Kategori: Cerpen
Oleh Dimas Abdirama
„Labaik, Allahuma Labaik!“ pekikku dalam hati saat pesawat Egypt Air kami mendarat dengan selamat di Bandara Prince Mohammad bin Abdulaziz, Madinah. Setelah menunggu sampai mesin benar-benar berhenti, rombongan haji asal Berlin yang dikomandoi oleh Brüder Ali mulai menuruni anak-anak tangga pesawat dan menginjakkan kaki di bumi Bagina Nabi.
Semilir angin gurun yang panas menampar wajah-wajah kami yang kuyu kelelahan. Ku pandangi lapangan terbang ini sesaat, melihat hitamnya malam yang tercahayai lampu-lampu neon putih. Ku bergumam di jiwaku, mensyukuri nikmat Illahi yang tiada henti ku dapati. Hingga akhirnya aku sampai pada detik ini, untuk memenuhi panggilanNya ke tanah suci.
Richard, muallaf Jerman yang akan menjadi teman satu kamarku di perjalan haji ini mengingatkanku untuk segera masuk ke dalam gedung bandara dan melakukan proses administrasi. Tak lama rombongan kami sudah menaiki bis untuk perjalanan ke hotel yang persis terletak di depan Masjid Nabawi. Kami memang mengunjungi Madinah terlebih dahulu sebelum bertolak ke Makkah minggu depan.
Madinah, kota yang konon dikenal dengan penduduknya yang ramah. Aku teringat kisah Baginda Rasulullah SAW yang memerintahkan Mushab bin Umair untuk berhijrah terlebih dahulu ke kota Yastrib (Madinah) dan mendakwahi penduduk di sana dengan dakwah Islam. Mushab bin Umair menjalankan perintah Rasululah dengan baik, kaum Anshar menerima dakwah Islam dengan terbuka. Sehingga ketika kaum muslimin Makkah berhijrah bersama Rasulullah ke sana, kaum Anshar menyambutnya dengan suka cita.
Suasana malam tidak terasa sepi karena sepanjang perjalanan berjejer bangunan-bangunan kotak dengan lampu-lampu yang menyala-nyala. Toko-toko beretalase, hotel, dan restoran menjamur di jalanan berbukit-bukit Madinah. Di luar sana ribuan orang dan jamaah haji tumpah ruah ke jalan raya. Bis yang kami tumpangi terus melaju sampai akhirnya kami melihat sebuah papan hijau besar bertuliskan „HARAM“ dalam tulisan arab di atas jalan.
„Liebe Brüder und Schwester, sekarang kita akan masuk ke tanah haram. Di sana terletak Masjid Nabawi,“ sahut Brüder Ali melalui pengeras suara di dalam bis itu. Beliau pun melanjutkan penjelasannya dengan memimpin doa memasuki tanah haram.
Sejentik air mataku menetes. Air mata kebahagiaan akan kesempatan yang datang, air mata kerinduanku pada baginda Rasul, dan air mata kesedihanku mengingat diriku yang kotor namun diperbolehkan berada dalam kota suci ini. Sebuah makhluk kecil bernama hati sedang memainkan berbagai rasa yang bergejolak. Ya Allah, kau izinkan aku menikmati semua ini.
Dari kejauhan tampak langit-langit hitam bertaburkan titik-titik bintang yang gemerlap, di bawahnya ada aura seperti embun berwarna putih dan hijau yang berpijar ke daratan. Persis seperti kawah di atas danau pegunungan, makin ke atas, cahaya embun itu makin menghilang, namun terangnya terasa sampai ke sekitarnya. Sinar itu datang dari sebuah bangunan yang mahamegah, berdiri dengan mahakokoh dengan hiasan-hiasannya yang mahacantik, itulah dia, yang dulu hanya dapat ku lihat gambarnya di majalah atau televisi, sekarang perlahan mendekat, persis di hadapanku. Allahu Akbar!
„Liebe Brüder und Schwester, kita sudah sampai di tujuan. Hotel kita terletak tepat di depan Nabawi. Malam ini kita tidak perlu ke masjid dulu, karena malam sudah semakin larut. Lebih baik kita check in di hotel, lalu beristirahat. Subuh masuk pukul empat pagi,“ ujar Brüder Ali.
