Kategori: Cerpen
Perempuan Berkerudung Kashmir Hijau
Oleh: Dimas Abdirama
Jika saja Neng Geulis tidak masuk ke dalam masjid itu, tentu hati Neng tidak akan segundah ini. Seandainya saja Neng tidak bertemu lelaki Jerman bermata biru itu, pasti Neng bisa hidup bahagia sekarang. Ah tidak, bukan, bukan itu, hanya saja Neng tidak menaruh kasihan pada anak kecil bernama Hakan kemarin, semua derita ini tidak akan terjadi!
Neng pandangi sehelai pashmina Kashmir berwarna hijau muda pemberian Serkan Atalay, seorang penjual Döner yang memiliki kedai di wilayah Kreuzberg, Berlin. „Ini ucapan terima kasih saya,“ ucapya seraya tersenyum. Serkan sangat senang melihat anak tunggalnya telah menemukan sosok yang bisa memberikan kasih sayang seorang ibu, menggantikan posisi ibu kandungnya yang meninggalkan mereka ketika Hakan masih setahun.
Air mata Neng meleleh saat melihat Hakan duduk manis di pangkuannya sambil mendengarkan dengan seksama cerita tentang Sahabat Nabi yang ia bacakan. Dibelainya penuh iba kepala Hakan, seorang anak yang menderita gangguan kejiwaan sehingga ia berperilaku overacting dan tidak peduli dengan lingkungannya. Bapaknya justru sengaja menitipkan Hakan di masjid milik komunitas muslim Indonesia, bukan di masjid-masjid Turki yang banyak bertebaran di kota ini. Hampir semua masjid Turki telah ia kunjungi untuk dijadikan tempat anaknya belajar mengaji. Mulanya mereka menerima, tetapi lama-kelamaan semuanya angkat tangan untuk tetap bersedia membimbing anak semata wayangnya. Alasannya sederhana, keberadan Hakan hanya mengganggu anak-anak yang lain.
Setiap detik adalah makna, setiap masa adalah rasa, sulit membayangkan bahwa manusia tidaklah istimewa, perjalanan kita, dalam arus debu aksara - Dimas Abdirama
Tuesday, December 16, 2008
Sebutir Rindu di Tanah Madinah
Kategori: Cerpen
Oleh Dimas Abdirama
„Labaik, Allahuma Labaik!“ pekikku dalam hati saat pesawat Egypt Air kami mendarat dengan selamat di Bandara Prince Mohammad bin Abdulaziz, Madinah. Setelah menunggu sampai mesin benar-benar berhenti, rombongan haji asal Berlin yang dikomandoi oleh Brüder Ali mulai menuruni anak-anak tangga pesawat dan menginjakkan kaki di bumi Bagina Nabi.
Semilir angin gurun yang panas menampar wajah-wajah kami yang kuyu kelelahan. Ku pandangi lapangan terbang ini sesaat, melihat hitamnya malam yang tercahayai lampu-lampu neon putih. Ku bergumam di jiwaku, mensyukuri nikmat Illahi yang tiada henti ku dapati. Hingga akhirnya aku sampai pada detik ini, untuk memenuhi panggilanNya ke tanah suci.
Richard, muallaf Jerman yang akan menjadi teman satu kamarku di perjalan haji ini mengingatkanku untuk segera masuk ke dalam gedung bandara dan melakukan proses administrasi. Tak lama rombongan kami sudah menaiki bis untuk perjalanan ke hotel yang persis terletak di depan Masjid Nabawi. Kami memang mengunjungi Madinah terlebih dahulu sebelum bertolak ke Makkah minggu depan.
Oleh Dimas Abdirama
„Labaik, Allahuma Labaik!“ pekikku dalam hati saat pesawat Egypt Air kami mendarat dengan selamat di Bandara Prince Mohammad bin Abdulaziz, Madinah. Setelah menunggu sampai mesin benar-benar berhenti, rombongan haji asal Berlin yang dikomandoi oleh Brüder Ali mulai menuruni anak-anak tangga pesawat dan menginjakkan kaki di bumi Bagina Nabi.
Semilir angin gurun yang panas menampar wajah-wajah kami yang kuyu kelelahan. Ku pandangi lapangan terbang ini sesaat, melihat hitamnya malam yang tercahayai lampu-lampu neon putih. Ku bergumam di jiwaku, mensyukuri nikmat Illahi yang tiada henti ku dapati. Hingga akhirnya aku sampai pada detik ini, untuk memenuhi panggilanNya ke tanah suci.
Richard, muallaf Jerman yang akan menjadi teman satu kamarku di perjalan haji ini mengingatkanku untuk segera masuk ke dalam gedung bandara dan melakukan proses administrasi. Tak lama rombongan kami sudah menaiki bis untuk perjalanan ke hotel yang persis terletak di depan Masjid Nabawi. Kami memang mengunjungi Madinah terlebih dahulu sebelum bertolak ke Makkah minggu depan.
Sunday, November 16, 2008
Tips Menjaga Pameran
Kategori: Artikel
Mungkin kalian sudah pernah berkunjung ke sebuah Messe (pameran)? Entah itu pameran pariwisata, budaya, perdagangan, pendidikan, bahkan sampai pameran barang. Di sana kalian akan bertemu dengan seorang penjaga pameran yang siap memberikan kalian informasi-informasi dari barang atau jasa yang dipamerkan.
Sebuah instansi atau badan biasanya akan menginvestasikan dana yang cukup besar untuk ikut serta dalam sebuah kegiatan pameran. Tentunya dengan harapan bahwa mereka akan mendapat banyak peminat atau pelanggan untuk produk mereka, atau paling tidak produk mereka sudah dikenal di khalayak umum. Di sebuah pameran, biasanya produk-produk tersebut dipresentasikan sebaik mungkin. Di sinilah pentingnya peran seorang penjaga pameran.
Saya beberapa kali sempat menjadi penjaga pameran dan menjadi pengunjung pameran. Setelah mengamati, sampailah saya pada tulisan ini, sebagai tips untuk kalian yang berminat mendapatkan pengalaman bekerja di sebuah pameran.
Mungkin kalian sudah pernah berkunjung ke sebuah Messe (pameran)? Entah itu pameran pariwisata, budaya, perdagangan, pendidikan, bahkan sampai pameran barang. Di sana kalian akan bertemu dengan seorang penjaga pameran yang siap memberikan kalian informasi-informasi dari barang atau jasa yang dipamerkan.
Sebuah instansi atau badan biasanya akan menginvestasikan dana yang cukup besar untuk ikut serta dalam sebuah kegiatan pameran. Tentunya dengan harapan bahwa mereka akan mendapat banyak peminat atau pelanggan untuk produk mereka, atau paling tidak produk mereka sudah dikenal di khalayak umum. Di sebuah pameran, biasanya produk-produk tersebut dipresentasikan sebaik mungkin. Di sinilah pentingnya peran seorang penjaga pameran.
Saya beberapa kali sempat menjadi penjaga pameran dan menjadi pengunjung pameran. Setelah mengamati, sampailah saya pada tulisan ini, sebagai tips untuk kalian yang berminat mendapatkan pengalaman bekerja di sebuah pameran.
