Eingedeutscht!
A Mushab Syuhada’s
Hari pertama kuliah untuk Rani. Hari pertama kuliah untuk seluruh mahasiswa baru di semester ini.
Ruangan Vorlesung itu sesak, dipenuhi ratusan mahasiswa yang hendak mengambil mata kuliah ini. Ruangan berkapasitas 500 orang yang bertangga-tangga dengan puluhan barisan kursi dan meja lipat perlahan mulai membludak. Rani berada di ujung pintu masuk, melihat ke sekeliling mencari tempat yang tepat untuk duduk. Pilihannya jatuh pada sebuah kursi kosong di barisan tengah, tepat di sebelah pemuda Jerman yang sedang mendengarkan iPod sambil mengangguk-angguk mengikuti irama musik yang didengarnya.
Mahasiswa-mahasiswa itu terlihat duduk berkelompok dalam satu barisan. Mereka yang sudah saling bercakap-cakap satu sama lain menandakan di antara mereka sudah saling mengenal. Berbeda dengan yang duduk seorang diri. Penuh dengan keasingan, menandakan mereka belum mengenal seorang pun di sekelilingnya.
Rani telah resmi berstatus mahasiswi setelah kelulusannya dari Studienkolleg bulan lalu. Gadis yang senang dengan model rambut kuncir kuda itu diterima di sebuah universitas teknik favorit di Jerman. Saat ini ia memiliki sebuah ambisi yang besar, yaitu ambisi men-jerman-kan dirinya. Hal ini dilatar belakangi oleh percakapannya dengan Meytha beberapa minggu lalu di sebuah acara malam persahabatan Indonesia-Jerman.
***
„Kalau lo gaulnya sama orang-orang Indo terus, gimana bisa maju Deutsch lo!“ kata Meytha, gadis yang memiliki rambut warna-warni merah-kuning-hijau dengan piercing di hidungnya. Meytha berkulit putih, alis matanya dicukur hingga tipis dan mengenakan lensa kontak berwarna biru, semakin melengkapkan gayanya yang colorfull.
Rani menyimak perkataan Meytha lekat-lekat. Meytha tiba di Jerman setahun lebih dulu dari Rani, dan saat ini ia sedang berkuliah di sebuah universitas terkemuka yang sempat disinggahi Einstein di jantung kota Berlin. Yang Rani kagumi dari Meytha adalah kemampuan bahasa Jermannya yang berkembang pesat luar biasa. Meytha yang supel, punya banyak sekali teman orang Jerman dan sangat ceplas-ceplos ketika berbincang-bincang dengan mereka. Lain halnya dengan Rani dan sebagian besar pelajar Indonesia yang ada di Jerman. Walau sudah cukup lama tinggal di sini, kemampuan bahasa Jermannya masih terbilang a-a u-u. Mereka malu berbicara, takut salah Grammatik, takut dicemooh, gagap ketika akan memulai pembicaraan, dan selalu menghafalkan beberapa kalimat „einmal Döner Bitte, ohne Zwiebel“ di kepala sebelum membeli Döner.
Entah, apakah hal itu merupakan kebiasaan atau permasalahan mentalitas. Banyak juga mahasiswa asing seperti dari timur tengah maupun dari eropa timur yang juga belum terlalu cakap berbahasa Jerman, tapi mereka lebih berani berbicara walaupun susunan gramatiknya terbang ke mana-mana. Sedangkan orang Indonesia memiliki kemampuan mendekati sempurna dalam gramatik, hanya saja cenderung pendiam.
„Lo harus punya kontak sama orang Jerman, kalau lo mau bahasa Jerman lo jadi bagus. Kalau tiap hari ngomongnya bahasa Indo melulu, ya nggak maju-maju,“ selorohnya lalu meneguk minuman beralkohol Berliner Kindl dari gelas yang sedari tadi ia genggam. „Tinggalin acara kumpul-kumpul sama orang Indo kayak di masjid itu, keluar! Lihat dunia! Gaul!“, lanjutnya. Acara malam persahabatan Indonesia-Jerman itu ditutup dengan musik hingar bingar lengkap dengan bola disko yang berputar-putar memantulkan cercahan cahaya kelap-kelip lampu beraneka warna di ruangan yang hitam pekat. Suara tawa dan asap rokok mengepul bergulung-gulung di antara alunan musik top 40 yang berdentum keras.
