Kategori: Cerpen
Perempuan Berkerudung Kashmir Hijau
Oleh: Dimas Abdirama
Jika saja Neng Geulis tidak masuk ke dalam masjid itu, tentu hati Neng tidak akan segundah ini. Seandainya saja Neng tidak bertemu lelaki Jerman bermata biru itu, pasti Neng bisa hidup bahagia sekarang. Ah tidak, bukan, bukan itu, hanya saja Neng tidak menaruh kasihan pada anak kecil bernama Hakan kemarin, semua derita ini tidak akan terjadi!
Neng pandangi sehelai pashmina Kashmir berwarna hijau muda pemberian Serkan Atalay, seorang penjual Döner yang memiliki kedai di wilayah Kreuzberg, Berlin. „Ini ucapan terima kasih saya,“ ucapya seraya tersenyum. Serkan sangat senang melihat anak tunggalnya telah menemukan sosok yang bisa memberikan kasih sayang seorang ibu, menggantikan posisi ibu kandungnya yang meninggalkan mereka ketika Hakan masih setahun.
Air mata Neng meleleh saat melihat Hakan duduk manis di pangkuannya sambil mendengarkan dengan seksama cerita tentang Sahabat Nabi yang ia bacakan. Dibelainya penuh iba kepala Hakan, seorang anak yang menderita gangguan kejiwaan sehingga ia berperilaku overacting dan tidak peduli dengan lingkungannya. Bapaknya justru sengaja menitipkan Hakan di masjid milik komunitas muslim Indonesia, bukan di masjid-masjid Turki yang banyak bertebaran di kota ini. Hampir semua masjid Turki telah ia kunjungi untuk dijadikan tempat anaknya belajar mengaji. Mulanya mereka menerima, tetapi lama-kelamaan semuanya angkat tangan untuk tetap bersedia membimbing anak semata wayangnya. Alasannya sederhana, keberadan Hakan hanya mengganggu anak-anak yang lain.
Setiap detik adalah makna, setiap masa adalah rasa, sulit membayangkan bahwa manusia tidaklah istimewa, perjalanan kita, dalam arus debu aksara - Dimas Abdirama
Tuesday, December 16, 2008
Sebutir Rindu di Tanah Madinah
Kategori: Cerpen
Oleh Dimas Abdirama
„Labaik, Allahuma Labaik!“ pekikku dalam hati saat pesawat Egypt Air kami mendarat dengan selamat di Bandara Prince Mohammad bin Abdulaziz, Madinah. Setelah menunggu sampai mesin benar-benar berhenti, rombongan haji asal Berlin yang dikomandoi oleh Brüder Ali mulai menuruni anak-anak tangga pesawat dan menginjakkan kaki di bumi Bagina Nabi.
Semilir angin gurun yang panas menampar wajah-wajah kami yang kuyu kelelahan. Ku pandangi lapangan terbang ini sesaat, melihat hitamnya malam yang tercahayai lampu-lampu neon putih. Ku bergumam di jiwaku, mensyukuri nikmat Illahi yang tiada henti ku dapati. Hingga akhirnya aku sampai pada detik ini, untuk memenuhi panggilanNya ke tanah suci.
Richard, muallaf Jerman yang akan menjadi teman satu kamarku di perjalan haji ini mengingatkanku untuk segera masuk ke dalam gedung bandara dan melakukan proses administrasi. Tak lama rombongan kami sudah menaiki bis untuk perjalanan ke hotel yang persis terletak di depan Masjid Nabawi. Kami memang mengunjungi Madinah terlebih dahulu sebelum bertolak ke Makkah minggu depan.
Oleh Dimas Abdirama
„Labaik, Allahuma Labaik!“ pekikku dalam hati saat pesawat Egypt Air kami mendarat dengan selamat di Bandara Prince Mohammad bin Abdulaziz, Madinah. Setelah menunggu sampai mesin benar-benar berhenti, rombongan haji asal Berlin yang dikomandoi oleh Brüder Ali mulai menuruni anak-anak tangga pesawat dan menginjakkan kaki di bumi Bagina Nabi.
Semilir angin gurun yang panas menampar wajah-wajah kami yang kuyu kelelahan. Ku pandangi lapangan terbang ini sesaat, melihat hitamnya malam yang tercahayai lampu-lampu neon putih. Ku bergumam di jiwaku, mensyukuri nikmat Illahi yang tiada henti ku dapati. Hingga akhirnya aku sampai pada detik ini, untuk memenuhi panggilanNya ke tanah suci.
Richard, muallaf Jerman yang akan menjadi teman satu kamarku di perjalan haji ini mengingatkanku untuk segera masuk ke dalam gedung bandara dan melakukan proses administrasi. Tak lama rombongan kami sudah menaiki bis untuk perjalanan ke hotel yang persis terletak di depan Masjid Nabawi. Kami memang mengunjungi Madinah terlebih dahulu sebelum bertolak ke Makkah minggu depan.
Subscribe to:
Posts (Atom)