Sunday, October 19, 2008
Mengajar Bahasa Indonesia
Kategori: My Side
Mulai minggu ini saya punya aktivitas baru, yaitu mengajar Bahasa Indonesia untuk penutur asing di KBRI Berlin. Terus terang saya sangat tertarik serta antusias untuk pekerjaan ini, karena ini merupakan pengalaman pertama saya mengajar bahasa secara formal, terlebih di sini saya dituntut menggunakan dua bahasa, yaitu Jerman dan Indonesia. Kadang-kadang keluar juga Bahasa Inggris kalau ada beberapa kosa kata yang tidak saya pahami di Bahasa Jerman.
Sebelumnya saya berpikir, kok saya jadi sering berkecimpung di dunia bahasa ya? Padahal latar belakang saya kan semestinya insinyur di bidang bioteknologi? Dua tahun saya menjalani pekerjaan di TU Berlin yang setiap hariya sprechen Deutsch, sekarang ditambah mengajar bahasa lagi di KBRI, jadi kapan saya bekerja sesuai dengan bidang saya? Ya, nggak apa-apa, alhamdulillah bisa terhitung sebagai pengalaman. Mudah-mudahan manfaat. Yang penting kita senang dengan pekerjaan itu, karena kalau kita senang, maka kita akan mengerjakannya dengan sepenuh hati dan profesional serta memberikan yang terbaik yang mampu kita beri.
Mulai minggu ini saya punya aktivitas baru, yaitu mengajar Bahasa Indonesia untuk penutur asing di KBRI Berlin. Terus terang saya sangat tertarik serta antusias untuk pekerjaan ini, karena ini merupakan pengalaman pertama saya mengajar bahasa secara formal, terlebih di sini saya dituntut menggunakan dua bahasa, yaitu Jerman dan Indonesia. Kadang-kadang keluar juga Bahasa Inggris kalau ada beberapa kosa kata yang tidak saya pahami di Bahasa Jerman.
Sebelumnya saya berpikir, kok saya jadi sering berkecimpung di dunia bahasa ya? Padahal latar belakang saya kan semestinya insinyur di bidang bioteknologi? Dua tahun saya menjalani pekerjaan di TU Berlin yang setiap hariya sprechen Deutsch, sekarang ditambah mengajar bahasa lagi di KBRI, jadi kapan saya bekerja sesuai dengan bidang saya? Ya, nggak apa-apa, alhamdulillah bisa terhitung sebagai pengalaman. Mudah-mudahan manfaat. Yang penting kita senang dengan pekerjaan itu, karena kalau kita senang, maka kita akan mengerjakannya dengan sepenuh hati dan profesional serta memberikan yang terbaik yang mampu kita beri.
Monday, September 22, 2008
Dimas, Allah Sayang Sama Kamu
Kategori: My Side
Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah. Yaa Allah, yaa Rahmaan, yaa Rahiim.
Cerita ini dimulai dari satu semester yang lalu. Saya mengalami beberapa musibah dengan gagalnya saya di beberapa ujian. Saya menata hati, menata rencana, menata pola belajar. Seiring berjalannya waktu, saya terbuai dengan beberapa kesibukan yang datang silih berganti. Sedari dulu saya tidak suka menyalahkan kesibukan dengan prestasi kuliah, karena nyatanya banyak orang yang sibuk, tapi mereka tetap bisa sukses di kampus, padahal kita sama-sama mempunyai 24 jam satu hari satu malam. Saya berpikir, ini kesalahan klasik, kesalahan saya mengatur waktu dan membuat skala prioritas.
Awal tahun ini, saya sempat jatuh menerima keadaan bahwa saya harus mengikuti dua buah ujian penentuan. Ya, penentuan eksistensi saya di Jerman ini, karena jika saya gagal lagi, maka saya harus merubah total rencana hidup saya ke depan: saya harus angkat kaki dari negeri yang indah ini. Sejak itu, saya berazzam, bahwa keberhasilan adalah sebuah resultan dari usaha yang sungguh-sungguh sampai batas klimaks, dan doa serta kedekatan dengan Allah yang tak boleh terhalangi dengan kelalaian dan kemaksiatan. Mulailah pola hidup saya yang baru, pola hidup mahasiswa yang haus akan ilmu, yang sadar bahwa kesuksesan bukanlah berbentuk hadiah yang jatuh dari langit.
Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah. Yaa Allah, yaa Rahmaan, yaa Rahiim.
Cerita ini dimulai dari satu semester yang lalu. Saya mengalami beberapa musibah dengan gagalnya saya di beberapa ujian. Saya menata hati, menata rencana, menata pola belajar. Seiring berjalannya waktu, saya terbuai dengan beberapa kesibukan yang datang silih berganti. Sedari dulu saya tidak suka menyalahkan kesibukan dengan prestasi kuliah, karena nyatanya banyak orang yang sibuk, tapi mereka tetap bisa sukses di kampus, padahal kita sama-sama mempunyai 24 jam satu hari satu malam. Saya berpikir, ini kesalahan klasik, kesalahan saya mengatur waktu dan membuat skala prioritas.
Awal tahun ini, saya sempat jatuh menerima keadaan bahwa saya harus mengikuti dua buah ujian penentuan. Ya, penentuan eksistensi saya di Jerman ini, karena jika saya gagal lagi, maka saya harus merubah total rencana hidup saya ke depan: saya harus angkat kaki dari negeri yang indah ini. Sejak itu, saya berazzam, bahwa keberhasilan adalah sebuah resultan dari usaha yang sungguh-sungguh sampai batas klimaks, dan doa serta kedekatan dengan Allah yang tak boleh terhalangi dengan kelalaian dan kemaksiatan. Mulailah pola hidup saya yang baru, pola hidup mahasiswa yang haus akan ilmu, yang sadar bahwa kesuksesan bukanlah berbentuk hadiah yang jatuh dari langit.
Tuesday, July 29, 2008
Cinta di Taman Surga
Kategori: Puisi
Percaya atau tidak, aku sudah mengenalmu lebih dulu sebelum kamu mengenalku
Aku sudah tahu siapa kamu sebelum kamu tahu siapa aku
Jauh sebelum kita bertatap temu
Lalu aku berharap, semoga Allah menakdirkan kita bersama dalam perjuangan menegakkan kalimat-Nya
Bersama dalam tugas menyeru yang dititahkan kepada hamba-hamba yang dipilih-Nya
Dan Allah mengabulkan doaku, sore itu, ketika kita bertemu di sebuah taman surga
Taman yang di dalamnya dibacakan ayat-ayat Allah
Taman yang dilindungi oleh kepakan-kepakan sayap malaikat tentara Allah
Taman tempat kita berbagi ilmu, berwasiat dalam hak dan kesabaran
Seiring doaku, semoga Allah meneguhkan hatimu
Ana uhibbukum fillah
Volkswagen-Bibliothek
Berlin Charlottenburg, 2008.
Percaya atau tidak, aku sudah mengenalmu lebih dulu sebelum kamu mengenalku
Aku sudah tahu siapa kamu sebelum kamu tahu siapa aku
Jauh sebelum kita bertatap temu
Lalu aku berharap, semoga Allah menakdirkan kita bersama dalam perjuangan menegakkan kalimat-Nya
Bersama dalam tugas menyeru yang dititahkan kepada hamba-hamba yang dipilih-Nya
Dan Allah mengabulkan doaku, sore itu, ketika kita bertemu di sebuah taman surga
Taman yang di dalamnya dibacakan ayat-ayat Allah
Taman yang dilindungi oleh kepakan-kepakan sayap malaikat tentara Allah
Taman tempat kita berbagi ilmu, berwasiat dalam hak dan kesabaran
Seiring doaku, semoga Allah meneguhkan hatimu
Ana uhibbukum fillah
Volkswagen-Bibliothek
Berlin Charlottenburg, 2008.
