padaku? Kau pasti sudah tahu apa jawabanku? Aku pikir, kau menganggapku hanya sebatas teman, eine Kommilitonin“ tanya Karina sambil menghela nafas.
Daniel tertunduk. Ada guratan kecewa di sana.
„Kau tahu, bagian matematika apa yang paling aku sukai?“ tanya Daniel berbalik. Karina bingung, mencoba mencari korelasi antara pernyataan cinta dan bagian matematika yang Daniel sukai.
„Geometri. Terutama lingkaran. Kau pernah bilang, bahwa lingkaran itu indah, tidak punya sudut. Walau aku bersikukuh bahwa lingkaran juga memiliki sudut yaitu sudut tak hingga. Kau juga bilang, kalau lingkaran itu serupa obat. Banyak dipakai orang, bermanfaat. Dan katamu juga, bahwa di dalam lingkaran ada sebuah penyusun yang sangat místerius. Tak mampu tertangkap secara utuh. Namun ia ada pada setiap lingkaran“
Daniel tersenyum mendengar jawaban itu. „Ingatanmu hebat, Karina. Karena itulah juga aku mencintaimu. Kau mendengar setiap detail perkataan orang dan memberikan pancaran perhatian. Carilah penyusun misterius pada lingkaran itu, maka kau akan tahu siapa kau di mataku.“
Karina mengerutkan dahi.
„Kau sedang bercanda ya?“
„Tidak aku serius. Gabungkanlah penyusun misterius pada lingkaran itu dengan apa yang kau ajarkan padaku ketika terakhir kita bertemu. Lalu datanglah ke Ku-Damm tepat di sebelah gedung Hugendubel pada tanggal 6 Januari 2005. Rasakanlah“
„Aku tahu kau bercanda. Sudahlah. Sekarang ini tanggal 2 Nopember 2005. mana mungkin aku datang ke masa lalu“
Daniel menggelengkan kepala. Menandakan bahwa ia serius. „Aku yakin kau bisa mendapatkan jawabannya. Aku tunggu seminggu lagi“.
***
Akhir Desember tahun 2004. Daniel datang dari arah Hauptgebäude. Karina sudah menunggunya selama 15 menit di depan Mathe-Gebäude bersama dengan asap-asap rokok mahasiswa-mahasiswa yang sedang berdiri di sana.
„Kemana saja?“ ucap Karina pura-pura kesal.
„Es tut mir leid, aku harus ke toilet dulu tadi“
„Baiklah, kita segera ke lantai satu“
Mereka berjalan menaiki anak-anak tangga menuju lantai satu tempat mereka akan belajar bersama. Hari ini hari Rabu, seperti biasa setiap Rabu dan Kamis mereka meluangkan waktu untuk belajar bersama.
„Karina, ajarkan aku tentang bilangan natural“
„Bukankah aku sudah ajarkan itu padamu minggu lalu?“
„Iya, tapi aku lupa. Aku ini seperti fungsi 1/x. Otakku cuma satu namun dibagi-bagi banyak pikiran, sehingga mudah lupa. Ajarkan aku sekali lagi!“
Karina tersenyum. „Iya kau itu seperti fungsi 1/x tapi pada interval negatif!“ledek Karina. Daniel mengiyakan. Mereka berdua tertawa.
„Kau tahu, jika kau adalah fungsi 1/x, lalu ditambah 1 dan dipangkatkan x, lalu dioperasikan dengan limit x mendekati tak hingga, maka jawabannya adalah e – bilangan natural!“ ujar Karina.
„Benarkah?“ tanya Daniel masih dalam tawanya.
„Coba saja kau hitung sendiri!“
Tiba-tiba datang Sabine, setengah berlari. Perempuan berkuncir ekor kuda dan berkacamata tebal itu menghampiri.
„Karina! Akhirnya aku menemukanmu! Kau tahu, hasil ujian Biokimia sudah keluar! Aku lulus, dan kulihat nomormu juga lulus! Kita lulus Vordiplom! Selamat datang Hauptstudium!“ ujar sabine setengah berteriak sambil lompat-lompat.
„Benarkah?! Alhamdulillah! Segala puji untuk-Mu, Tuhan! Di mana pengumumannya?“
„Di Technische Chemie-Gebäude lantai dua. Ayo ikut aku, kita lihat bersama!“
Mereka berdua segera berlari menuju ke tempat pengumuman itu. Daniel ditinggal sendiri. Walau ia tahu pasti Karina tak lama lagi akan kembali, namun ia memutuskan untuk pergi – pulang ke rumah. Ia kecewa, kecewa karena tidak bisa mengambil Vordiplom-nya semester ini. Namun ia tidak menyesalkan kemampuan dirinya yang kurang untuk mendapatkanl Vordiplom, melainkan menyayangkan karena ia tidak lagi bersama dengan Karina. Tidak lagi pada mata kuliah Matematika Analisis.
„Tunggu aku di Hauptstudium, Karina. Kita akan bersama lagi“ ujarnya pelan. Lalu membereskan kertas-kertasnya, dan pergi, mungkin pergi dalam waktu yang lama. Menghilang sementara bagai tertelan kabut.
***
Karina berada persis di depan gedung Hugendubel di Ku-Damm. Namun pada tanggal 3 Nopember 2005, bukan pada 6 januari 2005 seperti yang diminta Daniel. Ia terdiam. Ia tahu Daniel tidak bercanda. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan.
Dipandanginya sekeliling. Gedung yang bersebelahan persis dengan gedung Hugendubel adalah kantor milik Dinas Meteorologi dan Geofisika Berlin. Di atas gedung itu tertempel sebuah termometer digital besar yang menunjukkan angka 12 derajat celcius.
