Kategori: Cerpen
"Dara! Cepetan dong di kamar mandinya! Lama banget sih!" teriakku sambil menggedar-gedor pintu kamar mandi dengan kepalan tangan yang kuat.
"Hallo! Denger gak sih lo! Gue udah gak tahan nih!" teriakku lagi. Tapi tak ada jawaban di dalam kamar mandi sana. Yang ada hanyalah keheningan.
Aku nggak habis pikir. Apa sih maunya Dara? Dia pikir kamar mandi cuma punya dia doang apa? Aku sudah nggak tahan lagi untuk buang hajat, ibarat peribahasa, bagaikan telur di ujung tanduk. Akhirnya untuk meredam gelora yang makin membara di dalam perutku, aku berjalan mondar-mandir di Flur depan kamar mandi. Aku sampai mengeluarkan air mata karena kesal dengan Dara yang cuek banget, dan karena rasa sakit ingin buang hajat sudah nggak bisa kutahan.
Semenit, dua menit, lima menit, sampai sepuluh menit, si Dara tetap di dalam. Akhirnya aku segera mengambil jaket, memakai sepatu, lalu lari ke Wohnung Tino yang berjarak 30 meter dari Wohnung kami. Sampai di sana – yang notabene adalah Wohnung anak-anak cowok – aku malah ditertawakan ketika mereka tahu kalau seorang gadis yang cantik ini datang ke sana karena kebelet ke toilet. Duh, makin kesal aku dengan Dara!
Seperti itulah keadaan Wohnung kami sekarang ini. Bagaikan neraka! Padahal dulu, setahun yang lalu saat kami bersama-sama masuk ke Wohnung ini, keadaannya damai, adil, dan sejahtera!
***
Wohnung kecil kami dihuni oleh tiga orang, yaitu aku, Dara, dan Anin. Kami sama-sama baru sampai di Berlin setahun yang lalu. Pertemuan pertama kami adalah ketika acara pengajian bulanan di KBRI. Ketika itu kami masih belum punya Wohnung dan masih menumpang dengan orang lain. Tapi alhamdulillah, ada tawaran sebuah Wohung berperabot dari salah seorang mahasiswa yang telah selesai studinya. Jadilah kami bertiga memiliki sebuah tempat tinggal yang kami harap akan menjadi saksi berseminya ikatan cinta dan ukhuwwah di antara kami.
Dan kami memang kompak! Orang-orang se-Berlin saja menyebut kami AB-Three karena kemana-mana selalu bersama. Ke supermarket bareng, ke bank sama-sama, sampai berangkat Studkol pun selalu bertiga. Ibarat vektor, kami itu linearabhängig. Kami pun mulai mengenal satu sama lain lebih dalam.
Dara itu kalau tertawa suka ngakak, suka melucu, Bahasa Jermannya jago, hobinya bermain game perang-perangan. Tapi biar begitu, masalah pelajaran dia top banget. Kalau aku ada PR dari Studkol, dia pasti mau membantu aku menyelesaikannya. Pokoknya kalau masalah pelajaran, dia nomor satu lah.
Beda dengan Anin, si gadis lugu. Suaranya halus dan pelan, seperti orangnya yang sangat perasa, tapi dia mudah sekali tertawa. Kalau tertawa suaranya nyaris tak terdengar seperti iklan mobil, ketika tertawa dia selalu menutup mulutnya, katanya sih refleks. Keahliannya adalah memasak. Dapur kami selalu mengepul dengan menu masakan yang enak-enak. Intinya kalau masalah dapur, dia numero uno.
Kalau aku? Kata mereka, aku ini perfeksionis. Nggak bisa melihat ada kotor sedikit atau ada barang yang tidak pada tempatnya. Yang jelas, Wohnung kami selalu terlihat rapih, bersih, wangi dan menawan karena aku. Kesimpulannya kalau masalah beres-beres, crème de la crème deh!
Tapi itu dulu, sekarang di mataku, dua anak itu sudah kelihatan belangnya.