Saturday, July 05, 2008
Aku Akan Menikah
Kategori: Kisah
Siang itu selepas Vorlesung [1] tak biasa-biasanya Selman memintaku untuk bersamanya minum kopi di cafetaria kampus. Aku mengamati wajahnya lekat-lekat yang menyembunyikan rasa gembira. Sahabatku ini telah mengenalku ketika kami sama-sama menyelesaikan Studienkolleg [2] sebelum masuk ke bangku kulah. Selman adalah lelaki Turki soleh, ia mudah bergaul, ramah, dan sangat penolong.
„Aku akan berta’aruf malam ini,“ katanya sambil tersenyum. Aku kaget. Rupanya itu yang ingin ia katakan padaku.
„Dengan siapa?“ balasku bertanya.
„Seorang gadis Turki. Ia anak dari rekan ayahku. Keluarga kami sudah dekat. Ayahku sepertinya ingin menikahkanku dengannya,“.
Siang itu, aku mendapat kehormatan menjadi sahabatnya yang pertama yang mendengar kabar ini. Siang itu Selman bercerita panjang, tentang perasaan gugupnya, tentang kegembiraannya, tentang keinginannya yang kuat untuk segera menikah.
„Aku tidak sanggup menunggu terlalu lama,“ katanya. Aku membatin, lelaki mana yang sanggup? Usianya masih sangat muda, kami hanya terpaut beberapa bulan. Selman lalu meminta pendapatku tentang keinginannya.
Aku teringat pesan guru ngajiku dalam memilih jodoh. „Ingat, memilih pasangan adalah memilih rekan untuk meniti jalan menuju surga. Pilih karena agamanya, maka kamu akan selamat,“ begitu kata-katanya yang masih membekas di ingatanku. Kusampaikan hal ini panjang lebar kepada Selman. Ia mengangguk, lalu sesaat tertegun, sesaat tersenyum penuh harapan.
„Jika kamu memilih karena agamanya, maka kamu akan tenang. Ia akan berbakti kepadamu dan mendidik anak-anakmu untuk menjadi pejuang-pejuang Islam yang tangguh,“ begitu kira-kira pesanku, pesan yang belum tentu dapat kukerjakan sendiri karena aku belum menikah.
***
Satu semester telah berjalan. Yang aku tahu, Selman sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan pernikahannya. Selama itu, Selman banyak bercerita tentang proses perkenalannya, khitbahnya, keluarganya, bahkan kadang-kadang aku sering kebagian cokelat, baklava [3] atau makanan khas Turki lainnya lantaran adat budaya tukar-menukar makanan dari kedua keluarga yang akan menikah.
Beberapa minggu terakhir Selman terlihat lelah. Aku sering melihatnya menerima telepon di tengah-tengah kuliah, atau tiba-tiba meninggalkan ruangan kuliah karena ada urusan yang mendadak. Aku paham, sulit memang mempersiapkan pernikahan di tengah-tengah semester. Pernah suatu kali Selman berbicara kepadaku.
„Masalahku datang tak pernah habis. Baru selesai masalah yang satu, datang masalah yang lain,“ keluhnya. Aku tersenyum dan menjawab semoga Allah memberikannya kekuatan dan kesabaran, dan menghitung usaha-usahanya sebagai amal baik yang akan tergantikan dengan kebahagiaan yang tiada tara.
Dan waktu yang ditunggupun tiba, Selman membawakan sepucuk undangan bertuliskan namaku. Yüce Allah’in (c.c) rizasi, Rasulün’ün (s.a.v) sünnetine uyarak evlenen evlatlarimiz... dügün merasimlerinde sizleri de aramizda görmekten mutluluk duyariz...
***
Sore itu hujan turun rintik-rintik. Tempat walimah nikah cukup jauh dari tempat tinggalku, dan kebetulan hari itu masjid kami sedang menyelenggarakan kegiatan pengajian bulanan. Banyak hal yang dapat membuatku mengurungkan niat datang ke pesta pernikahannya, namun untuk hari bersejarah sahabat baikku, aku bulatkan tekad untuk datang.
Konsep pernikahannya sederhana. Letaknya di alam bebas di balik pepohonan rindang dan taman bunga. Tempat duduk undangan laki-laki dan perempuan terpisah. Irama shalawat nabi mengalun sebagai musik hiburan. Benar-benar sebuah pesta nikah yang syar’i. Aku merasa asing karena aku bukan seorang Turki namun duduk di tengah-tengah komunitas Turki. Untungnya mereka sangat ramah dan memperlakukan aku seperti saudaranya sendiri.
Sebelum sang pengantin bertemu dengan tamu-tamunya, seorang lelaki setengah baya melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Seluruh orang yang hadir mendengarkannya dengan penuh hikmat. Alam bebas pun ikut menambah syahdunya suasana kali itu. Ah, sahabatku, akhirnya jadi juga kau menikah.
Selman datang dengan pakaian yang indah. Sebuah jas hitam yang terlihat gagah. Ia mengampiri satu-persatu tamunya yang ingin mengucapkan selamat atas pernikahannya. Ia pun datang menghampiriku, aku peluk dia sambil berbisik „Mabruk akhi, barakallahu fii kum,“.
Berlin 2008.
[1] Kuliah umum
[2] Fase persiapan untuk orang asing
[3] Sejenis kue khas Turki yang sangat manis
Siang itu selepas Vorlesung [1] tak biasa-biasanya Selman memintaku untuk bersamanya minum kopi di cafetaria kampus. Aku mengamati wajahnya lekat-lekat yang menyembunyikan rasa gembira. Sahabatku ini telah mengenalku ketika kami sama-sama menyelesaikan Studienkolleg [2] sebelum masuk ke bangku kulah. Selman adalah lelaki Turki soleh, ia mudah bergaul, ramah, dan sangat penolong.
„Aku akan berta’aruf malam ini,“ katanya sambil tersenyum. Aku kaget. Rupanya itu yang ingin ia katakan padaku.
„Dengan siapa?“ balasku bertanya.
„Seorang gadis Turki. Ia anak dari rekan ayahku. Keluarga kami sudah dekat. Ayahku sepertinya ingin menikahkanku dengannya,“.
Siang itu, aku mendapat kehormatan menjadi sahabatnya yang pertama yang mendengar kabar ini. Siang itu Selman bercerita panjang, tentang perasaan gugupnya, tentang kegembiraannya, tentang keinginannya yang kuat untuk segera menikah.
„Aku tidak sanggup menunggu terlalu lama,“ katanya. Aku membatin, lelaki mana yang sanggup? Usianya masih sangat muda, kami hanya terpaut beberapa bulan. Selman lalu meminta pendapatku tentang keinginannya.
Aku teringat pesan guru ngajiku dalam memilih jodoh. „Ingat, memilih pasangan adalah memilih rekan untuk meniti jalan menuju surga. Pilih karena agamanya, maka kamu akan selamat,“ begitu kata-katanya yang masih membekas di ingatanku. Kusampaikan hal ini panjang lebar kepada Selman. Ia mengangguk, lalu sesaat tertegun, sesaat tersenyum penuh harapan.
„Jika kamu memilih karena agamanya, maka kamu akan tenang. Ia akan berbakti kepadamu dan mendidik anak-anakmu untuk menjadi pejuang-pejuang Islam yang tangguh,“ begitu kira-kira pesanku, pesan yang belum tentu dapat kukerjakan sendiri karena aku belum menikah.
