Soy una Raya en el Mar
“Canopus!” Teriaknya. “Tunggu aku!”
Absurd. Langit ketika itu berwarna ungu. Capella menjerit-jerit sambil berlari mengejar kereta yang semakin melaju cepat meninggalkan peron di stasiun itu. Hilang. Kereta sudah terlampau jauh berjalan. Capella tidak terlihat lagi di kaca jendela. Namun jika Canopus terpejam, ia bisa melihat gadis itu sedang merunduk memecahkan tangis yang luar biasa hebat, meraung-raung. Absurd, dilihatnya kali ini langit berwarna hijau. Olarin menembus bayangan ruang dan waktu, menyapanya pada titik bisu.
“Bisakah kau menjawabku?” cecarnya. “Sekarang juga, Canopus, aku sudah tak tahan!”
Olarin sedang buta. Buta oleh sesuatu yang buta dan membutakan. Segala apa yang Canopus perbuat menjadikan ia buta. Perhatiannya maka jadilah ia buta di sana. Sementara Capella masih menangis dalam bayangan dengan sesal yang mendalam. Ia sudah lupa rasanya tertawa dan bahagia. Padahal ia tahu, Capella tidak bisa tertawa.
Kawan, kelak engkau akan tahu mengapa Allah mempertemukan dan memisahkan mereka.
Sudah terlambat, Capella. Dunia berputar dan musim berubah. Canopus baru saja menyelematkanmu dari lembah jurang yang nista. Bukankah kau tahu bahwa apa yang kau lihat baik belum tentu baik untukmu. Bahwa apa yang kau rasa sakit belum tentu buruk untukmu. Canopus masih memejamkan mata untuk bertemu dengan Capella di alam bayangan sana. Ia berusaha menjelaskan segalanya ketika langit masih berwarna hijau. Olarin tahu, Canopus telah mengorbankan segalanya. Ia telah memulai keputusan ini yang sudah lama ia tunggu-tunggu, yang ia redam-redam sedari dulu. Makin jelas bukan? Singkap Olarin dalam batas pemikiran.
“Kenapa baru sekarang?!” tanya Capella dengan parau ketika tubuhnya terhampar di tepi peron yang perlahan mulai ditumpuki salju. Jawabannya mudah, karena Canopus sangat perasa dan sulit mengatakan tidak. Ia tidak pernah mengatakan tidak, atau lebih tepatnya, ia tidak bisa mengatakan tidak. Maka, keputusan ini merupakan keputusan terberat yang ia kerjakan karena ia mesti mengatakan tidak, pada Capella, pada Olarin dan pada hatinya sendiri. Dan ia mengatakannya, akhirnya setelah sekian lama.
Olarin mendekati Capella yang terkulai. Wajah berkulit putih itu tercoreng dengan dua garis merah yang bermula dari kedua bola matanya dan saling menyatu di ujung dagunya. Pandangannya sayup, mulutnya ternganga. Kisah itu berlanjut, kata Olarin dalam hati melalui pandangannya pada gadis malang itu. Canopus telah menyelamatkanmu dari lembah jurang yang nista, bukankah kau tidak akan pernah tahu apa yang terbaik untukmu?
Masa-masa itu tidak datang dua kali, kawan. Engkau tahu, seseorang akan merasakan segalanya ketika ia kehilangan.
Ia tertawa, keras sekali, menyerupai gelegar di dunia tanpa halilintar. Canopus, Capella, Vega. Dan Vega yang ketiga. Ia seorang ksatria, jadi biarlah Vega yang menjelaskan mengapa lebah meninggalkan bunganya terlebih dahulu sampai bunga itu bermadu lagi, maka lebah akan mendatangi bunga itu dalam keadaan yang lebih indah, pada musim semi berikutnya. Kini Vega yang mendatangi Olarin dengan kuda ksatrianya, menyembul di balik awan-awan dan meminta kesabaran. Bukan Vega yang memainkannya, tetapi karena buta yang sedang menyelimutinya. Vega bukan yang terbaik, walau Olarin bersikeras bahwa Vega yang terbaik, atau mungkin benar Vega yang terbaik, tetapi ksatria itu tak pernah menganggap dirinya baik.
Biarlah Canopus terlihat seperti seorang bajingan, Vega seperti seorang ksatria, Olarin bak putri khayangan, dan Capella seperti mahluk hina tak bernyawa. Semua memainkan perannya, peran yang teramat kecil di pentas jagad raya yang luar biasa besar. Seperti jutaan protein yang memiliki fungsinya sendiri-sendiri demi mempertahankan hidup sebuah sel, tetapi sel tetaplah sel, yang membentuk jaringan menjadi organ, dan organ menjadi tubuh. Lihatlah, bukankah protein juga terbentuk dari asam amino, dari atom-atom C, H, O, N – kadang-kadang S, dan berupaya mempertahankan strukturnya menjadi sebuah protein dalam memainkan perannya. Ah, bukankah atom-atom itu masih dibentuk oleh proton dan neutron. Lantas, kemanakah foton, quark, gelombang, ketiadaan? Kemanakah manusia di alam jagad raya dunia? Bumi? Galaksi? Canopus? Capella? Vega? Denebola? Semesta?
Soy una raya en el mar
Ya, dan aku bagaikan setitik garis di lautan. Tak ada artinya bila dihempas ganasnya ombak. Aku kecil dan tetap akan kecil. Aku besar karena Tuhan menjadikan mata kalian melihatku besar. Aku hanya ingin menjadi sebulir pasir yang merekat di sebongkah bata dalam upayanya menyusun sebuah bangunan yang mahaindah.
Dan salju pertama turun lamat-lamat dengan penuh kesyahduan. Memutihkan segala. Memerihkan asa. And the story begins in Madrid. •
Berlin, 9 Desember 2010
FLP Jerman.
1 comment:
Dimaaas...lama saya ga baca karya2mu... waaah...sekarang tambah ok,misterius dan buat penasaran:-)
Kapan karya2nya Dimas mau dibukukan???
Post a Comment