Seorang pemuda Jerman berperawakan tinggi dan tampan datang ke arah Meytha. Meytha terlihat senang akan kehadirannya, mereka bercipika-cipiki lalu Meytha mengenalkan si pemuda itu ke Rani.
„Tobi, sie ist Rani. Ran, hier ist Tobi, er ist echt ein geiler Mann!“ katanya dilanjutkan dengan tawa yang membahana seperti euforia mabuk karena alkohol. Tobias melingkarkan tangannya di pinggul Meytha yang malam ini berpakaian seadanya seperti kekurangan bahan, seolah tidak takut ancaman masuk angin di cuaca yang sudah mulai dingin ini.
Rani tertegun melihat ketampanan pemuda itu sambil berkata dalam hati, betapa beruntungnya Meytha dapat kenalan dengan makhluk yang hampir sempurna itu.
„Sudah yah, Ran. Gue ke sana dulu ketemu sama temen-temennya Tobi. Ingat, jangan banyak gaul sama orang Indo. Cari temen orang Jerman, kalau perlu jadiin pacar. Ikut gue clubbing tiap minggu di Oriental Club atau di Copacabana, biar bisa gue kenalin sama temen-temen gue yang lain. Okeh?“ katanya sebelum beranjak pergi meninggalkan Rani.
Rani masih terdiam setelah ditinggal pergi Meytha. Hatinya makin mantap, bahwa kontak dengan orang Jerman lah yang ia butuhkan agar ia dapat belajar banyak tentang kebudayaan dan cara hidup orang Jerman yang teratur dan disiplin, selain agar ia dapat memajukan kemampuan bahasa Jermannya. Ia mengenal beberapa teman-temannya yang memiliki kontak dengan orang Jerman, dan mereka dapat bercas-cis-cus, berargumen, berdebat, bahkan sampai bertengkar dalam bahasa Jerman yang mengalir.
***
Rani memandang pemuda disebelahnya yang sedang mendengarkan iPod. Mata pemuda itu tidak melirik sedikitpun ke arah Rani. Sepuluh menit lagi kuliah dimulai. Rani ingin menggunakan kesempatan ini untuk berkenalan dengan pemuda itu dengan harapan bisa menjadi teman dekat sepanjang kuliah nanti.
„Hallo, ist der Platz hier noch frei?“ tanya Rani lembut sambil mengulum senyum. Pemuda itu melepaskan earphonenya dan menjawabnya dengan kata „Ja“ singkat, lalu kembali mengenakan earphonenya. Rani sengaja memilih duduk di sebelahnya karena tampaknya ia masih belum punya teman dan membutuhkan teman mengobrol. Namun ternyata ia tampak acuh dengan kehadiran Rani.
Rani tidak putus asa mendapatkan perlakuan cuek darinya. Dicobanya lagi usaha kedua. Rani menjatuhkan pulpennya dengan sengaja.
„Hmm, kannst du bitte meinen Stift nehmen?“ pinta Rani. Pemuda itu melepaskan earphonenya dan dengan malas mengambil pulpen di bawahnya.
„Danke schön. Hmm.. mein Name ist Rani. Ich komme aus Indonesien. Bali.. Bali.. ist in Indonesien, weißt du?.. Warst du schon mal in Indonesien? Hmm.. hmm.. Indonesien ist schön, oder? Hmm.. ich kann auch tanzen und kochen.. hmm... hmm..“ celoteh Rani mempromosikan dirinya mencari bahan pembicaraan.
Pemuda itu malah melihat aneh ke arah Rani, seraya berkata, „Sorry, ich verstehe dich nicht! Lass mich doch bitte in Ruhe!“.
Oh mein Gott.