***
Satu semester telah berjalan. Yang aku tahu, Selman sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan pernikahannya. Selama itu, Selman banyak bercerita tentang proses perkenalannya, khitbahnya, keluarganya, bahkan kadang-kadang aku sering kebagian cokelat, baklava [3] atau makanan khas Turki lainnya lantaran adat budaya tukar-menukar makanan dari kedua keluarga yang akan menikah.
Beberapa minggu terakhir Selman terlihat lelah. Aku sering melihatnya menerima telepon di tengah-tengah kuliah, atau tiba-tiba meninggalkan ruangan kuliah karena ada urusan yang mendadak. Aku paham, sulit memang mempersiapkan pernikahan di tengah-tengah semester. Pernah suatu kali Selman berbicara kepadaku.
„Masalahku datang tak pernah habis. Baru selesai masalah yang satu, datang masalah yang lain,“ keluhnya. Aku tersenyum dan menjawab semoga Allah memberikannya kekuatan dan kesabaran, dan menghitung usaha-usahanya sebagai amal baik yang akan tergantikan dengan kebahagiaan yang tiada tara.
Dan waktu yang ditunggupun tiba, Selman membawakan sepucuk undangan bertuliskan namaku. Yüce Allah’in (c.c) rizasi, Rasulün’ün (s.a.v) sünnetine uyarak evlenen evlatlarimiz... dügün merasimlerinde sizleri de aramizda görmekten mutluluk duyariz...
***
Sore itu hujan turun rintik-rintik. Tempat walimah nikah cukup jauh dari tempat tinggalku, dan kebetulan hari itu masjid kami sedang menyelenggarakan kegiatan pengajian bulanan. Banyak hal yang dapat membuatku mengurungkan niat datang ke pesta pernikahannya, namun untuk hari bersejarah sahabat baikku, aku bulatkan tekad untuk datang.
Konsep pernikahannya sederhana. Letaknya di alam bebas di balik pepohonan rindang dan taman bunga. Tempat duduk undangan laki-laki dan perempuan terpisah. Irama shalawat nabi mengalun sebagai musik hiburan. Benar-benar sebuah pesta nikah yang syar’i. Aku merasa asing karena aku bukan seorang Turki namun duduk di tengah-tengah komunitas Turki. Untungnya mereka sangat ramah dan memperlakukan aku seperti saudaranya sendiri.
Sebelum sang pengantin bertemu dengan tamu-tamunya, seorang lelaki setengah baya melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Seluruh orang yang hadir mendengarkannya dengan penuh hikmat. Alam bebas pun ikut menambah syahdunya suasana kali itu. Ah, sahabatku, akhirnya jadi juga kau menikah.
Selman datang dengan pakaian yang indah. Sebuah jas hitam yang terlihat gagah. Ia mengampiri satu-persatu tamunya yang ingin mengucapkan selamat atas pernikahannya. Ia pun datang menghampiriku, aku peluk dia sambil berbisik „Mabruk akhi, barakallahu fii kum,“.
Berlin 2008.
[1] Kuliah umum
[2] Fase persiapan untuk orang asing
[3] Sejenis kue khas Turki yang sangat manis
Tuesday, April 22, 2008
Eingedeutscht!
Eingedeutscht!
A Mushab Syuhada’s
Hari pertama kuliah untuk Rani. Hari pertama kuliah untuk seluruh mahasiswa baru di semester ini.
Ruangan Vorlesung itu sesak, dipenuhi ratusan mahasiswa yang hendak mengambil mata kuliah ini. Ruangan berkapasitas 500 orang yang bertangga-tangga dengan puluhan barisan kursi dan meja lipat perlahan mulai membludak. Rani berada di ujung pintu masuk, melihat ke sekeliling mencari tempat yang tepat untuk duduk. Pilihannya jatuh pada sebuah kursi kosong di barisan tengah, tepat di sebelah pemuda Jerman yang sedang mendengarkan iPod sambil mengangguk-angguk mengikuti irama musik yang didengarnya.
Mahasiswa-mahasiswa itu terlihat duduk berkelompok dalam satu barisan. Mereka yang sudah saling bercakap-cakap satu sama lain menandakan di antara mereka sudah saling mengenal. Berbeda dengan yang duduk seorang diri. Penuh dengan keasingan, menandakan mereka belum mengenal seorang pun di sekelilingnya.
Rani telah resmi berstatus mahasiswi setelah kelulusannya dari Studienkolleg bulan lalu. Gadis yang senang dengan model rambut kuncir kuda itu diterima di sebuah universitas teknik favorit di Jerman. Saat ini ia memiliki sebuah ambisi yang besar, yaitu ambisi men-jerman-kan dirinya. Hal ini dilatar belakangi oleh percakapannya dengan Meytha beberapa minggu lalu di sebuah acara malam persahabatan Indonesia-Jerman.
***
„Kalau lo gaulnya sama orang-orang Indo terus, gimana bisa maju Deutsch lo!“ kata Meytha, gadis yang memiliki rambut warna-warni merah-kuning-hijau dengan piercing di hidungnya. Meytha berkulit putih, alis matanya dicukur hingga tipis dan mengenakan lensa kontak berwarna biru, semakin melengkapkan gayanya yang colorfull.
Rani menyimak perkataan Meytha lekat-lekat. Meytha tiba di Jerman setahun lebih dulu dari Rani, dan saat ini ia sedang berkuliah di sebuah universitas terkemuka yang sempat disinggahi Einstein di jantung kota Berlin. Yang Rani kagumi dari Meytha adalah kemampuan bahasa Jermannya yang berkembang pesat luar biasa. Meytha yang supel, punya banyak sekali teman orang Jerman dan sangat ceplas-ceplos ketika berbincang-bincang dengan mereka. Lain halnya dengan Rani dan sebagian besar pelajar Indonesia yang ada di Jerman. Walau sudah cukup lama tinggal di sini, kemampuan bahasa Jermannya masih terbilang a-a u-u. Mereka malu berbicara, takut salah Grammatik, takut dicemooh, gagap ketika akan memulai pembicaraan, dan selalu menghafalkan beberapa kalimat „einmal Döner Bitte, ohne Zwiebel“ di kepala sebelum membeli Döner.
Entah, apakah hal itu merupakan kebiasaan atau permasalahan mentalitas. Banyak juga mahasiswa asing seperti dari timur tengah maupun dari eropa timur yang juga belum terlalu cakap berbahasa Jerman, tapi mereka lebih berani berbicara walaupun susunan gramatiknya terbang ke mana-mana. Sedangkan orang Indonesia memiliki kemampuan mendekati sempurna dalam gramatik, hanya saja cenderung pendiam.
„Lo harus punya kontak sama orang Jerman, kalau lo mau bahasa Jerman lo jadi bagus. Kalau tiap hari ngomongnya bahasa Indo melulu, ya nggak maju-maju,“ selorohnya lalu meneguk minuman beralkohol Berliner Kindl dari gelas yang sedari tadi ia genggam. „Tinggalin acara kumpul-kumpul sama orang Indo kayak di masjid itu, keluar! Lihat dunia! Gaul!“, lanjutnya. Acara malam persahabatan Indonesia-Jerman itu ditutup dengan musik hingar bingar lengkap dengan bola disko yang berputar-putar memantulkan cercahan cahaya kelap-kelip lampu beraneka warna di ruangan yang hitam pekat. Suara tawa dan asap rokok mengepul bergulung-gulung di antara alunan musik top 40 yang berdentum keras.
