Saturday, August 27, 2005

Titian Waktu



Kala senja datang membayang
Maka aku pergi
Menjejaki uraian airmata dengan indah cerita di sana

Kala malam hadir penih elegi
Maka lebur semua perasaan
Yang membaur dalam manis kenangan

Dan kala pagi menghembus tenang
Sentakkan kantukmu
Lawan gigilmu
Hadir kembali dengan jiwa baru

Mainz 2005

Wednesday, August 24, 2005

Halo Halo Bandung

Pertama-tama gue mau mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya buat Mbak Wida atas bala bantuannya... Insya Allah semua kebaikan Mbak Wida dan keluarga mendapat balasan dari Allah. Aamiin.

Mulai hari ini gue berada di Bandung. Jadi buat teman-teman yang sering sekonyong-konyong dateng ke rumah gue di Jakarta tanpa pemberitahuan sebelumnya, untuk hari ini dan seterusnya dengan sangat menyesal kalian tidak bisa melakukannya lagi. Hehehehehe.

Jadi begini, teman gue, Sultan, memberi kabar ke gue tentang diterimanya gue di sebuah universitas terkenal di Jerman bernama Technische Universitaet Muenchen di jurusan Biotechnologie und Technologie der Lebensmittel (Bioteknologi dan Teknologi Bahan Pangan). Jurusan tersebut meminta gue untuk melakukan Vorpraktikum (praktikum awal) di sebuah industri yang berhubungan dengan bahan pangan. Setelah mencari, akhirnya Mbak Wida menawarkan tempat di PT Perkebunan Nusantara (PTPN VIII) di Bandung. Malam itu, segera gue mengurus kepergian gue untuk berpraktikum di Bandung. Setelah urusan di malam itu selesai dan besok pagi gue siap merantau ke Bandung, muncullah kabar dari Berlin bahwa gue diterima masuk di Technische Universitaet Berlin jurusan Bioteknologi.

Esok paginya setelah bangun tidur, keadaan bimbang datang. Gue bingung, antara jadi praktikum atau nggak. Hampir saja gue membatalkan rencana praktikum gue. Tapi alhamdulillah, jawaban itu datang. Gue memantapkan hati untuk pergi ke Bandung dan praktikum dengan berbagai pertimbangan.

Siang itu gue berangkan dari stasiun Jatinegara. Tepat setelah kedatangan gue di stasiun, kereta Parahyangan menuju Bandung datang. Perjalanan memakan waktu hampir tiga jam. Siang itu gue sampai di Bandung.


Gedung Sate, Bandung


Sekitar pukul setengah tiga, dibawah guyuran hujan, datang mobil peugeot perak milik teman gue, Nico. Selama di Bandung gue akan menginap di rumahnya. Sore itu juga gue langsung menuju kantor PTPN VIII di Jalan Dago. Untungnya semua serba dekat. Mulai besok gue akan memulai praktikum di sebuah pabrik dan perkebunan teh di wilayah Lembang. Selama beberapa hari gue akan menginap di sana sebelum akhirnya kembali lagi ke Bandung. Doakan lancar yah!


Kebun Teh


Setelah dari kantor PTPN VIII, gue bertemu dengan seorang adik kelas waktu di 61 dulu. Kita berbincang-bincang lama sekali di pinggir jalan Dago. Dia baru pulang dari OSPEK di ITB. Setelah itu, gue makan di McD Simpang, dan menemukan warnet ini tidak jauh dari situ. Jadilah gue berwarnet ria.

Oh ya, mungkin postingan gue setelah ini akan mengenai perkebunan teh. Semoga akan menarik.

Tuesday, August 23, 2005

Mang Ujang

Mang Ujang
Oleh: Mushab Syuhada


Mang Ujang, begitu kami memanggilnya. Mang Ujang adalah kenalan kami ketika kami sedang mengantar keberangkatan seorang teman di stasiun Jatinegara.
„ Maaf dik, saya ingin menuju ke daerah Pasar Minggu. Dengan angkutan apa yah dari sini?“ suara dengan logat sunda yang masih kental tiba-tiba datang dari arah belakang kami.
„Bapak mau ke Pasar Minggu?” ucapku.
“Kalau sudah malam begini, biasanya sudah jarang angkutan, Pak!” seru temanku Irwan.
Aku melihat bawaan Bapak itu. Tiga koper lengkap beserta dua dus kardus dan satu kantong plastik gorengan! Sepertinya si Bapak ini baru datang dari sebuah desa untuk mengadu nasib di kota Jakarta. Pengaruh urbanisasi lah bisa dibilang.
„Begini deh Pak, sekarang kan sudah jam setengah satu pagi. Bagaimana kalau Bapak menginap dulu di rumah saya, besok pagi saya antarkan ke Pasar Minggu“ kata Thomas, temanku yang pada malam itu membawa mobil. „Rumah saya di Depok, Pak. Nggak begitu jauh lah dengan Pasar Minggu“ timpalnya.

