Thursday, January 21, 2010

Cómo entiendo yo amistad?

La amistad es la estrella que quiso ser un heróe - El Paíz, kapannya lupa.

Selagi mengobrak-abrik kertas-kertas yang menggunung, saya temukan kembali sebuah karangan pertama saya dalam Bahasa Spanyol. Waktu ikut kelas Bahasa Spanyol semester lalu, kami diminta membuat karangan bertema "bagaimanakah arti seorang teman menurut pendapat saya?" (kurang lebih itulah arti dari judul posting ini di atas). Kebetulan waktu itu kelas Bahasa Spanyol kami sudah akan usai, dan sebagai bentuk perpisahan, kami membuat tulisan ini kemudian dibagikan kepada seluruh peserta kursus sebagai kenang-kenangan. Walaupun hanya satu semester, namun saya merasa dekat dengan peserta khusus Bahasa Spanyol. Setiap istirahat kami selalu pergi bersama ke cafétaria gedung Tel yang letaknya di lantai 20 sambil menikmati pemandangan kota Berlin ke segala penjuru di musim panas, menyeruput kopi bersama, makan kue, bercanda ria.

Kebetulan kelas Bahasa Indonesia saya juga akan usai. Setelah tiga semester bersama dengan mereka, ada perasaan sedih juga, karena semester depan KBRI tidak membuka kelas lanjutan baru untuk mereka (kecuali jika rencana pembukaan kelas percakapan disetujui). Akhirnya saya berinisiatif untuk mengadakan acara nonton film bersama. Filmnya bertemakan teman yang tak lain tak bukan adalah Laskar Pelangi. Setelah itu, masing-masing peserta kursus saya beri tugas membuat karangan bertemakan "teman", sama seperti yang saya lakukan di kelas Bahasa Spanyol saya.

Sunday, January 17, 2010

Terlalu Banyak Buku untuk Dilahap

Agaknya saya perlu belajar tentang konsistensi, atau berkonsentrasi pada satu buku. I am a book maniac. Begitu mudahnya saya tergiur untuk membeli dan membaca buku padahal masih ada beberapa buku untuk diselesaikan. Contohnya akhir-akhir ini, saya sedang ada mood untuk menulis cerita yang berlatarkan kisah-kisah sejarah kota Berlin, tetapi dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Kebetulan seorang teman saya merekomendasikan sebuah buku karangan Sven Regener - seorang penulis yang berprofesi juga sebagai penyanyi - dengan judul Der kleine Bruder. Dari judulnya mungkin memang kurang eye catching, tapi teman saya itu bisa membius dan mengompori saya dengan ceritanya yang berapi-api agar saya membaca buku itu. Well, akhirnya saya pergi ke toko buku terdekat di lingkungan kampus saya, dan melihat-lihat buku yang dituju.


Iseng-iseng melihat rak buku, saya baru ingat bahwa saya masih ada satu hutang membaca sebuah buku yang saya beli di masjid sebelum pulang ke Indonesia. Sayangnya buku itu terbengkalai akibat saya membeli dan mendahulukan buku "Emak Ingin Naik Haji", dan "Azizah Choice, Catatan Seorang Mualaf". Belum lagi di Indonesia saya membeli buku "Ayat Amat Cinta" dan membawa beberapa buku-buku punya adik saya karya Raditya Dika (ceritanya ingin belajar menulis cerita komedi). Buku yang saya lupakan itu adalah: Cinta dalam Sujudku karya Pipiet Senja.

Tuesday, January 05, 2010

Futuristika

Futuristika
Oleh: Dimas Abdirama


Di Berlin sedang terjadi kekacauan yang luar biasa.

Jutaan orang berkumpul di beberapa tempat. Straße des 17. Juni dipenuhi lautan manusia yang berjejal sampai tugu Siegesäule dan Brandenburger Tor. Ribuan orang menumpuk sepanjang Friedrichstrasse sampai Unter den Linden dan Alexanderplatz. Sebagian lagi memadati Potsdamer Platz. Mereka berteriak, mengacungkan plakat dan spanduk tinggi-tinggi. Kekacauan ini bertendensi membuat keributan yang sangat dahsyat.

Kanselir Maximillian Müller menyatakan Republik Federal Jerman berada pada status darurat. Di Hamburg, Köln, München, dan Frankfurt aksi unjuk rasa serupa juga sedang berlangsung secara besar-besaran. Menteri Ekonomi dan Teknologi Ayse Guncan mengadakan pertemuan rahasia dengan kanselir, presiden, dan beberapa pejabat tinggi. Ratusan batalion Bundeswehr dikerahkan untuk mengamankan masa yang makin memanas.

„Kita tidak punya waktu lagi Herr Müller! Kita harus segera memanggil dia!“ ujar Menteri Ekonomi dan Teknologi Ayse Guncan dengan panik. Presiden Alexander Winterroll mengamati dokumen-dokumen yang dibawa Frau Guncan.

Maximillian Müller mengerenyitkan dahi. Sesekali melihat jam tangannya dengan gugup. „Apa kebijakan ini tidak akan membuat ekonomi kita morat-marit, Frau Guncan?“