Pertama Anin, aku bingung, sebenernya dia itu lugu atau blo’on sih? Sangat pelupa, sembarangan, dan berantakan. Dia pernah lupa mematikan kompor waktu selesai masak sampai api berkibar-kibar di udara. Lupa nyuci piring, lupa buang sampah, pokoknya nggak ketahuan antara beneran lupa atau sengaja dilupa-lupain. Kalau bercanda pun – saking lugunya – terkadang suka menyinggung hati orang lain. Aku teringat waktu itu, Dara sedang memasak nasi goreng, lalu Anin datang untuk mencicipi. Tebak apa komentarnya?
„Waahh, nasi gorengnya tumpah garam ya? asin banget,“ atau juga,
„Ihh kok bentuk makanannya kayak gini? Kayak makanan ikan, gak nafsu ah makannya“
Kalau sudah seperti itu, pasti Dara langsung tersinggung dan mengunci diri di dalam kamar. Memang, masalah memasak Anin yang paling jago, tapi bukan berarti dia bisa seenaknya berkomentar dong?!
Beda Anin beda pula Dara. Belakangan ini cueknya nggak ketulungan. Seolah-olah dunia ini milik dia sendiri dan yang lain hanya ngontrak. Ya seperti kejadian tadi, Dara memakai kamar mandi seenaknya sementara yang lain sudah menunggu lama di luar. Bukan hanya itu, kadar cueknya telah melampaui batas. Sekarang dia sudah tidak mau lagi ngajarin kita-kita pelajaran. Kerjaannya tiap hari main games di depan komputer atau belajar atau membaca buku sendirian. Peraturan rumah yang sudah disepakati bersama pun sudah dia tinggalkan. Kalau seperti ini, aku berasa seperti pembantu rumah tangga di Wohnung ini! Semua pekerjaan bersih-bersih aku yang mengerjakan. Ya habis bagaimana? Si Anin pelupa, si Dara cuek, sedangkan aku paling gak tahan melihat sesuatu yang kotor dan berantakan!
***
„Dara! Gue mau ngomong sama elo!“ bentakku ketika sudah sampai kembali di Wohnung. Seperti biasa Dara hanya memandangku sebentar lalu mengeloyor pergi ke kamarnya.
„Heh! Dengar gue gak sih? Gue mau ngomong sama elo!“ kataku nyolot.
„Ya kalau mau ngomong, tinggal ngomong aja! Gitu aja kok repot,“ balasnya nggak kalah nyolot.
„Heh! Dengerin ya, yang punya kamar mandi di Wohnung ini bukan cuma lo doang tau!“
„Na, und?“ jawabnya gampang, membuat emosiku semakin membara.
„Ya kalau gue mau masuk kamar mandi, lo harus cepet-cepet juga dong! Minimal bilang tunggu sebentar kek, apa kek,“
„Di dalam kamar mandi nggak boleh bersuara. Itu yang gue tahu,“ jawabnya yang membuat aku kehilangan kata-kata lagi.
Duuuh! Egois banget sih dia!
Saat suasana makin memanas, datang si lugu Anin ke kamar Dara.
„Ada apa sih? Kok ribut-ribut?“ sahutnya dengan wajah lugunya yang ‚menawan’.
„Ah udah deh! Lo gak usah ikut campur! Kalian berdua tuh sama aja! Muak gue di Wohnung ini!“ teriakku lalu pergi meninggalkan mereka dan masuk ke kamar dengan membanting pintu keras-keras.
***
Seminggu sudah semejak kejadian itu. Suasana di antara kami semakin menegang. Di Studkol kami pun berjalan sendiri-sendiri, tidak lagi seperti AB-Three yang dulu orang-orang bilang. Aku pun menjadi malas pulang ke Wohnung. Aku lebih senang menghabiskan waktu di perpustakaan atau di mana saja asal bukan di Wohnung. Perlahan kesehatanku menurun, bukan karena Anin yang sekarang tidak pernah lagi memasak untuk kami, tapi karena aku memang suka telat makan di musim dingin yang menusuk-nusuk ini.