***

Mang Ujang orang asli Garut. Datang ke Jakarta dari Cirebon. Beliau diterima kerja di salah satu kantor jasa di bilangan jalan Gatot Subroto. Ini sudah yang kelima kalinya beliau mengunjungi Jakarta, namun beliau masih belum ‘melek’ kota Jakarta. Hari ini kami sepakat mengajak beliau jalan-jalan keliling Jakarta.

Pertama, kami ajak beliau makan siang di Pasar Festival, Kuningan. “Itu loh papes atau apa gitu...” ucapnya saat memberikan usul tempat makan siang kami. “Pafes kali mang! Pasar Festival maksud mang Ujang?” ujarku sambil cekikikan di kursi belakang mobil yang dikendarai Irwan siang hari itu.

Sambil makan, mang Ujang cerita banyak tentang perjalan hidupnya yang menurut kami sangat unik. Salah satu dari sekian banyak ceritanya ada yang menarik perhatian kami. Yaitu keinginannya bertemu dengan sahabat lamanya – teh Atik – yang sedang bekerja di Jakarta dan lebih dari tujuh tahun tidak bertemu walaupun mereka rutin saling menelepon memberi kabar.
“Semalem saya mimpi, saya bisa bertemu dengan Atik itu“ ujarnya.
„Terus, terus?“ tanya Irwan
„Tapi untuk bertemu dengan dia, saya harus melewati berbagai cobaan. Ada yang dikejar singa, ada yang kepleset ke jurang, ada yang nyangkut di ranting pohon, ada yang kepatok ular...“ lanjutnya.
„Hahaha... lucu amat! Emangnya rumahnya Mpok Atik itu di tengah hutan mang?“ timpalku.
„Heh, jangan bilang begitu. Pamali. Dari kecil mang sudah terbiasa mempercayai mimpi“ lanjut mang Ujang.
„Haree geneee masih percaya mimpi! Kita kan bukan di dunia mimpi mang! Lagian kalau kita percaya mimpi gitu ujung-ujungnya bisa syirik loh...” sahut Thomas.
“Anak muda.. anak muda... “ ujarnya sambil geleng-geleng kepala. “Ya sudah. Antarkan mang mencari teh Atik itu yah. Dia bekerja di sebuah kantor di jalan Thamrin-Sudirman. Ini saya punya nomor hapenya“

***

Sore hari itu kami mencari kantornya teh Atik. Setelah mang Ujang menelepon teh Atik untuk mengajak bertemu, mobil kami segera meluncur ke tempat tersebut. Sepanjang perjalanan kami sering senyum-senyum sendiri melihat ekspresi wajah kagum mang Ujang sambil menatap gedung-gedung tinggi dan bangunan-bagunan kedutaan yang megah di kota ini.

Kota Jakarta sore hari. Apalagi kalau bukan macet mewarnai setiap sudut jalan. Satu jam kami terjebak macet karena kami salah mengambil jalan. Ini semua karena mang Ujang ingin melihat bangunan kedutaan Aljazair di depan sana. Akibatnya kami berkutat dengan kemacetan dan sulit mencari jalan memutar balik. Hmmm... mungkin ini cobaan pertama seperti yang dikatakan mang Ujang dalam mimpinya. Ah! mana mungkin kayak begituan harus dipercayai, pikirku. Ini hanya sebuah kebetulan saja.

Setelah lepas dari kemacetan kami menuju ke jalan Thamrin. Dan tahukah apa yang terjadi? Mobil kami melanggar rambu lalu-lintas di sana!
“Prriiiiiiiittt….” Peluit pak Polisi berbunyi ke arah mobil kami. Irwan yang sedang mengendarai mobil panik. Kami juga menjadi panik.
“Selamat sore. Anda melanggar rambu lalu lintas di sini. Anda tidak boleh melewati jalur ini. Apa Anda tidak melihat rambu di sana?” kata pak Polisi.
“Aduh Pak! Maaf deh... damai getoh loh... kita buru-buru nih Pak!” ujar Irwan dalam kepanikan.
“Oke, tolong tunjukkan SIM dan STNK Anda” perintahnya.
Segera Irwan membuka dompetnya, namun ia tidak menemukan STNKnya di sana. Irwan semakin panik. Segera ia mengacak-acak isi mobil.
“Tenang Wan!” seruku. “Coba cari lagi di dompet. Kali aja nyelip”
Dan benar saja, STNK Irwan berhasil ditemukan di dompet itu.
“Sekarang SIMnya mana?” tanya pak Polisi lagi.
Keringat dingin Irwan mengalir. “Ketinggalan di rumah, Pak“
„Ketinggalan atau memang nggak punya?“
Aku baru ingat, dua tahun lalu Irwan pernah kehilangan dompetnya. SIMnya juga ikut hilang. Dia tidak bisa mengurusnya lagi karena ia tidak punya fotokopi SIMnya.

