Friday, December 14, 2007

Bidadari Surga

Kategori: Cerpen

Sepatah kata dari penulis:
Karena banyaknya pertanyaan dari pembaca, maka saya tegaskan bahwa cerpen-cerpen saya tidak semua berdasarkan pada kisah nyata. Persamaan tempat dan tokoh hanyalah kebetulan belaka.

Bidadari Surga
a Mushab Syuhada’s

Bidadari surga, begitu aku menyebutnya. Aku tak tahu dari mana ia datang, namun ia memancarkan aura wajah yang berbeda. Penampilannya sederhana, layaknya seorang mahasiswi. Jilbabnya menutupi kepalanya., kulitnya putih, matanya biru abu-abu, pernah aku melihat bibir tipisnya melengkungkan senyum dengan sederet gigi putih yang rapih.

Bidadari surga itu bukan mahasiswi satu jurusan denganku, tapi sering kali kita bertatap temu. Ada ribuan orang di kampus kami yang sudah seperti sebuah kota kecil ini, tapi dialah orang yang menurutku paling sering aku temui. Kali ini kami bertemu di depan mushala, beberapa saat kemudian di gedung Matematika, tak lama kutemuinya lagi di Mensa, dan sorenya di U-Bahn.

Aku memang tidak tahu namanya, karena aku tidak pernah bertegur sapa. Namun naluriku untuk menguak misterinya memberikan aku beberapa fakta: muslimah itu kuliah jurusan Informatik, sepertinya ia adalah seorang gadis campuran Jerman-Turki.

Dan betapapun seringnya kita bertemu, aku tak sanggup berlama-lama mencuri pandang ke arahnya. Begitu juga dirinya. Pernah suatu saat mata kami saling beradu, tak lama kami segera mengalihkan pandang. Dan rasa itupun berdesir, seperti rasa gugup, atau sebuah rasa asing yang lain. Ya Rabb, apakah rasa ini? Apakah maksud di balik semua ini? Aku seorang lelaki biasa yang selalu berupaya menjaga hati, namun bayangan sang bidadari itu berkali-kali datang, sementara aku tercengkram dalam rasa ini.

Rasa ini, rasa yang bodoh, rasa yang mudah datang dan pergi. Tapi rasa ini pada sang bidadari berbeda dari rasa-rasa sebelumnya. Ya Rabb, apakah rasa ini?

Ah, rasa ini datang lagi
Rasa yang tak bosan-bosannya mengunjungiku
Rasa yang sering aku tertawakan karena kebodohannya
Ah, rasa ini sulit diusir
Hinggap lekat mendalam
Lalu tiba-tiba hilang seketika
Rasa ini membuat aku gugup
Namun ketika rasa ini pergi, membuat ku justru sangat cuek
Ah, rasa ini, mengapa selalu dimulai dengan tatapan
Yang membuat beribu tafsir
Yang makin membuatku tak berhenti berpikir
Hingga terukir, dan selalu mengalir
Rasa ini,
Mungkin hanya memberi sedikit sensasi
Khayalan
Harapan dan kecemasan
Atau mungkin rindu yang tak mendasar?
Tapi sekali lagi rasa ini hanya mampir sebentar
Sebelum kemudian kembali buyar
(Jakarta, 2006)


Sekalipun banyangan sang bidadari terus menerus hadir, aku belum memiliki keberanian untuk menanyakan siapa namanya. Cukup kehadirannya yang sekelebat membuat aku mengulaskan sebentuk senyum di wajah. Sang bidadari sepertinya sangat menjaga dirinya. Tak pernah aku lihat ia bersama-sama dengan seorang pria. Karena itulah, aku selalu mengurungkan niatku untuk menyapanya. Namun aku teringat sabda Rasulullah, bahwa janganlah kamu mencintai seseorang dengan cinta yang sangat, karena boleh jadi kamu akan membencinya.

***

Siang itu, di musim gugur, aku menuju lantai dua tempat mushala kecil kampusku berada. Kulihat beberapa Schwester (saudara perempuan) sudah berdiri menunggu giliran ruangan shalat di depan sana, dan bidadari itu salah satu di antaranya. Mushala kami memiliki luas ruang yang terbatas, yang membuat Bruder (saudara laki-laki) dan Schwester harus bergantian menggunakan ruangan itu. Karena keterbatasan waktu, kami pun harus sabar mengunggu pemakaian ruangan.