***
Suara apa ini? Suara yang begitu indah, bagi yang mendengarnya bisa terbawa ke dalam buaian surgawi. Suara yang mengalun-alun mendamaikan, menyejukkan hati dan menentramkan jiwa. Suara yang dapat membuat orang menangis tersedu-sedu, namun membawa kelegaan dan kebahagiaan yang tak terkira. Suara lembut itu membangunkan tidur lelapku.
Pukul tiga pagi. Satu jam lagi masuk waktu subuh. Masjid Nabawi mengalunkan bacaan-bacaan Al-Qur’an dari salah satu qori terbaiknya. Richard sudah tidak ada di tempat tidurnya, ia meninggalkan sebuah pesan untukku, katanya ia tidak bisa tidur sehingga sudah duluan pergi ke masjid.
Usai mandi, kulangkahkan kakiku menuju Nabawi. Pagi buta itu terasa begitu indah. Entah, entah karena begitu indahnya bangunan itu di mataku atau karena indahnya kondisi hatiku. Dari pelataran hotel sampai ke masjid sudah banyak para pedagang barang dan cinderamata yang mulai menggelarkan dagangannya. Aku terus berjalan senada dengan bacaan Qur’an yang terdengar dari setiap penjuru. Suara itu begitu luar biasa, ia memiliki kekuatan magis, menyihir setiap orang walau hanya dengan iramanya, tanpa harus mengerti maknanya.
Aku sampai di gerbang masjid yang berdiri tinggi, kumasuki pelataran dari marmer putih yang luas itu. Pilar-pilar masjid menjulang tinggi ke atas, lampu-lampu menyala dengan anggunnya, zamrud hijau terpasang di setiap sudut bangunannya, pintu-pintu kayu yang kokoh dan hiasan-hiasan emas yang bertebaran menambah kemegahan masjid ini. Memasukinya membuatku merasa seperti seorang pangeran yang akan masuk ke istananya. Subhanallah, itulah yang Allah berikan untuk salah satu rumahNya, turun melalui tangan-tangan para arsitek dan pekerja yang tergenggam dalam kepalanNya.
Di dalam, permadani tebal berwarna merah menghampar menyambutku. Masya Allah, begitu sejuknya ruangan ini. Di sisi kiri dan kanan terdapat bergalon-galon air zamzam yang siap diminum. Di setiap pilar terdapat sederet rak berisikan Al-Qur’an. Orang-orang di dalamnya larut dengan keasyikan berzikir, salat, bertilawah, seolah mereka tidak mengenal kata lelah.
Setelah kuselesaikan salat masuk masjid, aku bertahajud beberapa rakaat. Saat hendak meneruskannya dengan bertilawah, azan subuh tiba-tiba berkumandang. Azan pertama yang kudengar di bumi Rasul ini begitu syahdu dan menggetarkan. Ribuan orang memadati masjid ini. Subhanallah, padahal ini salat subuh, tapi seolah semua penduduk di kota ini menghadirinya. Jika saja ini terjadi di setiap pelosok bumi Allah, niscaya janji Allah atas kemenangan Islam pasti akan datang.
Kata ibuku, sempatkanlah salat di rawdah, sebuah bagian kecil di depan bangunan ini yang terletak antara makam Rasulullah SAW dengan mimbarnya. Usai salat, aku pun beranjak ke barisan terdepan. Dan ratusan jamaah yang lain pun sepikiran denganku, kami berdesak-desakan ke depan makam Rasul. Sambil terhimpit oleh orang-orang dari berbagai ras dan negara, aku melantunkan salawat nabi, dan teringat penggalan lagu Bimbo yang kusukai.
„Rindu kami padamu yaa Rasul… rindu tiada terperi… berabad jarak darimu yaa Rasul… serasa dikau di sini…“ batinku dengan emosi rindu yang membuncah dan meletup-letup. Aku teringat betapa mulianya beliau, yang masih memikirkan kita semua ketika ajalnya. Umaatii, umaatii, padahal selama masa kerasulannya tak henti-hentinya beliau memikirkan kami.
„Ya Rasulullah, aku di sini, aku umatmu dari Indonesia 14 abad setelah kelahiranmu. Aku pengikutmu ya Rasul, aku ingin bertemumu nanti di kehidupan abadi, saat kau memberikan syafaatmu untuk umatmu. Betapa kumerindumu..“ gumamku.