Seorang pemuda Jerman berperawakan tinggi dan tampan datang ke arah Meytha. Meytha terlihat senang akan kehadirannya, mereka bercipika-cipiki lalu Meytha mengenalkan si pemuda itu ke Rani.
„Tobi, sie ist Rani. Ran, hier ist Tobi, er ist echt ein geiler Mann!“ katanya dilanjutkan dengan tawa yang membahana seperti euforia mabuk karena alkohol. Tobias melingkarkan tangannya di pinggul Meytha yang malam ini berpakaian seadanya seperti kekurangan bahan, seolah tidak takut ancaman masuk angin di cuaca yang sudah mulai dingin ini.
Rani tertegun melihat ketampanan pemuda itu sambil berkata dalam hati, betapa beruntungnya Meytha dapat kenalan dengan makhluk yang hampir sempurna itu.
„Sudah yah, Ran. Gue ke sana dulu ketemu sama temen-temennya Tobi. Ingat, jangan banyak gaul sama orang Indo. Cari temen orang Jerman, kalau perlu jadiin pacar. Ikut gue clubbing tiap minggu di Oriental Club atau di Copacabana, biar bisa gue kenalin sama temen-temen gue yang lain. Okeh?“ katanya sebelum beranjak pergi meninggalkan Rani.
Rani masih terdiam setelah ditinggal pergi Meytha. Hatinya makin mantap, bahwa kontak dengan orang Jerman lah yang ia butuhkan agar ia dapat belajar banyak tentang kebudayaan dan cara hidup orang Jerman yang teratur dan disiplin, selain agar ia dapat memajukan kemampuan bahasa Jermannya. Ia mengenal beberapa teman-temannya yang memiliki kontak dengan orang Jerman, dan mereka dapat bercas-cis-cus, berargumen, berdebat, bahkan sampai bertengkar dalam bahasa Jerman yang mengalir.
***
Rani memandang pemuda disebelahnya yang sedang mendengarkan iPod. Mata pemuda itu tidak melirik sedikitpun ke arah Rani. Sepuluh menit lagi kuliah dimulai. Rani ingin menggunakan kesempatan ini untuk berkenalan dengan pemuda itu dengan harapan bisa menjadi teman dekat sepanjang kuliah nanti.
„Hallo, ist der Platz hier noch frei?“ tanya Rani lembut sambil mengulum senyum. Pemuda itu melepaskan earphonenya dan menjawabnya dengan kata „Ja“ singkat, lalu kembali mengenakan earphonenya. Rani sengaja memilih duduk di sebelahnya karena tampaknya ia masih belum punya teman dan membutuhkan teman mengobrol. Namun ternyata ia tampak acuh dengan kehadiran Rani.
Rani tidak putus asa mendapatkan perlakuan cuek darinya. Dicobanya lagi usaha kedua. Rani menjatuhkan pulpennya dengan sengaja.
„Hmm, kannst du bitte meinen Stift nehmen?“ pinta Rani. Pemuda itu melepaskan earphonenya dan dengan malas mengambil pulpen di bawahnya.
„Danke schön. Hmm.. mein Name ist Rani. Ich komme aus Indonesien. Bali.. Bali.. ist in Indonesien, weißt du?.. Warst du schon mal in Indonesien? Hmm.. hmm.. Indonesien ist schön, oder? Hmm.. ich kann auch tanzen und kochen.. hmm... hmm..“ celoteh Rani mempromosikan dirinya mencari bahan pembicaraan.
Pemuda itu malah melihat aneh ke arah Rani, seraya berkata, „Sorry, ich verstehe dich nicht! Lass mich doch bitte in Ruhe!“.
Oh mein Gott.
***
Merasa gagal mendapatkan kontak dengan orang Jerman dengan usahanya sendiri, Rani meminta bantuan kepada Meytha. Setiap minggu Rani mengikuti Meytha berparty di club-club ternama di kota Berlin. Meytha berhasil masuk ke kehidupan Rani dan mengubah kepribadiannya yang masih labil. Rani sudah tidak mau lagi berkumpul pada acara-acara KBRI atau masjid dengan dalih ingin memperlancar bahasa Jerman. Rani memisahkan diri dari komunitas yang dulu kerap menjaganya, menasihatinya, dan membantunya dengan penuh kekeluargaan. Rani pun tidak lagi ikut pengajian rutin bersama Mbak Sofi setiap Sabtu. Bahkan, makin lama, Rani makin berani membuka pakaiannya yang dulu cukup tertutup.
Pernah suatu saat Mbak Sofi meneleponnya ketika Rani sedang Party. Suara jedak-jeduk mengiringi percakapan mereka.
„Rani, apa kabar? Lagi di mana nih, kok sekarang sudah jarang datang di pengajian lagi?“ tanya Mbak Sofi.
„Ich komm nicht mehr mit, Mbak. Ich bin jetzt noch auf die Party! Wir machen Spaß wie noch nie!“ jawab Rani seenaknya. Hati Mbak Sofi miris.
Meytha makin tidak terkendali larut dalam pergaulan bebas á la barat. Rani ikut dibawa-bawa. Bagi Rani, Meytha adalah sang dewi penolong yang kegiatannya mengasyikkan dan hal itu ditelannya bulat-bulat. Kali ini Rani sudah memiliki banyak teman Jerman. Bahasanya pun meningkat, walau tidak terlalu tajam.
„Ayo, Ran, minum seteguk aja!“ pinta Meytha dengan mata sipitnya yang memandangnya penuh hasutan. Di sekelilingnya berjejer pemuda-pemudi kulit putih yang baru saja menerima Rani menjadi bagian dari komunitasnya. Mereka menatap Rani dengan segelas wine merah di depannya, seolah mereka adalah barisan penguji yang berwenang meluluskan atau tidak meluluskan Rani untuk masuk ke komunitasnya. Rani bimbang, sempat terlintas larangan agama di kepalanya, namun pengakuanlah yang lebih didahulukan.
„Naah! Gitu dong! Jangan norak, kita kan di Eropa!“ sorak Meytha dengan senyum mengembang melihat Rani tersembab dalam jerat dosa. Lalu mereka berlanjut menari-nari mengikuti alunan musik, tertawa lebar, bergoyang, seolah inilah kegiatan yang paling nikmat dan paling menyenangkan.
***
Satu semester berjalan. Rani telah berubah menjadi Rani yang baru. Rani yang bebas. Orang-orang melihat Rani yang bablas dan menemukan jati dirinya dalam kenikmatan hura-hura. Namun siapa yang tahu, dalam kebebasannya itu ternyata hatinya sedang gamang. Berbagai masalah menerpanya setelah perubahannya. Keuangannya menjadi boros karena uang yang dikirim orang tuanya habis terpakai untuk party setiap minggu. Kuliahnya menjadi berantakan, karena terlalu lelah mengulang pelajaran seusai berparty. Tugas kuliah tidak ia kerjakan, dan ujian tidak ada yang lulus. Lebih dari itu, hatinya menjadi kering. Ia benar-benar merasakan kekeringan. Shalat sudah lama ditinggalkan mengikuti Meytha. Dalam keadaan susah seperti ini, sebenarnya Rani ingin menumpahkan rasanya. Namun dengan siapa? Meytha? Meytha hanya bisa berhura-hura, menjerumuskan, atau sekadar memberikan nasihat yang kering basa-basi.