Di depan mushala itu sudah tertempel sebuah kertas bertuliskan „Mushala ini akan dipakai untuk Schwester“. Aku berdiri dan paham bahwa tak lama para Schwester itu akan memakai ruangan tersebut. Namun tak lama keluar salah seorang Bruder dari dalam, seraya mempersilahkanku untuk masuk karena di dalam ada beberapa Bruder lain yang masih shalat. Aku tersenyum mengucapkan terima kasih atas tawarannya, namun sebelum aku memutuskan masuk, aku bertanya pada para Schwester yang sudah menunggu.
„Apakah kalian sudah menungggu lama? Apakah kalian keberatan jika saya masuk sebentar?“ tanyaku.
„Kami sudah menunggu lama,“ jawab salah seorang Schwester. "Sekarang giliran kami," tambah Schwester yang lain. Lalu tak lama ada satu suara yang mengagetkanku, suara yang kulihat datang dari bidadari itu, menuju ke arahku.
Suara yang sangat keras dan menusuk ulu hatiku.
„Tolong – tunggu – di luar!“ katanya dengan nada tinggi menunjukkan nada kemarahan, disertai dengan raut wajah yang sangat dingin menatapku, lalu ia memalingkan wajahnya dariku.

Dan aku hanya menatapnya sesaat dengan pandangan kosong dan mulut membisu. Aku masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar barusan. Kata-kata itu, suara itu, seolah telah menyihirku untuk membatu beberapa saat. Aku juga seorang manusia, aku juga punya perasaan dan hati, dan hati ini seketika luka atas perkataannya. Mungkin itu hanyalah perkataan biasa, dan mungkin aku akan biasa pula mendengarnya jika itu terlontar dari orang lain. Tetapi perkataan ini kudengar dari seorang bidadari pujaanku, yang selama ini kupendam cintanya sangat. Rasa cinta itu, berubah menjadi sangat perih. Aku segera pergi menjauh, menenangkan diri dahulu untuk sesaat. Yaa Rabb, begitu mudahnya Engkau merubah sebuah benda bernama perasaan.

Bidadari itu masuk ke dalam mushala bersama Schwester yang lain. Pikiranku tak berubah dari gaungan suara yang masih terekam kuat di kepalaku. „Warte-bitte-draußen!“

Tak lama bidadari itu keluar. Aku menduga bahwa ia akan segera menuruni tangga di sebelah kiri karena tak ingin melihat diriku. Akupun segera membuang pandanganku agar tidak lagi menatapnya, karena hal itu hanya akan membuatku merasa semakin sakit. Dugaanku ternyata salah, aku merasakan ada sesosok bayangan yang semakin lama semakin mendekatiku, dan bayangan itu, tepat di depanku, berkata,
„Maafkan saya, saya tadi sudah berbicara sangat kasar kepada kamu, saya terlalu jahat untuk berkata...“ ia lanjut berbicara, namun hanya itu kata-kata yang bisa aku tangkap darinya. Kulihat wajahnya, kali ini ia menatapku dengan pandangan bersalah, memohon maaf dariku.
„Oh... yang tadi ya?“ tanyaku pura-pura tak tahu, padahal semua orang tahu bahwa aku pasti tak bisa menyembunyikan raut kecewa yang tergurat dalam di rona mukaku. „tidak apa-apa kok,“ lanjutku sambil tersenyum, lalu ia pergi.

***

Yaa Rabb, sekalipun ia telah meminta maaf, tapi rasa kecewa yang perih ini tak bisa hilang. Aku ambil mushaf kecil di dalam ranselku, kutenangkan diriku. Tiba-tiba, ini pasti sebuah jawaban dari Allah, tanganku membuka halaman tepat di surat Ali Imran ayat 133-134.
„Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.“

Ya Allah, ajarilah aku untuk menjadi seorang yang pemaaf. Karena ku tahu, keberaniannya meminta maaf kepadaku adalah karena ia menyadari kesalahannya. Ia bukan seorang bidadari, ia juga seorang manusia sama seperti aku, yang sangat mungkin berbuat khilaf.

Ya Allah, kuyakin benar ini merupakan teguran dariMu. Ya Allah, karuniakanlah kepada kami danau kesabaran yang luasnya seluas samudra kesabaranMu, berikanlah kami embun-embun pemaaf dari mata air pemaafMu, sinarilah hati-hati kami dengan sinar cinta dan kasihMu, jagalah hati-hati kami dari bermaksiat kepadaMu. Ya Allah, Tuhan yang Maha penyayang, lindungilah kami dalam naungan rahmahMu.

Berlin, Herbst 2006.
Lebih dari setahun yang lalu.
Ah, die Zeit verläuft wirklich so schnell.