Ratusan orang yang berjejal membuatku pesimis untuk dapat mendirikan salat di rawdah. Kuurungkan niatku, mungkin nanti di waktu dhuha aku akan mencobanya lagi. Setelah lepas dari kerumunan orang-orang, tiba-tiba aku berada di sebuah pintu yang terletak sejajar dengan jalur menuju rawdah. Dan jalur itu sangat luang! Aku dapat dengan cepat mendekat ke depan makam Baginda Rasul. Tak sampai semenit, aku sudah di sana, dan berdiri di atas karpet merah rawdah yang lega. Mungkin hanya sepuluh orang kulihat di sana. Wallahu’alam, apakah Allah menutup mataku untuk melihat ratusan orang yang lain, tetapi saat itu jalur rawdah seolah telah siap untukku. Kuangkat takbir, kudirikian salat. Salat taubat.
***
Setelah sarapan pagi di hotel, aku pergi menuju masjid lagi. Tak ingin ku sia-siakan waktuku di sini yang hanya beberapa hari. Kulangkahkan lagi kakiku menuju ruangan masjid yang setiap pintunya dijaga dua orang tentara kerajaan Saudi yang berseragam cokelat. Setelah salat dua rakaat dan salat dhuha, kuteguk air zamzam dingin yang menyegarkan kerongkonganku. Alhamdulillah, mungkin ini merupakan bagian surga yang jatuh ke dunia. Lalu aku mencari sebuah tempat di dalam yang agak sepi, begitu luasnya masjid ini sehingga membuatku bebas memilih tempat yang kusuka. Aku ambil tempat yang agak ke belakang. Setelah menemukannya, kusimpuhkan tubuhku duduk di atas permadani tebal yang empuk, menyandarkan punggungku di pilar marmer yang sejuk, dan kipas angin yang berputar-putar di atas kepala makin membuat nyaman diriku. Ku buka mushaf Qur’an kecilku, kutargetkan menyelesaikan sepuluh halaman sampai waktu dzuhur nanti.
Rasa pegal dan lelah akibat perjalanan kemarin masih terasa, namun berangsur pulih dengan kenyamanan suasana saat ini. Walau demikian, rasa nikmat ini membuat mataku menjadi berat. Berat, dan lebih berat lagi tak tertahankan.
***
Aku terbelalak mendapati diriku berada di atas tumpukan pasir cokelat di sebuah gurun. Aku bersandar pada sebatang pohon kurma yang daunnya tak cukup melindungiku dari jilatan panas matahari. Tak jauh didepanku terdengar suara, kemudian aku berjalan ke depan, mendekati sumber suara itu. Di sana ada sebuah gubuk yang atapnya terbuat dari pelepah kurma dan lantainya dialasi dengan anyaman dedaunan kering. Puluhan orang bersorban dengan pakaian jubah putih duduk di sana melingkar, sepertinya sedang ada sebuah pertemuan. Suara itu datang dari seorang laki-laki yang duduk di depan mereka, ia berbicara bahasa Arab dengan beberapa potongan kata yang dapat kupahami maksudnya, sepertinya ia sedang berbicara soal agama.
Ku intip mereka dari balik pohon kurma. Negeri ini terlihat begitu asing. Tak jauh dariku terdapat bangunan-bangunan batu berbentuk kotak-kotak. Pakaian yang mereka pakai tidak seperti pakaian orang arab yang sering kulihat. Entahlah, mungkin potongannya agak berbeda. Mereka yang mengelilingi lelaki itu tampak begitu serius mendengarkan apa yang disampaikan. Beberapa ada yang mengangguk-angguk.
Tiba-tiba suara lelaki itu berhenti, ia beranjak berdiri. Aku melihat wajahnya yang sangat tampan. Rahangnya terlihat kuat, dada dan bahunya bidang, badannya tegap, janggutnya lebat, rambutnya terurai rapih. Beberapa saat kemudian matanya menatap aku, pandangan kami saling bertemu. Aku ketakutan, ia mendapatiku sedang bersembunyi. Aku khawatir jika ia mengiraku seorang mata-mata.