„Assalamu’alaikum..“ sahutku pelan saat masuk ke Wohnung pada pukul sebelas malam. Kulihat lampu kamar Dara dan Anin masih menyala, tampaknya mereka belum tidur. Kutengok keadaan dapur, ternyata masih sama. Piring yang menumpuk, sampah yang menggunung, dan yang membuatku sedih, kompor yang kosong. Aku sedang lapar sekali malam itu dan berharap Anin memasak sesuatu. Ternyata tidak.
Langkahku memberat untuk sampai ke kamarku. Tiba-tiba dunia seakan berputar. Kepala seperti mau meledak, lalu aku lemas dan tersungkur, tepat di depan kamar Dara sebelum aku masuk ke kamarku.
„Nurry! Nurry! Elo kenapa, Nur? Nurry!“ hanya itu yang bisa kudengar, dan mataku hanya mampu menangkap wajah panik Dara dan Anin.
***
Saat tersadar yang aku lihat pertama kali adalah sebuah tivi kecil yang menggantung di atas dinding. Dari aroma ruangan, aku langsung tahu kalau sekarang aku berada di sebuah rumah sakit. Selang-selang infus membelit-belit di lenganku. Kutoleh wajahku ke sisi ruangan, nampak Anin dan Dara sedang duduk menungguku.
„Nurry! Gimana? Agak mendingan sakitnya?“ kata Dara yang baru kali ini aku dengar lagi setelah sekian lama. Penuh perhatian. Aku tersenyum dan mengangguk.
„Lo sekarang lagi di Charité. Hampir seharian lo nggak sadarkan diri. Udah, lo tenang aja. Kata dokter lo kecapekan. Ini gue bawain catatan Studkol hari ini,“ lanjutnya. Aku menatapnya kuat-kuat.
„Nurry.. maafin Anin ya, kata dokter kemarin Nurry pingsan karena kelaparan. Maaf kemarin Anin lagi nggak mood buat masak. Ini Anin masakin ayam pop dan salad kesukaan Nurry. Soalnya menu makanan di rumah sakit ini ada babi nya. Terus dagingnya juga gak jelas. Rasanya juga pasti hambar. Makanya Anin bawain makanan. Dokter bilang boleh kok,“ katanya dengan suara anak kecilnya yang khas. Alhamdulillah, Allah memberikan aku cobaan ini sehingga hubunganku dengan Dara dan Anin menemukan titik perbaikan lagi.
„Nin, Ra, gue boleh ngomong?“ kataku dengan suara yang masih serak.
„Boleh.. boleh“ sahut mereka bersamaan.
„Gue mau minta maaf karena belakangan ini bawaannya suudzon terus ke kalian. Kalian juga sih, yang satu cuek, yang satu pelupa,“ kataku.
„Sama-sama Nur,“ jawab Dara. „Kita juga sebel sama lo, soalnya lo itu pemarah. Emosian. Kerjanya cuma ngomel-ngomel melulu. Jadinya kita juga sebel. Walau terkadang gue juga suka sebel ke Anin karena suka berkomentar tak berdosa,“ lanjutnya.
Kami bertiga tertawa. Ada pengakuan dosa. Saling berintropeksi, saling mengerti dan memahami, bahwa masing-masing orang punya karakter yang berbeda. Memahami karakter orang, terbuka, saling percaya, dan saling paham adalah modal dasar untuk membentuk sebuah hubungan terlebih untuk tinggal bersama. Perbedaan karakter bukan menjadi alasan untuk saling bertabrakan, tapi menjadi pewarna yang indah bagai pelangi. Semakin berbeda warnanya semakin indah dipandang.
Saatku kembali ke Wohnung setelah tiga hari menginap di rumah sakit, kulihat ada sesuatu yang berbeda. Wohnung kami makin rapih, bersih, dan wangi. Di dapur pun sudah menanti masakan-masakan si Anin. Kami memulai lagi Wohnung kami. Peraturan baru: Masak harus bergantian, membereskan rumah harus bergantian, selalu shalat berjamaah, selalu belajar bersama, dan bersama-bersama yang lainnya. Kami pun menjadi AB-Three lagi, seperti sebuah tembangnya yang jadul banget itu: „We are one!“
Berlin, Februari 2007.