Beberapa kali Rani sempat iri melihat Ayu dan Riska. Dua perempuan sholehah yang kuliahnya gemilang. Riska fasih berbahasa Jerman tanpa harus ikut party. Ia lebih suka mengikuti kajian keagamaan dan pendidikan dalam bahasa Jerman di masjid yang suasananya lebih hangat dan bersahabat. Sedangkan Ayu, ia pun lancar berbahasa Jerman karena usaha kerasnya untuk menguasai bahasa itu.
Terkadang Rani ingin kembali bergabung dengan mereka, masuk ke dalam masjid dan ikut pengajian bersama Mbak Sofi. Namun ia tidak berani melakukannya, ia sudah terlanjut basah jauh meninggalkan Islam. Ia yakin, orang-orang sudah tidak mau menerimanya jika ia bergabung lagi dengan komunitas Islam Indonesia di kota ini. Rani sudah memiliki cap baru: perempuan party. Ia pun enggan kembali karena takut dikira sok alim.
Di lain sisi, Meytha terus mengingatkan Rani untuk tidak bergaul dengan orang Indonesia. Percuma katanya, jauh-jauh ke Jerman mainnya sama orang Indonesia lagi. Bahkan Meytha mengancam, jika Rani kembali ke komunitasnya, maka Meytha dan teman-temannya akan meninggalkan Rani.
***
„Hay Ran, apa kabar?“ tanya Riska ketika tidak sengaja bertemu di U-Bahn.
„Baik,“ jawab Rani seadanya, Rani sedang dalam bad mood dengan pikiran-pikirannya. Riska sudah menebak tingkah laku Rani yang akan dingin jika bertemu orang Indonesia, apalagi yang alim berjilbab seperti Riska.
„Mau kemana nih, Ran?“
Rani tak menjawab. Riska pun tersenyum, memaklumi.
Tak lama terdengar suara isakan dari tubuh Rani.
„Lho, Ran? Kok nangis?
Rani tidak menjawab. Malah semakin sesengukan. Penumpang-penumpang yang lain di sekelilingnya memandang dua anak manusia itu keheranan, seolah sedang menyaksikan acara reality show di televisi.
Kereta berhenti di stasiun tempat Riska seharusnya turun. Namun ia urung meninggalkan Rani yang sedang menangis dan tak mau berbicara. Sampai pada stasiun terakhir, Rathaus Steglitz.
„Ran, kita harus turun. Turun dulu yuk,“ ajak Riska pelan. Rani beranjak, dipapah Riska di bahunya.
„Duduk di sini ya,“ sambung Riska menuntun Rani ke arah jejeran kursi besi di dalam stasiun. „Ayo sekarang cerita ke gue, ada apa?“
„Ris.. gue kering Ris..“
„Maksud lo, Ran?“
„Gue, gak mau kayak gini, Ris. Plis tolong gue.. Gue sudah terlanjur jauh dari Allah. Jauh dengan orang-orang sholeh,“
„Terus, kendala lo di mana, Ran? Kalau lo mau berubah seperti dulu lagi, lo bisa berubah sekarang!“
„Apa bener Allah mau maafin gue?“
„Ya jelas dong! Allah kan Mahapemaaf. Kalau lo bertobat dengan sebenar-benar tobat, insya Allah sebesar apapun dosa lo, pasti akan Allah ampuni, asal lo janji lo nggak ngulanin perbuatan itu lagi dan merasa menyesal dengan apa yang sudah lo lakukan“
„Tapi, pasti orang-orang nggak mau nerima gue lagi, gue sudah dicap jelek,“
„Lho, kok itu yang ditakutin. Kata orang biarlah kata orang, yang penting kan niat lo berubah karena Allah, bukan karena siapa-siapa,“
***
Bergaul dengan siapa-siapa boleh saja. Yang namanya bermuamalah, bebas dengan siapa saja. Namun ingat, bergaul juga ada batas syar’i nya, jangan sampai kebablasan. Bukan berarti tidak boleh berteman dengan orang Jerman, bahkan itu perlu! Kita kan sama-sama manusia yang saling membutuhkan dan menolong. Tapi tetap jaga izzah kita sebagai seorang muslim atau muslimah.
***
„Rani, wow! Makan apa lo sekarang, Ran? Makan sayur asem?“ kata Meytha kaget melihat perubahan Rani yang dramatis, lalu dengan pandangan merendahkan pergi meninggalkan Rani.
Yaah, hidayah memang hanya Allah yang punya.
Berlin, April 2008.
A Mushab Syuhada’s
Hari pertama kuliah untuk Rani. Hari pertama kuliah untuk seluruh mahasiswa baru di semester ini.
Ruangan Vorlesung itu sesak, dipenuhi ratusan mahasiswa yang hendak mengambil mata kuliah ini. Ruangan berkapasitas 500 orang yang bertangga-tangga dengan puluhan barisan kursi dan meja lipat perlahan mulai membludak. Rani berada di ujung pintu masuk, melihat ke sekeliling mencari tempat yang tepat untuk duduk. Pilihannya jatuh pada sebuah kursi kosong di barisan tengah, tepat di sebelah pemuda Jerman yang sedang mendengarkan iPod sambil mengangguk-angguk mengikuti irama musik yang didengarnya.
Mahasiswa-mahasiswa itu terlihat duduk berkelompok dalam satu barisan. Mereka yang sudah saling bercakap-cakap satu sama lain menandakan di antara mereka sudah saling mengenal. Berbeda dengan yang duduk seorang diri. Penuh dengan keasingan, menandakan mereka belum mengenal seorang pun di sekelilingnya.
Rani telah resmi berstatus mahasiswi setelah kelulusannya dari Studienkolleg bulan lalu. Gadis yang senang dengan model rambut kuncir kuda itu diterima di sebuah universitas teknik favorit di Jerman. Saat ini ia memiliki sebuah ambisi yang besar, yaitu ambisi men-jerman-kan dirinya. Hal ini dilatar belakangi oleh percakapannya dengan Meytha beberapa minggu lalu di sebuah acara malam persahabatan Indonesia-Jerman.
***
„Kalau lo gaulnya sama orang-orang Indo terus, gimana bisa maju Deutsch lo!“ kata Meytha, gadis yang memiliki rambut warna-warni merah-kuning-hijau dengan piercing di hidungnya. Meytha berkulit putih, alis matanya dicukur hingga tipis dan mengenakan lensa kontak berwarna biru, semakin melengkapkan gayanya yang colorfull.
Rani menyimak perkataan Meytha lekat-lekat. Meytha tiba di Jerman setahun lebih dulu dari Rani, dan saat ini ia sedang berkuliah di sebuah universitas terkemuka yang sempat disinggahi Einstein di jantung kota Berlin. Yang Rani kagumi dari Meytha adalah kemampuan bahasa Jermannya yang berkembang pesat luar biasa. Meytha yang supel, punya banyak sekali teman orang Jerman dan sangat ceplas-ceplos ketika berbincang-bincang dengan mereka. Lain halnya dengan Rani dan sebagian besar pelajar Indonesia yang ada di Jerman. Walau sudah cukup lama tinggal di sini, kemampuan bahasa Jermannya masih terbilang a-a u-u. Mereka malu berbicara, takut salah Grammatik, takut dicemooh, gagap ketika akan memulai pembicaraan, dan selalu menghafalkan beberapa kalimat „einmal Döner Bitte, ohne Zwiebel“ di kepala sebelum membeli Döner.