Lelaki itu lantas menunjuk ke arahku, ia berkata sesuatu dan seluruh orang yang ada di sana serempak menoleh ke arahku. Aku semakin takut, lalu secepat mungkin aku berlari menjauhi mereka.
Seorang laki-laki tampak mengejarku, ia meneriakiku sesuatu yang tidak kudengar, aku pun semakin berlari lebih cepat, namun aku tiba-tiba terjatuh, dan pasir yang berterbangan membuat mataku kelilipan.
Sebuah tangan yang kekar dan kuat mendekap badanku. Tangan itu milik seorang laki-laki bersorban dengan sebilah pedang di pinggangnya. Lalu ia menyeretku berjalan, membawaku mendekati kerumunan orang-orang tadi. Aku meronta-ronta, berusaha melepaskan dekapannya.
Di kerumunan itu, aku dihadapkan pada lelaki tampan yang berceramah tadi. Degup jantung pun semakin tak terkendali, aku begitu asing di tengah-tengah mereka, namun lelaki tadi memandangku dengan hangat. Ia mendekatiku dan duduk persis di depanku, bahkan sampai lutut kami saling bersentuhan. Ia tersenyum, senyum yang sangat indah. Aura kebapakannya merasuki sampai ke jiwaku, seperti seorang ayah yang sedang memandang seorang anak yatim penuh kasihan, karena anak itu sedang kelaparan dan sedang menggigil takut karena ketahuan mencuri makanan. Ia membuatku tenang dan tak lagi ketakutan.
Ia memegangi pipiku dengan kedua tangannya. Kulitnya halus dan harum. Lalu ia mengatakan sebuah kalimat dalam bahasa arab yang tak kupahami. Seperti sebuah pertanyaan, namun aku tidak bisa menjawabnya. Lalu ia menoleh ke arah yang lain dan berkata sesuatu dengan senyum yang mengembang lebar. Yang lain berkata „masya Allah! Masya Allah!“. Aku hanya mengerti beberapa kata dari laki-laki itu, yaitu „fii Indunisiy“ dan „akhirul zaman“.
Di hadapanku, laki-laki itu menceritakan sesuatu. Dari gerakan tangannya kupahami ia sedang menggambarkan sebuah bola api. Ia kepalkan tangan kirinya lalu ia letakkan di telapak tangan kanannya. Kemudian ia lepaskan bola api itu dari genggamannya. Ia juga mengucapkan kata-kata „din“ dan „akhirul zaman“. Yang lain mengangguk-angguk mendengarkan.
Usai ia bercerita, ia memandangku lembut sekali, dan aku seolah tak ingin melepaskan pandangannya. Kemudian ia memelukku dengan erat beberapa saat. Ku balas pelukannya tak kalah erat seperti seseorang yang tak ingin berpisah dengan kekasihnya. Setelah ia melepaskan pelukannya, pemuda arab berambut ikal di sampingku memberiku segelas air. „Minumlah!“ katanya dalam Bahasa Indonesia!
***
Aku terbangun, seorang pemuda berbaju gamis putih menggoyang-goyangkan tubuhku yang sedang terlelap di masjid ini. Ia berambut ikal. Ia membawakanku segelas air.
„Moya, moya… zamzam… zamzam…“ ucapnya sambil menyodorkan gelas itu kehadapanku. Kuterima, lalu kuteguk airnya seraya berkata „syukron“.
Laki-laki itu tersenyum lalu pergi. Kuminum lagi air itu seteguk, dan aku toleh wajahku ke arah lelaki itu pergi, tapi tiba-tiba ia sudah menghilang! Lantas aku berdiri, ku berputar melihat sekeliling, kuamati pelan-pelan, tetapi lelaki itu benar-benar sudah menghilang! Hilang dalam waktu kurang dari tiga detik!
Ya Allah, terlalu banyak rahasiaMu yang tak mampu aku cerna. Biarlah itu menjadi sebuah pengalaman spiritual untukku. Saat ini, aku berharap dapat merebut gelar haji mabrur sepulangnya dari tanahMu. Ya Allah, aku penuhi panggilanMu, Allahuma labaik!
Berlin, Desember 2008.
Untuk seorang lelaki yang memberiku minum lalu menghilang,
di masjidmu yaa Rasul.
1 comment:
Subhanallah..
jd terharu T_T
Post a Comment