***
Merasa gagal mendapatkan kontak dengan orang Jerman dengan usahanya sendiri, Rani meminta bantuan kepada Meytha. Setiap minggu Rani mengikuti Meytha berparty di club-club ternama di kota Berlin. Meytha berhasil masuk ke kehidupan Rani dan mengubah kepribadiannya yang masih labil. Rani sudah tidak mau lagi berkumpul pada acara-acara KBRI atau masjid dengan dalih ingin memperlancar bahasa Jerman. Rani memisahkan diri dari komunitas yang dulu kerap menjaganya, menasihatinya, dan membantunya dengan penuh kekeluargaan. Rani pun tidak lagi ikut pengajian rutin bersama Mbak Sofi setiap Sabtu. Bahkan, makin lama, Rani makin berani membuka pakaiannya yang dulu cukup tertutup.
Pernah suatu saat Mbak Sofi meneleponnya ketika Rani sedang Party. Suara jedak-jeduk mengiringi percakapan mereka.
„Rani, apa kabar? Lagi di mana nih, kok sekarang sudah jarang datang di pengajian lagi?“ tanya Mbak Sofi.
„Ich komm nicht mehr mit, Mbak. Ich bin jetzt noch auf die Party! Wir machen Spaß wie noch nie!“ jawab Rani seenaknya. Hati Mbak Sofi miris.
Meytha makin tidak terkendali larut dalam pergaulan bebas á la barat. Rani ikut dibawa-bawa. Bagi Rani, Meytha adalah sang dewi penolong yang kegiatannya mengasyikkan dan hal itu ditelannya bulat-bulat. Kali ini Rani sudah memiliki banyak teman Jerman. Bahasanya pun meningkat, walau tidak terlalu tajam.
„Ayo, Ran, minum seteguk aja!“ pinta Meytha dengan mata sipitnya yang memandangnya penuh hasutan. Di sekelilingnya berjejer pemuda-pemudi kulit putih yang baru saja menerima Rani menjadi bagian dari komunitasnya. Mereka menatap Rani dengan segelas wine merah di depannya, seolah mereka adalah barisan penguji yang berwenang meluluskan atau tidak meluluskan Rani untuk masuk ke komunitasnya. Rani bimbang, sempat terlintas larangan agama di kepalanya, namun pengakuanlah yang lebih didahulukan.
„Naah! Gitu dong! Jangan norak, kita kan di Eropa!“ sorak Meytha dengan senyum mengembang melihat Rani tersembab dalam jerat dosa. Lalu mereka berlanjut menari-nari mengikuti alunan musik, tertawa lebar, bergoyang, seolah inilah kegiatan yang paling nikmat dan paling menyenangkan.
***
Satu semester berjalan. Rani telah berubah menjadi Rani yang baru. Rani yang bebas. Orang-orang melihat Rani yang bablas dan menemukan jati dirinya dalam kenikmatan hura-hura. Namun siapa yang tahu, dalam kebebasannya itu ternyata hatinya sedang gamang. Berbagai masalah menerpanya setelah perubahannya. Keuangannya menjadi boros karena uang yang dikirim orang tuanya habis terpakai untuk party setiap minggu. Kuliahnya menjadi berantakan, karena terlalu lelah mengulang pelajaran seusai berparty. Tugas kuliah tidak ia kerjakan, dan ujian tidak ada yang lulus. Lebih dari itu, hatinya menjadi kering. Ia benar-benar merasakan kekeringan. Shalat sudah lama ditinggalkan mengikuti Meytha. Dalam keadaan susah seperti ini, sebenarnya Rani ingin menumpahkan rasanya. Namun dengan siapa? Meytha? Meytha hanya bisa berhura-hura, menjerumuskan, atau sekadar memberikan nasihat yang kering basa-basi.
Beberapa kali Rani sempat iri melihat Ayu dan Riska. Dua perempuan sholehah yang kuliahnya gemilang. Riska fasih berbahasa Jerman tanpa harus ikut party. Ia lebih suka mengikuti kajian keagamaan dan pendidikan dalam bahasa Jerman di masjid yang suasananya lebih hangat dan bersahabat. Sedangkan Ayu, ia pun lancar berbahasa Jerman karena usaha kerasnya untuk menguasai bahasa itu.