Entah, apakah hal itu merupakan kebiasaan atau permasalahan mentalitas. Banyak juga mahasiswa asing seperti dari timur tengah maupun dari eropa timur yang juga belum terlalu cakap berbahasa Jerman, tapi mereka lebih berani berbicara walaupun susunan gramatiknya terbang ke mana-mana. Sedangkan orang Indonesia memiliki kemampuan mendekati sempurna dalam gramatik, hanya saja cenderung pendiam.
„Lo harus punya kontak sama orang Jerman, kalau lo mau bahasa Jerman lo jadi bagus. Kalau tiap hari ngomongnya bahasa Indo melulu, ya nggak maju-maju,“ selorohnya lalu meneguk minuman beralkohol Berliner Kindl dari gelas yang sedari tadi ia genggam. „Tinggalin acara kumpul-kumpul sama orang Indo kayak di masjid itu, keluar! Lihat dunia! Gaul!“, lanjutnya. Acara malam persahabatan Indonesia-Jerman itu ditutup dengan musik hingar bingar lengkap dengan bola disko yang berputar-putar memantulkan cercahan cahaya kelap-kelip lampu beraneka warna di ruangan yang hitam pekat. Suara tawa dan asap rokok mengepul bergulung-gulung di antara alunan musik top 40 yang berdentum keras.
Seorang pemuda Jerman berperawakan tinggi dan tampan datang ke arah Meytha. Meytha terlihat senang akan kehadirannya, mereka bercipika-cipiki lalu Meytha mengenalkan si pemuda itu ke Rani.
„Tobi, sie ist Rani. Ran, hier ist Tobi, er ist echt ein geiler Mann!“ katanya dilanjutkan dengan tawa yang membahana seperti euforia mabuk karena alkohol. Tobias melingkarkan tangannya di pinggul Meytha yang malam ini berpakaian seadanya seperti kekurangan bahan, seolah tidak takut ancaman masuk angin di cuaca yang sudah mulai dingin ini.
Rani tertegun melihat ketampanan pemuda itu sambil berkata dalam hati, betapa beruntungnya Meytha dapat kenalan dengan makhluk yang hampir sempurna itu.
„Sudah yah, Ran. Gue ke sana dulu ketemu sama temen-temennya Tobi. Ingat, jangan banyak gaul sama orang Indo. Cari temen orang Jerman, kalau perlu jadiin pacar. Ikut gue clubbing tiap minggu di Oriental Club atau di Copacabana, biar bisa gue kenalin sama temen-temen gue yang lain. Okeh?“ katanya sebelum beranjak pergi meninggalkan Rani.
Rani masih terdiam setelah ditinggal pergi Meytha. Hatinya makin mantap, bahwa kontak dengan orang Jerman lah yang ia butuhkan agar ia dapat belajar banyak tentang kebudayaan dan cara hidup orang Jerman yang teratur dan disiplin, selain agar ia dapat memajukan kemampuan bahasa Jermannya. Ia mengenal beberapa teman-temannya yang memiliki kontak dengan orang Jerman, dan mereka dapat bercas-cis-cus, berargumen, berdebat, bahkan sampai bertengkar dalam bahasa Jerman yang mengalir.
***
Rani memandang pemuda disebelahnya yang sedang mendengarkan iPod. Mata pemuda itu tidak melirik sedikitpun ke arah Rani. Sepuluh menit lagi kuliah dimulai. Rani ingin menggunakan kesempatan ini untuk berkenalan dengan pemuda itu dengan harapan bisa menjadi teman dekat sepanjang kuliah nanti.
„Hallo, ist der Platz hier noch frei?“ tanya Rani lembut sambil mengulum senyum. Pemuda itu melepaskan earphonenya dan menjawabnya dengan kata „Ja“ singkat, lalu kembali mengenakan earphonenya. Rani sengaja memilih duduk di sebelahnya karena tampaknya ia masih belum punya teman dan membutuhkan teman mengobrol. Namun ternyata ia tampak acuh dengan kehadiran Rani.
Rani tidak putus asa mendapatkan perlakuan cuek darinya. Dicobanya lagi usaha kedua. Rani menjatuhkan pulpennya dengan sengaja.
„Hmm, kannst du bitte meinen Stift nehmen?“ pinta Rani. Pemuda itu melepaskan earphonenya dan dengan malas mengambil pulpen di bawahnya.
„Danke schön. Hmm.. mein Name ist Rani. Ich komme aus Indonesien. Bali.. Bali.. ist in Indonesien, weißt du?.. Warst du schon mal in Indonesien? Hmm.. hmm.. Indonesien ist schön, oder? Hmm.. ich kann auch tanzen und kochen.. hmm... hmm..“ celoteh Rani mempromosikan dirinya mencari bahan pembicaraan.
Pemuda itu malah melihat aneh ke arah Rani, seraya berkata, „Sorry, ich verstehe dich nicht! Lass mich doch bitte in Ruhe!“.
Oh mein Gott.
***
Merasa gagal mendapatkan kontak dengan orang Jerman dengan usahanya sendiri, Rani meminta bantuan kepada Meytha. Setiap minggu Rani mengikuti Meytha berparty di club-club ternama di kota Berlin. Meytha berhasil masuk ke kehidupan Rani dan mengubah kepribadiannya yang masih labil. Rani sudah tidak mau lagi berkumpul pada acara-acara KBRI atau masjid dengan dalih ingin memperlancar bahasa Jerman. Rani memisahkan diri dari komunitas yang dulu kerap menjaganya, menasihatinya, dan membantunya dengan penuh kekeluargaan. Rani pun tidak lagi ikut pengajian rutin bersama Mbak Sofi setiap Sabtu. Bahkan, makin lama, Rani makin berani membuka pakaiannya yang dulu cukup tertutup.
Pernah suatu saat Mbak Sofi meneleponnya ketika Rani sedang Party. Suara jedak-jeduk mengiringi percakapan mereka.
„Rani, apa kabar? Lagi di mana nih, kok sekarang sudah jarang datang di pengajian lagi?“ tanya Mbak Sofi.
„Ich komm nicht mehr mit, Mbak. Ich bin jetzt noch auf die Party! Wir machen Spaß wie noch nie!“ jawab Rani seenaknya. Hati Mbak Sofi miris.
Meytha makin tidak terkendali larut dalam pergaulan bebas á la barat. Rani ikut dibawa-bawa. Bagi Rani, Meytha adalah sang dewi penolong yang kegiatannya mengasyikkan dan hal itu ditelannya bulat-bulat. Kali ini Rani sudah memiliki banyak teman Jerman. Bahasanya pun meningkat, walau tidak terlalu tajam.
„Ayo, Ran, minum seteguk aja!“ pinta Meytha dengan mata sipitnya yang memandangnya penuh hasutan. Di sekelilingnya berjejer pemuda-pemudi kulit putih yang baru saja menerima Rani menjadi bagian dari komunitasnya. Mereka menatap Rani dengan segelas wine merah di depannya, seolah mereka adalah barisan penguji yang berwenang meluluskan atau tidak meluluskan Rani untuk masuk ke komunitasnya. Rani bimbang, sempat terlintas larangan agama di kepalanya, namun pengakuanlah yang lebih didahulukan.
„Naah! Gitu dong! Jangan norak, kita kan di Eropa!“ sorak Meytha dengan senyum mengembang melihat Rani tersembab dalam jerat dosa. Lalu mereka berlanjut menari-nari mengikuti alunan musik, tertawa lebar, bergoyang, seolah inilah kegiatan yang paling nikmat dan paling menyenangkan.