Setelah memarkir mobil di belokan yang menghubungkan jalur lambat dan jalur cepat di jalan Sudirman, di mana semua bis dan mobil mengklakson karena keberadaannya di sana mengganggu lalu lintas, Irwan dan aku turun menghampiri polisi itu untuk menyelesaikan urusan.

„Gimana nih, Anda mau bayar denda atau ke pengadilan?“ tanya Polisi itu.
“Udah pengadilan saja, Pak” ujarku. Aku mau proses hukum yang sebenernya *deu... gaya bener!*. Nggak ada dong istilah sogok-menyogok.

Akhirnya urusan dengan polisi itu selesai juga. STNK Irwan ditahan. Mang Ujang bersama Thomas yang dari tadi di dalam mobil juga ketakutan menghadapi bentakkan para supir bus karena parkir sembarangan.

„Apa kata saya. Akan banyak cobaan!“ seru mang Ujang.

***

Sejak kejadian itu, kami semua menjadi drop. Konsentrasi Irwan menyupir jadi terpecah belah. Yang semestinya belok malah lurus. Yang semestinya masuk jalur lambat malah masuk ke jalur cepat. Akhirnya kami terdampar di halaman parkir Plasa Senayan.

“Tik, kita bertemu di sini saja deh“ kata mang Ujang.
“Kenapa lagi, Jang?” sahut suara di ujung telepon sana.
“Nyasar Tik!”
“Hahahahaha... oke, sepuluh menit lagi aku di sana”

Tepat sepuluh menit muncul sosok dengan jilbab merah, kemeja merah, rok panjang, sendal jepit dan tas tentengan warna hijau. Inilah teh Atik.
“ Aduh Ujang. Tujuh tahun tak jumpa tak ada yang berubah yah dari diri kamu! Tetap gendut!” Sahutnya sambil tertawa renyah. “Oke. Kita shalat maghrib dulu baru deh kita jalan. Mau kemana nih? Nonton? Makan?”

***

Karena Irwan masih dalam kepanikan, maka selanjutnya teh Atik lah yang menyupir. „Aku ini supir yang handal lho!“ ujarnya.
Kami tertawa bersama mengingat cobaan yang kami alami sore tadi. Malam itupun kami masih merasakan cobaan-cobaan datang. Contohnya, kami ingin menuju Blok S untuk makan malam. Perjalanan yang kami tempuh serasa sudah mengelilingi kota Jakarta bolak-balik. Tapi ternyata, letak Blok S adalah di belakang kantornya teh Atik dan dapat ditempuh dengan jalan kaki selama lima menit!

Mang Ujang... walaupun teori mempercayai mimpinya ngasal, dengan dia kami jadi mendapatkan pengalaman seru di sore itu!

Friday, August 19, 2005

The Pattern in The Big Sky

Assalamu'alaikum kawans!

Senang sekali bisa berjumpa kembali setelah sekian lama dipisahkan oleh jarak dan waktu. Alhamdulillah gue sudah balik kembali ke Indonesia dengan sehat wal afiat tanpa kekurangan sedikitpun...

Semua sangat indah, jika gue mengingat delapan hari yang gue habiskan di Madinah, Mekkah, dan Jeddah... sangat indah dan tidak akan mampu terukir dengan serentetan kata-kata. Insya Allah teman semua akan berkesempatan melihat dan merasakan nikmat indah yang telah gue rasakan di sana

Ya Allah, rindu aku
Untuk dapat menumpahkan keluh kesah di pelataranMu
Ya Rasul, rindu aku
Untuk merasakan berseminya cinta dan ketenangan jiwa di dekat makammu





Sekarang gue sudah di Indonesia... Melanjutkan hidup, yang mudah-mudahan akan menjadi hidup baru.

Saturday, August 06, 2005

Simpuhku

Ya Allah
Pun jika Kau izinkan aku menemuiMu
Maka berikan aku waktu
Tuk tumpahkan segala kisahku
Tuk adukan segala susahku
Tuk memohon segala inginku
Tuk mengharap ridhoMu
Tuk meminta agar aku kelak dapat melihat senyumMu
Tuk meneteskan beberapa bulir air mata
Di hadapanMu

Dan kau wahai Baginda Rasul
Tak dapat aku gambarkan lagi rinduku
Mengunjungi tempat istirahatmu
Dan tempat kau berdiri gagah dulu

9-18 Agustus, Di rumahMu...