Terkadang Rani ingin kembali bergabung dengan mereka, masuk ke dalam masjid dan ikut pengajian bersama Mbak Sofi. Namun ia tidak berani melakukannya, ia sudah terlanjut basah jauh meninggalkan Islam. Ia yakin, orang-orang sudah tidak mau menerimanya jika ia bergabung lagi dengan komunitas Islam Indonesia di kota ini. Rani sudah memiliki cap baru: perempuan party. Ia pun enggan kembali karena takut dikira sok alim.
Di lain sisi, Meytha terus mengingatkan Rani untuk tidak bergaul dengan orang Indonesia. Percuma katanya, jauh-jauh ke Jerman mainnya sama orang Indonesia lagi. Bahkan Meytha mengancam, jika Rani kembali ke komunitasnya, maka Meytha dan teman-temannya akan meninggalkan Rani.
***
„Hay Ran, apa kabar?“ tanya Riska ketika tidak sengaja bertemu di U-Bahn.
„Baik,“ jawab Rani seadanya, Rani sedang dalam bad mood dengan pikiran-pikirannya. Riska sudah menebak tingkah laku Rani yang akan dingin jika bertemu orang Indonesia, apalagi yang alim berjilbab seperti Riska.
„Mau kemana nih, Ran?“
Rani tak menjawab. Riska pun tersenyum, memaklumi.
Tak lama terdengar suara isakan dari tubuh Rani.
„Lho, Ran? Kok nangis?
Rani tidak menjawab. Malah semakin sesengukan. Penumpang-penumpang yang lain di sekelilingnya memandang dua anak manusia itu keheranan, seolah sedang menyaksikan acara reality show di televisi.
Kereta berhenti di stasiun tempat Riska seharusnya turun. Namun ia urung meninggalkan Rani yang sedang menangis dan tak mau berbicara. Sampai pada stasiun terakhir, Rathaus Steglitz.
„Ran, kita harus turun. Turun dulu yuk,“ ajak Riska pelan. Rani beranjak, dipapah Riska di bahunya.
„Duduk di sini ya,“ sambung Riska menuntun Rani ke arah jejeran kursi besi di dalam stasiun. „Ayo sekarang cerita ke gue, ada apa?“
„Ris.. gue kering Ris..“
„Maksud lo, Ran?“
„Gue, gak mau kayak gini, Ris. Plis tolong gue.. Gue sudah terlanjur jauh dari Allah. Jauh dengan orang-orang sholeh,“
„Terus, kendala lo di mana, Ran? Kalau lo mau berubah seperti dulu lagi, lo bisa berubah sekarang!“
„Apa bener Allah mau maafin gue?“
„Ya jelas dong! Allah kan Mahapemaaf. Kalau lo bertobat dengan sebenar-benar tobat, insya Allah sebesar apapun dosa lo, pasti akan Allah ampuni, asal lo janji lo nggak ngulanin perbuatan itu lagi dan merasa menyesal dengan apa yang sudah lo lakukan“
„Tapi, pasti orang-orang nggak mau nerima gue lagi, gue sudah dicap jelek,“
„Lho, kok itu yang ditakutin. Kata orang biarlah kata orang, yang penting kan niat lo berubah karena Allah, bukan karena siapa-siapa,“
***
Bergaul dengan siapa-siapa boleh saja. Yang namanya bermuamalah, bebas dengan siapa saja. Namun ingat, bergaul juga ada batas syar’i nya, jangan sampai kebablasan. Bukan berarti tidak boleh berteman dengan orang Jerman, bahkan itu perlu! Kita kan sama-sama manusia yang saling membutuhkan dan menolong. Tapi tetap jaga izzah kita sebagai seorang muslim atau muslimah.
***
„Rani, wow! Makan apa lo sekarang, Ran? Makan sayur asem?“ kata Meytha kaget melihat perubahan Rani yang dramatis, lalu dengan pandangan merendahkan pergi meninggalkan Rani.
Yaah, hidayah memang hanya Allah yang punya.
Berlin, April 2008.