***
Satu semester berjalan. Rani telah berubah menjadi Rani yang baru. Rani yang bebas. Orang-orang melihat Rani yang bablas dan menemukan jati dirinya dalam kenikmatan hura-hura. Namun siapa yang tahu, dalam kebebasannya itu ternyata hatinya sedang gamang. Berbagai masalah menerpanya setelah perubahannya. Keuangannya menjadi boros karena uang yang dikirim orang tuanya habis terpakai untuk party setiap minggu. Kuliahnya menjadi berantakan, karena terlalu lelah mengulang pelajaran seusai berparty. Tugas kuliah tidak ia kerjakan, dan ujian tidak ada yang lulus. Lebih dari itu, hatinya menjadi kering. Ia benar-benar merasakan kekeringan. Shalat sudah lama ditinggalkan mengikuti Meytha. Dalam keadaan susah seperti ini, sebenarnya Rani ingin menumpahkan rasanya. Namun dengan siapa? Meytha? Meytha hanya bisa berhura-hura, menjerumuskan, atau sekadar memberikan nasihat yang kering basa-basi.
Beberapa kali Rani sempat iri melihat Ayu dan Riska. Dua perempuan sholehah yang kuliahnya gemilang. Riska fasih berbahasa Jerman tanpa harus ikut party. Ia lebih suka mengikuti kajian keagamaan dan pendidikan dalam bahasa Jerman di masjid yang suasananya lebih hangat dan bersahabat. Sedangkan Ayu, ia pun lancar berbahasa Jerman karena usaha kerasnya untuk menguasai bahasa itu.
Terkadang Rani ingin kembali bergabung dengan mereka, masuk ke dalam masjid dan ikut pengajian bersama Mbak Sofi. Namun ia tidak berani melakukannya, ia sudah terlanjut basah jauh meninggalkan Islam. Ia yakin, orang-orang sudah tidak mau menerimanya jika ia bergabung lagi dengan komunitas Islam Indonesia di kota ini. Rani sudah memiliki cap baru: perempuan party. Ia pun enggan kembali karena takut dikira sok alim.
Di lain sisi, Meytha terus mengingatkan Rani untuk tidak bergaul dengan orang Indonesia. Percuma katanya, jauh-jauh ke Jerman mainnya sama orang Indonesia lagi. Bahkan Meytha mengancam, jika Rani kembali ke komunitasnya, maka Meytha dan teman-temannya akan meninggalkan Rani.
***
„Hay Ran, apa kabar?“ tanya Riska ketika tidak sengaja bertemu di U-Bahn.
„Baik,“ jawab Rani seadanya, Rani sedang dalam bad mood dengan pikiran-pikirannya. Riska sudah menebak tingkah laku Rani yang akan dingin jika bertemu orang Indonesia, apalagi yang alim berjilbab seperti Riska.
„Mau kemana nih, Ran?“
Rani tak menjawab. Riska pun tersenyum, memaklumi.
Tak lama terdengar suara isakan dari tubuh Rani.
„Lho, Ran? Kok nangis?
Rani tidak menjawab. Malah semakin sesengukan. Penumpang-penumpang yang lain di sekelilingnya memandang dua anak manusia itu keheranan, seolah sedang menyaksikan acara reality show di televisi.
Kereta berhenti di stasiun tempat Riska seharusnya turun. Namun ia urung meninggalkan Rani yang sedang menangis dan tak mau berbicara. Sampai pada stasiun terakhir, Rathaus Steglitz.
„Ran, kita harus turun. Turun dulu yuk,“ ajak Riska pelan. Rani beranjak, dipapah Riska di bahunya.
„Duduk di sini ya,“ sambung Riska menuntun Rani ke arah jejeran kursi besi di dalam stasiun. „Ayo sekarang cerita ke gue, ada apa?“
„Ris.. gue kering Ris..“
„Maksud lo, Ran?“
„Gue, gak mau kayak gini, Ris. Plis tolong gue.. Gue sudah terlanjur jauh dari Allah. Jauh dengan orang-orang sholeh,“
„Terus, kendala lo di mana, Ran? Kalau lo mau berubah seperti dulu lagi, lo bisa berubah sekarang!“
„Apa bener Allah mau maafin gue?“
„Ya jelas dong! Allah kan Mahapemaaf. Kalau lo bertobat dengan sebenar-benar tobat, insya Allah sebesar apapun dosa lo, pasti akan Allah ampuni, asal lo janji lo nggak ngulanin perbuatan itu lagi dan merasa menyesal dengan apa yang sudah lo lakukan“
„Tapi, pasti orang-orang nggak mau nerima gue lagi, gue sudah dicap jelek,“
„Lho, kok itu yang ditakutin. Kata orang biarlah kata orang, yang penting kan niat lo berubah karena Allah, bukan karena siapa-siapa,“
***
Bergaul dengan siapa-siapa boleh saja. Yang namanya bermuamalah, bebas dengan siapa saja. Namun ingat, bergaul juga ada batas syar’i nya, jangan sampai kebablasan. Bukan berarti tidak boleh berteman dengan orang Jerman, bahkan itu perlu! Kita kan sama-sama manusia yang saling membutuhkan dan menolong. Tapi tetap jaga izzah kita sebagai seorang muslim atau muslimah.
***
„Rani, wow! Makan apa lo sekarang, Ran? Makan sayur asem?“ kata Meytha kaget melihat perubahan Rani yang dramatis, lalu dengan pandangan merendahkan pergi meninggalkan Rani.
Yaah, hidayah memang hanya Allah yang punya.
Berlin, April 2008.
Sunday, March 16, 2008
Last Breath
From those around
I hear a cry
a muffled sob
a hopeless sigh
I hear their footsteps leaving slow
and then I know my soul must fly!
A chily wind begins to blow
within my soul from head to toe
and then, last breath, escapes my lips
it's time to leave and I must go!
So it's true but it's too late
they said: each soul has it's given date
when it must leave its body's core
and meet with its eternal fate
Oh mark the words that I do say
who knows tommorow could be your day
at last it comes to heaven or to hell
decide which now do not delay!
come on my brothers let us pray
decide which now do not delay
Oh God! oh God! I can not see
my eyes are blind, am I still me?
or has my soul been led astray?
and forced to pay a priceless fee?
Alas to dust we are return
some shall rejoice while others burn
if only I knew that before
the line grew short and came my turn
And now, as beneath the sod
they lay me with my record flawed
they cry not knowing, I cry worse
for they go home,
I hear a cry
a muffled sob
a hopeless sigh
I hear their footsteps leaving slow
and then I know my soul must fly!
A chily wind begins to blow
within my soul from head to toe
and then, last breath, escapes my lips
it's time to leave and I must go!
So it's true but it's too late
they said: each soul has it's given date
when it must leave its body's core
and meet with its eternal fate
Oh mark the words that I do say
who knows tommorow could be your day
at last it comes to heaven or to hell
decide which now do not delay!
come on my brothers let us pray
decide which now do not delay
Oh God! oh God! I can not see
my eyes are blind, am I still me?
or has my soul been led astray?
and forced to pay a priceless fee?
Alas to dust we are return
some shall rejoice while others burn
if only I knew that before
the line grew short and came my turn
And now, as beneath the sod
they lay me with my record flawed
they cry not knowing, I cry worse
for they go home,
I face my God!
Subscribe to:
Posts (Atom)