Karina merebahkan dirinya di bangku besi di ujung jalan. Ia berpikir. Apa yang harus dirasakannya di sini? Mengapa Daniel menyuruhnya merasakan sesuatu di waktu yang lampau? Apa yang ada di balik lingkaran? Dan apa yang diajarkan pada kali terakhir bertemu Daniel?
Karina mendapat satu jawab. Yang diajarkannya pada kali terakhir bertemu Daniel adalah bilangan natural – e. Tiba-tiba, aliran matematis yang muncul dari penemuan bilangan e membawanya ke bilangan irrasional lainnya, π – phi, yang ada dalam setiap lingkaran namun tak dapat tertangkap secara utuh. Sampai kapanpun tak ada manusia yang mampu menemukan akhir dari deretan angka-angka acak di belakang koma sang phi. Hanya Tuhan yang Mahatahu.
Satu pertanyaan lagi, apakah yang harus ia rasakan. Ia memandangi termometer besar di atas gedung itu. Satu lagi jawaban ia temukan. Ia harus merasakan suhu udara di sana pada tanggal 6 Januari 2005. Tinggal bagaimana cara mendapatkannya.
Dengan langkah ragu, ia masuk ke dalam gedung Meteorologi dan Geofisika.
„Selamat siang, saya Karina Wulandari, mahasiswi TU Berlin“ ujarnya sambil menyodorkan kartu mahasiswa.
„Bisakah saya mendapatkan data tentang suhu udara di sini pada tanggal 6 Januari 2005?“
„Ya. Anda bisa mendapatkannya. Apakah ini untuk keperluan studi Anda?“ tanya wanita gemuk itu di balik meja informasi. Karina mengangguk. „Lurus terus dan belok kiri. Silahkan Anda minta pada Herr Rossbach“
Dan Karina mendapatkannya. Suhu udara pada hari itu adalah -1, minus satu.
***
Malam itu sunyi. Di atas tempat tidurnya Karina mencoret-coret tiga bentuk pada kertas usang. Bilangan e, π, dan angka -1. Tak lama ia tersenyum. Ia tahu apa yang diinginkan Daniel. Bilangan imajiner – i. Bilangan yang apabila bersama-sama π menjadi pangkat bilangan natural – e, akan menghasilkan angka -1.
„e dipangkatkan perkalian phi dan i adalah minus satu. Bilangan i – kau lah jawabannya“
***
„Aku sudah dapatkan alasannya“ujar Karina pada pertemuan mereka berikutnya, tepat seminggu setelah daniel memberikan teka-teki itu.
„Apa maksudnya bilangan i?“ tanya Karina
„Ya. kau itu seperti bilangan i. Kau itu terlalu imajiner. Kau ada tapi kau hanya mampu dibayangkan. Maaf, aku bayangkan maksudku. Kau berperilaku sopan pada siapa saja, tak hanya pada orang muslim, bahkan pada orang tak beragama sepertiku. Kau mampu menghormati orang lain, namun kau tidak meninggalkan ideologimu sebagai muslimah. Kau cantik luar dalam, itulah mengapa aku menyukaimu. Namun sekali lagi, kau tak mungkin bisa aku dapatkan, karena kau terlalu imajiner.“
Karina menitikkan air mata. „Kau pasti tahu apa jawabanku Daniel, maaf. Cinta bagiku adalah ikatan suci yang justru akan mendekatkan aku pada Tuhanku. Aku ingin, siapapun kekasihku, bisa membuatku makin cinta pada Tuhanku. Mengertilah.“
„Aku mengerti“ ucap Daniel. Hening sesaat di antara mereka.
„Siapa yang mengajarkanmu ini semua, Karina?“ tanyanya lagi.
„Agamaku“
„Aku tidak mengenal agama sejak lahir. Namun ideologimu yang kuat membuat aku tertarik melihat apa agama itu“
Danielpun kembali menghilang. Di hari itu, di musim gugur, seperti tertiup angin bersama dengan dedaunan yang rontok. Karina bergumam dalam hati, aku adalah bilangan imajiner dan Daniel adalah fungsi 1/x di interval negatif. Seketika ia merinding. Fungsi 1/x dalam interval negatif berjalan menuju ke minus tak hingga dan nol. Apakah minus tak hingga dan nol itu? Kematiankah? Istighfar berulang kali ia baca. Ia tak mau Daniel memilih mati oleh karena apa yang diucapkannya hari ini.
Tapi, fungsi 1/x tak akan menyentuh nol maupun minus tak hingga. Tak akan. Sampai kapanpun. Daniel tidak memilih mati. Ia memilih mengenal apa itu agama. Karina masih bisa berharap tenang dan menunggu Daniel kembali ketika ia sudah mengenal agama. Dan mudah-mudahan, Islam-lah yang akan memberikan jawab atas ketertarikan Daniel melihat agama.
***
Alhamdulillah,
Berlin 10 Nopember 2005, Sudah maghrib nih, buka puasa dulu yak!
Mengapa saat banyak hal yang harus dikerjakan, saya malah membuat cerpen?
Ah tidak apa, bisa sekalian belajar matematika. Mudah-mudahan berguna
Mushab Syuhada.
3 comments:
Gut gemacht!! *tepok tangan* Bacanya pnuh perjuangan, keren euy tapiii.. Bisa bikin cerpen yg ada hubungannya sm pelajaran ;)
Memang Nad, gue juga buatnya dengan perjuangan sampe bolak-balik bahan kuliahnya Frau Penn-Karras. Hehehe... Banyak yang bilang susah dimengerti. Mungkin bahasanya acak2an kali yah... humm, nächste Mal diperbaiki deh.
Btw, thanks buat commentnya yagh, Nadia, Sultan, Mas Rahmat, Fitri, en Atika.
liyeur euy...
pusing blajar eksak.. -_-
Post a Comment